Lima tahun telah berlalu, selama itu pemerintahan Jagat berlangsung dengan damai dan sejahtera. Semua kebutuhan rakyat terpenuhi baik materi dan rohani. Di berbagai pelosok wilayah telah dibangun tempat ibadah. Tidak hanya itu pemerintahan Jagat begitu sempurna dalam tatanan kerajaan dan jajaran pejabat pemerintahan. Namun, masih ada yang kurang. Cinta, dalam istana tidak ada cinta. Bahkan jiwa Jagat telah dingin sejak lama. Pesona Roro Wening sama sekali tidak mampu menggeser posisi Akshita di hati sang Raja Singgalang. Hingga Zavia kembali turun tangan mencarikan sosok selur yang lain. "Bagaimana dengan ideku ini, Wening?"Wening terdiam, dia menunduk dalam mendengar keputusan ibu mertuanya mengenai selir baru yang dia calonkan untuk suaminya. "Roro Wening, ibu bertanya padamu?" Zavia berkata penuh penekanan dan menatap tajam pada menantunya. "Meskipun banyak selir yang Ibu Ratu ajukan untuk suamiku, rasanya semua tetap tidak akan tersentuh." Wening menanggapi ingin ibu ratu de
"Katakan dengan jelas padaku, ada apa dengan raja, Dayang!" hentak Wening penuh dengan rasa khawatir. Pelayan itu menunduk, wajahnya begitu cemas dengan keadaan rajanya. "Raja ada di rumah bordir dengan beberapa botol arak Jawa dan perempuan, Selir." Mendengar apa yang dikatakan oleh pelayannya membuat tubuh Wening seketika melemah dan kakinya melangkah mundur sambil tangan menekan dada kuat. "Ini tidak mungkin, suamiku pasti bisa kendalikan hasratnya, Dayang. Apakah ada yang mencurigakan?" "Pada awalnya raja memanggilku hanya untuk mencarikan beberapa botol arak jawa. Lalu saya tidak mengerti mengapa ruangan itu berubah menjadi rumah bordil?" Pelayan itu bercerita dengan nada bingung dengan kondisi yang nyata. Wening tersenyum, dia paham dengan kelakuan suaminya yang terkadang aneh dan absurd itu. Lalu ditepuknya bahu pelayan setianya sambil berjalan berganti arah menuju ke lokasi yang dikatakan oleh pelayan. "Baiklah. Lanjutkan saja pekerjaanmu, masalah raja biar aku
Pagi hari tiba, sinar mentari menerpa wajah tampan Jagat yang terlihat lebih berseri. Keduanya masih terlelap dalam mimpi, bahkan Jagat sendiri tenggelam dalam pelukan wanitanya. "Terima kasih, Sayang. Ternyata suamiku begitu kuat dan memanjakan," ucap Akshita. "Kapan kamu muncul ke permukaan, Aks?"Akshita tersenyum, jemarinya terangkat dan membelai dada bidang Jagat yang terbuka. "Aku tidak perlu muncul selayaknya manusia pada umumnya, Tuanku. Hanya seperti ini yang aku bisa. Memuaskanmu dalam alam bawah sadar."Jagat membalas senyum Akshita, dia membelai surai rambut kekasihnya itu lembut. Kepalanya menunduk mendekat pada wajah Akshita, "kau tahu bahwa hanya nama dan tubuhmu yang terlukis dalam otakku, Aks. Bahkan milikku akan terbangun bila menghidu aroma tubuhmu.""St!" Ujung jari telunjuk Akshita menempel pada bibir Jagat agar prianya itu tidak bersuara lagi. Lalu dia bangkit dari rebahannya dan duduk di pangkuan Jagat. "Jangan mencoba bangunkan Wening, dia terlihat begitu kel
Suasana pendopo agung begitu lengang. Hanya ada Jahat sang penguasa Kerajaan Singgalang. Pria nomer satu itu terlihat duduk termenung di singgasananya. Wajahnya begitu muram seakan ada sesuatu yang mengganggu pikirnya. Bahkan kedatangan selir agung pun tidak dirasakan auranya. Hal yang sulit terjadi, tetapi sang selir masih tetap berjalan anggun menuju ke tempat biasa di duduk. "Salam sejahtera, Rajaku!"Salam santun lolos dengan nada lembut menyapa Jagat Kelana. Namun, pria itu masih menunduk dengan menopang kepalanya. Melihat kegundahan hati suaminya, Senang memilih meneruskan langkahnya hingga naik ke singgasana sang raja. Untuk mencapai singgasana, Wening harus menapaki anak tangga sebanyak sepuluh. Selama ini selir tidak diperkenankan untuk naik dan berdampingan dengan raja, tetapi hari ini wanita itu bertekad untuk menerjang aturan suaminya sendiri. "Jika nyawa menjadi taruhan pun aku ikhlas. Rasanya tidak sanggup jiwa ini melihatmu begitu bimbang dan ragu, Suamiku!" Jerit
