Zavia berdiri menghadap pintu barak milik Galasbumi. Bibirnya tertutup rapat dengan kedua mata terpejam. Bahunya turun naik secara teratur, menandakan jika wanita paruh baya sedang konsentrasi. Udara sekitar Zavia perlahan berubah menjadi lebih hangat, lalu terdengar hembusan napas yang memburu seakan ingin segera berkata. Sementara di dalam ruang utama barak Galasbumi, Palastri merasa gelisah. Wanita itu sering meneleng ke kanan, seakan indera perasanya mulai berkurang. "Apa yang terjadi, Nyai?""Benar, Ibu, katakan ada apa?"Palastri mengernyitkan dahi, kedua matanya menyipit dengan suara desisan ulas lolos dari bibirnya. Apa yang terjadi pada Palastri membuat Roro Wening merasa ada yang aneh. Begitu juga dengan Galasbumi, tetapi keduanya hanya saling pandang dan menunggu agar Palastri mengungkap apa yang terjadi. Namun, wanita itu masih bungkam. Bahkan kini kedua matanya justru terpejam sambil kepalanya menggeleng pelan. Sangat pelan. "Nyai, ungkapkan saja apa yang kamu rasak
"Kita akan serang kerajaan dari segala arah, tetapi tidak bersamaan. Wilayah barat akan di pimpin oleh Ki Galasbumi, sebelah utara biar di pimpin oleh Roro Wening dengan seruling emasnya, timur dipimpin oleh dua kembar Lawu. Untuk selatan sendiri yang lansung berhadapan dengan gerbang utama kerajaan biar aku yang pimpin. Bagaimana?" tanya Jagat. Semua diam, hening cukup lama hingga deru angin makin terasa menusuk tulang barulah Zavia mengangkat kepalanya menatap wajah semua yang hadir. "Lalu apa tugasku dan Nyai Palastri, Jagat?" tanya Zavia. "Ibu dan Nyai cukup mengawasi pergerakan para siluman, bagaimana?"Kedua wanita paruh baya itu saling pandang, lalu bersama menatap heran pada Jagat. Sedangkan yang ditatap hanya nyengir sesaat dan anggukan kepala. Sikap pemuda yang sedikit tengil itu pun akhirnya diangguki oleh mereka berdua. Malam terus berjalan, mereka masih terlihat berbincang membahas skema serangan dalam memperebutkan kekuasaan mutlak atas kerajaan. Hingga suara ayam ja
Angin bertiup sedikit lebih kencang membuat suhu udara menjadi lebih dingin. Hal ini mengakibatkan beberapa warga malas untuk keluar rumah. Namun, tidak bagi para pemuda padepokan mereka justru bersemangat memulai pekerjaan malam itu. "Persiapan sudah selesai, Roro Wening," kata seorang pemuda. Roro Wening berdiri di panggung agar bisa melihat dengan jelas semua hasil kerja teman padepokan. "Bagus, kita bergerak menyusuri sungai agar lebih cepat sampai di utara kerajaan. Paham!"Sekitar lima puluh pemuda dan pemudi berkumpul dengan senjata parang dan pedang untuk melakukan penyerangan sesuai dengan arahan Jagat.Roro Wening yang berjubah ungu segera bergerak cepat. Tubuhnya yang rampung melayang bak layang-layang, begitu ringan mengikuti arah angin. Sedangkan yang lainnya berjalan menyusuri sungai. Mereka tidak berkeinginan untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh pimpinan. Hampir semua yang ada di pasukan itu memiliki kemampuan olah kanuragan yang seimbang bahkan setara dengan Weni
Banyubiru terdiam, otaknya berpikir lebih cepat mencari penyelesaian penyerangan dadakan. Belum sempat memutuskan sesuatu hal pun sosok Albara dan Abimana telah ada di depannya. Keduanya menatap penuh tanya akan kondisi istana yang hampir porak-poranda. Banyubiru segera menjelaskan suasana terbaru mengenai keadaan istana saat itu. "Ini pasti perbuatan Jagat Kelana, Ayah." Abimana berkata lalu pandangannya berganti ke arah Banyubiru, "kemana Kurubumi berada saat ini, Paman?"Banyubiru terdiam, kepalanya melihat ke arah belakang posisi Albara dan putra mahkota Abimana. Dari jauh terlihat Kurubumi berjalan tergesa menuju ke mereka bertiga. "Paman!" panggil Abimana dengan penuh tekanan. "Aku di sini, saudaraku," kata Kurubumi. Abimana berbalik arah pada asal suara, lalu pandangannya menelisik penampilan sahabatnya yang jauh berbeda sebelum berangkat ke wilayah barat yang terakhir kali. Kurubumi mengulum senyum tipis, lalu dia menatap pada ayahnya, "bagaimana kabar selanjutnya, Ayah?
