"Katakan dengan jelas padaku, ada apa dengan raja, Dayang!" hentak Wening penuh dengan rasa khawatir. Pelayan itu menunduk, wajahnya begitu cemas dengan keadaan rajanya. "Raja ada di rumah bordir dengan beberapa botol arak Jawa dan perempuan, Selir." Mendengar apa yang dikatakan oleh pelayannya membuat tubuh Wening seketika melemah dan kakinya melangkah mundur sambil tangan menekan dada kuat. "Ini tidak mungkin, suamiku pasti bisa kendalikan hasratnya, Dayang. Apakah ada yang mencurigakan?" "Pada awalnya raja memanggilku hanya untuk mencarikan beberapa botol arak jawa. Lalu saya tidak mengerti mengapa ruangan itu berubah menjadi rumah bordil?" Pelayan itu bercerita dengan nada bingung dengan kondisi yang nyata. Wening tersenyum, dia paham dengan kelakuan suaminya yang terkadang aneh dan absurd itu. Lalu ditepuknya bahu pelayan setianya sambil berjalan berganti arah menuju ke lokasi yang dikatakan oleh pelayan. "Baiklah. Lanjutkan saja pekerjaanmu, masalah raja biar aku
Pagi hari tiba, sinar mentari menerpa wajah tampan Jagat yang terlihat lebih berseri. Keduanya masih terlelap dalam mimpi, bahkan Jagat sendiri tenggelam dalam pelukan wanitanya. "Terima kasih, Sayang. Ternyata suamiku begitu kuat dan memanjakan," ucap Akshita. "Kapan kamu muncul ke permukaan, Aks?"Akshita tersenyum, jemarinya terangkat dan membelai dada bidang Jagat yang terbuka. "Aku tidak perlu muncul selayaknya manusia pada umumnya, Tuanku. Hanya seperti ini yang aku bisa. Memuaskanmu dalam alam bawah sadar."Jagat membalas senyum Akshita, dia membelai surai rambut kekasihnya itu lembut. Kepalanya menunduk mendekat pada wajah Akshita, "kau tahu bahwa hanya nama dan tubuhmu yang terlukis dalam otakku, Aks. Bahkan milikku akan terbangun bila menghidu aroma tubuhmu.""St!" Ujung jari telunjuk Akshita menempel pada bibir Jagat agar prianya itu tidak bersuara lagi. Lalu dia bangkit dari rebahannya dan duduk di pangkuan Jagat. "Jangan mencoba bangunkan Wening, dia terlihat begitu kel
Suasana pendopo agung begitu lengang. Hanya ada Jahat sang penguasa Kerajaan Singgalang. Pria nomer satu itu terlihat duduk termenung di singgasananya. Wajahnya begitu muram seakan ada sesuatu yang mengganggu pikirnya. Bahkan kedatangan selir agung pun tidak dirasakan auranya. Hal yang sulit terjadi, tetapi sang selir masih tetap berjalan anggun menuju ke tempat biasa di duduk. "Salam sejahtera, Rajaku!"Salam santun lolos dengan nada lembut menyapa Jagat Kelana. Namun, pria itu masih menunduk dengan menopang kepalanya. Melihat kegundahan hati suaminya, Senang memilih meneruskan langkahnya hingga naik ke singgasana sang raja. Untuk mencapai singgasana, Wening harus menapaki anak tangga sebanyak sepuluh. Selama ini selir tidak diperkenankan untuk naik dan berdampingan dengan raja, tetapi hari ini wanita itu bertekad untuk menerjang aturan suaminya sendiri. "Jika nyawa menjadi taruhan pun aku ikhlas. Rasanya tidak sanggup jiwa ini melihatmu begitu bimbang dan ragu, Suamiku!" Jerit
Jagat tidak dapat menolak keinginan dua kerajaan sekaligus. Mereka inginkan agar Jagat mau menjadikan wanita meraka sebagai selir, alhasil lagi ini diadakan upacara selir dua sekaligus. Zavia tampak memakai baju kebesaran sebagai ibu suri, dia pun duduk di singgasana khusus untuknya. Sedangkan selir agung duduk di samping kanan ibu suri Sementara sang raja terlihat berdiri di tengah kedua mempelai calon selir. Degan santai Jahat melakukan semua ritual tata cara pengantin hingga tuntas. "Hari ini kalian akan aku anugrahi gelar yang berbeda sesuai dengan ketrampilan kalian. Paham!" tegas Jagat. Kedua perempuan itu mengangguk bersamaan tanpa mengangkat kepala. Lalu Jagat berjalan pada kasim untuk mengambil dua plakat dan diangkatnya. Sesaat Jagat memilah mana yang pas untuk mereka berdua. Jagat berjalan mendekat pada salah satu perempuan yang memakai gaun berwarna dalem lembut, lalu jati Jagat meraih dagu runcing gadis itu. "Siapa namamu, Nyai?""Prameswari, putri Kerajaan Pandan Wa
Mendengar jawaban dari suaminya, Wening terdiam. Dia paham benar akan posisinya sebagai selir agung hanya sebagai jembatan terbukanya jalan sang permaisuri, tetapi ini sudah disuratkan sesuai ramalan para petapa. Wening mengangguk dan berjalan mundur untuk kembali pada posisinya semula. Melihat selir sudah patuh, Jagat pun kembali fokus pada sosok Pitaloka. "Katakan apa yang kamu inginkan?"Pitaloka terdiam, dahinya berkerut. Dia berpikir cepat dan padat agar hasilnya memuaskan untuk kerajaannya. Meskipun pada awalnya identitas yang sesungguhnya disembunyikan dia tidak ingin bersikap ceroboh. "Aku inginkan posisi sebagai selir agung?"Semua yang hadir seketika langsung melotot dan bereaksi yang berbeda. Namun, Jagat masih tetap tenang menghadapi tekanan dan permintaan dari calon selir barunya tersebut. "Jangan lancang mulutmu, Pitaloka!" Hentak punggawa Kerajaan berpangkat panglima. "Saya tidak lancang, Panglima. Ada barang ada harga, dan saya merasa pantas untuk itu." Jagat men
Malam mulai menyapa, suara hewan malam saling bersahutan. Langit gulita tanpa cahaya sedikit pun. Jahat berdiri dia menatap langit. Pikirannya berkelana tanpa arah, hatinya mulai bimbang. Dari lorong istana selir agung terlihat Senang berjalan menghampiri suaminya yang masih saja berdiri bersandar pada pilar lorong. "Suamiku!"Suara yang pelan penuh tenaga menyapa pendengaran Jagat membuat pria itu berbalik badan. Pandangannya tertuju lurus ke lorong itu"Udara malam yang dingin tidak baik untuk kesehatan Anda. Segera masuk ke salah satu selir agar mendapat kehangatan!"Jagat mengikis jaraknya menyambut langkah Wening. Dengan lembut direngkuh bahu istrinya, "apakah kamu mengusir ku, Nyai? Sejak kapan istriku menjadi pencemburu, hem?"Wening mengulum senyum, tangannya terulur membelai dada suaminya. Lalu tubuhnya berputar mengelilingi Jagat dengan telapak tangannya menyusuri dada memutari tubuh atas Jagat. "Apakah ini caramu menahanku, Nyai? Menyentuhku penuh hasrat," tanya Jagat.
"Sebaiknya kamu kembali ke istana milikmu, Nyai Pitaloka. Untuk malam ini aku ingin bersama Prameswari!""Tetapi bukanlah posisiku lebih dulu jadi akulah kakak madunya, Tuanku!" bantah Pitaloka. Mendengar aka yang dikatakan oleh Pitaloka membuat Prameswari mengepalkan tangannya. Dia paham benar akan rayuan wanita berakal bulus itu. Namun, perempuan manis itu tidak berani ungkapkan gejolak hatinya. Paras Jahat yang tampan penuh wibawa membuat dirinya takluk tanpa syarat. Sejak awal dia lah yang tergila-gila dengan paras sang raja muda itu hingga mengusulkan dirinya sebagai selir pada ayahandanya. "Aku tidak mau kalian saling debat dan perebutan hal yang tidak perlu. Aku, meskipun adalah suami kalian di atas kertas tetapi apa yang aku ucapkan adalah mutlak!"Tanpa berkata Pitaloka segera berbalik badan dengan menyertakan kakinya di setiap ayunan. Suara bertemunya sol sepatu dengan lantai membuat Jagat hanya menggelengkan kepala. Lalu, dia pun masuk ke dalam kamar pribadi Prameswari.
Sinar mentari menerobos celah bambu dinding istana Prameswari. Udara berhembus ringan menyapa wajah tampan Jahat yang masih terlelap dalam tidurnya dengan memeluk tuhuh halus selirnya. Perlahan kedua kelopak matanya terbuka dan mulai memindai sekitar yang terasa asing. Kemudian perlahan dia meletakkan kepala selir keduanya pada bantal agar dia bisa bergerak bebas. Pertama desahan panjang lolos dari bibirnya, lalu kedua lengan terentang agar udara lebih leluasa bergerak di jaringan tubuhnya. "Tuan, ini masih lagi. Sebaiknya Anda tiduran lagi!" Suara manja Prameswari membuat Jagat menoleh ke belakang. Bibir tipis itu melengkung sempurna saat kedua matanya masih mendapati mata selirnya terpejam. "Rupanya hanya mengigau. Maafkan aku, Selirku. Aku harus segera balik ke istana Selir utama!"Usai berpamitan tanpa berniat membangunkan, Jahat segera meraih jubah dan mengenakan sambil jalan menuju ke pintu keluar. Langkahnya terlihat tegas dan mantap teratur menuju ke istana Selir agung.