Albara hanya terkekeh menanggapi ocehan Jagat, dia sama sekali tidak takut. Meskipun istana sudah hampir rata dengan tanah, raja masih mampu berdiri tegak. Tampak di belakangnya juga berdiri dua sosok wanita dengan pakaian khas ratu dan selir. Mereka adalah Arsinta dan Gayatri. Keduanya berdiri di sisi raja secara adil. Arsinta terlihat santai menatap Jagat dan Galasbumi, tetapi tidak bagi Gayatri. Wanita tersebut sedikit merasakan getar aneh yang menelusup pada jiwanya begitu tatapannya bertabrakan dengan Galasbumi. Desah napasnya sedikit memburu dengan sorot mata yang sendu. Gayatri tidak pernah mengira jika mantan suaminya masih mampu berdiri tegak. "Aneh, bagaimana bisa?" gumam Gayatri. Namun, Galasbumi hanya diam saja tanpa adanya reaksi apapun. Bahkan untuk menatap pada Gayatri pun tidak lagi. Semilir angin malam yang dingin tidak menggelapkan pandangan mereka para pendekar. Sinar bulan purnama sempurna membuat suasana menjadi terang. Mayat-mayat bergelimpangan dengan dara
"Aku tidak apa, Paman. Bagaimana dengan Anda sendiri?" tanya Jagat yang juga sedang mengkhawatirkan kondisi Galasbumi."Aku rasa dia tidak apa, Pangeran," jawab Palastri. Jagat melirik ke asal suara, terlihat wajah segar Palastri dengan bendera di pundaknya. Wanita dari alam siluman itu terlihat lebih bercahaya dari hari sebelumnya. Jagat mengerti apa arti sesungguhnya. Rupanya tidak hanya di dalam istana terjadi hubungan terlarang itu. Memang pada dasarnya mereka saling bersekutu pada alam lain. Bibir tipis nan merah hanya mengulum senyum penuh arti. "Rupanya kamu memanggil kembali siluman itu, Kang. Apa perjuanganku hingga ke ranah siluman tidak ada harganya bagimu?" tanya Gayatri. "Memang pada dasarnya hanya padanya tubuh ini bisa hidup, Gay. Sayangnya tidak kamu pahami. Mungkin pada Albara lah ragamu terpuaskan," kata Galasbumi. "Jangan banyak omong, Galas. Mari kita adu kekuatan hingga akhir!" kata Banyubiru. Tubuh panglima melesat kembali menyerang Galasbumi dengan menggun
Pertempuran terus berlangsung, di beberapa tempat terjadi adu ketrampilan beladiri tingkat tinggi. Bahkan dunia siluman pun mengalami pergolakan yang sangat panas. Sosok Galasbumi yang sudah menjadi mayat pun kini sudah disusul oleh istrinya menyisakan Wening dalam duka yang amat dalam. Wanita muda itu membasuh permukaan serulingnya dengan tatapan sendu pada sosok Banyubiru yang berdiri angkuh. Perlahan ujung lubang seruling ditempelkan pada bibir tipis nan sensual, udara tipis mulai masuki lubang, tatapan pun mulai beralih pada setiap lubang. Wening mulai memejamkan mata. Lambat terdengar aliran musik yang begitu menyayat hati. Suara lembut menyatu dengan debur ombak, syahdu dan dingin. Beberapa prajurit yang tidak memiliki sumber daya cukup merasakan udaranya semakin dingin menekan tulang dan urat nadi. "Kamu! Apa yang kamu lakukan, Wadon Busuk!" Suara Banyubiru bermuatan tenaga dalam tidak mampu menggoyahkan konsentrasi Wening. Wanita muda itu terus meniup pusat lubang serulin
Kedua mata Jahat masih terpejam, bahunya bergerak naik turun secara sempurna. Angin seakan berhenti bertiup, hanya alunan seruling emas milik Roro Wening yang masih setia menemani. Bahkan kini alunannya makin mendayu dan memeras otak hingga tanpa disadari oleh semua orang mereka merasakan kesedihan yang teramat sangat hingga membuat mereka seakan ingin membunuh. Kekuatan seruling emas begitu memikat, apalagi semua dibarengi dengan sumber daya yang tinggi. Angin berubah kembali, kini bertiup perlahan membawa udara semakin dingin. Lambat laun berubah menjadi kencang hingga mampu menerbangkan beberapa daun kering. Namun, Jahat masih berdiri tegak dengan mata terpejam. Hanya kedua lengannya yang kini terentang melawan datangnya angin. Sementara Wening telah berubah menjadi wanita dengan sosok hitam. Aura yang awalnya begitu indah kini telah berubah menjadi gelap dan menebarkan kematian yang tidak bisa dielakkan. Satu per satu mayat prajurit terbang tanpa sebab. Jerit kesakitan terden
Jagat masih terus melayang di udara. Jubahnya yang panjang dan lebar terbang tertiup angin, begitu juga surai rambutnya yang panjang. Hanya tatapannya yang telah berpindah arah menyapu pada seluruh lapangan utama kerajaan. Meskipun malam gelap, Jagat masih mampu melihat tanah hijau berubah warda merah darah. Bau anyir menelusup dua lubang hidungnya. Namun, tidak ada niat untuk menutup keduanya. Justru seringaian sinis terukir di bibirnya. Jagat tidak terima dengan nasib para rakyat jelata yang ikut menanggung kerugian usai perang. Namun, semua harus ada korban. Napas pria muda terlihat tersengal, dia tahu semua konsekuensi pasca perang. Pasti rakyat jelata yang akan menerima dampak terbesar. "Apakah semua akan kamu lanjutkan, Jagat? Tidak cukupkah nyawa yang melayang tanpa dosa?"Suara khas pria tua menyapa gendang telinga Jagat, suara yang selalu hadir saat dia mulai memuncak amarah dan sulit dikendalikan. Jagat terdiam, dia mempertajam pendengarannya dengan kedua mata menyapu l
Melihat situasi yang makin sulit terkendali akhirnya Jagat melepaskan sebuah jurus yang telah lama dia simpan dan menahan agar jurus itu jangan sampai digunakan karena akan berakibat fatal. "Baiklah jika ini yang kamu inginkan, Albara. Jangan salahkan aku!"Setelah kalimat Jagat selesai, angin makin bertiup kencang. Suasana yang awalnya terang kini menjadi gelap. Albara tidak memedulikan semua ancaman Jagat. Dia segera merapal ilmu penghancur bumi. "Kamu sudah lancang dan tidak mau menyerah, Jagat. Baiklah terima jurusku, penghancur bumi!" Seberkas cahaya sebesar pohon pisang siap tebang melesat deras menuju ke arah posisi Jagat. Melihat serangan yang begitu dahsyat Jagat pun memutar tubuhnya bersamaan menggenggam kujangnya.Perlahan tubuh Jagat berubah menjadi seekor Harimau putih yang tinggi besar dengan mahkota berlian rubi merah menyala bak darah. Harimau itu melompat tajam, langsung menerkam tubuh Albara yang berdiri bebas. Harimau mengesampingkan jurus yang dilontarkan Alba
Kedua lengan Gayatri terentang, lalu mulai bergerak dinamis naik dan turun. Akibat gerakan itu terdengar suara ranting patah dan kain robek. Beberapa saat kemudian terjadi angin ribut yang begitu kuat hingga mampu mencabut pohon berukuran sedang. Melihat hal itu, Jagat segera mempertebal dinding pembatas antara dunia nyata dan ghaib. Zavia yang melihat keadaan medan perang yang sudah diluar kendali makin terlihat gelisah Wanita paruh baya tersebut begitu mengkhawatirkan keselamatan putranya yang baru saja ditemukan. Tatapan Zavia beralih pada Ki Bajanglawu. Pria tua itu pun menggelengkan kepala dan angkat bahunya tanda dia tidak mengerti. "Tenang saja, Nyai Ratu. Saya rasa pangeran bukan lah manusia biasa. Dia satri piningit yang sudah waktunya bangkit, seakan mengulang kisah Raja Lawangbumi."Zavia berpaling pada asal suara serak berat milik Ki Bledek. Pria tua itu mengangguk dengan senyum tipis tercetak di bibir hitamnya. Zavia menghela napas panjang dan memilih kembali fokus pad
