Mendengar jawaban dari suaminya, Wening terdiam. Dia paham benar akan posisinya sebagai selir agung hanya sebagai jembatan terbukanya jalan sang permaisuri, tetapi ini sudah disuratkan sesuai ramalan para petapa. Wening mengangguk dan berjalan mundur untuk kembali pada posisinya semula. Melihat selir sudah patuh, Jagat pun kembali fokus pada sosok Pitaloka. "Katakan apa yang kamu inginkan?"Pitaloka terdiam, dahinya berkerut. Dia berpikir cepat dan padat agar hasilnya memuaskan untuk kerajaannya. Meskipun pada awalnya identitas yang sesungguhnya disembunyikan dia tidak ingin bersikap ceroboh. "Aku inginkan posisi sebagai selir agung?"Semua yang hadir seketika langsung melotot dan bereaksi yang berbeda. Namun, Jagat masih tetap tenang menghadapi tekanan dan permintaan dari calon selir barunya tersebut. "Jangan lancang mulutmu, Pitaloka!" Hentak punggawa Kerajaan berpangkat panglima. "Saya tidak lancang, Panglima. Ada barang ada harga, dan saya merasa pantas untuk itu." Jagat men
Malam mulai menyapa, suara hewan malam saling bersahutan. Langit gulita tanpa cahaya sedikit pun. Jahat berdiri dia menatap langit. Pikirannya berkelana tanpa arah, hatinya mulai bimbang. Dari lorong istana selir agung terlihat Senang berjalan menghampiri suaminya yang masih saja berdiri bersandar pada pilar lorong. "Suamiku!"Suara yang pelan penuh tenaga menyapa pendengaran Jagat membuat pria itu berbalik badan. Pandangannya tertuju lurus ke lorong itu"Udara malam yang dingin tidak baik untuk kesehatan Anda. Segera masuk ke salah satu selir agar mendapat kehangatan!"Jagat mengikis jaraknya menyambut langkah Wening. Dengan lembut direngkuh bahu istrinya, "apakah kamu mengusir ku, Nyai? Sejak kapan istriku menjadi pencemburu, hem?"Wening mengulum senyum, tangannya terulur membelai dada suaminya. Lalu tubuhnya berputar mengelilingi Jagat dengan telapak tangannya menyusuri dada memutari tubuh atas Jagat. "Apakah ini caramu menahanku, Nyai? Menyentuhku penuh hasrat," tanya Jagat.
"Sebaiknya kamu kembali ke istana milikmu, Nyai Pitaloka. Untuk malam ini aku ingin bersama Prameswari!""Tetapi bukanlah posisiku lebih dulu jadi akulah kakak madunya, Tuanku!" bantah Pitaloka. Mendengar aka yang dikatakan oleh Pitaloka membuat Prameswari mengepalkan tangannya. Dia paham benar akan rayuan wanita berakal bulus itu. Namun, perempuan manis itu tidak berani ungkapkan gejolak hatinya. Paras Jahat yang tampan penuh wibawa membuat dirinya takluk tanpa syarat. Sejak awal dia lah yang tergila-gila dengan paras sang raja muda itu hingga mengusulkan dirinya sebagai selir pada ayahandanya. "Aku tidak mau kalian saling debat dan perebutan hal yang tidak perlu. Aku, meskipun adalah suami kalian di atas kertas tetapi apa yang aku ucapkan adalah mutlak!"Tanpa berkata Pitaloka segera berbalik badan dengan menyertakan kakinya di setiap ayunan. Suara bertemunya sol sepatu dengan lantai membuat Jagat hanya menggelengkan kepala. Lalu, dia pun masuk ke dalam kamar pribadi Prameswari.
Sinar mentari menerobos celah bambu dinding istana Prameswari. Udara berhembus ringan menyapa wajah tampan Jahat yang masih terlelap dalam tidurnya dengan memeluk tuhuh halus selirnya. Perlahan kedua kelopak matanya terbuka dan mulai memindai sekitar yang terasa asing. Kemudian perlahan dia meletakkan kepala selir keduanya pada bantal agar dia bisa bergerak bebas. Pertama desahan panjang lolos dari bibirnya, lalu kedua lengan terentang agar udara lebih leluasa bergerak di jaringan tubuhnya. "Tuan, ini masih lagi. Sebaiknya Anda tiduran lagi!" Suara manja Prameswari membuat Jagat menoleh ke belakang. Bibir tipis itu melengkung sempurna saat kedua matanya masih mendapati mata selirnya terpejam. "Rupanya hanya mengigau. Maafkan aku, Selirku. Aku harus segera balik ke istana Selir utama!"Usai berpamitan tanpa berniat membangunkan, Jahat segera meraih jubah dan mengenakan sambil jalan menuju ke pintu keluar. Langkahnya terlihat tegas dan mantap teratur menuju ke istana Selir agung.
