Langkah Wening berhenti di depan pintu berukir bambu milik Prameswari. Tangannya terulur untuk memulai mengetuk pintu, tetapi dihalangi oleh Jagat. Dia menggeleng bermaksud untuk menolak tujuan selirnya itu. "Mengapa, Suamiku?""Aku masih ingin memelukmu, Wening. Tetapi jika kamu ikut aku rela." Jagat menatap penuh harap pada istrinya. "Tidak, ayo masuk sana!" Wening memberi perintah pada suaminya saat pintu dibuka oleh Prameswari. "Dinda, rawat suami kita. Buat dia menjadi siap untuk hadapi peperangan esok hari!"Prameswari menunduk sedikit untuk memberi hormat pada Wening sambil berkata lirih, "baik, Yunda. Terima kasih."Setelah mendengar jawaban Prameswari, Wening pun berbalik badan lalu melangkah meninggalkan ruang pribadi selir madunya. Saat sudah sedikit menjauh, Wening berhenti sejenak. Dia meraba dadanya yang terasa nyeri. Wanita mana yang rela berbagi suami, tetapi Wening pun sadar dengan posisinya yang hanya sebagai pengganti hingga saat itu tiba. "Maafkan langkahku ini
Jagat termangu dengan pergerakan selir mudanya, dia tidak menyangka bahwa putri Kerajaan Pandan Wangi yang terkenal pemalu dan hampir tidak pernah keluar rumah ternyata cukup liar saat bersama lawan jenis. Jagat masih membiarkan Prameswari bergerak liar di atas tubuhnya. Dia sama sekali tidak melarang apa yang diperbuat selirnya tersebut. Namun, ada yang berbeda pada wajah Jagat. Dia sama sekali tidak bereaksi meskipun miliknya sudah tegak sempurna. Hal ini membuat Prameswari begitu kecewa. Akhirnya dia memutuskan untuk turun dari atas tubuh Jagat. "Maafkan atas kelancangan saya, Tuanku!" desis Prameswari. "Untuk...?""Karena saya telah menyinggung Anda atas perbuatan saya barusan," jelas Prameswari. "Kau adalah selirku, lalu dimana letak salahmu jika semua bertujuan untuk memuaskan hasratku?"Prameswari tertegun sesaat, dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya berkata seperti itu. Apa yang terjadi malam ini benar diluar dugaannya, sebelum malam dia mendengar bahwa suaminya
Semua ritual keberangkatan seluruh prajurit telah usai. Terlihat sesepuh kerajaan berdiri berjajar menunggu titah Raja Jagat. Sang Raja masih berdiri menunggu kehadiran selir agung. Saat ini Roro Senang masih berkemas membungkus beberapa barang yang akan dia bawakan untuk suaminya selama dalam perjalanan menuju medan perang. "Yunda oh Yunda, segera lah!"Pintu terbuka perlahan menampilkan sosok Wening dengan kebaya merah maroon membuat wajahnya terlihat anggun memesona. "Wah cantik." Prameswari tersenyum lalu segera mengapit lengan kanan Wening dan mengajaknya segera ke lapangan utama dimana kehadirannya sudah dinantikan oleh suami mereka berdua. Pitaloka yang sudah datang di lokasi hanya mencebikkan bibir tipisnya seakan dia jijik melihat keakraban kedua selir tersebut. 'Hanya selir saja sombong. Lihat saja jika aku sudah duduk sebagai permaisuri, kalian lah yang pertama kusingkirkan.'Wening yang sekilas melihat tatapan Pitaloka langsung mengulum senyum manis. Apalagi saat langk
Hari terus berlalu tanpa terasa sudah seminggu pasukan perang kerajaan Singgalang berada di negeri orang. Semua persediaan pangan dan persenjataan sudah menipis membuat Jagat berpikir lebih keras. Malam yang larut dan dingin, dia masih berdiri menatap langit gelap. Bayang kekasihnya muncul dengan membawa bayi laki-laki. Senyum wanita itu begitu menawan hingga membuat tubuh Jagat perlahan naik dan terbang. Sedangkan di belakang terlihat sosok pemuda berbakat yang sudah lama ikut dalam pasukan hanya diam menatap kepergian rajanya. "Jika benar kamu adalah ayahku, maka raihlah bayangan itu dan bawa dia ke bumi?" Pemuda itu berkata sambil tengadah menatap ke langit dimana tubuh Jagat terbang menghampiri sosok wanita berselendang merah. "Raden, apa yang membuat Anda berdiam di sana?" Suara yang pria terdengar oleh pemuda itu, dia pun berbalik badan. Bibirnya mengembang kala melihat sosok pria karya baya dengan tongkat bergagang naga, "Bhre Lokananda, bagaimana bisa hadir?""Ini belum s