Sesaat setelah kujang keluar tubuh Kalajengking mengekang, darah keluar deras dari beberapa lubang yang terdapat pada tubuhnya. Melihat hal itu, tanpa pikir panjang Jagat meluncurkan pukulan mautnya. "Maka hancurlah, Siluman!" Selarik sinar perak melesat masuk ke dalam mulut siluman berkaki banyak tersebut. Bunyi dentuman keras langsung menyeruak hingga ke dunia atas membuat seluruh rakyat terhenyak dan melonjak. Dentuman yang begitu keras dan kuat hingga membuat mayat Albara terangkat ke udara. Melihat mayat suaminya terbang, Arsinta melesat ke udara hendak meraih mayat tersebut. Akan tetapi, sebuah keajaiban muncul, kedua bola mata Albara terbuka. Ini langsung memicu kebahagian terpancar pada wajah sang ratu. "Kau hidup, Bara? Jiwamu terlihat semakin kuat. Apa ini artinya, Albara?"Sang Raja menatap dingin pada ratunya. Sosok pria yang berbeda yang mana Arsinta sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada raga suaminya "Kau salah, Arsinta. Jiwa yang berada dalam tubuh sua
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk
Jagat berdiri menatap langit yang masih malu menampakkan sinar mentari. Cuaca hari itu sedikit sendu, seakan membawa angin kesedihan. Roro Wening pun ikut berdiri tetapi dia tidak mengikuti arah pandang suaminya. Wanita nomer satu di Kerajaan Singgalang justru menatap ke arah utara sedangkan suaminya menatap ke arah timur. Dua arah yang berbeda meskipun berjalan pasti tidak akan menemui ujungnya. Keduanya masih diam menatap pada arah tersebut. Angin yang berhembus pun seakan enggan memberi kabar atas cuaca yang tidak bersahabat. "Akankah ada bencana lagi, Suamiku? Ada yang berbeda aroma angin berhembus hari ini," kata Roro Wening. "Sepertinya begitu, Nyai Wening. Semua bisa terjadi yang datang dari berbagai arah." Beberapa saat kemudian, Jagat berbalik melihat sosok istrinya yang sedang hamil lima bulan. Perut Roro Wening sudah terlihat membuncit. Lalu Jagat segera meraih tubuh istrinya dan digendong ala bridal. Dibawanya tubuh sang istri ke dalam sebuah bilik di dekat pendopo.
Jagat terus melangkah tanpa menoleh ke setiap pintu paviliun milik selir-selirnya. Dia terus melangkah hingga sampai di pendopo sunyi tempat biasa dia bermeditasi. Jagat berdiri menatap hamparan tanah hijau dalam gelita malam. Bibirnya tertutup rapat tetapi pikirannya melayang tak tentu arah. Dia mencari alasan mengapa istri gaibnya begitu ingin menjauh kembali setelah sekian lama tak berjumpa dalam dunia nyata. "Mungkin saat ini wanitamu itu sedang ada masalah lagi di Kerajaan gaib miliknya, Pangeran." Suara tua yang sudah lama tidak terdengar di telinga Jagat. "Ki, akhirnya kamu muncul juga setelah lama kita tidak berbincang." "Saya sedang meditasi, Pangeran. Bukankah selama saya pergi semua masih bisa terkendali secara fisik dan rohani?"Jagat menghela napas panjang dan berat. Apalagi sejak kepergian Ki Cadek beberapa waktu lalu setelah kembalinya Ashita, Jagat sering di uji gairah yang sulit terkendali. Dia sadar bahwa selama ini gairahnya seringkali tidak mendapat tempat yan