WaKtu terus berlalu, pendataan rakyat pun telah selesai. Jagat menugaskan Jaka sebagai kepala kasim Kerajaan yang menangani arsip dan kebutuhan pangan seluruh Kerajaan. Pria muda itu terlihat begitu bahagia atas tugas baru, dengan begitu dia merasa berarti dalam hidup sesaat setelah pergi dari Demang sialan itu. "Semua sudah selesai, Raja. Arsip juga kebutuhan pangan para rakyat tercukupi hingga satu minggu ke depan.""Bagus. Mulai esok bagikan benih dan pupuk juga alat tanam pada mereka yang inginkan berladang. Selanjutnya bagikan alat untuk pekerjaan lainnya. Paham!""Siap, Raja. Jaka akan selalu siaga dan setia," jawab Jaka. Setelah merasa semua laporannya selesai, pria muda itu pamit undur diri. Jagat memberi satu kantong koin perak pada Jaka sebagai upah dari hasil kerjanya akhir-akhir ini yang begitu padat. Pemuda itu terlihat semangat melangkah meninggalkan pendopo agung. Sepeninggal Jaka, dari jauh terlihat tiga sosok pria berkemampuan tinggi. Jagat menyadari kedatangan me
Pendekar pedang kembar hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan raja baru tersebut. Pria dengan rambut panjang bergelombang membungkuk penuh hormat. "Saya lebih mengutamakan keselamatan rakyat dan anggota kerajaan, Raja Jagat."Jagat Kelana tersenyum puas, maka dia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju ke pria tersebut. "Baiklah, kamu kuangkat menjadi panglima perang dengan nama Bhalendra.""Terima kasih, Paduka Raja.""Kepala Kasim, datanglah!"Usai perintah Jagat turun, terlihat sosok pria dengan jubah hitam dan memakai topi memanjang ke atas berwarna hitam pula berjalan mendekat. Sampai di depan Jagat dia menunduk memberi hormat, "saya, Rajaku!"Jagat menatap kepala Kasim sesaat, pria yang tidak lain adalah Jaka itu datang dengan membawa sebuah buku catatan. Jagat tersenyum, "catat nama mereka bertiga serta jabatannya ke depan. Setelah itu segera siapkan hunian khusus bagi mereka!"Jaka menulis peristiwa perekrutan pejabat kerajaan sesuai perintah Jagat. Kemudian, dia pamit
"Jangan banyak menduga, kita tunggu saja," kata Ki Bledek. Pria tua berjenggot putih itu berjalan dan duduk sila di depan Jagat. Dengan santai dia mulai membuka butelan kain lusuh yang sejak tadi tersampir di bahunya. Tangannya mengambil bungkusan dan mulai dibuka. Jagat memerhatikan apa isi bungkusan yang dibuka oleh pria tua, saat tahu apa isinya seketika dia bangkit dan berjalan mendekat. "Wah, Ubi bakar!" sorak Jagat sambil tangannya mencomot sebuah. Namun, belum sempat tangan itu berhasil sudah mendapat pukulan. "Enak saja!""Ayolah kawan bagi Ubi bakarnya satu!" rengek Jagat seakan bicara pada teman karib. Zavia menatap heran dengan interaksi keduanya, mereka seakan tidak merasa sungkan dan kesenjangan sosial. "Mengapa bisa luwes begitu?" batin Zavia. "Ayolah, Bhre kasih ke aku satu! Aku begitu berminat dengan Ubi bakar buatanmu," pinta Jagat penuh harap. "Sudah lama kau lupakan aku, Jagat. Bahkan melihatku ke padepokan tidak pernah." Bhre Byatta merengek manja sambil men
Zavia menatap pada wajah tampan Jagat. Bibir tipisnya melengkung sempurna menampilkan kecantikan alami membuat jantung Jagat berdetak lebih cepat. Begitu pula dengan Zavia, dia pun sedang menetralkan semua rasa yang mulai muncul saat kulitnya menyentuh pipi Jagat. Zavia tidak bisa menolak pesona putranya yang sebelas duabelas dengan suaminya saat muda. Setelah menepuk pipi putranya, pandangannya berpaling pada Bhre Byatta. Lalu melangkah mendekat dan berbisik, "apa yang ingin kamu ungkap, Bhre? Semua sudah berlalu."Bhre Byatta mengulum senyum, lalu bibirnya mulai bergerak hingga mengeluarkan suara yang teramat rendah. Sejenak Zavia terdiam, semilir angin menerpa surai rambutnya yang memutih. Angin seakan membawa kabar bahwa akan terjadi sesuatu yang membuat tubuh Zavia bergetar hebat. Namun, wanita itu masih berusaha untuk menolak apa yang dilakukan oleh petapa tua. Semua tidak bisa dikendalikan lagi, angin yang semula hanya perlahan lambat laun mulai berhembus kencang. Sebagian
