Malam mulai menyapa, suara hewan malam saling bersahutan. Langit gulita tanpa cahaya sedikit pun. Jahat berdiri dia menatap langit. Pikirannya berkelana tanpa arah, hatinya mulai bimbang. Dari lorong istana selir agung terlihat Senang berjalan menghampiri suaminya yang masih saja berdiri bersandar pada pilar lorong. "Suamiku!"Suara yang pelan penuh tenaga menyapa pendengaran Jagat membuat pria itu berbalik badan. Pandangannya tertuju lurus ke lorong itu"Udara malam yang dingin tidak baik untuk kesehatan Anda. Segera masuk ke salah satu selir agar mendapat kehangatan!"Jagat mengikis jaraknya menyambut langkah Wening. Dengan lembut direngkuh bahu istrinya, "apakah kamu mengusir ku, Nyai? Sejak kapan istriku menjadi pencemburu, hem?"Wening mengulum senyum, tangannya terulur membelai dada suaminya. Lalu tubuhnya berputar mengelilingi Jagat dengan telapak tangannya menyusuri dada memutari tubuh atas Jagat. "Apakah ini caramu menahanku, Nyai? Menyentuhku penuh hasrat," tanya Jagat.
"Sebaiknya kamu kembali ke istana milikmu, Nyai Pitaloka. Untuk malam ini aku ingin bersama Prameswari!""Tetapi bukanlah posisiku lebih dulu jadi akulah kakak madunya, Tuanku!" bantah Pitaloka. Mendengar aka yang dikatakan oleh Pitaloka membuat Prameswari mengepalkan tangannya. Dia paham benar akan rayuan wanita berakal bulus itu. Namun, perempuan manis itu tidak berani ungkapkan gejolak hatinya. Paras Jahat yang tampan penuh wibawa membuat dirinya takluk tanpa syarat. Sejak awal dia lah yang tergila-gila dengan paras sang raja muda itu hingga mengusulkan dirinya sebagai selir pada ayahandanya. "Aku tidak mau kalian saling debat dan perebutan hal yang tidak perlu. Aku, meskipun adalah suami kalian di atas kertas tetapi apa yang aku ucapkan adalah mutlak!"Tanpa berkata Pitaloka segera berbalik badan dengan menyertakan kakinya di setiap ayunan. Suara bertemunya sol sepatu dengan lantai membuat Jagat hanya menggelengkan kepala. Lalu, dia pun masuk ke dalam kamar pribadi Prameswari.
Sinar mentari menerobos celah bambu dinding istana Prameswari. Udara berhembus ringan menyapa wajah tampan Jahat yang masih terlelap dalam tidurnya dengan memeluk tuhuh halus selirnya. Perlahan kedua kelopak matanya terbuka dan mulai memindai sekitar yang terasa asing. Kemudian perlahan dia meletakkan kepala selir keduanya pada bantal agar dia bisa bergerak bebas. Pertama desahan panjang lolos dari bibirnya, lalu kedua lengan terentang agar udara lebih leluasa bergerak di jaringan tubuhnya. "Tuan, ini masih lagi. Sebaiknya Anda tiduran lagi!" Suara manja Prameswari membuat Jagat menoleh ke belakang. Bibir tipis itu melengkung sempurna saat kedua matanya masih mendapati mata selirnya terpejam. "Rupanya hanya mengigau. Maafkan aku, Selirku. Aku harus segera balik ke istana Selir utama!"Usai berpamitan tanpa berniat membangunkan, Jahat segera meraih jubah dan mengenakan sambil jalan menuju ke pintu keluar. Langkahnya terlihat tegas dan mantap teratur menuju ke istana Selir agung.
Bagai hewan yang telah dikebiri, langkah Jagat begitu nurut dengan apa yang diucapkan oleh Pitaloka. Dia mengikuti langkah selir itu di belakangnya dengan jemari saling bertaut. Sepanjang jalan senyum Pitaloka tidak pudar meskipun selalu berpapasan dengan prajurit dan para dayang istana. Sementara Jagat terlihat kosong sorot matanya. Entah angin apa hingga membuat raja muda itu mudah dihasut dan dikuasai oleh selirnya. Kriet. Pintu dibuka perlahan oleh Pitaloka, lalu digandengnya suami baru dan dituntun agar segera duduk di kursi berukir lambang ular pada sandarannya. "Duduklah dulu, Kanda!" Usai berkata Pitaloka berjalan menuju pintu dan menutupnya kembali. Pitaloka berjalan lagi menuju ke balik tirai bambu, kemudian muncul hanya dengan mengenakan jubah sutra tipis berwarna putih yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Langkahnya yang pelan penuh daya magis membuat kedua mata Jagat menatap tanpa berkedip. Lekukan tubuh yang pas dan tungkai panjang yang lurus terlihat beg
Prameswari menatap penuh tanya pada sosok Wening yang terlihat tenang tanpa ada gejolak yang mendasar. Bahkan rasa kecewa pun tidak terlihat saat dia mengadu semua perbuatan Pitaloka pada suami mereka. "Apakah Anda tidak cemburu, Yunda Wening?"Wening tersenyum manis, dia menggeleng pelan tanpa mengeluarkan suara. Tangannya terulur untuk meraih gagang teko teh lalu menuangkan pada gelas tembaga kecil dan memberikan pada Prameswari. "Minumlah!"Prameswari meraih gelasnya lalu mulai meneguk perlahan teh tersebut dengan pandangan tertuju pada wajah ayu alami milik Wening. 'Selir secantik dan lembut ini saja masih disisihkan oleh Raja apalagi aku yang buluk ini.'Wening menggerakkan dagunya kearah Prameswari, "apa yang sedang kamu pikirkan, Dinda Prameswari?""Hanya penasaran mengapa selembut Yunda masih sering diabaikan oleh raja?"Kembali bibir Wening melengkung sempurna, "semua ada alasannya, Dinda. Suatu hari nanti akan ada jawaban pada dirimu seiring berjalannya waktu dan interaksi
Jagat berjalan terus menuju ke pendopo agung. Rupanya kehadirannya telah ditunggu oleh beberapa punggawa kerajaan tanpa terkecuali bahkan ibu suri oun ikut hadir. "Salam sejahtera Raja!"Semua punggawa yang hadir menyapa kedatangan Jagat. Sang Raja langsung berjalan menuju ke singgasannya. Sejenak dia menatap seluruh pendopo seakan sedang melihat siapa saja yang tidak hadir. "Bagaimana persiapan kalian semua?" tanya Jagat lantang. Seluruh punggawa menjawab serentak bahwa mereka telah siap berangkat esok pagi. Jawaban ini membuat senyum puas terbit di bibir Jagat. Kemudian dia berpaling pada ibunya yang juga hadir saat itu. "Bagaimana menurut Ibu?""Lanjutkan saja apa yang sudah kamu rencanakan, Anakku. Ibu akan mengawasi dari sini!""Haruskah aku bawa Wening seperti biasanya?"Zavia menatap tajam pada putranya sebagai bentuk penolakan atas usulan itu. Dia tahu apa yang sedang terjadi pada perut menantunya itu maka tidak dibiarkan jika Wening banyak bergerak untuk kemajuan kerajaan
Hari beranjak senja, langkah Jagat terlalu panjang hingga seakan terlihat sedang berjalan di udara. Wajahnya memerah, bahkan mulai mengeluarkan bulir bening. Kain pembungkus dada hampir basah keseluruhan. Napasnya pun mulai tersengal. Dia begitu tergesa mengetuk pintu kamar pribadi Selir Wening. Namun, wanita itu tidak kunjung membukakan pintu. Dia justru berdiri di balik pintu dengan suara lantang menolak kedatangan suaminya. "Wening bantu aku malam ini, bukankah kamu tahu esok hari aku akan berperang cukup lama. Tidakkah kamu ingin melepas rindu dan hasratmu lebih dulu?""Tidak, datanglah ke kamar Prameswari. Janinku sedang tidak ingin bertemu denganmu, Suamiku. Maafkan aku!""Wening, apakah kamu berniat menolakku. Buka dulu pintunya!" Jagat berteriak dengan penuh penekanan, "baik akan ku dobrak pintu ini dan kau tahu apa hasilnya!"Setelah berkata, Jagat pun bersiap untuk mendobrak pintu itu. Dengan mengumpulkan sedikit sumber tenaga, dia mulai fokus pada satu titik dimana dia me
Langkah Wening berhenti di depan pintu berukir bambu milik Prameswari. Tangannya terulur untuk memulai mengetuk pintu, tetapi dihalangi oleh Jagat. Dia menggeleng bermaksud untuk menolak tujuan selirnya itu. "Mengapa, Suamiku?""Aku masih ingin memelukmu, Wening. Tetapi jika kamu ikut aku rela." Jagat menatap penuh harap pada istrinya. "Tidak, ayo masuk sana!" Wening memberi perintah pada suaminya saat pintu dibuka oleh Prameswari. "Dinda, rawat suami kita. Buat dia menjadi siap untuk hadapi peperangan esok hari!"Prameswari menunduk sedikit untuk memberi hormat pada Wening sambil berkata lirih, "baik, Yunda. Terima kasih."Setelah mendengar jawaban Prameswari, Wening pun berbalik badan lalu melangkah meninggalkan ruang pribadi selir madunya. Saat sudah sedikit menjauh, Wening berhenti sejenak. Dia meraba dadanya yang terasa nyeri. Wanita mana yang rela berbagi suami, tetapi Wening pun sadar dengan posisinya yang hanya sebagai pengganti hingga saat itu tiba. "Maafkan langkahku ini
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, semua persiapan sudah selesai, bahkan beberapa sesaji pun telah siap di setiap sudut istana. Jagat sendiri telah siap di atas singgasananya dengam pakaian kebesaran. Tampak di sisi kanannya telah duduk wanita tercantik di Singgalang. Akshita duduk dengan anggun berhias mahkota bermata merah delima yang sesekali memancarkan cahaya berkilauan. Sementara di sisi kiri singgasana Jagat duduk berderet para selir yang dimulai dengan selir utama hingga ke selor tanpa status. Kali ini kedudukan selir tanpa status dimiliki oleh Pitaloka, wanita yang telah berulang kali membuat ulah di dalam istana. Apapun yang dilakukan oleh wanita itu masih saja dimaafkan oleh Jagat mengingat wanita itu adalah sesembahan dari kerajaan kecil yang telah hancur. Roro Wening duduk sambil memangku putranya yang akan dianugrahi nama Pangeran Naga Langit. Berita ini sudah tersebat di seluruh negeri hingga membuat halaman istana dipenuhi oleh warga biasa. Saat ini kerajaan tela
Waktu begitu cepat berganti, sinar mentari masuk kamar Jagat melalui jendela yang terbuka sejak semalam, bahkan tubuh raja Singgalang pun masih tergolek berselimut di atas ranjang berteman sekuntum bunga mawar merah pekat. Prameswari yang melewati jendela kamar tersebut berdiri terdiam untuk beberapa saat lamanya. Pikirannya menerawang penuh tanya. "Tidak biasanya jendela itu terbiar begitu lama. Ada apa gerangan?" Pertanyaan demi pertanyaan menguar begitu saja tanpa ada kejelasan jawaban. Prameswari akhirnya melanjutkan perjalanan, dengan perutnya yang sudah besar membuat wanita itu sedikit kesulitan berjalan. Di tengah perjalanan pandangannya menangkap bayangan wanita cantik sedang bersenandung gending jawa yang dia tidak mengerti. Gerak wanita tersebut begitu familiar dan lembut, senyumnya terlihat lepas tulus. "Siapa wanita itu, wajahnya begitu indah bahkan aroma tubuhnya menguar hingga jauh."Tanpa sadar Prameswari terus melangkah mendekat pada sosok tersebut, bibirnya berger
Untuk sesaat Airlangga masih tenggelam dalam samudra ragu, pemuda itu menatap langit yang telah gulita, hembusan napasnya begitu terdengar berat, seakan membawa beban.Jagat Kelana yang belum bisa memahami apa jalan pikiran putra berdarah silumannya dengan sabar menunggu deretan kata yang mungkin keluar dari untaian kegelisahan.Kembali terdengar hembusan napas berat Airlangga membuat hati Jagat seketika berontak, lalu kepalanya menoleh memindai keseluruhan wajah putranya, dia mencari arti di setiap gurat wajah Airlangga. "Jangan membuat semua menjadi sulit jika jalan termudah itu ada, Putraku. Utarakan saja!"Airlangga menoleh menatap ayah biologisnya yang telah lama dia rindukan sejak kecil. Selama ini, dia hanya mendengar semua kisah pria tersebut dari ibunya tanpa mengenal secara nyata. Perlahan bibir Airlangga melengkung tipis, bahkan hampir tanpa terlihat oleh Jagat. Namun, sebagai seorang ayah Jagat Kelana masih bisa menangkap gerakan tipis bibir itu. "Jika Engkau kecewa den
Hati terus berlalu, waktu silih berganti. Angin pun seakan berhenti meninggalkan jejaknya. Jagat Kelana terlihat gelisah menunggu kelahiran putra Roro Wening.Wajahnya yang tampan mulai berkeringat dingin, tetapi auranya masih begitu memukau. Prameswari masih setia menemani Jagat meskipun dia sendiri juga dalam keadaan lemah akibat hamil muda. "Duduk saja di sini, Tuanku," pinta Prameswari masih dengan nada lembut. "Mengapa lama sekali prosesnya, Prames?""Ini sudah hal yang biasa, apakah masa silam Anda tidak pernah mengerti kelahiran Pangeran Airlangga, Tuanku?"Jagat Kelana menatap sendu pada selirnya, bibirnya bergerak lirih, "sayangnya aku tidak ada saat Airlangga lahir. Apakah sesakit itu?"Prameswari meringis, dia tidak menjawab tanya suaminya. Pendengarannya saja dibuat mati. "Prames, ada apa denganmu?""Tidak, aku hanya belum ingin merasakan sakitnya.""Lalu mengapa ada noda di sana?"Kalimat suaminya seketika membuat wajah Prameswari menjadi pias, dia mencengkeram punggun
Setelah dua hari dua malam akhirnya Jagat Kelana menyudahi pergerakan tubuhnya pada selir agung. Bibir pria itu melengkung sempurna kala melihat hasil perbuatannya pada tubuh indah dengan perut buncit itu. "Maafkan aku, Nyai. Tubuhmu begitu candu hingga hasratku sulit dibendung," ucap Jagat dengan nada rendah sambil meraih tubuh polos istrinya itu. Dua hari dua malam tubuh Roro Wening dihajar oleh Jagat membuat wanita itu terlukai lemah di atas ranjang. Dengan lembut, Jagat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polos istrinya. "Nyai, rasanya aku tidak sanggup bila harus meninggalkan kami sendiri di sini. Tetapi aku harus masuk lagi ke dunia Akshita. Ada entitas yang akan membahayakan dunia fana ini." Jagat berbicara dengan nada rendah cenderung berbisik. Kemudian Jagat berdiri dan meraih jubah kebesarannya, lalu dia keluar kamar pribadi selir agung. Langkahnya yang panjang membawa sampai ke dapur, tanpa suara Jagat langsung mengambil timba berisi air dan membawanya ke kamar
Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send
Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.