Jagat langsung terhentak, tubuhnya terpental cukup jauh dengan memuncratkan darah segar. Jahat tersungkur dengan muntah darah dan menekan dadanya. "Sepertinya luka dalam, Pangeran.""Iya kamu benar, Ki. Mungkin aku harus ikuti arahan pria tua itu."Dengan susah payah Jagat mulai berdiri lalu berjalan tertatih mengikuti instingnya. Meskipun berjalan seringkali terjungkal, dia terus melanjutkan langkahnya hingga setitik sinar mulai tampak. "Ki, benarkan apa yang tampak jauh di sana?""Sepertinya itu jalan keluar, Pangeran. Segerakan saja!"Sesaat Jagat berhenti melangkah, dia mengatur jalan napasnya dan mulai memfokuskan sumber daya yang masih tersisa. Setelah selesai dengan napas panjang Jagat mulai melangkah lagi. Kali ini dia terlihat mantap menuju ke arah sinar tersebut. Dengan bantuan kujang, Jagat merasa sedikit lebih ringan. Maka, dia pun segera berlari menuju ke arah sinar sebelum menghilang. Sinar menyisakan hanya setitik jarum, Jagat kembali berhenti. Sejenak ada ragu yan
Cukup lama Jagat memindai keseluruhan tubuh lawannya, "ini luar biasa, tidak mungkin hanya dalam waktu singkat ibu Ratu naik level.""Saya juga sependapat dengan Pangeran. Mustahil!" balas Ki Cadek dalam bicara telepati. "Jangan membicarakan orang di dalam hati. Ucapkan saja keraguanmu itu, Bocah Gendeng!" Jagat memilih diam, matanya terpejam sambil mulai merentangkan kedua lengannya ke samping. Bahu sang pendekar bergerak naik turun perlahan untuk mengatur sirkulasi udara dalam rongga dada. "Aku harus rubah strategi agar semua bisa terbuka!" jerit Jagat Pendekar muda itu lebih memilih diam dan kembali duduk dalam semedi. Kedua cakranya mulai dibuka secara perlahan. Tidak hanya itu, kini bibirnya pun juga bergerak aktif meskipun kedua mata masih terpejam. Sinar biru berbaur dengan perak menguar begitu saja dari seluruh tubuh Jagat. Dalam pandangan mata pendekar kuda terlihat jelas sosok wanita yang menyamar sebagai ibunya itu. Dalam tubuh lemah ada beberapa titik yang menyala ber
Jagat telah berada di dua baru nisan dengan nama Galasbumi dan Palastri. Dua nama yang sangat dia hormati baik secara kelinuwigan maupun ilmu kanuragan. Kerena jasa mereka lah hingga saat ini nyawanya masih ada. "Paman dan Bibi, maafkan Jagat yang telah melanggar janji. Semua mungkin harus terjadi dan sudah suratan takdir." Jagat membelai kedua nisan tersebut dengan bibir terus bergerak menyuarakan kegundahan hati. "Mungkin ini keputusan yang begitu mendesak hanya karena memikirkan nasib rakyat jelata lainnya. Mereka juga butuh naungan kerajaan yang kokoh dan makmur," keluh Jagat. "Aku harus segera membuka gerbang kerajaan ini dan mengumumkan nama yang telah tersirat melalui raja terdahulu."Sesaat setelah kalimat Jagat selesai angin seketika berhembus begitu kencang, daun kering dan ranting mulai berterbangan meluncur menuju ke arah Jagat. Namun, pendekar itu hanya duduk diam tanpa bergerak sedikitpun meski ranting tersebut menerpa tubuhnya. Tidak hanya angin yang berubah arah, m
Tepat bulan purnama seluruh rakyat wilayah selatan berkumpul di lapangan utama. Terlihat di atas panggung berdiri tegak Jagat Kelana bersama Zavia. "Wahai rakyat Bumi Seloka yang masih ada, aku berdiri di sini untuk memastikan kesetiaan kalian padaku. Siapkah jika kalian bergabung di kerajaanku?"Seluruh rakyat menjawab serentak siap. Maka saat itu juga kedua lengan Jagat terangkat dengan memegang kujang mata sembilan. "Malam ini di saksikan bulan purnama sempurna, Aku Jagat Kelana membuka dan meresmikan Kerajaan baru bernama SINGGALANG!"Begitu kalimat Jagat selesai, petir menyambar di langit gelap. Suasana yang awalnya terang benderang untuk sesaat gulita. Kemudian, angin bertiup kencang dan dingin. Malam terasa begitu mencekam. Setelah itu, muncul percikan api beraneka warna di langit gelap. Petir yang beraneka warna hasil karya Roro Wening dengan menebar cakra miliknya. Semua rakyat tengadah, lalu termangu melihat keseluruhan langit indah. Kemudian secara bersamaan mereka bers
