"Jangan banyak menduga, kita tunggu saja," kata Ki Bledek. Pria tua berjenggot putih itu berjalan dan duduk sila di depan Jagat. Dengan santai dia mulai membuka butelan kain lusuh yang sejak tadi tersampir di bahunya. Tangannya mengambil bungkusan dan mulai dibuka. Jagat memerhatikan apa isi bungkusan yang dibuka oleh pria tua, saat tahu apa isinya seketika dia bangkit dan berjalan mendekat. "Wah, Ubi bakar!" sorak Jagat sambil tangannya mencomot sebuah. Namun, belum sempat tangan itu berhasil sudah mendapat pukulan. "Enak saja!""Ayolah kawan bagi Ubi bakarnya satu!" rengek Jagat seakan bicara pada teman karib. Zavia menatap heran dengan interaksi keduanya, mereka seakan tidak merasa sungkan dan kesenjangan sosial. "Mengapa bisa luwes begitu?" batin Zavia. "Ayolah, Bhre kasih ke aku satu! Aku begitu berminat dengan Ubi bakar buatanmu," pinta Jagat penuh harap. "Sudah lama kau lupakan aku, Jagat. Bahkan melihatku ke padepokan tidak pernah." Bhre Byatta merengek manja sambil men
Zavia menatap pada wajah tampan Jagat. Bibir tipisnya melengkung sempurna menampilkan kecantikan alami membuat jantung Jagat berdetak lebih cepat. Begitu pula dengan Zavia, dia pun sedang menetralkan semua rasa yang mulai muncul saat kulitnya menyentuh pipi Jagat. Zavia tidak bisa menolak pesona putranya yang sebelas duabelas dengan suaminya saat muda. Setelah menepuk pipi putranya, pandangannya berpaling pada Bhre Byatta. Lalu melangkah mendekat dan berbisik, "apa yang ingin kamu ungkap, Bhre? Semua sudah berlalu."Bhre Byatta mengulum senyum, lalu bibirnya mulai bergerak hingga mengeluarkan suara yang teramat rendah. Sejenak Zavia terdiam, semilir angin menerpa surai rambutnya yang memutih. Angin seakan membawa kabar bahwa akan terjadi sesuatu yang membuat tubuh Zavia bergetar hebat. Namun, wanita itu masih berusaha untuk menolak apa yang dilakukan oleh petapa tua. Semua tidak bisa dikendalikan lagi, angin yang semula hanya perlahan lambat laun mulai berhembus kencang. Sebagian
"Setiap perkara pasti membawa dampak, Jagat. Sebagai pemimpin kamu harus pandai memilah!"Jawaban Zavia membuat kesakitan Jagat makin dalam. Meskipun ada rindu pada wanitanya itu, tetapi rasa benci juga menyelimuti hati Jagat. Dia kecewa dengan hadirnya Akshita dalam hidupnya.Napas raja baru itu terlihat mulai teratur hingga dia akhirnya memilih berjalan menuju ke bangunan khusus miliknya. Zavia hanya menatap kepergian putranya datar, dia pun tidak banyak bersuara. Jagat terus melangkah masuk ke dalam bilik pribadi, direbahkan tubuh lelahnya. Pandangannya lurus ke langit-langit, pikirannya melayang tanpa arah. "Pangeran, tidak baik tenggelam lebih lama dalam masa silam. Segerakan bentuk pemerintahan yang sesuai agar warga sipil aman!"Jagat masih bungkam meskipun inderanya bisa mendengar jelas. Beberapa waktu kemudian matanya terpejam. Seperti rencana semula, pembentukan jajaran petinggi kerajaan akhirnya terselesaikan. Beberapa pendekar pilih tanding duduk di jajaran pemerintahan
Malam yang dingin tidak membuat Jagat segera meninggalkan hutan. Dia masih tenang bersemedi di bawah air terjun Singgalang. Iya, nama Kerajaan baru itu sengaja diambil dari nama air terjun. Bukan karena tidak ada nama lain tetapi tempat itu begitu membawa kenangan tersendiri bagi kelangsungan hidup Jagat Kelana. Cukup lama Jagat bersemedi hingga terlihat bayangan putih dengan rambut tergerai panjang berwarna hitam melayang menuju ke arah Jagat duduk semedi. Aroma yang khas dan familiar masih tidak membuyarkan semedi Jagat. Namun, suara bayangan yang ternyata seorang wanita mampu membuka kedua mata Jagat. "Nyai, aku merindukanmu!" Suara Jagat yang lirih tenggelam oleh arus air terjun. Namun, wanita itu tidak tulis. Dia segera melayang mendekat hingga jaraknya begitu dekat dengan Jagat. Deru napas keduanya saling menyatu. "Aku pun juga merindukanmu, Suamiku. Namun, masih belum waktunya aku ada kembali di sisimu. Maafkan aku, segera nikahi Roro esok hari agar semua segera seimbang!
Sinar mentari menerobos air terjun hingga menyentuh punggung Jagat, hal itu membawa dampak yang sangat besar pada suhu tubuhnya. "Ini, panas. Sebaiknya aku segera berendam!"Jagat bangkit dari posisinya dan berjalan tergesa menuju pintu goa. Namun, dia berhenti sejenak di depan air terjun. Dahinya berkerut, "bagaimana aku bisa masuk ke dalam goa? Pintu keluarnya ternyata langsung pada air terjun."Di melayangkan pandangannya di sekitar, tetapi semua hanya air. Melihat seperti itu, tanpa berpikir lagi Jagat melompat pada ketebalan air terjun. Tubuh kekar Jagat yang berotot melayang terjun bebas dengan mata terpejam. Byuur! "Airnya segar dan hangat."Begitu badannya menyentuh air, saat itu juga Jagat langsung berenang ke segala penjuru. Setelah merasa puas, dia berhenti di atas baru hitam yang besar dan duduk di sana. Jagat duduk sila dengan posisi semedi. Dia mengatur jalan napas dan aliran darahnya, menyeimbangkan inti jiwa dengan inti bumi. Setelah semua seimbang, terlihat bebera
Semua anggota keluarga telah siap, terlihat Zavia memakai pakaian khas ratu. Begitu juga dengan Jagat, dia memakai pakaian berlapis tiga dan berbahan sutra lembut baik bahan ataupun warnanya. Rambut yang dibiarkan tergerai dibingkai mahkota bernuansa gading. Warna yang sangat kontras dengan warna kulit hingga ketampanan nya bersinar membuat seluruh warga terpesona tanpa kecuali. Guru tertua Jagat pun diundang untuk menyaksikan acara sakral tersebut. Terlihat dua sosok tua yang berdiri berdampingan menunggu Jagat berjalan menuju ke tempat pemujaan. Semua melihat kedatangan Jagat Kelana dengan kujang yang terselip di perut kanannya. Kujang yang bersinar gagangnya di sepanjang jalan. "Selamat datang, Raja Jagat Kelana!"Jagat tersenyum dan anggukan kepala menatap satu per satu semua yang hadir hingga sampai pada wajah tua. "Guru, salam sejahtera."Pria tua yang berjuluk Cakra Wardana itu tersenyum, dia berjalan mendekat pada Jagat dan menepuk bahunya. "Kau sudah berhasil memenuhi j
Lima tahun telah berlalu, selama itu pemerintahan Jagat berlangsung dengan damai dan sejahtera. Semua kebutuhan rakyat terpenuhi baik materi dan rohani. Di berbagai pelosok wilayah telah dibangun tempat ibadah. Tidak hanya itu pemerintahan Jagat begitu sempurna dalam tatanan kerajaan dan jajaran pejabat pemerintahan. Namun, masih ada yang kurang. Cinta, dalam istana tidak ada cinta. Bahkan jiwa Jagat telah dingin sejak lama. Pesona Roro Wening sama sekali tidak mampu menggeser posisi Akshita di hati sang Raja Singgalang. Hingga Zavia kembali turun tangan mencarikan sosok selur yang lain. "Bagaimana dengan ideku ini, Wening?"Wening terdiam, dia menunduk dalam mendengar keputusan ibu mertuanya mengenai selir baru yang dia calonkan untuk suaminya. "Roro Wening, ibu bertanya padamu?" Zavia berkata penuh penekanan dan menatap tajam pada menantunya. "Meskipun banyak selir yang Ibu Ratu ajukan untuk suamiku, rasanya semua tetap tidak akan tersentuh." Wening menanggapi ingin ibu ratu de