Semua prajurit segera melaksanakan apa yang ditetapkan oleh Jagat. Mereka meninggalkan medan perang tanpa menyisakan perbekalan yang berlebih, hanya cukup untuk dua hari. Itu sesuai permintaan sang raja. "Berhati-hatilah selama menempuh perjalanan hutan. Ingat jangan lagi melihat ke belakang apapun yang kalian dengar. Paham!"Seluruh prajurit serentak menjawab paham begitu kalimat Jagat selesai terucap. Ratusan prajurit pilihan Singgalang mulai bergerak menjauh dari medan perang. Jagat melihat pergerakan meraka dari atas dahan. "Apakah ini sudah keputusan final, Pangeran?""Hem. Sudah seharusnya seperti itu, ini adalah pertempuran alam yang berbeda. Bukankah Aku tahu hal ini?""Tetapi apakah benar kerajaan ini sebenarnya milik alam lain?"Jagat tidak menjawab apa yang dilontarkan oleh Ki Cadek, dia paham benar bahwa kalimat itu hanya jebakan belaka. Jagat pun tahu hal ini adalah cara Akshita menguji kepercayaannya selama ini. Jagat menghela napas berat, dia tidak berniat untuk meny
"Apa kabar Jagat Kelana. Kita berjumpa lagi."Jagat terdiam sejenak, suara yang didengarnya cukup familiar di telinga. Namun, hanya suara tanpa wujud. Dia masih mencerna kalimat yang didengar, kemudian seulas senyum terbit di wajahnya seiring angin bertiup lebih kencang. Serangan yang samar berserta angin berhembus masih mampu dibaca oleh Jagat. Tubuhnya hanya meliuk ke kanan untuk menghindari serangan tersebut. "Sensor yang cukup cepat. Tetapi kali ini nyawamu kupastikan melayang!"Usai kalimat lawan terdengar, sabetan pedang datang bertubi-tubi di sertai guruh dan petir. Dengan garak tubuh yang indah Jagat terbang sambil sesekali menegaskan kujangnya.Suara dentuman dan percikan api kecil muncul secara berurutan membuat suasan sekitar menjadi ricuh. Ledakan kecil pun sering terjadi akibat pertemuan dia senjata tajam dengan kekuatan tingkat tinggi. Lawan yang berubah bayangan selalu menghindar cepat tanpa bisa dilihat secara kasar. Jagat sendiri menggunakan indra penciuman untuk
Lima larik sinar bertemu pada satu titik menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat bahkan mampu menghentikan angin untuk sesaat. Tidak hanya itu, beberapa pohon di sekitarnya pun menjadi gosong. Pertempuran tingkat tinggi membuat beberapa pasukan bayangan hitam kelas menengah ke bawah tubuh mereka terpental cukup jauh dengan menyemburkan darah segar. Secara langsung tubuh mereka terlepas dari ilmu bayangan yang ditebar oleh empat pendekar kembar. Jagat yang masih di udara dapat melihat seluruh pasukan bayangan hitam baik yang senior maupun yang junior. Bibirnya melengkung kala seluruh wajah pasukan itu terlihat secara nyata. "Rupanya semua berasal dari Padepokan Tengkorak. Pantas saja!" desis Jagat. Keempat pendekar kembar tubuhnya terpental cukup jauh, tidak hanya itu. Mereka juga muntah darah hitam dan ada beberapa memar di seluruh tubuh. "Sial, sudah lama masih tetap berkuasa saja. Padahal kita telah berguru ke dunia lain." "Benar, Dwipati. Apa sebenarnya yang membua
Perang telah selesai, sesuai prediksi kemenangan ada di tangan Jagat Kelana. Raja muda dari Singgalang itu berdiri menatap pada lokasi peperangan. Terlihat mayat tergeletak sembarangan, bahkan tubuh keempat pendekar tercerai berai. Berserakan ke mana-mana. Dari jauh dapat dilihat oleh Jagat bendera Pandan Wangi mulai dikibarkan. Raja Pandan Wangi--Prabu Amuk Naruto berjalan tertatih dengan dibantu tongkat. Tubuhnya yang renta tidak mampu berjalan tegak. Usia telah membuatnya tidak kuasa untuk memimpin sebuah kerajaan. "Salam sejahtera, Raja Jagat Kelana. Terima kasih atas semua usaha yang Anda berikan pada kerajaan kami. Maaf telah membuatmu repot." Prabu Amuk Naruto membungkukkan badannya berulang kali. Apa yang dilakukan oleh Prabu Amuk membuat Jagat terpaku dan gegas meraih bahunya. "Jangan seperti ini, Ayah Prabu. Saya hanya menantu biasa.""Saya pamit undur diri, selanjutnya semua urusan kerajaan saya serahkan sepenuhnya pada Anda, Raja Jagat!" kata Prabu Amuk. Tanpa berkata
Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send
Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk