Selarik sinar perak melesat tajam berbentuk tombak bermata pisau runcing menembus dada Arsinta. Saat itu juga meluncur sinar warna lainnya melesat dari arah kanan Jagat menyerang perut kanan. Kedua sinar tersebut berhasil menembus tempat sesuai sasaran. Jagat terhenyak melangkah mundur beberapa depa sambil menekan perut mananya yang mulai mengeluarkan darah. "Kau membokongku, Kurubumi?""Dalam peperangan hal ini umum terjadi, Jagat. Semua membela diri tak pedulia keadaan lawan," kolah Kurubumi sambil berlari berusaha menangkap tubuh lemah Arsinta. "Ratu, maafkan aku yang terlambat untuk bergerak!" pinta Kurubumi sambil mengusap sudut bibir Arsinta yang mengeluarkan darah dengan lembut. "Kurubumi, kamu bagai putraku sendiri. Maka bertahanlah dan tata ulang kerajaan kita. Basmi mereka yang berkhianat! Jangan sekali pun kamu beri ruang pada mereka, ingat ini!" Arsinta mengedipkan kelopak matanya, senyumnya melengkung tipis membuat debar jantung Kurubumi bergerak perlahan. "Sudahi bi
Kurubumi menggeram, tangannya mengepal kuat dengan sorot mata tajam menatap Jagat yang berdiri di udar dengan tangan bersedekah. "Bangsat, kau begitu sombong! Lawan jurus terbaruku!"Kurubumi berdiri dengan angkuh dengan tatapan tajam bak sebilah pedang siap menghunus. Melihat sosok teman seperguruan senyum Jagat mengembang tipis. "Apapun jurus yang kamu miliki aku sudah siap. Jangankan nyawaku, kulit ari lenganku pun jauh dari jangkauanmu, Kurubumi."Mendengar kata hinaan membuat Kurubumi memuncak amarahnya. Pria itu dengan kasar meletakkan kepala sang ratu lalu dia bangkit dan langsung berdiri dengan bersilang kaki. Kedua bola mata Kurubumi menyorot merah menandakan emosi yang begitu tinggi. Jagat hanya tersenyum tanpa bergerak sedikit pun. Pertempuran makin panas, Kurubumi tanpa permisi segera melancarkan beberapa pukulan jarak jauhnya. Sinar biru melesat menembus kegelapan malam untuk sampai di tubuh Jagat. "Apakah hanya seperti ini lola serangmu, Kurubu?""Bangsat, kau tampa
Semua telah hancur, Kerajaan Bumi Seloka telah luluh lantak rata dengan tanah. Semua akibat dari perang yang tiada berhenti hingga satu minggu. Para jajaran petinggi kerajaan tidak satu pun yang tersisa. Waktu terus berjalan, Jagat Kelana mulai membuka hutan wilayah selatan kerajaan tersebut. Hanya dalam dua hari dua malam semua tatanan bangunan kerajaan baru telah berdiri. "Bagaimana, Ibu?" Jagat berdiri di atas menara bersama Zavia. Keduanya melayangkan pandang ke seluruh wilayah kerajaan yang baru saja selesai dibangun. "Bagus, ibu suka. Terima kasih.""Apakah masih ada yang kurang?""Heem, bagaimana dengan keputren atau istana ratu? Kapan kamu nikahi Roro Wening?"Deretan pertanyaan sang ibu sama sekali tidak dipedulikan oleh pria muda. Pandangannya masih jauh ke depan, pada ruang dan waktu yang hanya dia tahu. Zavia menoleh pada putranya, terlihat tatapan Jagat sedang tidak pada tempatnya. Perlahan ditepuk baju kanan, "jangan terlalu berpikir, cukup putuskan nikahi atau tidak
Jagat memejamkan mata, pikirannya terfokus pada suara yang begitu dekat tetapi seakan jauh. Dia makin tenggelam dalam cakra ajna yang sering digunakan untuk mencari suara gaib. "Aku di sini, Tuan. Sedang di atas bahu Anda." Mendengar jawaban dari pertanyaannya seketika membuat Jagat menghempaskan tubuh Rusa betina yang baru saja dilumpuhkannya, saat tybuh hewan mamalia menyentuh tanah seketika berubah menjadi wanita cantik dengan anak panah menancap pada paham atas. Jagat mundur seketika begitu melihat perubahan wujud sang rusa. Dia menatap heran dengan sosok itu, dalam otaknya muncul pertanyaan bagaimana dan sejak kapan wilayahnya menjadi hunian siluman? "Bagaimana kamu bisa masuk ke wilayah teritorial anti siluman?""Ampuni saya, Tuan. Sejujurnya saya tertarik dengan tanaman di wilayah Anda. Sebagian burung mengabarkan bahwa di sini tanahnya begitu segar sehingga tumbuhan bisa tumbuh dengan baik." Wanita berparas rusa tersebut berhenti, dia mengambil napas dalam dan berulang. "J