"Setiap perkara pasti membawa dampak, Jagat. Sebagai pemimpin kamu harus pandai memilah!"Jawaban Zavia membuat kesakitan Jagat makin dalam. Meskipun ada rindu pada wanitanya itu, tetapi rasa benci juga menyelimuti hati Jagat. Dia kecewa dengan hadirnya Akshita dalam hidupnya.Napas raja baru itu terlihat mulai teratur hingga dia akhirnya memilih berjalan menuju ke bangunan khusus miliknya. Zavia hanya menatap kepergian putranya datar, dia pun tidak banyak bersuara. Jagat terus melangkah masuk ke dalam bilik pribadi, direbahkan tubuh lelahnya. Pandangannya lurus ke langit-langit, pikirannya melayang tanpa arah. "Pangeran, tidak baik tenggelam lebih lama dalam masa silam. Segerakan bentuk pemerintahan yang sesuai agar warga sipil aman!"Jagat masih bungkam meskipun inderanya bisa mendengar jelas. Beberapa waktu kemudian matanya terpejam. Seperti rencana semula, pembentukan jajaran petinggi kerajaan akhirnya terselesaikan. Beberapa pendekar pilih tanding duduk di jajaran pemerintahan
Malam yang dingin tidak membuat Jagat segera meninggalkan hutan. Dia masih tenang bersemedi di bawah air terjun Singgalang. Iya, nama Kerajaan baru itu sengaja diambil dari nama air terjun. Bukan karena tidak ada nama lain tetapi tempat itu begitu membawa kenangan tersendiri bagi kelangsungan hidup Jagat Kelana. Cukup lama Jagat bersemedi hingga terlihat bayangan putih dengan rambut tergerai panjang berwarna hitam melayang menuju ke arah Jagat duduk semedi. Aroma yang khas dan familiar masih tidak membuyarkan semedi Jagat. Namun, suara bayangan yang ternyata seorang wanita mampu membuka kedua mata Jagat. "Nyai, aku merindukanmu!" Suara Jagat yang lirih tenggelam oleh arus air terjun. Namun, wanita itu tidak tulis. Dia segera melayang mendekat hingga jaraknya begitu dekat dengan Jagat. Deru napas keduanya saling menyatu. "Aku pun juga merindukanmu, Suamiku. Namun, masih belum waktunya aku ada kembali di sisimu. Maafkan aku, segera nikahi Roro esok hari agar semua segera seimbang!
Sinar mentari menerobos air terjun hingga menyentuh punggung Jagat, hal itu membawa dampak yang sangat besar pada suhu tubuhnya. "Ini, panas. Sebaiknya aku segera berendam!"Jagat bangkit dari posisinya dan berjalan tergesa menuju pintu goa. Namun, dia berhenti sejenak di depan air terjun. Dahinya berkerut, "bagaimana aku bisa masuk ke dalam goa? Pintu keluarnya ternyata langsung pada air terjun."Di melayangkan pandangannya di sekitar, tetapi semua hanya air. Melihat seperti itu, tanpa berpikir lagi Jagat melompat pada ketebalan air terjun. Tubuh kekar Jagat yang berotot melayang terjun bebas dengan mata terpejam. Byuur! "Airnya segar dan hangat."Begitu badannya menyentuh air, saat itu juga Jagat langsung berenang ke segala penjuru. Setelah merasa puas, dia berhenti di atas baru hitam yang besar dan duduk di sana. Jagat duduk sila dengan posisi semedi. Dia mengatur jalan napas dan aliran darahnya, menyeimbangkan inti jiwa dengan inti bumi. Setelah semua seimbang, terlihat bebera
Semua anggota keluarga telah siap, terlihat Zavia memakai pakaian khas ratu. Begitu juga dengan Jagat, dia memakai pakaian berlapis tiga dan berbahan sutra lembut baik bahan ataupun warnanya. Rambut yang dibiarkan tergerai dibingkai mahkota bernuansa gading. Warna yang sangat kontras dengan warna kulit hingga ketampanan nya bersinar membuat seluruh warga terpesona tanpa kecuali. Guru tertua Jagat pun diundang untuk menyaksikan acara sakral tersebut. Terlihat dua sosok tua yang berdiri berdampingan menunggu Jagat berjalan menuju ke tempat pemujaan. Semua melihat kedatangan Jagat Kelana dengan kujang yang terselip di perut kanannya. Kujang yang bersinar gagangnya di sepanjang jalan. "Selamat datang, Raja Jagat Kelana!"Jagat tersenyum dan anggukan kepala menatap satu per satu semua yang hadir hingga sampai pada wajah tua. "Guru, salam sejahtera."Pria tua yang berjuluk Cakra Wardana itu tersenyum, dia berjalan mendekat pada Jagat dan menepuk bahunya. "Kau sudah berhasil memenuhi j
Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send
Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk