Melihat situasi yang makin sulit terkendali akhirnya Jagat melepaskan sebuah jurus yang telah lama dia simpan dan menahan agar jurus itu jangan sampai digunakan karena akan berakibat fatal. "Baiklah jika ini yang kamu inginkan, Albara. Jangan salahkan aku!"Setelah kalimat Jagat selesai, angin makin bertiup kencang. Suasana yang awalnya terang kini menjadi gelap. Albara tidak memedulikan semua ancaman Jagat. Dia segera merapal ilmu penghancur bumi. "Kamu sudah lancang dan tidak mau menyerah, Jagat. Baiklah terima jurusku, penghancur bumi!" Seberkas cahaya sebesar pohon pisang siap tebang melesat deras menuju ke arah posisi Jagat. Melihat serangan yang begitu dahsyat Jagat pun memutar tubuhnya bersamaan menggenggam kujangnya.Perlahan tubuh Jagat berubah menjadi seekor Harimau putih yang tinggi besar dengan mahkota berlian rubi merah menyala bak darah. Harimau itu melompat tajam, langsung menerkam tubuh Albara yang berdiri bebas. Harimau mengesampingkan jurus yang dilontarkan Alba
Kedua lengan Gayatri terentang, lalu mulai bergerak dinamis naik dan turun. Akibat gerakan itu terdengar suara ranting patah dan kain robek. Beberapa saat kemudian terjadi angin ribut yang begitu kuat hingga mampu mencabut pohon berukuran sedang. Melihat hal itu, Jagat segera mempertebal dinding pembatas antara dunia nyata dan ghaib. Zavia yang melihat keadaan medan perang yang sudah diluar kendali makin terlihat gelisah Wanita paruh baya tersebut begitu mengkhawatirkan keselamatan putranya yang baru saja ditemukan. Tatapan Zavia beralih pada Ki Bajanglawu. Pria tua itu pun menggelengkan kepala dan angkat bahunya tanda dia tidak mengerti. "Tenang saja, Nyai Ratu. Saya rasa pangeran bukan lah manusia biasa. Dia satri piningit yang sudah waktunya bangkit, seakan mengulang kisah Raja Lawangbumi."Zavia berpaling pada asal suara serak berat milik Ki Bledek. Pria tua itu mengangguk dengan senyum tipis tercetak di bibir hitamnya. Zavia menghela napas panjang dan memilih kembali fokus pad
Sesaat setelah kujang keluar tubuh Kalajengking mengekang, darah keluar deras dari beberapa lubang yang terdapat pada tubuhnya. Melihat hal itu, tanpa pikir panjang Jagat meluncurkan pukulan mautnya. "Maka hancurlah, Siluman!" Selarik sinar perak melesat masuk ke dalam mulut siluman berkaki banyak tersebut. Bunyi dentuman keras langsung menyeruak hingga ke dunia atas membuat seluruh rakyat terhenyak dan melonjak. Dentuman yang begitu keras dan kuat hingga membuat mayat Albara terangkat ke udara. Melihat mayat suaminya terbang, Arsinta melesat ke udara hendak meraih mayat tersebut. Akan tetapi, sebuah keajaiban muncul, kedua bola mata Albara terbuka. Ini langsung memicu kebahagian terpancar pada wajah sang ratu. "Kau hidup, Bara? Jiwamu terlihat semakin kuat. Apa ini artinya, Albara?"Sang Raja menatap dingin pada ratunya. Sosok pria yang berbeda yang mana Arsinta sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada raga suaminya "Kau salah, Arsinta. Jiwa yang berada dalam tubuh sua
Arsinta bungkam, tetapi dalam hatinya dia tidak rela jika tanah selatan menjadi milik Jagat Kelana. Maka dengan kekuatan tersisa dia melontarkan jurus kuno yang masih tingkat tengah dikuasainya. Dengan segala upaya semua disegerakan untuk sesuatu yang belum pasti akan membawa hasil memuaskan. Namun, sesuatu yang serba disegerakan pasti membawa dampak yang luar biasa. "Apakah kamu yakin akan gunakan semua yang tersisa, Ratu? Lihat keadaan sekitarmu, rakyatmu, putramu, panglima dan yang lainnya sudah mulai merasakan apa yang telah kamu usahakan!" dengus kasar Gayatri. "Diamkan mulut busukmu, berisik!"Setelah menghardik selirnya, Arsihta segera memfokuskan pikirannya. Semua sumber daya yang tersisa dia keluarkan tanpa ada yang dibatasi. Melihat usaha dari Arsinta dan menghidu udara yang berhembus membuat Jagat memusatkan pikirannya pada satu titik. "Ibu, bawa semua yang ada di balik kubah untuk menjauh dari jangkauan seribu depa. Jika memungkinkan waktunya akan lebih baik keluar da
Arsinta masih terfokus pada satu titik lemah yang diperkirakan dimiliki oleh Jagat, tetapi pria muda itu justru terlihat begitu santai dan dingin. Wanita nomer satu di Bumi Seloka begitu menggebu membaca deretan mantra kuno miliknya hingga dia sendiri tidak meyadari kondisi seluruh pasukan dan penghuni istana. Pangeran Kurubumi yang mulai paham akan mantra tersebut mulai memejamkan kedua matanya. Tubuhnya bergeser dan mulai duduk sila menghadap ke barat. Arah yang diyakini tempat Hyang Widi Alam. "Apakah hanya dengan ini semua bisa kembali, Pangeran?" bisik Gayatri. Tanya yang tidak ada jawaban, ketiga tokoh terfokus pada pilihan dan mantra masing-masing. Melihat hal itu, Gayatri makin membuncah dn bergetar hebat tubuhnya hanya sekedar menahan amarah. "Baik, jika kalian bertiga tidak ada yang bergerak maka jangan salahkan aku!"Usai kalimat panjang Gayatri terucap, angin bertiup kencang. Menderu disertai petir dan hujan. Suara hewan malam seakan hilang ditelan gulita. Bahkan bu
Selarik sinar perak melesat tajam berbentuk tombak bermata pisau runcing menembus dada Arsinta. Saat itu juga meluncur sinar warna lainnya melesat dari arah kanan Jagat menyerang perut kanan. Kedua sinar tersebut berhasil menembus tempat sesuai sasaran. Jagat terhenyak melangkah mundur beberapa depa sambil menekan perut mananya yang mulai mengeluarkan darah. "Kau membokongku, Kurubumi?""Dalam peperangan hal ini umum terjadi, Jagat. Semua membela diri tak pedulia keadaan lawan," kolah Kurubumi sambil berlari berusaha menangkap tubuh lemah Arsinta. "Ratu, maafkan aku yang terlambat untuk bergerak!" pinta Kurubumi sambil mengusap sudut bibir Arsinta yang mengeluarkan darah dengan lembut. "Kurubumi, kamu bagai putraku sendiri. Maka bertahanlah dan tata ulang kerajaan kita. Basmi mereka yang berkhianat! Jangan sekali pun kamu beri ruang pada mereka, ingat ini!" Arsinta mengedipkan kelopak matanya, senyumnya melengkung tipis membuat debar jantung Kurubumi bergerak perlahan. "Sudahi bi
Kurubumi menggeram, tangannya mengepal kuat dengan sorot mata tajam menatap Jagat yang berdiri di udar dengan tangan bersedekah. "Bangsat, kau begitu sombong! Lawan jurus terbaruku!"Kurubumi berdiri dengan angkuh dengan tatapan tajam bak sebilah pedang siap menghunus. Melihat sosok teman seperguruan senyum Jagat mengembang tipis. "Apapun jurus yang kamu miliki aku sudah siap. Jangankan nyawaku, kulit ari lenganku pun jauh dari jangkauanmu, Kurubumi."Mendengar kata hinaan membuat Kurubumi memuncak amarahnya. Pria itu dengan kasar meletakkan kepala sang ratu lalu dia bangkit dan langsung berdiri dengan bersilang kaki. Kedua bola mata Kurubumi menyorot merah menandakan emosi yang begitu tinggi. Jagat hanya tersenyum tanpa bergerak sedikit pun. Pertempuran makin panas, Kurubumi tanpa permisi segera melancarkan beberapa pukulan jarak jauhnya. Sinar biru melesat menembus kegelapan malam untuk sampai di tubuh Jagat. "Apakah hanya seperti ini lola serangmu, Kurubu?""Bangsat, kau tampa
Semua telah hancur, Kerajaan Bumi Seloka telah luluh lantak rata dengan tanah. Semua akibat dari perang yang tiada berhenti hingga satu minggu. Para jajaran petinggi kerajaan tidak satu pun yang tersisa. Waktu terus berjalan, Jagat Kelana mulai membuka hutan wilayah selatan kerajaan tersebut. Hanya dalam dua hari dua malam semua tatanan bangunan kerajaan baru telah berdiri. "Bagaimana, Ibu?" Jagat berdiri di atas menara bersama Zavia. Keduanya melayangkan pandang ke seluruh wilayah kerajaan yang baru saja selesai dibangun. "Bagus, ibu suka. Terima kasih.""Apakah masih ada yang kurang?""Heem, bagaimana dengan keputren atau istana ratu? Kapan kamu nikahi Roro Wening?"Deretan pertanyaan sang ibu sama sekali tidak dipedulikan oleh pria muda. Pandangannya masih jauh ke depan, pada ruang dan waktu yang hanya dia tahu. Zavia menoleh pada putranya, terlihat tatapan Jagat sedang tidak pada tempatnya. Perlahan ditepuk baju kanan, "jangan terlalu berpikir, cukup putuskan nikahi atau tidak
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk
Jagat berdiri menatap langit yang masih malu menampakkan sinar mentari. Cuaca hari itu sedikit sendu, seakan membawa angin kesedihan. Roro Wening pun ikut berdiri tetapi dia tidak mengikuti arah pandang suaminya. Wanita nomer satu di Kerajaan Singgalang justru menatap ke arah utara sedangkan suaminya menatap ke arah timur. Dua arah yang berbeda meskipun berjalan pasti tidak akan menemui ujungnya. Keduanya masih diam menatap pada arah tersebut. Angin yang berhembus pun seakan enggan memberi kabar atas cuaca yang tidak bersahabat. "Akankah ada bencana lagi, Suamiku? Ada yang berbeda aroma angin berhembus hari ini," kata Roro Wening. "Sepertinya begitu, Nyai Wening. Semua bisa terjadi yang datang dari berbagai arah." Beberapa saat kemudian, Jagat berbalik melihat sosok istrinya yang sedang hamil lima bulan. Perut Roro Wening sudah terlihat membuncit. Lalu Jagat segera meraih tubuh istrinya dan digendong ala bridal. Dibawanya tubuh sang istri ke dalam sebuah bilik di dekat pendopo.
Jagat terus melangkah tanpa menoleh ke setiap pintu paviliun milik selir-selirnya. Dia terus melangkah hingga sampai di pendopo sunyi tempat biasa dia bermeditasi. Jagat berdiri menatap hamparan tanah hijau dalam gelita malam. Bibirnya tertutup rapat tetapi pikirannya melayang tak tentu arah. Dia mencari alasan mengapa istri gaibnya begitu ingin menjauh kembali setelah sekian lama tak berjumpa dalam dunia nyata. "Mungkin saat ini wanitamu itu sedang ada masalah lagi di Kerajaan gaib miliknya, Pangeran." Suara tua yang sudah lama tidak terdengar di telinga Jagat. "Ki, akhirnya kamu muncul juga setelah lama kita tidak berbincang." "Saya sedang meditasi, Pangeran. Bukankah selama saya pergi semua masih bisa terkendali secara fisik dan rohani?"Jagat menghela napas panjang dan berat. Apalagi sejak kepergian Ki Cadek beberapa waktu lalu setelah kembalinya Ashita, Jagat sering di uji gairah yang sulit terkendali. Dia sadar bahwa selama ini gairahnya seringkali tidak mendapat tempat yan