Bagai hewan yang telah dikebiri, langkah Jagat begitu nurut dengan apa yang diucapkan oleh Pitaloka. Dia mengikuti langkah selir itu di belakangnya dengan jemari saling bertaut. Sepanjang jalan senyum Pitaloka tidak pudar meskipun selalu berpapasan dengan prajurit dan para dayang istana. Sementara Jagat terlihat kosong sorot matanya. Entah angin apa hingga membuat raja muda itu mudah dihasut dan dikuasai oleh selirnya. Kriet. Pintu dibuka perlahan oleh Pitaloka, lalu digandengnya suami baru dan dituntun agar segera duduk di kursi berukir lambang ular pada sandarannya. "Duduklah dulu, Kanda!" Usai berkata Pitaloka berjalan menuju pintu dan menutupnya kembali. Pitaloka berjalan lagi menuju ke balik tirai bambu, kemudian muncul hanya dengan mengenakan jubah sutra tipis berwarna putih yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Langkahnya yang pelan penuh daya magis membuat kedua mata Jagat menatap tanpa berkedip. Lekukan tubuh yang pas dan tungkai panjang yang lurus terlihat beg
Prameswari menatap penuh tanya pada sosok Wening yang terlihat tenang tanpa ada gejolak yang mendasar. Bahkan rasa kecewa pun tidak terlihat saat dia mengadu semua perbuatan Pitaloka pada suami mereka. "Apakah Anda tidak cemburu, Yunda Wening?"Wening tersenyum manis, dia menggeleng pelan tanpa mengeluarkan suara. Tangannya terulur untuk meraih gagang teko teh lalu menuangkan pada gelas tembaga kecil dan memberikan pada Prameswari. "Minumlah!"Prameswari meraih gelasnya lalu mulai meneguk perlahan teh tersebut dengan pandangan tertuju pada wajah ayu alami milik Wening. 'Selir secantik dan lembut ini saja masih disisihkan oleh Raja apalagi aku yang buluk ini.'Wening menggerakkan dagunya kearah Prameswari, "apa yang sedang kamu pikirkan, Dinda Prameswari?""Hanya penasaran mengapa selembut Yunda masih sering diabaikan oleh raja?"Kembali bibir Wening melengkung sempurna, "semua ada alasannya, Dinda. Suatu hari nanti akan ada jawaban pada dirimu seiring berjalannya waktu dan interaksi
Jagat berjalan terus menuju ke pendopo agung. Rupanya kehadirannya telah ditunggu oleh beberapa punggawa kerajaan tanpa terkecuali bahkan ibu suri oun ikut hadir. "Salam sejahtera Raja!"Semua punggawa yang hadir menyapa kedatangan Jagat. Sang Raja langsung berjalan menuju ke singgasannya. Sejenak dia menatap seluruh pendopo seakan sedang melihat siapa saja yang tidak hadir. "Bagaimana persiapan kalian semua?" tanya Jagat lantang. Seluruh punggawa menjawab serentak bahwa mereka telah siap berangkat esok pagi. Jawaban ini membuat senyum puas terbit di bibir Jagat. Kemudian dia berpaling pada ibunya yang juga hadir saat itu. "Bagaimana menurut Ibu?""Lanjutkan saja apa yang sudah kamu rencanakan, Anakku. Ibu akan mengawasi dari sini!""Haruskah aku bawa Wening seperti biasanya?"Zavia menatap tajam pada putranya sebagai bentuk penolakan atas usulan itu. Dia tahu apa yang sedang terjadi pada perut menantunya itu maka tidak dibiarkan jika Wening banyak bergerak untuk kemajuan kerajaan
Hari beranjak senja, langkah Jagat terlalu panjang hingga seakan terlihat sedang berjalan di udara. Wajahnya memerah, bahkan mulai mengeluarkan bulir bening. Kain pembungkus dada hampir basah keseluruhan. Napasnya pun mulai tersengal. Dia begitu tergesa mengetuk pintu kamar pribadi Selir Wening. Namun, wanita itu tidak kunjung membukakan pintu. Dia justru berdiri di balik pintu dengan suara lantang menolak kedatangan suaminya. "Wening bantu aku malam ini, bukankah kamu tahu esok hari aku akan berperang cukup lama. Tidakkah kamu ingin melepas rindu dan hasratmu lebih dulu?""Tidak, datanglah ke kamar Prameswari. Janinku sedang tidak ingin bertemu denganmu, Suamiku. Maafkan aku!""Wening, apakah kamu berniat menolakku. Buka dulu pintunya!" Jagat berteriak dengan penuh penekanan, "baik akan ku dobrak pintu ini dan kau tahu apa hasilnya!"Setelah berkata, Jagat pun bersiap untuk mendobrak pintu itu. Dengan mengumpulkan sedikit sumber tenaga, dia mulai fokus pada satu titik dimana dia me