Pendekar pedang kembar hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaan raja baru tersebut. Pria dengan rambut panjang bergelombang membungkuk penuh hormat. "Saya lebih mengutamakan keselamatan rakyat dan anggota kerajaan, Raja Jagat."Jagat Kelana tersenyum puas, maka dia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju ke pria tersebut. "Baiklah, kamu kuangkat menjadi panglima perang dengan nama Bhalendra.""Terima kasih, Paduka Raja.""Kepala Kasim, datanglah!"Usai perintah Jagat turun, terlihat sosok pria dengan jubah hitam dan memakai topi memanjang ke atas berwarna hitam pula berjalan mendekat. Sampai di depan Jagat dia menunduk memberi hormat, "saya, Rajaku!"Jagat menatap kepala Kasim sesaat, pria yang tidak lain adalah Jaka itu datang dengan membawa sebuah buku catatan. Jagat tersenyum, "catat nama mereka bertiga serta jabatannya ke depan. Setelah itu segera siapkan hunian khusus bagi mereka!"Jaka menulis peristiwa perekrutan pejabat kerajaan sesuai perintah Jagat. Kemudian, dia pamit
"Jangan banyak menduga, kita tunggu saja," kata Ki Bledek. Pria tua berjenggot putih itu berjalan dan duduk sila di depan Jagat. Dengan santai dia mulai membuka butelan kain lusuh yang sejak tadi tersampir di bahunya. Tangannya mengambil bungkusan dan mulai dibuka. Jagat memerhatikan apa isi bungkusan yang dibuka oleh pria tua, saat tahu apa isinya seketika dia bangkit dan berjalan mendekat. "Wah, Ubi bakar!" sorak Jagat sambil tangannya mencomot sebuah. Namun, belum sempat tangan itu berhasil sudah mendapat pukulan. "Enak saja!""Ayolah kawan bagi Ubi bakarnya satu!" rengek Jagat seakan bicara pada teman karib. Zavia menatap heran dengan interaksi keduanya, mereka seakan tidak merasa sungkan dan kesenjangan sosial. "Mengapa bisa luwes begitu?" batin Zavia. "Ayolah, Bhre kasih ke aku satu! Aku begitu berminat dengan Ubi bakar buatanmu," pinta Jagat penuh harap. "Sudah lama kau lupakan aku, Jagat. Bahkan melihatku ke padepokan tidak pernah." Bhre Byatta merengek manja sambil men
Zavia menatap pada wajah tampan Jagat. Bibir tipisnya melengkung sempurna menampilkan kecantikan alami membuat jantung Jagat berdetak lebih cepat. Begitu pula dengan Zavia, dia pun sedang menetralkan semua rasa yang mulai muncul saat kulitnya menyentuh pipi Jagat. Zavia tidak bisa menolak pesona putranya yang sebelas duabelas dengan suaminya saat muda. Setelah menepuk pipi putranya, pandangannya berpaling pada Bhre Byatta. Lalu melangkah mendekat dan berbisik, "apa yang ingin kamu ungkap, Bhre? Semua sudah berlalu."Bhre Byatta mengulum senyum, lalu bibirnya mulai bergerak hingga mengeluarkan suara yang teramat rendah. Sejenak Zavia terdiam, semilir angin menerpa surai rambutnya yang memutih. Angin seakan membawa kabar bahwa akan terjadi sesuatu yang membuat tubuh Zavia bergetar hebat. Namun, wanita itu masih berusaha untuk menolak apa yang dilakukan oleh petapa tua. Semua tidak bisa dikendalikan lagi, angin yang semula hanya perlahan lambat laun mulai berhembus kencang. Sebagian
"Setiap perkara pasti membawa dampak, Jagat. Sebagai pemimpin kamu harus pandai memilah!"Jawaban Zavia membuat kesakitan Jagat makin dalam. Meskipun ada rindu pada wanitanya itu, tetapi rasa benci juga menyelimuti hati Jagat. Dia kecewa dengan hadirnya Akshita dalam hidupnya.Napas raja baru itu terlihat mulai teratur hingga dia akhirnya memilih berjalan menuju ke bangunan khusus miliknya. Zavia hanya menatap kepergian putranya datar, dia pun tidak banyak bersuara. Jagat terus melangkah masuk ke dalam bilik pribadi, direbahkan tubuh lelahnya. Pandangannya lurus ke langit-langit, pikirannya melayang tanpa arah. "Pangeran, tidak baik tenggelam lebih lama dalam masa silam. Segerakan bentuk pemerintahan yang sesuai agar warga sipil aman!"Jagat masih bungkam meskipun inderanya bisa mendengar jelas. Beberapa waktu kemudian matanya terpejam. Seperti rencana semula, pembentukan jajaran petinggi kerajaan akhirnya terselesaikan. Beberapa pendekar pilih tanding duduk di jajaran pemerintahan
