Pertempuran terus berlangsung, di beberapa tempat terjadi adu ketrampilan beladiri tingkat tinggi. Bahkan dunia siluman pun mengalami pergolakan yang sangat panas. Sosok Galasbumi yang sudah menjadi mayat pun kini sudah disusul oleh istrinya menyisakan Wening dalam duka yang amat dalam. Wanita muda itu membasuh permukaan serulingnya dengan tatapan sendu pada sosok Banyubiru yang berdiri angkuh. Perlahan ujung lubang seruling ditempelkan pada bibir tipis nan sensual, udara tipis mulai masuki lubang, tatapan pun mulai beralih pada setiap lubang. Wening mulai memejamkan mata. Lambat terdengar aliran musik yang begitu menyayat hati. Suara lembut menyatu dengan debur ombak, syahdu dan dingin. Beberapa prajurit yang tidak memiliki sumber daya cukup merasakan udaranya semakin dingin menekan tulang dan urat nadi. "Kamu! Apa yang kamu lakukan, Wadon Busuk!" Suara Banyubiru bermuatan tenaga dalam tidak mampu menggoyahkan konsentrasi Wening. Wanita muda itu terus meniup pusat lubang serulin
Kedua mata Jahat masih terpejam, bahunya bergerak naik turun secara sempurna. Angin seakan berhenti bertiup, hanya alunan seruling emas milik Roro Wening yang masih setia menemani. Bahkan kini alunannya makin mendayu dan memeras otak hingga tanpa disadari oleh semua orang mereka merasakan kesedihan yang teramat sangat hingga membuat mereka seakan ingin membunuh. Kekuatan seruling emas begitu memikat, apalagi semua dibarengi dengan sumber daya yang tinggi. Angin berubah kembali, kini bertiup perlahan membawa udara semakin dingin. Lambat laun berubah menjadi kencang hingga mampu menerbangkan beberapa daun kering. Namun, Jahat masih berdiri tegak dengan mata terpejam. Hanya kedua lengannya yang kini terentang melawan datangnya angin. Sementara Wening telah berubah menjadi wanita dengan sosok hitam. Aura yang awalnya begitu indah kini telah berubah menjadi gelap dan menebarkan kematian yang tidak bisa dielakkan. Satu per satu mayat prajurit terbang tanpa sebab. Jerit kesakitan terden
Jagat masih terus melayang di udara. Jubahnya yang panjang dan lebar terbang tertiup angin, begitu juga surai rambutnya yang panjang. Hanya tatapannya yang telah berpindah arah menyapu pada seluruh lapangan utama kerajaan. Meskipun malam gelap, Jagat masih mampu melihat tanah hijau berubah warda merah darah. Bau anyir menelusup dua lubang hidungnya. Namun, tidak ada niat untuk menutup keduanya. Justru seringaian sinis terukir di bibirnya. Jagat tidak terima dengan nasib para rakyat jelata yang ikut menanggung kerugian usai perang. Namun, semua harus ada korban. Napas pria muda terlihat tersengal, dia tahu semua konsekuensi pasca perang. Pasti rakyat jelata yang akan menerima dampak terbesar. "Apakah semua akan kamu lanjutkan, Jagat? Tidak cukupkah nyawa yang melayang tanpa dosa?"Suara khas pria tua menyapa gendang telinga Jagat, suara yang selalu hadir saat dia mulai memuncak amarah dan sulit dikendalikan. Jagat terdiam, dia mempertajam pendengarannya dengan kedua mata menyapu l
Melihat situasi yang makin sulit terkendali akhirnya Jagat melepaskan sebuah jurus yang telah lama dia simpan dan menahan agar jurus itu jangan sampai digunakan karena akan berakibat fatal. "Baiklah jika ini yang kamu inginkan, Albara. Jangan salahkan aku!"Setelah kalimat Jagat selesai, angin makin bertiup kencang. Suasana yang awalnya terang kini menjadi gelap. Albara tidak memedulikan semua ancaman Jagat. Dia segera merapal ilmu penghancur bumi. "Kamu sudah lancang dan tidak mau menyerah, Jagat. Baiklah terima jurusku, penghancur bumi!" Seberkas cahaya sebesar pohon pisang siap tebang melesat deras menuju ke arah posisi Jagat. Melihat serangan yang begitu dahsyat Jagat pun memutar tubuhnya bersamaan menggenggam kujangnya.Perlahan tubuh Jagat berubah menjadi seekor Harimau putih yang tinggi besar dengan mahkota berlian rubi merah menyala bak darah. Harimau itu melompat tajam, langsung menerkam tubuh Albara yang berdiri bebas. Harimau mengesampingkan jurus yang dilontarkan Alba
Kedua lengan Gayatri terentang, lalu mulai bergerak dinamis naik dan turun. Akibat gerakan itu terdengar suara ranting patah dan kain robek. Beberapa saat kemudian terjadi angin ribut yang begitu kuat hingga mampu mencabut pohon berukuran sedang. Melihat hal itu, Jagat segera mempertebal dinding pembatas antara dunia nyata dan ghaib. Zavia yang melihat keadaan medan perang yang sudah diluar kendali makin terlihat gelisah Wanita paruh baya tersebut begitu mengkhawatirkan keselamatan putranya yang baru saja ditemukan. Tatapan Zavia beralih pada Ki Bajanglawu. Pria tua itu pun menggelengkan kepala dan angkat bahunya tanda dia tidak mengerti. "Tenang saja, Nyai Ratu. Saya rasa pangeran bukan lah manusia biasa. Dia satri piningit yang sudah waktunya bangkit, seakan mengulang kisah Raja Lawangbumi."Zavia berpaling pada asal suara serak berat milik Ki Bledek. Pria tua itu mengangguk dengan senyum tipis tercetak di bibir hitamnya. Zavia menghela napas panjang dan memilih kembali fokus pad
Sesaat setelah kujang keluar tubuh Kalajengking mengekang, darah keluar deras dari beberapa lubang yang terdapat pada tubuhnya. Melihat hal itu, tanpa pikir panjang Jagat meluncurkan pukulan mautnya. "Maka hancurlah, Siluman!" Selarik sinar perak melesat masuk ke dalam mulut siluman berkaki banyak tersebut. Bunyi dentuman keras langsung menyeruak hingga ke dunia atas membuat seluruh rakyat terhenyak dan melonjak. Dentuman yang begitu keras dan kuat hingga membuat mayat Albara terangkat ke udara. Melihat mayat suaminya terbang, Arsinta melesat ke udara hendak meraih mayat tersebut. Akan tetapi, sebuah keajaiban muncul, kedua bola mata Albara terbuka. Ini langsung memicu kebahagian terpancar pada wajah sang ratu. "Kau hidup, Bara? Jiwamu terlihat semakin kuat. Apa ini artinya, Albara?"Sang Raja menatap dingin pada ratunya. Sosok pria yang berbeda yang mana Arsinta sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada raga suaminya "Kau salah, Arsinta. Jiwa yang berada dalam tubuh sua
Arsinta bungkam, tetapi dalam hatinya dia tidak rela jika tanah selatan menjadi milik Jagat Kelana. Maka dengan kekuatan tersisa dia melontarkan jurus kuno yang masih tingkat tengah dikuasainya. Dengan segala upaya semua disegerakan untuk sesuatu yang belum pasti akan membawa hasil memuaskan. Namun, sesuatu yang serba disegerakan pasti membawa dampak yang luar biasa. "Apakah kamu yakin akan gunakan semua yang tersisa, Ratu? Lihat keadaan sekitarmu, rakyatmu, putramu, panglima dan yang lainnya sudah mulai merasakan apa yang telah kamu usahakan!" dengus kasar Gayatri. "Diamkan mulut busukmu, berisik!"Setelah menghardik selirnya, Arsihta segera memfokuskan pikirannya. Semua sumber daya yang tersisa dia keluarkan tanpa ada yang dibatasi. Melihat usaha dari Arsinta dan menghidu udara yang berhembus membuat Jagat memusatkan pikirannya pada satu titik. "Ibu, bawa semua yang ada di balik kubah untuk menjauh dari jangkauan seribu depa. Jika memungkinkan waktunya akan lebih baik keluar da
Arsinta masih terfokus pada satu titik lemah yang diperkirakan dimiliki oleh Jagat, tetapi pria muda itu justru terlihat begitu santai dan dingin. Wanita nomer satu di Bumi Seloka begitu menggebu membaca deretan mantra kuno miliknya hingga dia sendiri tidak meyadari kondisi seluruh pasukan dan penghuni istana. Pangeran Kurubumi yang mulai paham akan mantra tersebut mulai memejamkan kedua matanya. Tubuhnya bergeser dan mulai duduk sila menghadap ke barat. Arah yang diyakini tempat Hyang Widi Alam. "Apakah hanya dengan ini semua bisa kembali, Pangeran?" bisik Gayatri. Tanya yang tidak ada jawaban, ketiga tokoh terfokus pada pilihan dan mantra masing-masing. Melihat hal itu, Gayatri makin membuncah dn bergetar hebat tubuhnya hanya sekedar menahan amarah. "Baik, jika kalian bertiga tidak ada yang bergerak maka jangan salahkan aku!"Usai kalimat panjang Gayatri terucap, angin bertiup kencang. Menderu disertai petir dan hujan. Suara hewan malam seakan hilang ditelan gulita. Bahkan bu