Setelah terjadi penyerangan dengan waktu sangat singkat, panglima dan jajaran kerajaan meningkatkan kewaspadaan. Beberapa prajurit kelas atas diturunkan dan bertugas di gari depan. Namun, hingga seminggu tidak ada pergerakan yang mencurigakan. Bahkan udara bergerak pelan hingga melenakan prajurit jaga. Hati terus berjalan tanpa terasa sudah satu bulan sejak peristiwa serangan maut itu. Lama kelamaan mereka mulai menurunkan status darurat menjadi normal. Mereka tidak tahu saja bahwa sejatinya ada beberapa telek sandi yang di sebar oleh Jagat Kelana guna mengawasi aktifitas di istana. "Bagaimana perkembangannya, Kuru?""Belum ada pergerakan yang mencurigakan. Bahkan di padepokan itu semua tampak biasa saja. Apakah mereka telah pindah markas?""Mungkin saja. Bagaimana dengan wanita itu?"Kurubumi menghela napas panjang, lalu menggeleng. Abimana mengusap wajahnya kasar. Sungguh dia hilang digdaya jika berhadapan dengan wanita pembawa seruling itu. Hampir seluruh anggota keluarganya m
Abimana berdiri tegak menatap nyalang pada Jagat, matanya memancarkan sinar merah yang menandakan tingkat emosi yang tinggi. Namun, semua berbanding terbalik dengan Jagat. Pria itu membalas tatapan Abimana dengan sorot mata dingin, tingkat kedinginan mampu merubah udara sekitar. Banyak prajurit yang tiba-tiba tumbang saat menghirup udara dingin berlebih. Dua pendekar saling unjuk kebolehan dan kekuatan sumber daya tingkat tinggi. Ledakan kecil sering kali terdengar diselingi jerit kesakitan dari beberapa prajurit Bumi Seloka. "Sialan kamu, Jagat!" Abimana tidak terima saat pandangannya melihat satu per satu prajuritnya tumbang tanpa sebab. Apa yang terjadi di medan perang membuat Abimana mengamuk. Dia pun mulai meningkatkan sumber daya hingga ke puncak. Aura tubuhnya makin menguat terbukti dengan pancaran sinar merah yang sudah membungkus tubuhnya. Satu per satu serangan diluncurkan Abimana menghancurkan beberapa bagian formasi perang Jagat. Namun, itu hanya sesaat. Apa yang terj
Galasbumi dan Banyubiru terus mengadu kadigdayan tanpa memedulikan perubahan waktu. Keduanya sudah berubah menjadi pendekar tingkat dewa. Setiap hempasan jurusnya mampu menggetarkan tanah sekitarnya. Aura yang pekat menyelimuti seluruh bangunan istana. Mereka para siluman yang bernaung di dalam istana mulai terbangun akibat serangan demi serangan yang dilontarkan Galasbumi. Banyubiru tidak mau kalah dengan seniornya, dia bergerak cepat menebas sisi kanan Galasbumi yang terlihat bebas. Hal yang tidak diperhatikan oleh Galasbumi hingga mengakibatkan lengan kanannya tertebas. Darah mengucur begitu deras membuat Banyubiru tertawa bahagia karena telah berhasil melukai seniornya. Namun, anehnya Galasbumi masih berdiri tegak tanpa bergerak sedikitpun. Banyubiru menatap heran pada pria tua itu, ujung lengannya yang berdarah seakan berdenyut. Sesuatu bergerak keluar muncul dari gumpalan darah. "Apa yang muncul di sana? Daging, gila," umpat Banyubiru. "Ini adalah ilmu terbaruku