Malam yang dingin tidak membuat Jagat segera meninggalkan hutan. Dia masih tenang bersemedi di bawah air terjun Singgalang. Iya, nama Kerajaan baru itu sengaja diambil dari nama air terjun. Bukan karena tidak ada nama lain tetapi tempat itu begitu membawa kenangan tersendiri bagi kelangsungan hidup Jagat Kelana. Cukup lama Jagat bersemedi hingga terlihat bayangan putih dengan rambut tergerai panjang berwarna hitam melayang menuju ke arah Jagat duduk semedi. Aroma yang khas dan familiar masih tidak membuyarkan semedi Jagat. Namun, suara bayangan yang ternyata seorang wanita mampu membuka kedua mata Jagat. "Nyai, aku merindukanmu!" Suara Jagat yang lirih tenggelam oleh arus air terjun. Namun, wanita itu tidak tulis. Dia segera melayang mendekat hingga jaraknya begitu dekat dengan Jagat. Deru napas keduanya saling menyatu. "Aku pun juga merindukanmu, Suamiku. Namun, masih belum waktunya aku ada kembali di sisimu. Maafkan aku, segera nikahi Roro esok hari agar semua segera seimbang!
Sinar mentari menerobos air terjun hingga menyentuh punggung Jagat, hal itu membawa dampak yang sangat besar pada suhu tubuhnya. "Ini, panas. Sebaiknya aku segera berendam!"Jagat bangkit dari posisinya dan berjalan tergesa menuju pintu goa. Namun, dia berhenti sejenak di depan air terjun. Dahinya berkerut, "bagaimana aku bisa masuk ke dalam goa? Pintu keluarnya ternyata langsung pada air terjun."Di melayangkan pandangannya di sekitar, tetapi semua hanya air. Melihat seperti itu, tanpa berpikir lagi Jagat melompat pada ketebalan air terjun. Tubuh kekar Jagat yang berotot melayang terjun bebas dengan mata terpejam. Byuur! "Airnya segar dan hangat."Begitu badannya menyentuh air, saat itu juga Jagat langsung berenang ke segala penjuru. Setelah merasa puas, dia berhenti di atas baru hitam yang besar dan duduk di sana. Jagat duduk sila dengan posisi semedi. Dia mengatur jalan napas dan aliran darahnya, menyeimbangkan inti jiwa dengan inti bumi. Setelah semua seimbang, terlihat bebera
Semua anggota keluarga telah siap, terlihat Zavia memakai pakaian khas ratu. Begitu juga dengan Jagat, dia memakai pakaian berlapis tiga dan berbahan sutra lembut baik bahan ataupun warnanya. Rambut yang dibiarkan tergerai dibingkai mahkota bernuansa gading. Warna yang sangat kontras dengan warna kulit hingga ketampanan nya bersinar membuat seluruh warga terpesona tanpa kecuali. Guru tertua Jagat pun diundang untuk menyaksikan acara sakral tersebut. Terlihat dua sosok tua yang berdiri berdampingan menunggu Jagat berjalan menuju ke tempat pemujaan. Semua melihat kedatangan Jagat Kelana dengan kujang yang terselip di perut kanannya. Kujang yang bersinar gagangnya di sepanjang jalan. "Selamat datang, Raja Jagat Kelana!"Jagat tersenyum dan anggukan kepala menatap satu per satu semua yang hadir hingga sampai pada wajah tua. "Guru, salam sejahtera."Pria tua yang berjuluk Cakra Wardana itu tersenyum, dia berjalan mendekat pada Jagat dan menepuk bahunya. "Kau sudah berhasil memenuhi j
