Jagat termangu dengan pergerakan selir mudanya, dia tidak menyangka bahwa putri Kerajaan Pandan Wangi yang terkenal pemalu dan hampir tidak pernah keluar rumah ternyata cukup liar saat bersama lawan jenis. Jagat masih membiarkan Prameswari bergerak liar di atas tubuhnya. Dia sama sekali tidak melarang apa yang diperbuat selirnya tersebut. Namun, ada yang berbeda pada wajah Jagat. Dia sama sekali tidak bereaksi meskipun miliknya sudah tegak sempurna. Hal ini membuat Prameswari begitu kecewa. Akhirnya dia memutuskan untuk turun dari atas tubuh Jagat. "Maafkan atas kelancangan saya, Tuanku!" desis Prameswari. "Untuk...?""Karena saya telah menyinggung Anda atas perbuatan saya barusan," jelas Prameswari. "Kau adalah selirku, lalu dimana letak salahmu jika semua bertujuan untuk memuaskan hasratku?"Prameswari tertegun sesaat, dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya berkata seperti itu. Apa yang terjadi malam ini benar diluar dugaannya, sebelum malam dia mendengar bahwa suaminya
Semua ritual keberangkatan seluruh prajurit telah usai. Terlihat sesepuh kerajaan berdiri berjajar menunggu titah Raja Jagat. Sang Raja masih berdiri menunggu kehadiran selir agung. Saat ini Roro Senang masih berkemas membungkus beberapa barang yang akan dia bawakan untuk suaminya selama dalam perjalanan menuju medan perang. "Yunda oh Yunda, segera lah!"Pintu terbuka perlahan menampilkan sosok Wening dengan kebaya merah maroon membuat wajahnya terlihat anggun memesona. "Wah cantik." Prameswari tersenyum lalu segera mengapit lengan kanan Wening dan mengajaknya segera ke lapangan utama dimana kehadirannya sudah dinantikan oleh suami mereka berdua. Pitaloka yang sudah datang di lokasi hanya mencebikkan bibir tipisnya seakan dia jijik melihat keakraban kedua selir tersebut. 'Hanya selir saja sombong. Lihat saja jika aku sudah duduk sebagai permaisuri, kalian lah yang pertama kusingkirkan.'Wening yang sekilas melihat tatapan Pitaloka langsung mengulum senyum manis. Apalagi saat langk
Hari terus berlalu tanpa terasa sudah seminggu pasukan perang kerajaan Singgalang berada di negeri orang. Semua persediaan pangan dan persenjataan sudah menipis membuat Jagat berpikir lebih keras. Malam yang larut dan dingin, dia masih berdiri menatap langit gelap. Bayang kekasihnya muncul dengan membawa bayi laki-laki. Senyum wanita itu begitu menawan hingga membuat tubuh Jagat perlahan naik dan terbang. Sedangkan di belakang terlihat sosok pemuda berbakat yang sudah lama ikut dalam pasukan hanya diam menatap kepergian rajanya. "Jika benar kamu adalah ayahku, maka raihlah bayangan itu dan bawa dia ke bumi?" Pemuda itu berkata sambil tengadah menatap ke langit dimana tubuh Jagat terbang menghampiri sosok wanita berselendang merah. "Raden, apa yang membuat Anda berdiam di sana?" Suara yang pria terdengar oleh pemuda itu, dia pun berbalik badan. Bibirnya mengembang kala melihat sosok pria karya baya dengan tongkat bergagang naga, "Bhre Lokananda, bagaimana bisa hadir?""Ini belum s
Semua prajurit segera melaksanakan apa yang ditetapkan oleh Jagat. Mereka meninggalkan medan perang tanpa menyisakan perbekalan yang berlebih, hanya cukup untuk dua hari. Itu sesuai permintaan sang raja. "Berhati-hatilah selama menempuh perjalanan hutan. Ingat jangan lagi melihat ke belakang apapun yang kalian dengar. Paham!"Seluruh prajurit serentak menjawab paham begitu kalimat Jagat selesai terucap. Ratusan prajurit pilihan Singgalang mulai bergerak menjauh dari medan perang. Jagat melihat pergerakan meraka dari atas dahan. "Apakah ini sudah keputusan final, Pangeran?""Hem. Sudah seharusnya seperti itu, ini adalah pertempuran alam yang berbeda. Bukankah Aku tahu hal ini?""Tetapi apakah benar kerajaan ini sebenarnya milik alam lain?"Jagat tidak menjawab apa yang dilontarkan oleh Ki Cadek, dia paham benar bahwa kalimat itu hanya jebakan belaka. Jagat pun tahu hal ini adalah cara Akshita menguji kepercayaannya selama ini. Jagat menghela napas berat, dia tidak berniat untuk meny
"Apa kabar Jagat Kelana. Kita berjumpa lagi."Jagat terdiam sejenak, suara yang didengarnya cukup familiar di telinga. Namun, hanya suara tanpa wujud. Dia masih mencerna kalimat yang didengar, kemudian seulas senyum terbit di wajahnya seiring angin bertiup lebih kencang. Serangan yang samar berserta angin berhembus masih mampu dibaca oleh Jagat. Tubuhnya hanya meliuk ke kanan untuk menghindari serangan tersebut. "Sensor yang cukup cepat. Tetapi kali ini nyawamu kupastikan melayang!"Usai kalimat lawan terdengar, sabetan pedang datang bertubi-tubi di sertai guruh dan petir. Dengan garak tubuh yang indah Jagat terbang sambil sesekali menegaskan kujangnya.Suara dentuman dan percikan api kecil muncul secara berurutan membuat suasan sekitar menjadi ricuh. Ledakan kecil pun sering terjadi akibat pertemuan dia senjata tajam dengan kekuatan tingkat tinggi. Lawan yang berubah bayangan selalu menghindar cepat tanpa bisa dilihat secara kasar. Jagat sendiri menggunakan indra penciuman untuk
Lima larik sinar bertemu pada satu titik menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat bahkan mampu menghentikan angin untuk sesaat. Tidak hanya itu, beberapa pohon di sekitarnya pun menjadi gosong. Pertempuran tingkat tinggi membuat beberapa pasukan bayangan hitam kelas menengah ke bawah tubuh mereka terpental cukup jauh dengan menyemburkan darah segar. Secara langsung tubuh mereka terlepas dari ilmu bayangan yang ditebar oleh empat pendekar kembar. Jagat yang masih di udara dapat melihat seluruh pasukan bayangan hitam baik yang senior maupun yang junior. Bibirnya melengkung kala seluruh wajah pasukan itu terlihat secara nyata. "Rupanya semua berasal dari Padepokan Tengkorak. Pantas saja!" desis Jagat. Keempat pendekar kembar tubuhnya terpental cukup jauh, tidak hanya itu. Mereka juga muntah darah hitam dan ada beberapa memar di seluruh tubuh. "Sial, sudah lama masih tetap berkuasa saja. Padahal kita telah berguru ke dunia lain." "Benar, Dwipati. Apa sebenarnya yang membua
Perang telah selesai, sesuai prediksi kemenangan ada di tangan Jagat Kelana. Raja muda dari Singgalang itu berdiri menatap pada lokasi peperangan. Terlihat mayat tergeletak sembarangan, bahkan tubuh keempat pendekar tercerai berai. Berserakan ke mana-mana. Dari jauh dapat dilihat oleh Jagat bendera Pandan Wangi mulai dikibarkan. Raja Pandan Wangi--Prabu Amuk Naruto berjalan tertatih dengan dibantu tongkat. Tubuhnya yang renta tidak mampu berjalan tegak. Usia telah membuatnya tidak kuasa untuk memimpin sebuah kerajaan. "Salam sejahtera, Raja Jagat Kelana. Terima kasih atas semua usaha yang Anda berikan pada kerajaan kami. Maaf telah membuatmu repot." Prabu Amuk Naruto membungkukkan badannya berulang kali. Apa yang dilakukan oleh Prabu Amuk membuat Jagat terpaku dan gegas meraih bahunya. "Jangan seperti ini, Ayah Prabu. Saya hanya menantu biasa.""Saya pamit undur diri, selanjutnya semua urusan kerajaan saya serahkan sepenuhnya pada Anda, Raja Jagat!" kata Prabu Amuk. Tanpa berkata
Jagat masih diam menatap kepergian Prabu Amuk Naruto. Dia masih tidak yakin akan pilihan sang Prabu. Meskipun dia adalah menantu raja itu, Jagat tidak mau serakah. "Apakah sebaiknya kusegerakan saja proses keturunan pada rahim Prameswari?""Iya, bilang saja pada Wening. Dia pasti tahu waktu yang pas untuk itu. Saat ini lebih baik kucari lokasi yang ditulis Wening kemarin."Setelah memutuskan semua, Jagat melanjutkan langkahnya mencari sumber air yang memungkinkan menjadi pintu masuk yang dia cari. Sayup terdengar gemericik air yang cukup deras, maka langkahnya makin dipercepat agar segera sampai di lokasi yang dia inginkan itu. Hingga langkahnya masuk ke dalam hutan masih belum menemukan sumber air yang sempat didengarnya. Akhirnya Jagat memilih duduk diam di bawah pohon besar yang rimbun. Dia mengambil sikap semedi. Duduk sila di atas akar yang keluar dan membesar. Lama Jagat mendengarkan semua suara alam untuk mencari jalan menuju sumber air tersebut. Samar terdengar kicau burung
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i
Udara dingin membuat tubuh Roro Wening menggigil parah. Bahkan muncul ruam merah hingga membuat salah satu dayang berlarian di sepanjang lorong peraduan raja. Dayang itu mendengar suara sang Raja berbicara dengan seorang wanita, bahkan suaranya begitu membuat bulu kuduk berdiri. Sebagai wanita dewasa dayang itu pasti paham suara apa yang dia dengar. Namun, dia lebih memilih tetap diam berdiri di depan pintu hingga suara itu menghilang. Cukup lama dayang itu berdiri di sana hingga pintu kamar Raja terbuka menampilkan sosok wanita yang begitu cantik dengan wajah bercahaya. "Masuklah!" Usia berkata wanita itu pergi sambil menarik selendang merahnya hingga membuat tubuhnya terbang. Peristiwa yang langka membuat wanita itu terpana dan takjub. Sungguh kejadian itu teramat langka. Suara Raja yang memanggilnya pun tidak mampu membuatnya lepas meninggalkan pemandangan itu. "Dayang, ada apa hingga larut malam kamu tidak istirahat?" Suara Jagat sudah begitu dekat dengan telinga dayang membu
Hari terus berlalu, kasim yang dipergoki oleh Roro Wening akhirnya dia mengaku mengapa perbuatan itu dilakukan. Dia juga mengaku semua dilakukan hanya untuk mengukur waktu. "Baik, jika semua ini atas perintah Raja sendiri maka mana buktinya?" tanya Nyai Ratu Zavia. Pemuda itu diam dengan kepala menunduk dalam. Dia memang diperintah oleh Raja Jagat tanpa ada surat tertulis. Hal ini membuat bibirnya bungkam, tetapi dalam hati menyalahkan tugas rahasia yang telah terungkap. "Jika untuk mengukur waktu, lalu semua itu atas tujuan apa?""Sebenarnya Raja Jagat Kelana sudah pulang, Ibu Ratu. Tetapi hal ini masih dalam mimpi semua penghuni kerajaan, maka dari itu saya tidak berani ungkap hanya bisa mengulur waktu sesuai perintah."Roro Wening yang melihat cara bercerita pemuda di depannya merasakan aura yang begitu kuat menyebar di ruang pendopo agung. Aura ini begitu familiar. "Baik, apakah dengan begini kamu lah yang akan menikahi selir Pitaloka, begitu?"Pemuda itu masih diam, kedua tan