"Katakan dengan jelas padaku, ada apa dengan raja, Dayang!" hentak Wening penuh dengan rasa khawatir. Pelayan itu menunduk, wajahnya begitu cemas dengan keadaan rajanya. "Raja ada di rumah bordir dengan beberapa botol arak Jawa dan perempuan, Selir." Mendengar apa yang dikatakan oleh pelayannya membuat tubuh Wening seketika melemah dan kakinya melangkah mundur sambil tangan menekan dada kuat. "Ini tidak mungkin, suamiku pasti bisa kendalikan hasratnya, Dayang. Apakah ada yang mencurigakan?" "Pada awalnya raja memanggilku hanya untuk mencarikan beberapa botol arak jawa. Lalu saya tidak mengerti mengapa ruangan itu berubah menjadi rumah bordil?" Pelayan itu bercerita dengan nada bingung dengan kondisi yang nyata. Wening tersenyum, dia paham dengan kelakuan suaminya yang terkadang aneh dan absurd itu. Lalu ditepuknya bahu pelayan setianya sambil berjalan berganti arah menuju ke lokasi yang dikatakan oleh pelayan. "Baiklah. Lanjutkan saja pekerjaanmu, masalah raja biar aku
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, semua persiapan sudah selesai, bahkan beberapa sesaji pun telah siap di setiap sudut istana. Jagat sendiri telah siap di atas singgasananya dengam pakaian kebesaran. Tampak di sisi kanannya telah duduk wanita tercantik di Singgalang. Akshita duduk dengan anggun berhias mahkota bermata merah delima yang sesekali memancarkan cahaya berkilauan. Sementara di sisi kiri singgasana Jagat duduk berderet para selir yang dimulai dengan selir utama hingga ke selor tanpa status. Kali ini kedudukan selir tanpa status dimiliki oleh Pitaloka, wanita yang telah berulang kali membuat ulah di dalam istana. Apapun yang dilakukan oleh wanita itu masih saja dimaafkan oleh Jagat mengingat wanita itu adalah sesembahan dari kerajaan kecil yang telah hancur. Roro Wening duduk sambil memangku putranya yang akan dianugrahi nama Pangeran Naga Langit. Berita ini sudah tersebat di seluruh negeri hingga membuat halaman istana dipenuhi oleh warga biasa. Saat ini kerajaan tela
Waktu begitu cepat berganti, sinar mentari masuk kamar Jagat melalui jendela yang terbuka sejak semalam, bahkan tubuh raja Singgalang pun masih tergolek berselimut di atas ranjang berteman sekuntum bunga mawar merah pekat. Prameswari yang melewati jendela kamar tersebut berdiri terdiam untuk beberapa saat lamanya. Pikirannya menerawang penuh tanya. "Tidak biasanya jendela itu terbiar begitu lama. Ada apa gerangan?" Pertanyaan demi pertanyaan menguar begitu saja tanpa ada kejelasan jawaban. Prameswari akhirnya melanjutkan perjalanan, dengan perutnya yang sudah besar membuat wanita itu sedikit kesulitan berjalan. Di tengah perjalanan pandangannya menangkap bayangan wanita cantik sedang bersenandung gending jawa yang dia tidak mengerti. Gerak wanita tersebut begitu familiar dan lembut, senyumnya terlihat lepas tulus. "Siapa wanita itu, wajahnya begitu indah bahkan aroma tubuhnya menguar hingga jauh."Tanpa sadar Prameswari terus melangkah mendekat pada sosok tersebut, bibirnya berger
Untuk sesaat Airlangga masih tenggelam dalam samudra ragu, pemuda itu menatap langit yang telah gulita, hembusan napasnya begitu terdengar berat, seakan membawa beban.Jagat Kelana yang belum bisa memahami apa jalan pikiran putra berdarah silumannya dengan sabar menunggu deretan kata yang mungkin keluar dari untaian kegelisahan.Kembali terdengar hembusan napas berat Airlangga membuat hati Jagat seketika berontak, lalu kepalanya menoleh memindai keseluruhan wajah putranya, dia mencari arti di setiap gurat wajah Airlangga. "Jangan membuat semua menjadi sulit jika jalan termudah itu ada, Putraku. Utarakan saja!"Airlangga menoleh menatap ayah biologisnya yang telah lama dia rindukan sejak kecil. Selama ini, dia hanya mendengar semua kisah pria tersebut dari ibunya tanpa mengenal secara nyata. Perlahan bibir Airlangga melengkung tipis, bahkan hampir tanpa terlihat oleh Jagat. Namun, sebagai seorang ayah Jagat Kelana masih bisa menangkap gerakan tipis bibir itu. "Jika Engkau kecewa den
Hati terus berlalu, waktu silih berganti. Angin pun seakan berhenti meninggalkan jejaknya. Jagat Kelana terlihat gelisah menunggu kelahiran putra Roro Wening.Wajahnya yang tampan mulai berkeringat dingin, tetapi auranya masih begitu memukau. Prameswari masih setia menemani Jagat meskipun dia sendiri juga dalam keadaan lemah akibat hamil muda. "Duduk saja di sini, Tuanku," pinta Prameswari masih dengan nada lembut. "Mengapa lama sekali prosesnya, Prames?""Ini sudah hal yang biasa, apakah masa silam Anda tidak pernah mengerti kelahiran Pangeran Airlangga, Tuanku?"Jagat Kelana menatap sendu pada selirnya, bibirnya bergerak lirih, "sayangnya aku tidak ada saat Airlangga lahir. Apakah sesakit itu?"Prameswari meringis, dia tidak menjawab tanya suaminya. Pendengarannya saja dibuat mati. "Prames, ada apa denganmu?""Tidak, aku hanya belum ingin merasakan sakitnya.""Lalu mengapa ada noda di sana?"Kalimat suaminya seketika membuat wajah Prameswari menjadi pias, dia mencengkeram punggun
Setelah dua hari dua malam akhirnya Jagat Kelana menyudahi pergerakan tubuhnya pada selir agung. Bibir pria itu melengkung sempurna kala melihat hasil perbuatannya pada tubuh indah dengan perut buncit itu. "Maafkan aku, Nyai. Tubuhmu begitu candu hingga hasratku sulit dibendung," ucap Jagat dengan nada rendah sambil meraih tubuh polos istrinya itu. Dua hari dua malam tubuh Roro Wening dihajar oleh Jagat membuat wanita itu terlukai lemah di atas ranjang. Dengan lembut, Jagat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polos istrinya. "Nyai, rasanya aku tidak sanggup bila harus meninggalkan kami sendiri di sini. Tetapi aku harus masuk lagi ke dunia Akshita. Ada entitas yang akan membahayakan dunia fana ini." Jagat berbicara dengan nada rendah cenderung berbisik. Kemudian Jagat berdiri dan meraih jubah kebesarannya, lalu dia keluar kamar pribadi selir agung. Langkahnya yang panjang membawa sampai ke dapur, tanpa suara Jagat langsung mengambil timba berisi air dan membawanya ke kamar
Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send
Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.