"Aku tidak apa, Paman. Bagaimana dengan Anda sendiri?" tanya Jagat yang juga sedang mengkhawatirkan kondisi Galasbumi."Aku rasa dia tidak apa, Pangeran," jawab Palastri. Jagat melirik ke asal suara, terlihat wajah segar Palastri dengan bendera di pundaknya. Wanita dari alam siluman itu terlihat lebih bercahaya dari hari sebelumnya. Jagat mengerti apa arti sesungguhnya. Rupanya tidak hanya di dalam istana terjadi hubungan terlarang itu. Memang pada dasarnya mereka saling bersekutu pada alam lain. Bibir tipis nan merah hanya mengulum senyum penuh arti. "Rupanya kamu memanggil kembali siluman itu, Kang. Apa perjuanganku hingga ke ranah siluman tidak ada harganya bagimu?" tanya Gayatri. "Memang pada dasarnya hanya padanya tubuh ini bisa hidup, Gay. Sayangnya tidak kamu pahami. Mungkin pada Albara lah ragamu terpuaskan," kata Galasbumi. "Jangan banyak omong, Galas. Mari kita adu kekuatan hingga akhir!" kata Banyubiru. Tubuh panglima melesat kembali menyerang Galasbumi dengan menggun
Pertempuran terus berlangsung, di beberapa tempat terjadi adu ketrampilan beladiri tingkat tinggi. Bahkan dunia siluman pun mengalami pergolakan yang sangat panas. Sosok Galasbumi yang sudah menjadi mayat pun kini sudah disusul oleh istrinya menyisakan Wening dalam duka yang amat dalam. Wanita muda itu membasuh permukaan serulingnya dengan tatapan sendu pada sosok Banyubiru yang berdiri angkuh. Perlahan ujung lubang seruling ditempelkan pada bibir tipis nan sensual, udara tipis mulai masuki lubang, tatapan pun mulai beralih pada setiap lubang. Wening mulai memejamkan mata. Lambat terdengar aliran musik yang begitu menyayat hati. Suara lembut menyatu dengan debur ombak, syahdu dan dingin. Beberapa prajurit yang tidak memiliki sumber daya cukup merasakan udaranya semakin dingin menekan tulang dan urat nadi. "Kamu! Apa yang kamu lakukan, Wadon Busuk!" Suara Banyubiru bermuatan tenaga dalam tidak mampu menggoyahkan konsentrasi Wening. Wanita muda itu terus meniup pusat lubang serulin
Kedua mata Jahat masih terpejam, bahunya bergerak naik turun secara sempurna. Angin seakan berhenti bertiup, hanya alunan seruling emas milik Roro Wening yang masih setia menemani. Bahkan kini alunannya makin mendayu dan memeras otak hingga tanpa disadari oleh semua orang mereka merasakan kesedihan yang teramat sangat hingga membuat mereka seakan ingin membunuh. Kekuatan seruling emas begitu memikat, apalagi semua dibarengi dengan sumber daya yang tinggi. Angin berubah kembali, kini bertiup perlahan membawa udara semakin dingin. Lambat laun berubah menjadi kencang hingga mampu menerbangkan beberapa daun kering. Namun, Jahat masih berdiri tegak dengan mata terpejam. Hanya kedua lengannya yang kini terentang melawan datangnya angin. Sementara Wening telah berubah menjadi wanita dengan sosok hitam. Aura yang awalnya begitu indah kini telah berubah menjadi gelap dan menebarkan kematian yang tidak bisa dielakkan. Satu per satu mayat prajurit terbang tanpa sebab. Jerit kesakitan terden
Jagat masih terus melayang di udara. Jubahnya yang panjang dan lebar terbang tertiup angin, begitu juga surai rambutnya yang panjang. Hanya tatapannya yang telah berpindah arah menyapu pada seluruh lapangan utama kerajaan. Meskipun malam gelap, Jagat masih mampu melihat tanah hijau berubah warda merah darah. Bau anyir menelusup dua lubang hidungnya. Namun, tidak ada niat untuk menutup keduanya. Justru seringaian sinis terukir di bibirnya. Jagat tidak terima dengan nasib para rakyat jelata yang ikut menanggung kerugian usai perang. Namun, semua harus ada korban. Napas pria muda terlihat tersengal, dia tahu semua konsekuensi pasca perang. Pasti rakyat jelata yang akan menerima dampak terbesar. "Apakah semua akan kamu lanjutkan, Jagat? Tidak cukupkah nyawa yang melayang tanpa dosa?"Suara khas pria tua menyapa gendang telinga Jagat, suara yang selalu hadir saat dia mulai memuncak amarah dan sulit dikendalikan. Jagat terdiam, dia mempertajam pendengarannya dengan kedua mata menyapu l
Melihat situasi yang makin sulit terkendali akhirnya Jagat melepaskan sebuah jurus yang telah lama dia simpan dan menahan agar jurus itu jangan sampai digunakan karena akan berakibat fatal. "Baiklah jika ini yang kamu inginkan, Albara. Jangan salahkan aku!"Setelah kalimat Jagat selesai, angin makin bertiup kencang. Suasana yang awalnya terang kini menjadi gelap. Albara tidak memedulikan semua ancaman Jagat. Dia segera merapal ilmu penghancur bumi. "Kamu sudah lancang dan tidak mau menyerah, Jagat. Baiklah terima jurusku, penghancur bumi!" Seberkas cahaya sebesar pohon pisang siap tebang melesat deras menuju ke arah posisi Jagat. Melihat serangan yang begitu dahsyat Jagat pun memutar tubuhnya bersamaan menggenggam kujangnya.Perlahan tubuh Jagat berubah menjadi seekor Harimau putih yang tinggi besar dengan mahkota berlian rubi merah menyala bak darah. Harimau itu melompat tajam, langsung menerkam tubuh Albara yang berdiri bebas. Harimau mengesampingkan jurus yang dilontarkan Alba
Kedua lengan Gayatri terentang, lalu mulai bergerak dinamis naik dan turun. Akibat gerakan itu terdengar suara ranting patah dan kain robek. Beberapa saat kemudian terjadi angin ribut yang begitu kuat hingga mampu mencabut pohon berukuran sedang. Melihat hal itu, Jagat segera mempertebal dinding pembatas antara dunia nyata dan ghaib. Zavia yang melihat keadaan medan perang yang sudah diluar kendali makin terlihat gelisah Wanita paruh baya tersebut begitu mengkhawatirkan keselamatan putranya yang baru saja ditemukan. Tatapan Zavia beralih pada Ki Bajanglawu. Pria tua itu pun menggelengkan kepala dan angkat bahunya tanda dia tidak mengerti. "Tenang saja, Nyai Ratu. Saya rasa pangeran bukan lah manusia biasa. Dia satri piningit yang sudah waktunya bangkit, seakan mengulang kisah Raja Lawangbumi."Zavia berpaling pada asal suara serak berat milik Ki Bledek. Pria tua itu mengangguk dengan senyum tipis tercetak di bibir hitamnya. Zavia menghela napas panjang dan memilih kembali fokus pad
Sesaat setelah kujang keluar tubuh Kalajengking mengekang, darah keluar deras dari beberapa lubang yang terdapat pada tubuhnya. Melihat hal itu, tanpa pikir panjang Jagat meluncurkan pukulan mautnya. "Maka hancurlah, Siluman!" Selarik sinar perak melesat masuk ke dalam mulut siluman berkaki banyak tersebut. Bunyi dentuman keras langsung menyeruak hingga ke dunia atas membuat seluruh rakyat terhenyak dan melonjak. Dentuman yang begitu keras dan kuat hingga membuat mayat Albara terangkat ke udara. Melihat mayat suaminya terbang, Arsinta melesat ke udara hendak meraih mayat tersebut. Akan tetapi, sebuah keajaiban muncul, kedua bola mata Albara terbuka. Ini langsung memicu kebahagian terpancar pada wajah sang ratu. "Kau hidup, Bara? Jiwamu terlihat semakin kuat. Apa ini artinya, Albara?"Sang Raja menatap dingin pada ratunya. Sosok pria yang berbeda yang mana Arsinta sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi pada raga suaminya "Kau salah, Arsinta. Jiwa yang berada dalam tubuh sua
Arsinta bungkam, tetapi dalam hatinya dia tidak rela jika tanah selatan menjadi milik Jagat Kelana. Maka dengan kekuatan tersisa dia melontarkan jurus kuno yang masih tingkat tengah dikuasainya. Dengan segala upaya semua disegerakan untuk sesuatu yang belum pasti akan membawa hasil memuaskan. Namun, sesuatu yang serba disegerakan pasti membawa dampak yang luar biasa. "Apakah kamu yakin akan gunakan semua yang tersisa, Ratu? Lihat keadaan sekitarmu, rakyatmu, putramu, panglima dan yang lainnya sudah mulai merasakan apa yang telah kamu usahakan!" dengus kasar Gayatri. "Diamkan mulut busukmu, berisik!"Setelah menghardik selirnya, Arsihta segera memfokuskan pikirannya. Semua sumber daya yang tersisa dia keluarkan tanpa ada yang dibatasi. Melihat usaha dari Arsinta dan menghidu udara yang berhembus membuat Jagat memusatkan pikirannya pada satu titik. "Ibu, bawa semua yang ada di balik kubah untuk menjauh dari jangkauan seribu depa. Jika memungkinkan waktunya akan lebih baik keluar da
Jagat terus melangkah tanpa menoleh ke setiap pintu paviliun milik selir-selirnya. Dia terus melangkah hingga sampai di pendopo sunyi tempat biasa dia bermeditasi. Jagat berdiri menatap hamparan tanah hijau dalam gelita malam. Bibirnya tertutup rapat tetapi pikirannya melayang tak tentu arah. Dia mencari alasan mengapa istri gaibnya begitu ingin menjauh kembali setelah sekian lama tak berjumpa dalam dunia nyata. "Mungkin saat ini wanitamu itu sedang ada masalah lagi di Kerajaan gaib miliknya, Pangeran." Suara tua yang sudah lama tidak terdengar di telinga Jagat. "Ki, akhirnya kamu muncul juga setelah lama kita tidak berbincang." "Saya sedang meditasi, Pangeran. Bukankah selama saya pergi semua masih bisa terkendali secara fisik dan rohani?"Jagat menghela napas panjang dan berat. Apalagi sejak kepergian Ki Cadek beberapa waktu lalu setelah kembalinya Ashita, Jagat sering di uji gairah yang sulit terkendali. Dia sadar bahwa selama ini gairahnya seringkali tidak mendapat tempat yan
Jagat masih diam menatap wajah istrinya, dia seakan tidak pernah puas bila memandang wajah Akshita. Meskipun ada banyak wanita yang selalu menemani perjalanan hidupnya tetap Akshita yang menjadi penghias mimpinya. "Apakah masih kurang apa yang aku beri padamu selama ini, Aks. Hingga kau harus pergi lagi?"Akshita mengurai pelukan suaminya, lalu dia berjalan menuju ke tengah taman. Dia berdiri di tengah dengan kepala mendongak ke atas melihat pada sinar bulan yang malu. Jagat berjalan mendekat, dia mengikuti arah pandang istrinya. Namun, dia tidak menemukan sesuatu hal yang menarik di atas sana. Kedua tangannya kembali meriah pinggang istrinya dan mendekap erat. "Aku sulit untuk melupakan semua tentangmu meskipun sudah ada beberapa selir yang hangatkan ranjangku, Aks. Pesonamu tidak tergantikan," bisik Jagat diujung telinga Akshita. Wanita itu meletakkan kepalanya pada bahu Jagat dengan pandangan masih ke atas. Bibir tipisnya mengembang dengan mengeluarkan suara yang sangat rendah,
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i