Jagat tidak dapat menolak keinginan dua kerajaan sekaligus. Mereka inginkan agar Jagat mau menjadikan wanita meraka sebagai selir, alhasil lagi ini diadakan upacara selir dua sekaligus. Zavia tampak memakai baju kebesaran sebagai ibu suri, dia pun duduk di singgasana khusus untuknya. Sedangkan selir agung duduk di samping kanan ibu suri Sementara sang raja terlihat berdiri di tengah kedua mempelai calon selir. Degan santai Jahat melakukan semua ritual tata cara pengantin hingga tuntas. "Hari ini kalian akan aku anugrahi gelar yang berbeda sesuai dengan ketrampilan kalian. Paham!" tegas Jagat. Kedua perempuan itu mengangguk bersamaan tanpa mengangkat kepala. Lalu Jagat berjalan pada kasim untuk mengambil dua plakat dan diangkatnya. Sesaat Jagat memilah mana yang pas untuk mereka berdua. Jagat berjalan mendekat pada salah satu perempuan yang memakai gaun berwarna dalem lembut, lalu jati Jagat meraih dagu runcing gadis itu. "Siapa namamu, Nyai?""Prameswari, putri Kerajaan Pandan Wa
Mendengar jawaban dari suaminya, Wening terdiam. Dia paham benar akan posisinya sebagai selir agung hanya sebagai jembatan terbukanya jalan sang permaisuri, tetapi ini sudah disuratkan sesuai ramalan para petapa. Wening mengangguk dan berjalan mundur untuk kembali pada posisinya semula. Melihat selir sudah patuh, Jagat pun kembali fokus pada sosok Pitaloka. "Katakan apa yang kamu inginkan?"Pitaloka terdiam, dahinya berkerut. Dia berpikir cepat dan padat agar hasilnya memuaskan untuk kerajaannya. Meskipun pada awalnya identitas yang sesungguhnya disembunyikan dia tidak ingin bersikap ceroboh. "Aku inginkan posisi sebagai selir agung?"Semua yang hadir seketika langsung melotot dan bereaksi yang berbeda. Namun, Jagat masih tetap tenang menghadapi tekanan dan permintaan dari calon selir barunya tersebut. "Jangan lancang mulutmu, Pitaloka!" Hentak punggawa Kerajaan berpangkat panglima. "Saya tidak lancang, Panglima. Ada barang ada harga, dan saya merasa pantas untuk itu." Jagat men
Malam mulai menyapa, suara hewan malam saling bersahutan. Langit gulita tanpa cahaya sedikit pun. Jahat berdiri dia menatap langit. Pikirannya berkelana tanpa arah, hatinya mulai bimbang. Dari lorong istana selir agung terlihat Senang berjalan menghampiri suaminya yang masih saja berdiri bersandar pada pilar lorong. "Suamiku!"Suara yang pelan penuh tenaga menyapa pendengaran Jagat membuat pria itu berbalik badan. Pandangannya tertuju lurus ke lorong itu"Udara malam yang dingin tidak baik untuk kesehatan Anda. Segera masuk ke salah satu selir agar mendapat kehangatan!"Jagat mengikis jaraknya menyambut langkah Wening. Dengan lembut direngkuh bahu istrinya, "apakah kamu mengusir ku, Nyai? Sejak kapan istriku menjadi pencemburu, hem?"Wening mengulum senyum, tangannya terulur membelai dada suaminya. Lalu tubuhnya berputar mengelilingi Jagat dengan telapak tangannya menyusuri dada memutari tubuh atas Jagat. "Apakah ini caramu menahanku, Nyai? Menyentuhku penuh hasrat," tanya Jagat.
"Sebaiknya kamu kembali ke istana milikmu, Nyai Pitaloka. Untuk malam ini aku ingin bersama Prameswari!""Tetapi bukanlah posisiku lebih dulu jadi akulah kakak madunya, Tuanku!" bantah Pitaloka. Mendengar aka yang dikatakan oleh Pitaloka membuat Prameswari mengepalkan tangannya. Dia paham benar akan rayuan wanita berakal bulus itu. Namun, perempuan manis itu tidak berani ungkapkan gejolak hatinya. Paras Jahat yang tampan penuh wibawa membuat dirinya takluk tanpa syarat. Sejak awal dia lah yang tergila-gila dengan paras sang raja muda itu hingga mengusulkan dirinya sebagai selir pada ayahandanya. "Aku tidak mau kalian saling debat dan perebutan hal yang tidak perlu. Aku, meskipun adalah suami kalian di atas kertas tetapi apa yang aku ucapkan adalah mutlak!"Tanpa berkata Pitaloka segera berbalik badan dengan menyertakan kakinya di setiap ayunan. Suara bertemunya sol sepatu dengan lantai membuat Jagat hanya menggelengkan kepala. Lalu, dia pun masuk ke dalam kamar pribadi Prameswari.
Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send
Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk