Bajanglawu mengikuti saran dari Palastri, pria tua itu menekan titik pusat yang dimaksud oleh wanita tersebut. Beberapa saat kemudian Bledek pun terbatuk dengan kedua mata terbuka dan menatap penuh tanya pada Bajanglawu. "Ada apa dengan tubuhku, Ki Bajang?"Bajanglawu tersenyum tipis lalu dia menepuk bahu kembarannya itu dengan gelengan kepala. "Sudah tidak apa, jangan lanjutkan lagi!"Bledek makin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Bajanglawu, kembali pandangannya menyapu seluruh area pendopo hingga terhenti pada sosok Palastri yang berdiri sambil memeluk tubuh Roro Wening."Bukankah Anda yang tadi menyapaku, Nyai?" Palastri hanya diam menatap datar pada Bledek hingga membuat oria tua itu menunduk dalam. Dia merasa ada yang salah dan berbeda dengan kondisi saat itu, tetapi apa? Bledek berjalan mundur, dia mencari ruang yang sedikit lebih longgar agar bisa melapangkan sesak pada dadanya. Sepintas tatapan Bledek terlihat oleh Zavia, hal ini menimbulkan tanya dalam hati.
Padepokan Wenning kembali disibukkan dengan latihan kanuragan dan kebatinan. Di beberapa titik terlihat banyak pemuda yang saling beradu ilmu beladiri dengan tangan kosong, tetapi juga ada yang menggunakan ilmu pedang. Namun, di bagian yang lain terlihat sekumpulan wanita muda sedang memainkan lesung dengan irama yang penuh dengan tenaga dalam. Sepertinya mereka bukan main-main, melainkan sedang memeragakan sebuah formasi tempur khusus pasukan wanita dengan dipimpin oleh Roro Wening. Di sudut padepokan ada gubug yang dikhususkan untuk meracik obat herbal. Di sana tampak Galasbumi berdiri menatap beberapa murid yang sedang meracik obat-obatan persiapan untuk perang besar. "Bagaimana hasil herbal yang aku berikan resepnya, Paman?" tanya Jagat saat sudah berada di depan Galasbumi. "Semua sudah sesuai dengan takarannya, Pangeran. Hal ini juga sudah dibuktikan pada hewan liar yang hampir sama struktur organ tubuhnya," jawab Galasbumi. "Ini dosisnya untuk manusia lho, Paman. Apakah ti
Ruang khusus untuk semua jadwal pertemuan penting terlihat lengang. Hanya ada Kurubumi dan Albara. Raja dan bawahannya berbincang hangat di meja bundar dengan hidangan makan siang yang menggugah selera. Tidak hanya buah dan sayuran segar yang terhidang, melainkan ada berbagai menu santapan daging dengan berbagai varian. Tentunya ada juga tuak dan arak yang cukup langka. Pandangan Kurubumi masih terfokus pada semua ucapan dari sang raja. Kali ini dia begitu menahan selera makannya meskipun lapar. Berulangkali Kurubumi menelan air liurnya hanya untuk itu. "Apakah yang dikatakan telek sandi kita semua itu benar, Pangeran Kuru?""Begitulah adanya, Paduka. Satu urusan sudah aku kirim. Awalnya dia berhasil pulnag. Lalu, setelah semau selesai melapor dia aku tugaskan lagi. Dan tanpa kabar." Albara diam, dia mencerna apa yang diungkapkan oleh bawahannya itu. Kata tanpa kabar bisa diartikan bahwa telek sandi itu tertangkap dan mati. Atau bahkan tertawan. Albara menggeleng kepala kuat. Pri
Semilir angin malam menerpa wajah tampan Jagat, dia sedang semedi dibawah pohon ajaib. Kedua matanya terpejam denah napas yang naik turun secara teratur. Suara hewan malam menemani dan berdiri di sekitarnya. Bahkan tampak harimau putih duduk manis di sisi kanannya dengan kepala terjulur ke depan menopang pada kaki depan. Sebuah pemandangan yang syahdu di tambah dengan cahaya rembulan sempurna membuat lokasi sekitarnya sedikit redup. Jagat masih konsentrasi tetapi di alam bawah sadarnya pria itu terlihat sedang melatih ilmu kanuragan melawan Ki Cadek.Jurus demi jurus dilakukan oleh Jagat guna menurunkan tensi juang penunggu kujang. Namun, semua usaha telah dikerahkan dan tidak ada perubahan yang signifikan dari stamina Ki Cadek. "Bagus, Pangeran. Tingkatkan lagi sumber daya kamu di bagian ujung tapak kaki. Tendang secara maksimal!"Sesuai perintah itu, Jagat pun bersiap untuk menyerang kembali. Semua sumber daya yang ada dialirkan ke semua titik serang agar saatnya tiba akan lebi
Zavia berdiri menghadap pintu barak milik Galasbumi. Bibirnya tertutup rapat dengan kedua mata terpejam. Bahunya turun naik secara teratur, menandakan jika wanita paruh baya sedang konsentrasi. Udara sekitar Zavia perlahan berubah menjadi lebih hangat, lalu terdengar hembusan napas yang memburu seakan ingin segera berkata. Sementara di dalam ruang utama barak Galasbumi, Palastri merasa gelisah. Wanita itu sering meneleng ke kanan, seakan indera perasanya mulai berkurang. "Apa yang terjadi, Nyai?""Benar, Ibu, katakan ada apa?"Palastri mengernyitkan dahi, kedua matanya menyipit dengan suara desisan ulas lolos dari bibirnya. Apa yang terjadi pada Palastri membuat Roro Wening merasa ada yang aneh. Begitu juga dengan Galasbumi, tetapi keduanya hanya saling pandang dan menunggu agar Palastri mengungkap apa yang terjadi. Namun, wanita itu masih bungkam. Bahkan kini kedua matanya justru terpejam sambil kepalanya menggeleng pelan. Sangat pelan. "Nyai, ungkapkan saja apa yang kamu rasak
"Kita akan serang kerajaan dari segala arah, tetapi tidak bersamaan. Wilayah barat akan di pimpin oleh Ki Galasbumi, sebelah utara biar di pimpin oleh Roro Wening dengan seruling emasnya, timur dipimpin oleh dua kembar Lawu. Untuk selatan sendiri yang lansung berhadapan dengan gerbang utama kerajaan biar aku yang pimpin. Bagaimana?" tanya Jagat. Semua diam, hening cukup lama hingga deru angin makin terasa menusuk tulang barulah Zavia mengangkat kepalanya menatap wajah semua yang hadir. "Lalu apa tugasku dan Nyai Palastri, Jagat?" tanya Zavia. "Ibu dan Nyai cukup mengawasi pergerakan para siluman, bagaimana?"Kedua wanita paruh baya itu saling pandang, lalu bersama menatap heran pada Jagat. Sedangkan yang ditatap hanya nyengir sesaat dan anggukan kepala. Sikap pemuda yang sedikit tengil itu pun akhirnya diangguki oleh mereka berdua. Malam terus berjalan, mereka masih terlihat berbincang membahas skema serangan dalam memperebutkan kekuasaan mutlak atas kerajaan. Hingga suara ayam ja
Angin bertiup sedikit lebih kencang membuat suhu udara menjadi lebih dingin. Hal ini mengakibatkan beberapa warga malas untuk keluar rumah. Namun, tidak bagi para pemuda padepokan mereka justru bersemangat memulai pekerjaan malam itu. "Persiapan sudah selesai, Roro Wening," kata seorang pemuda. Roro Wening berdiri di panggung agar bisa melihat dengan jelas semua hasil kerja teman padepokan. "Bagus, kita bergerak menyusuri sungai agar lebih cepat sampai di utara kerajaan. Paham!"Sekitar lima puluh pemuda dan pemudi berkumpul dengan senjata parang dan pedang untuk melakukan penyerangan sesuai dengan arahan Jagat.Roro Wening yang berjubah ungu segera bergerak cepat. Tubuhnya yang rampung melayang bak layang-layang, begitu ringan mengikuti arah angin. Sedangkan yang lainnya berjalan menyusuri sungai. Mereka tidak berkeinginan untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh pimpinan. Hampir semua yang ada di pasukan itu memiliki kemampuan olah kanuragan yang seimbang bahkan setara dengan Weni
Banyubiru terdiam, otaknya berpikir lebih cepat mencari penyelesaian penyerangan dadakan. Belum sempat memutuskan sesuatu hal pun sosok Albara dan Abimana telah ada di depannya. Keduanya menatap penuh tanya akan kondisi istana yang hampir porak-poranda. Banyubiru segera menjelaskan suasana terbaru mengenai keadaan istana saat itu. "Ini pasti perbuatan Jagat Kelana, Ayah." Abimana berkata lalu pandangannya berganti ke arah Banyubiru, "kemana Kurubumi berada saat ini, Paman?"Banyubiru terdiam, kepalanya melihat ke arah belakang posisi Albara dan putra mahkota Abimana. Dari jauh terlihat Kurubumi berjalan tergesa menuju ke mereka bertiga. "Paman!" panggil Abimana dengan penuh tekanan. "Aku di sini, saudaraku," kata Kurubumi. Abimana berbalik arah pada asal suara, lalu pandangannya menelisik penampilan sahabatnya yang jauh berbeda sebelum berangkat ke wilayah barat yang terakhir kali. Kurubumi mengulum senyum tipis, lalu dia menatap pada ayahnya, "bagaimana kabar selanjutnya, Ayah?