Albara hanya terkekeh menanggapi ocehan Jagat, dia sama sekali tidak takut. Meskipun istana sudah hampir rata dengan tanah, raja masih mampu berdiri tegak. Tampak di belakangnya juga berdiri dua sosok wanita dengan pakaian khas ratu dan selir. Mereka adalah Arsinta dan Gayatri. Keduanya berdiri di sisi raja secara adil. Arsinta terlihat santai menatap Jagat dan Galasbumi, tetapi tidak bagi Gayatri. Wanita tersebut sedikit merasakan getar aneh yang menelusup pada jiwanya begitu tatapannya bertabrakan dengan Galasbumi. Desah napasnya sedikit memburu dengan sorot mata yang sendu. Gayatri tidak pernah mengira jika mantan suaminya masih mampu berdiri tegak. "Aneh, bagaimana bisa?" gumam Gayatri. Namun, Galasbumi hanya diam saja tanpa adanya reaksi apapun. Bahkan untuk menatap pada Gayatri pun tidak lagi. Semilir angin malam yang dingin tidak menggelapkan pandangan mereka para pendekar. Sinar bulan purnama sempurna membuat suasana menjadi terang. Mayat-mayat bergelimpangan dengan dara
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk
Jagat berdiri menatap langit yang masih malu menampakkan sinar mentari. Cuaca hari itu sedikit sendu, seakan membawa angin kesedihan. Roro Wening pun ikut berdiri tetapi dia tidak mengikuti arah pandang suaminya. Wanita nomer satu di Kerajaan Singgalang justru menatap ke arah utara sedangkan suaminya menatap ke arah timur. Dua arah yang berbeda meskipun berjalan pasti tidak akan menemui ujungnya. Keduanya masih diam menatap pada arah tersebut. Angin yang berhembus pun seakan enggan memberi kabar atas cuaca yang tidak bersahabat. "Akankah ada bencana lagi, Suamiku? Ada yang berbeda aroma angin berhembus hari ini," kata Roro Wening. "Sepertinya begitu, Nyai Wening. Semua bisa terjadi yang datang dari berbagai arah." Beberapa saat kemudian, Jagat berbalik melihat sosok istrinya yang sedang hamil lima bulan. Perut Roro Wening sudah terlihat membuncit. Lalu Jagat segera meraih tubuh istrinya dan digendong ala bridal. Dibawanya tubuh sang istri ke dalam sebuah bilik di dekat pendopo.
Jagat terus melangkah tanpa menoleh ke setiap pintu paviliun milik selir-selirnya. Dia terus melangkah hingga sampai di pendopo sunyi tempat biasa dia bermeditasi. Jagat berdiri menatap hamparan tanah hijau dalam gelita malam. Bibirnya tertutup rapat tetapi pikirannya melayang tak tentu arah. Dia mencari alasan mengapa istri gaibnya begitu ingin menjauh kembali setelah sekian lama tak berjumpa dalam dunia nyata. "Mungkin saat ini wanitamu itu sedang ada masalah lagi di Kerajaan gaib miliknya, Pangeran." Suara tua yang sudah lama tidak terdengar di telinga Jagat. "Ki, akhirnya kamu muncul juga setelah lama kita tidak berbincang." "Saya sedang meditasi, Pangeran. Bukankah selama saya pergi semua masih bisa terkendali secara fisik dan rohani?"Jagat menghela napas panjang dan berat. Apalagi sejak kepergian Ki Cadek beberapa waktu lalu setelah kembalinya Ashita, Jagat sering di uji gairah yang sulit terkendali. Dia sadar bahwa selama ini gairahnya seringkali tidak mendapat tempat yan