Lima tahun telah berlalu, selama itu pemerintahan Jagat berlangsung dengan damai dan sejahtera. Semua kebutuhan rakyat terpenuhi baik materi dan rohani. Di berbagai pelosok wilayah telah dibangun tempat ibadah. Tidak hanya itu pemerintahan Jagat begitu sempurna dalam tatanan kerajaan dan jajaran pejabat pemerintahan. Namun, masih ada yang kurang. Cinta, dalam istana tidak ada cinta. Bahkan jiwa Jagat telah dingin sejak lama. Pesona Roro Wening sama sekali tidak mampu menggeser posisi Akshita di hati sang Raja Singgalang. Hingga Zavia kembali turun tangan mencarikan sosok selur yang lain. "Bagaimana dengan ideku ini, Wening?"Wening terdiam, dia menunduk dalam mendengar keputusan ibu mertuanya mengenai selir baru yang dia calonkan untuk suaminya. "Roro Wening, ibu bertanya padamu?" Zavia berkata penuh penekanan dan menatap tajam pada menantunya. "Meskipun banyak selir yang Ibu Ratu ajukan untuk suamiku, rasanya semua tetap tidak akan tersentuh." Wening menanggapi ingin ibu ratu de
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk
Jagat berdiri menatap langit yang masih malu menampakkan sinar mentari. Cuaca hari itu sedikit sendu, seakan membawa angin kesedihan. Roro Wening pun ikut berdiri tetapi dia tidak mengikuti arah pandang suaminya. Wanita nomer satu di Kerajaan Singgalang justru menatap ke arah utara sedangkan suaminya menatap ke arah timur. Dua arah yang berbeda meskipun berjalan pasti tidak akan menemui ujungnya. Keduanya masih diam menatap pada arah tersebut. Angin yang berhembus pun seakan enggan memberi kabar atas cuaca yang tidak bersahabat. "Akankah ada bencana lagi, Suamiku? Ada yang berbeda aroma angin berhembus hari ini," kata Roro Wening. "Sepertinya begitu, Nyai Wening. Semua bisa terjadi yang datang dari berbagai arah." Beberapa saat kemudian, Jagat berbalik melihat sosok istrinya yang sedang hamil lima bulan. Perut Roro Wening sudah terlihat membuncit. Lalu Jagat segera meraih tubuh istrinya dan digendong ala bridal. Dibawanya tubuh sang istri ke dalam sebuah bilik di dekat pendopo.
Jagat terus melangkah tanpa menoleh ke setiap pintu paviliun milik selir-selirnya. Dia terus melangkah hingga sampai di pendopo sunyi tempat biasa dia bermeditasi. Jagat berdiri menatap hamparan tanah hijau dalam gelita malam. Bibirnya tertutup rapat tetapi pikirannya melayang tak tentu arah. Dia mencari alasan mengapa istri gaibnya begitu ingin menjauh kembali setelah sekian lama tak berjumpa dalam dunia nyata. "Mungkin saat ini wanitamu itu sedang ada masalah lagi di Kerajaan gaib miliknya, Pangeran." Suara tua yang sudah lama tidak terdengar di telinga Jagat. "Ki, akhirnya kamu muncul juga setelah lama kita tidak berbincang." "Saya sedang meditasi, Pangeran. Bukankah selama saya pergi semua masih bisa terkendali secara fisik dan rohani?"Jagat menghela napas panjang dan berat. Apalagi sejak kepergian Ki Cadek beberapa waktu lalu setelah kembalinya Ashita, Jagat sering di uji gairah yang sulit terkendali. Dia sadar bahwa selama ini gairahnya seringkali tidak mendapat tempat yan
Jagat masih diam menatap wajah istrinya, dia seakan tidak pernah puas bila memandang wajah Akshita. Meskipun ada banyak wanita yang selalu menemani perjalanan hidupnya tetap Akshita yang menjadi penghias mimpinya. "Apakah masih kurang apa yang aku beri padamu selama ini, Aks. Hingga kau harus pergi lagi?"Akshita mengurai pelukan suaminya, lalu dia berjalan menuju ke tengah taman. Dia berdiri di tengah dengan kepala mendongak ke atas melihat pada sinar bulan yang malu. Jagat berjalan mendekat, dia mengikuti arah pandang istrinya. Namun, dia tidak menemukan sesuatu hal yang menarik di atas sana. Kedua tangannya kembali meriah pinggang istrinya dan mendekap erat. "Aku sulit untuk melupakan semua tentangmu meskipun sudah ada beberapa selir yang hangatkan ranjangku, Aks. Pesonamu tidak tergantikan," bisik Jagat diujung telinga Akshita. Wanita itu meletakkan kepalanya pada bahu Jagat dengan pandangan masih ke atas. Bibir tipisnya mengembang dengan mengeluarkan suara yang sangat rendah,
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y