Arsinta bungkam, tetapi dalam hatinya dia tidak rela jika tanah selatan menjadi milik Jagat Kelana. Maka dengan kekuatan tersisa dia melontarkan jurus kuno yang masih tingkat tengah dikuasainya. Dengan segala upaya semua disegerakan untuk sesuatu yang belum pasti akan membawa hasil memuaskan. Namun, sesuatu yang serba disegerakan pasti membawa dampak yang luar biasa. "Apakah kamu yakin akan gunakan semua yang tersisa, Ratu? Lihat keadaan sekitarmu, rakyatmu, putramu, panglima dan yang lainnya sudah mulai merasakan apa yang telah kamu usahakan!" dengus kasar Gayatri. "Diamkan mulut busukmu, berisik!"Setelah menghardik selirnya, Arsihta segera memfokuskan pikirannya. Semua sumber daya yang tersisa dia keluarkan tanpa ada yang dibatasi. Melihat usaha dari Arsinta dan menghidu udara yang berhembus membuat Jagat memusatkan pikirannya pada satu titik. "Ibu, bawa semua yang ada di balik kubah untuk menjauh dari jangkauan seribu depa. Jika memungkinkan waktunya akan lebih baik keluar da
Arsinta masih terfokus pada satu titik lemah yang diperkirakan dimiliki oleh Jagat, tetapi pria muda itu justru terlihat begitu santai dan dingin. Wanita nomer satu di Bumi Seloka begitu menggebu membaca deretan mantra kuno miliknya hingga dia sendiri tidak meyadari kondisi seluruh pasukan dan penghuni istana. Pangeran Kurubumi yang mulai paham akan mantra tersebut mulai memejamkan kedua matanya. Tubuhnya bergeser dan mulai duduk sila menghadap ke barat. Arah yang diyakini tempat Hyang Widi Alam. "Apakah hanya dengan ini semua bisa kembali, Pangeran?" bisik Gayatri. Tanya yang tidak ada jawaban, ketiga tokoh terfokus pada pilihan dan mantra masing-masing. Melihat hal itu, Gayatri makin membuncah dn bergetar hebat tubuhnya hanya sekedar menahan amarah. "Baik, jika kalian bertiga tidak ada yang bergerak maka jangan salahkan aku!"Usai kalimat panjang Gayatri terucap, angin bertiup kencang. Menderu disertai petir dan hujan. Suara hewan malam seakan hilang ditelan gulita. Bahkan bu
Selarik sinar perak melesat tajam berbentuk tombak bermata pisau runcing menembus dada Arsinta. Saat itu juga meluncur sinar warna lainnya melesat dari arah kanan Jagat menyerang perut kanan. Kedua sinar tersebut berhasil menembus tempat sesuai sasaran. Jagat terhenyak melangkah mundur beberapa depa sambil menekan perut mananya yang mulai mengeluarkan darah. "Kau membokongku, Kurubumi?""Dalam peperangan hal ini umum terjadi, Jagat. Semua membela diri tak pedulia keadaan lawan," kolah Kurubumi sambil berlari berusaha menangkap tubuh lemah Arsinta. "Ratu, maafkan aku yang terlambat untuk bergerak!" pinta Kurubumi sambil mengusap sudut bibir Arsinta yang mengeluarkan darah dengan lembut. "Kurubumi, kamu bagai putraku sendiri. Maka bertahanlah dan tata ulang kerajaan kita. Basmi mereka yang berkhianat! Jangan sekali pun kamu beri ruang pada mereka, ingat ini!" Arsinta mengedipkan kelopak matanya, senyumnya melengkung tipis membuat debar jantung Kurubumi bergerak perlahan. "Sudahi bi
"Kau memang pantas untuk melakukan pekerjaan itu, Dasar Pria Ayu!"Sosok yang dipanggil Pria Ayu itu menghentikan langkahnya. Dia melirik sebentar ke arah beberapa pemuda yang tengah menertawakan ia yang tengah memanggul dua kuali besar berisi air untuk keperluan memasak."Sudah sana segera isi penuh gentong sebelum koki masak untuk makan malam kami!" tukas pangeran yang memiliki badan paling tinggi dengan mendorong tubuh Jagat. Tubuh Jagat terdorong kebelakang hingga beberapa langkah membuat ketiga pangeran merasa bahagia. Tanpa dia sadari air dalam kuali semakin berkurang isinya."Kau harusnya tahu diri jangan sok kuat, pakai rayu gadis Pandan Alas. Lihat dirimu, berkacalah!" ujar Abimana. "Gadis pandan alas, aku tidak kenal. Kalian saja yang tidak paham!"Ketiga pangeran terlihat murka, tatapan nyalang Abimana menghujam Jagat. Dia pun berkata, "Jangan kira kami tidak tahu, Pria Ayu! Dia yang sering memberimu sebungkus nasi sisa dari dapur."Jagat terdiam, dahinya berkerut mengi
Gelap dan hanya hewan malam yang bisa didengar. Seonggok daging yang masih bisa bergerak mulai mengeluarkan suara. Iya, dia adalah Jagat. Pemuda malang itu dibuang oleh Abimana dan kawan-kawannya ke jurang terdalam. Untung tubuh Jagat masih bisa terselamatkan dengan tersangkut di antara tumbuhan menjalar yang menjuntai mulai atas tebing hingga dasar. "Haus, air! Aku butuh air ...." Jagat perlahan membuka kolopak matanya, dia memandang sekitar, "Dimana aku?"Jagat berusaha berdiri dan berpijak pada batang yang menjulur dan lumayan besar. Namun, belum sampai kaki menyentuh batang itu dia terpeleset hingga jatuh dengan kecepatan yang lumayan. Tulang punggungnya menghantam ranting beberapa kali hingga terhempas di rerumputan. "Argh! Lumayan tinggi juga tebing itu!" kata Jagat sambil melihat ke atas. "Tempat apa ini, begitu lembab dan dingin?"Jagat masih terlihat bingung dan pandangannya menyapu keadaan sekitar. Perlahan dia bangkit dan mulai menyusuri setapak yang sepertinya sudah lam
Seorang gadis berteriak sambil berlari menuju ke perundungan Jagat. Dia tidak memedulikan keadaannya yang masih basah kuyup dan berbelit kain jarit basah. Tubuh rampingnya bahkan terlihat jelas setiap lekuknya. Jagat seketika melempar kain sarungnya yang selalu dililitkan di pinggang pada sang gadis. Savitri menangkap dan membungkus tubuhnya, "Apa yang kalian lakukan pada Jagat? Bukankah sudah sering guru katakan bahwa kita tidak boleh melakukan perundungan!"Abimana menatap tajam pada gadis itu, "Kau hanya perempuan, Savitri. Tidak usah ikut campur!""Cuih! Selalu saja seorang Abimana yang sok berkuasa." Kesempatan ini digunakan Jagat untuk berusaha duduk dan mengatur napasnya yang terasa sesak. Ada keanehan yang dia rasakan, bukankah awalnya dia berada di goa dengan luka dalam. Tapi kini .... Sementara Abimana berjalan mengikis jaraknya dengan Savitri, lengannya yang kekar dan panjang meraih rahang gadis itu. "Bukankah sering pula aku berkata padamu, Savitri! Jauhi pemuda hina in
Jagat berjalan keluar menuju tempat bumbung yang sudah dia sediakan. Tangannya bergerak cekatan mengikat keduanya pada tali tambang yang terkait pada bilah bambu, kemudian di pikulnya empat bumbung bambu yang beda tingginya. Sebelum mulai melangkah, Jagat membungkuk berniat melihat rendaman kuali yang hancur siang tadi. "Sudah mulai melunak, bagus juga khasiat daun itu."Setelahnya Jagat mulai melangkah tidak lupa memikul bilah bambu yang di kedua ujungnya sudah terikat empat bumbung sama. Pemuda itu bergerak cepat bolak balik sungai dan tandon hingga berulang kali. Suara gemerisik geraknya rumput sesekali menyapa cupingnya, tetapi tidak dia pedulikan. Menurutnya hanya hewan liar yang mencoba mencari makan tidak menyurutkan langkah yang terus maju hingga terlihat bayangan hitam meluncur cepat menuju ke arahnya. Slash! Kilatan cahaya menyentuh tali pada ujung bilah bambu yang dipikul. Sesaat kemudian berdiri sosok pria bertopeng dengan pedang tipis nan panjang. Di belakangnya masi
Seorang tabib memeriksa tubuh Jagat, Ki Jemblung dengan setia berdiri di tiang ranjang sambil terus melihat anak didiknya. Terlihat wajah cemas yang membayang diwajahnya. "Bagaimana, Tabib?"Sang tabib menatap sekilas pada Jemblung, lalu kembali fokus pada tubuh Jagat. Jemari tuanya mulai meraba beberapa lebam dan memar pada beberapa titik vital tubuhnya. Gelengan kepala sesekali terlihat membuat Ki Jemblung menjadi gelisah. "Ada apa dengan tubuh Jagat?" tanya Jemblung makin gelisah."Ada keanehan pada struktur tulang pemuda ini, Ki. Apa sebelumnya dia seorang pendekar?" Sang Tabib tidak menjawab pertanyaan koki padepokan, justru dia bertanya padanya. Jemblung mengerutkan dahi, dia juga tidak paham dengan kondisi tulang Jagat di masa silam. Untuk itu dia menjadi bingung sendiri, sejak kecil pun Jagat tidak terlihat sebagai sosok pria yang kuat. "Bagaimana, Ki?""Seingatku dia tidak pernah menjadi pria yang kuat. Sejak beberapa hari silam pemuda ini selalu disiksa oleh murid yang la