WaKtu terus berlalu, pendataan rakyat pun telah selesai. Jagat menugaskan Jaka sebagai kepala kasim Kerajaan yang menangani arsip dan kebutuhan pangan seluruh Kerajaan. Pria muda itu terlihat begitu bahagia atas tugas baru, dengan begitu dia merasa berarti dalam hidup sesaat setelah pergi dari Demang sialan itu. "Semua sudah selesai, Raja. Arsip juga kebutuhan pangan para rakyat tercukupi hingga satu minggu ke depan.""Bagus. Mulai esok bagikan benih dan pupuk juga alat tanam pada mereka yang inginkan berladang. Selanjutnya bagikan alat untuk pekerjaan lainnya. Paham!""Siap, Raja. Jaka akan selalu siaga dan setia," jawab Jaka. Setelah merasa semua laporannya selesai, pria muda itu pamit undur diri. Jagat memberi satu kantong koin perak pada Jaka sebagai upah dari hasil kerjanya akhir-akhir ini yang begitu padat. Pemuda itu terlihat semangat melangkah meninggalkan pendopo agung. Sepeninggal Jaka, dari jauh terlihat tiga sosok pria berkemampuan tinggi. Jagat menyadari kedatangan me
Pendekar pedang kembar hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan raja baru tersebut. Pria dengan rambut panjang bergelombang membungkuk penuh hormat. "Saya lebih mengutamakan keselamatan rakyat dan anggota kerajaan, Raja Jagat."Jagat Kelana tersenyum puas, maka dia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju ke pria tersebut. "Baiklah, kamu kuangkat menjadi panglima perang dengan nama Bhalendra.""Terima kasih, Paduka Raja.""Kepala Kasim, datanglah!"Usai perintah Jagat turun, terlihat sosok pria dengan jubah hitam dan memakai topi memanjang ke atas berwarna hitam pula berjalan mendekat. Sampai di depan Jagat dia menunduk memberi hormat, "saya, Rajaku!"Jagat menatap kepala Kasim sesaat, pria yang tidak lain adalah Jaka itu datang dengan membawa sebuah buku catatan. Jagat tersenyum, "catat nama mereka bertiga serta jabatannya ke depan. Setelah itu segera siapkan hunian khusus bagi mereka!"Jaka menulis peristiwa perekrutan pejabat kerajaan sesuai perintah Jagat. Kemudian, dia pamit
"Jangan banyak menduga, kita tunggu saja," kata Ki Bledek. Pria tua berjenggot putih itu berjalan dan duduk sila di depan Jagat. Dengan santai dia mulai membuka butelan kain lusuh yang sejak tadi tersampir di bahunya. Tangannya mengambil bungkusan dan mulai dibuka. Jagat memerhatikan apa isi bungkusan yang dibuka oleh pria tua, saat tahu apa isinya seketika dia bangkit dan berjalan mendekat. "Wah, Ubi bakar!" sorak Jagat sambil tangannya mencomot sebuah. Namun, belum sempat tangan itu berhasil sudah mendapat pukulan. "Enak saja!""Ayolah kawan bagi Ubi bakarnya satu!" rengek Jagat seakan bicara pada teman karib. Zavia menatap heran dengan interaksi keduanya, mereka seakan tidak merasa sungkan dan kesenjangan sosial. "Mengapa bisa luwes begitu?" batin Zavia. "Ayolah, Bhre kasih ke aku satu! Aku begitu berminat dengan Ubi bakar buatanmu," pinta Jagat penuh harap. "Sudah lama kau lupakan aku, Jagat. Bahkan melihatku ke padepokan tidak pernah." Bhre Byatta merengek manja sambil men
Zavia menatap pada wajah tampan Jagat. Bibir tipisnya melengkung sempurna menampilkan kecantikan alami membuat jantung Jagat berdetak lebih cepat. Begitu pula dengan Zavia, dia pun sedang menetralkan semua rasa yang mulai muncul saat kulitnya menyentuh pipi Jagat. Zavia tidak bisa menolak pesona putranya yang sebelas duabelas dengan suaminya saat muda. Setelah menepuk pipi putranya, pandangannya berpaling pada Bhre Byatta. Lalu melangkah mendekat dan berbisik, "apa yang ingin kamu ungkap, Bhre? Semua sudah berlalu."Bhre Byatta mengulum senyum, lalu bibirnya mulai bergerak hingga mengeluarkan suara yang teramat rendah. Sejenak Zavia terdiam, semilir angin menerpa surai rambutnya yang memutih. Angin seakan membawa kabar bahwa akan terjadi sesuatu yang membuat tubuh Zavia bergetar hebat. Namun, wanita itu masih berusaha untuk menolak apa yang dilakukan oleh petapa tua. Semua tidak bisa dikendalikan lagi, angin yang semula hanya perlahan lambat laun mulai berhembus kencang. Sebagian