Jagat memutuskan untuk semedi di atas lempengan baru cadas. Kedua matanya mulai terpejam dengan pikiran fokus pada satu titik. Pernapasan pun juga mulai teratur sesuai waktu. Selama semedi Jagat senantiasa ditunggui harimau putih perwujudan Ki Cadek. Hewan itu terlihat duduk dengan meluruskan kedua kaki depannya. Meskipun begitu kedua matanya selalu melihat sekitar dan memastikan keadaan majikannya. Angin bertiup perlahan membawa uap panas tanah lapang nan luas, tetapi tidak menyurutkan niat Jagat dalam mencari sosok pemilik gelang aneh. Lama semakin lama, udara mulai berubah. Sinarnya perlahan meredup dengan membawa aroma yang berbeda. Berbagai suara hewan aneh mulai terdengar berdengung di telinga Jagat. Bau-bau wewangian menyapa indera penciuman Jagat dan harimau putih. Bau yang begitu menggoda membuat gerak harimau menjadi risau. "Aroma kawin, ogh." Harimau putih mulai menggeliat menahan hasrat akibat aroma tersebut. Jagat terlihat masih fokus pada tujuannya, sepertinya pria
Sebuah pernyataan yang membuat Jagat mulai ragu, tawaran itu akhirnya memberi keyakinan pada Jagat untuk membuka mata. Perlahan kedua mata Jagat dan harimau putih membuka bersama dengan diiringi deru angin dingin. "Bagaimana dengan tawaranku?" "Ki Lawangbumi?" Suara Ki Cadek tercekat kala menyadari sosok yang berdiri melayang di depan mereka berdua. "Ki Lawangbumi, siapa lelaki ini, Ki?" bisik Jagat. "Dialah pemilik tanah Swara Bumi, kekuasaan tertinggi. Ayah Pangeran!"Jagat menatap takjub pada sosok pria di depannya. Meskipun wujudnya sudah menua dan beruban, tetapi auranya mampu menghancurkan dunia alam lain. "Hatur sembah sungkem ananda, Ayah!""Heem, apakah kamu sudah siap membawa wilayah selatan dalam kebajikan dan kakmuran, Jagat Kelana?""Atas bimbingan Ayah dan sesepuh, saya siap!"Suasana menjadi hening dan syahdu. Pertemuan antara ayah dengan anaknya tanpa diduga berada di dunia lain. Sesuatu yang tidak diharapkan terjadi atas kuasa Hyang Esa. "Bagus, untuk pertama ap
Jagat langsung terhentak, tubuhnya terpental cukup jauh dengan memuncratkan darah segar. Jahat tersungkur dengan muntah darah dan menekan dadanya. "Sepertinya luka dalam, Pangeran.""Iya kamu benar, Ki. Mungkin aku harus ikuti arahan pria tua itu."Dengan susah payah Jagat mulai berdiri lalu berjalan tertatih mengikuti instingnya. Meskipun berjalan seringkali terjungkal, dia terus melanjutkan langkahnya hingga setitik sinar mulai tampak. "Ki, benarkan apa yang tampak jauh di sana?""Sepertinya itu jalan keluar, Pangeran. Segerakan saja!"Sesaat Jagat berhenti melangkah, dia mengatur jalan napasnya dan mulai memfokuskan sumber daya yang masih tersisa. Setelah selesai dengan napas panjang Jagat mulai melangkah lagi. Kali ini dia terlihat mantap menuju ke arah sinar tersebut. Dengan bantuan kujang, Jagat merasa sedikit lebih ringan. Maka, dia pun segera berlari menuju ke arah sinar sebelum menghilang. Sinar menyisakan hanya setitik jarum, Jagat kembali berhenti. Sejenak ada ragu yan
Cukup lama Jagat memindai keseluruhan tubuh lawannya, "ini luar biasa, tidak mungkin hanya dalam waktu singkat ibu Ratu naik level.""Saya juga sependapat dengan Pangeran. Mustahil!" balas Ki Cadek dalam bicara telepati. "Jangan membicarakan orang di dalam hati. Ucapkan saja keraguanmu itu, Bocah Gendeng!" Jagat memilih diam, matanya terpejam sambil mulai merentangkan kedua lengannya ke samping. Bahu sang pendekar bergerak naik turun perlahan untuk mengatur sirkulasi udara dalam rongga dada. "Aku harus rubah strategi agar semua bisa terbuka!" jerit Jagat Pendekar muda itu lebih memilih diam dan kembali duduk dalam semedi. Kedua cakranya mulai dibuka secara perlahan. Tidak hanya itu, kini bibirnya pun juga bergerak aktif meskipun kedua mata masih terpejam. Sinar biru berbaur dengan perak menguar begitu saja dari seluruh tubuh Jagat. Dalam pandangan mata pendekar kuda terlihat jelas sosok wanita yang menyamar sebagai ibunya itu. Dalam tubuh lemah ada beberapa titik yang menyala ber
Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send
Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk