Semilir angin malam menerpa wajah tampan Jagat, dia sedang semedi dibawah pohon ajaib. Kedua matanya terpejam denah napas yang naik turun secara teratur. Suara hewan malam menemani dan berdiri di sekitarnya. Bahkan tampak harimau putih duduk manis di sisi kanannya dengan kepala terjulur ke depan menopang pada kaki depan. Sebuah pemandangan yang syahdu di tambah dengan cahaya rembulan sempurna membuat lokasi sekitarnya sedikit redup. Jagat masih konsentrasi tetapi di alam bawah sadarnya pria itu terlihat sedang melatih ilmu kanuragan melawan Ki Cadek.Jurus demi jurus dilakukan oleh Jagat guna menurunkan tensi juang penunggu kujang. Namun, semua usaha telah dikerahkan dan tidak ada perubahan yang signifikan dari stamina Ki Cadek. "Bagus, Pangeran. Tingkatkan lagi sumber daya kamu di bagian ujung tapak kaki. Tendang secara maksimal!"Sesuai perintah itu, Jagat pun bersiap untuk menyerang kembali. Semua sumber daya yang ada dialirkan ke semua titik serang agar saatnya tiba akan lebi
Zavia berdiri menghadap pintu barak milik Galasbumi. Bibirnya tertutup rapat dengan kedua mata terpejam. Bahunya turun naik secara teratur, menandakan jika wanita paruh baya sedang konsentrasi. Udara sekitar Zavia perlahan berubah menjadi lebih hangat, lalu terdengar hembusan napas yang memburu seakan ingin segera berkata. Sementara di dalam ruang utama barak Galasbumi, Palastri merasa gelisah. Wanita itu sering meneleng ke kanan, seakan indera perasanya mulai berkurang. "Apa yang terjadi, Nyai?""Benar, Ibu, katakan ada apa?"Palastri mengernyitkan dahi, kedua matanya menyipit dengan suara desisan ulas lolos dari bibirnya. Apa yang terjadi pada Palastri membuat Roro Wening merasa ada yang aneh. Begitu juga dengan Galasbumi, tetapi keduanya hanya saling pandang dan menunggu agar Palastri mengungkap apa yang terjadi. Namun, wanita itu masih bungkam. Bahkan kini kedua matanya justru terpejam sambil kepalanya menggeleng pelan. Sangat pelan. "Nyai, ungkapkan saja apa yang kamu rasak
"Kita akan serang kerajaan dari segala arah, tetapi tidak bersamaan. Wilayah barat akan di pimpin oleh Ki Galasbumi, sebelah utara biar di pimpin oleh Roro Wening dengan seruling emasnya, timur dipimpin oleh dua kembar Lawu. Untuk selatan sendiri yang lansung berhadapan dengan gerbang utama kerajaan biar aku yang pimpin. Bagaimana?" tanya Jagat. Semua diam, hening cukup lama hingga deru angin makin terasa menusuk tulang barulah Zavia mengangkat kepalanya menatap wajah semua yang hadir. "Lalu apa tugasku dan Nyai Palastri, Jagat?" tanya Zavia. "Ibu dan Nyai cukup mengawasi pergerakan para siluman, bagaimana?"Kedua wanita paruh baya itu saling pandang, lalu bersama menatap heran pada Jagat. Sedangkan yang ditatap hanya nyengir sesaat dan anggukan kepala. Sikap pemuda yang sedikit tengil itu pun akhirnya diangguki oleh mereka berdua. Malam terus berjalan, mereka masih terlihat berbincang membahas skema serangan dalam memperebutkan kekuasaan mutlak atas kerajaan. Hingga suara ayam ja
Angin bertiup sedikit lebih kencang membuat suhu udara menjadi lebih dingin. Hal ini mengakibatkan beberapa warga malas untuk keluar rumah. Namun, tidak bagi para pemuda padepokan mereka justru bersemangat memulai pekerjaan malam itu. "Persiapan sudah selesai, Roro Wening," kata seorang pemuda. Roro Wening berdiri di panggung agar bisa melihat dengan jelas semua hasil kerja teman padepokan. "Bagus, kita bergerak menyusuri sungai agar lebih cepat sampai di utara kerajaan. Paham!"Sekitar lima puluh pemuda dan pemudi berkumpul dengan senjata parang dan pedang untuk melakukan penyerangan sesuai dengan arahan Jagat.Roro Wening yang berjubah ungu segera bergerak cepat. Tubuhnya yang rampung melayang bak layang-layang, begitu ringan mengikuti arah angin. Sedangkan yang lainnya berjalan menyusuri sungai. Mereka tidak berkeinginan untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh pimpinan. Hampir semua yang ada di pasukan itu memiliki kemampuan olah kanuragan yang seimbang bahkan setara dengan Weni
Banyubiru terdiam, otaknya berpikir lebih cepat mencari penyelesaian penyerangan dadakan. Belum sempat memutuskan sesuatu hal pun sosok Albara dan Abimana telah ada di depannya. Keduanya menatap penuh tanya akan kondisi istana yang hampir porak-poranda. Banyubiru segera menjelaskan suasana terbaru mengenai keadaan istana saat itu. "Ini pasti perbuatan Jagat Kelana, Ayah." Abimana berkata lalu pandangannya berganti ke arah Banyubiru, "kemana Kurubumi berada saat ini, Paman?"Banyubiru terdiam, kepalanya melihat ke arah belakang posisi Albara dan putra mahkota Abimana. Dari jauh terlihat Kurubumi berjalan tergesa menuju ke mereka bertiga. "Paman!" panggil Abimana dengan penuh tekanan. "Aku di sini, saudaraku," kata Kurubumi. Abimana berbalik arah pada asal suara, lalu pandangannya menelisik penampilan sahabatnya yang jauh berbeda sebelum berangkat ke wilayah barat yang terakhir kali. Kurubumi mengulum senyum tipis, lalu dia menatap pada ayahnya, "bagaimana kabar selanjutnya, Ayah?
Setelah terjadi penyerangan dengan waktu sangat singkat, panglima dan jajaran kerajaan meningkatkan kewaspadaan. Beberapa prajurit kelas atas diturunkan dan bertugas di gari depan. Namun, hingga seminggu tidak ada pergerakan yang mencurigakan. Bahkan udara bergerak pelan hingga melenakan prajurit jaga. Hati terus berjalan tanpa terasa sudah satu bulan sejak peristiwa serangan maut itu. Lama kelamaan mereka mulai menurunkan status darurat menjadi normal. Mereka tidak tahu saja bahwa sejatinya ada beberapa telek sandi yang di sebar oleh Jagat Kelana guna mengawasi aktifitas di istana. "Bagaimana perkembangannya, Kuru?""Belum ada pergerakan yang mencurigakan. Bahkan di padepokan itu semua tampak biasa saja. Apakah mereka telah pindah markas?""Mungkin saja. Bagaimana dengan wanita itu?"Kurubumi menghela napas panjang, lalu menggeleng. Abimana mengusap wajahnya kasar. Sungguh dia hilang digdaya jika berhadapan dengan wanita pembawa seruling itu. Hampir seluruh anggota keluarganya m
Abimana berdiri tegak menatap nyalang pada Jagat, matanya memancarkan sinar merah yang menandakan tingkat emosi yang tinggi. Namun, semua berbanding terbalik dengan Jagat. Pria itu membalas tatapan Abimana dengan sorot mata dingin, tingkat kedinginan mampu merubah udara sekitar. Banyak prajurit yang tiba-tiba tumbang saat menghirup udara dingin berlebih. Dua pendekar saling unjuk kebolehan dan kekuatan sumber daya tingkat tinggi. Ledakan kecil sering kali terdengar diselingi jerit kesakitan dari beberapa prajurit Bumi Seloka. "Sialan kamu, Jagat!" Abimana tidak terima saat pandangannya melihat satu per satu prajuritnya tumbang tanpa sebab. Apa yang terjadi di medan perang membuat Abimana mengamuk. Dia pun mulai meningkatkan sumber daya hingga ke puncak. Aura tubuhnya makin menguat terbukti dengan pancaran sinar merah yang sudah membungkus tubuhnya. Satu per satu serangan diluncurkan Abimana menghancurkan beberapa bagian formasi perang Jagat. Namun, itu hanya sesaat. Apa yang terj
Galasbumi dan Banyubiru terus mengadu kadigdayan tanpa memedulikan perubahan waktu. Keduanya sudah berubah menjadi pendekar tingkat dewa. Setiap hempasan jurusnya mampu menggetarkan tanah sekitarnya. Aura yang pekat menyelimuti seluruh bangunan istana. Mereka para siluman yang bernaung di dalam istana mulai terbangun akibat serangan demi serangan yang dilontarkan Galasbumi. Banyubiru tidak mau kalah dengan seniornya, dia bergerak cepat menebas sisi kanan Galasbumi yang terlihat bebas. Hal yang tidak diperhatikan oleh Galasbumi hingga mengakibatkan lengan kanannya tertebas. Darah mengucur begitu deras membuat Banyubiru tertawa bahagia karena telah berhasil melukai seniornya. Namun, anehnya Galasbumi masih berdiri tegak tanpa bergerak sedikitpun. Banyubiru menatap heran pada pria tua itu, ujung lengannya yang berdarah seakan berdenyut. Sesuatu bergerak keluar muncul dari gumpalan darah. "Apa yang muncul di sana? Daging, gila," umpat Banyubiru. "Ini adalah ilmu terbaruku
Jagat terus melangkah tanpa menoleh ke setiap pintu paviliun milik selir-selirnya. Dia terus melangkah hingga sampai di pendopo sunyi tempat biasa dia bermeditasi. Jagat berdiri menatap hamparan tanah hijau dalam gelita malam. Bibirnya tertutup rapat tetapi pikirannya melayang tak tentu arah. Dia mencari alasan mengapa istri gaibnya begitu ingin menjauh kembali setelah sekian lama tak berjumpa dalam dunia nyata. "Mungkin saat ini wanitamu itu sedang ada masalah lagi di Kerajaan gaib miliknya, Pangeran." Suara tua yang sudah lama tidak terdengar di telinga Jagat. "Ki, akhirnya kamu muncul juga setelah lama kita tidak berbincang." "Saya sedang meditasi, Pangeran. Bukankah selama saya pergi semua masih bisa terkendali secara fisik dan rohani?"Jagat menghela napas panjang dan berat. Apalagi sejak kepergian Ki Cadek beberapa waktu lalu setelah kembalinya Ashita, Jagat sering di uji gairah yang sulit terkendali. Dia sadar bahwa selama ini gairahnya seringkali tidak mendapat tempat yan
Jagat masih diam menatap wajah istrinya, dia seakan tidak pernah puas bila memandang wajah Akshita. Meskipun ada banyak wanita yang selalu menemani perjalanan hidupnya tetap Akshita yang menjadi penghias mimpinya. "Apakah masih kurang apa yang aku beri padamu selama ini, Aks. Hingga kau harus pergi lagi?"Akshita mengurai pelukan suaminya, lalu dia berjalan menuju ke tengah taman. Dia berdiri di tengah dengan kepala mendongak ke atas melihat pada sinar bulan yang malu. Jagat berjalan mendekat, dia mengikuti arah pandang istrinya. Namun, dia tidak menemukan sesuatu hal yang menarik di atas sana. Kedua tangannya kembali meriah pinggang istrinya dan mendekap erat. "Aku sulit untuk melupakan semua tentangmu meskipun sudah ada beberapa selir yang hangatkan ranjangku, Aks. Pesonamu tidak tergantikan," bisik Jagat diujung telinga Akshita. Wanita itu meletakkan kepalanya pada bahu Jagat dengan pandangan masih ke atas. Bibir tipisnya mengembang dengan mengeluarkan suara yang sangat rendah,
Akshita masih menatap wajah Jagat dengan lembut, kedua tangannya melingkar di leher kekar itu. Napasnya yang harum telah menyapa kulit leher Jagat. Sentuhan yang lama tidak menyapa kini mulai membangkitkan hasrat terpendam. Semilir angin telah mengganggu jiwa Jagat, dia tidak bisa menolak pesona sang dewi. Akshita masih mengumbar senyum manisnya dengan jari jemari berjalan naik turun di sepanjang leher kekasihnya. Jagat mulai bergolak, jakunnya naik turun dengan cepat membuat senyum Akshita makin memabukkan. "Bukan tidak rela, Kang. Tetapi lebih ingin memiliki seutuhnya semua milikmu termasuk jiwamu."Jagat bergerak merapatkan tubuhnya hingga membuat Akshita terduduk di pinggiran kolam. Selendang merah yang membungkus dadanya berkibar bersentuhan dengan angin hingga menampilkan tulang selangka yang indah. Jagat sudah tidak tahan lagi, maka dia menundukkan kepalanya dan melabuhkan kecupan ringan pada tulang selangka itu. Kecupan yang lembut dan penuh kasih belum mampu membangkitkan
Jagat Kelana menatap sosok pria muda di depannya. Bibirnya melengkung sempurna, lalu tangannya terangkat untuk memberi restu pada pria muda itu. Pria muda itu pun membujuk sesaat lalu terangkat menatap langsung pada manik mata Raja muda itu. Dia tersenyum tipis. "Bagaimana pola latihan mereka, Anakmas?"Pria muda itu mulai menjelaskan kemajuan latihan para prajurit yang selama ini dia latih. Semua telah berhasil hingga ke tingkat tengah kelas dua. "Apakah jadi mereka dipilih dan dikirim ke kerajaan sebelah, Ayahanda?""Iya, kerajaan itu belum memiliki prajurit handal satu pun. Siapa nama kamu, Anakmas?"Pria muda itu menatap pada Raja Singgalang, lalu bibirnya tersenyum dengan menyuarakan, " Airlangga Batinara."Jagat tersenyum, "berapa usiamu?""25 tahun masa alam kami."Jagat Kelana tersenyum, dia berdiri dan terbang mendekati sosok pria muda itu. Lalu dia berdiri di depan Airlangga, memeluknya erat. "Sudah sebesar ini baru kamu datang ke sini. Apakah tidak ingin tahu ayahmu?""
Malam yang begitu dingin membuat Jagat segera membawa tubuh istrinya masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan pun berlanjut hingga berulang kali. Ternyata tubuh yang memiliki struktur tulang yang rentan itu mampu menampung gairahnya hingga berulang kali. Prameswari merasa begitu bahagia telah membuat suaminya tersenyum puas. Akan tetapi, tubuh itu juga memiliki daya tahan yang rendah. Penyatuan yang dilakukan hingga menjelang pagi membuat tulang Prameswari seakan lepas kontrol. Tubuhnya menjadi lemas. "Tuan, Suamiku, maafkan aku! Rasanya tubuh ini sudah tidak mampu," kata Prameswari dengan tatapan memohon. "Baiklah, kita sudahi dulu. Sekarang tidurlah!" balas Jagat. Setelah berkata itu, kedua mata Prameswari terpejam. Hal ini membuat Jagat khawatir, dia pun segera memeriksa kondisi tubuh istrinya. "Bagaimana bisa seperti ini, Nyai? Aku baru saja merasakan nyaman bersama tubuhmu, kamu terlanjur pingsan. Hadeh!"Jagat segera memakai jubahnya, lalu dia duduk sila di sisi ranjang. Kedua
Malam ini waktunya Jagat bersama Prameswari. Keduanya duduk di teras belakang paviliun. Jagat memilih duduk di tanah beralaskan rumput, sementara Prameswari duduk diam di sisi kanannya. "Duduk dekat sinilah, Istriku!" Prameswari menggeser tubuhnya dengan senyum yang dia sembunyikan. Kepalanya menunduk dalam, dia malu dengan pendekatan suaminya. Berbeda dengan Jagat, dia justru mulai merebahkan kepalanya pada paha Prameswari membuat wanita itu terdiam seketika. "Suami!" pekik Prameswari ringan. Dengan santainya Jagat mencari tempat ternyaman untuk kepalanya, lalu tangannya meraih jemari istrinya itu dan meletakkan pada kepalanya. "Bisa pijat di sini sebentar, Nyai!" Pinta Jagat dengan tatapan penuh harap. Prameswari tidak bisa bersuara, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya pun gemetaran menyentuh kepala suaminya. Perlahan disentuhnya rambut bergelombang pendek milik suaminya. 'Jantungku sepertinya mulai sakit," batin Prameswari merasa hatinya begitu senang be
"Nyai, kok malah melamun," kata Jagat lembut sambil melabuhkan sebuah kecupan hangat pada bibir istrinya. Mendapat sentuhan lembut seketika lamunan Akshita menghilang, lalu dia membalas ciuman Jagat lebih meminta. Keduanya larut dalam ciuman yang dalam. Cukup lama keduanya saling berbagi saliva, bahkan Jagat mulai menekan tubuh Akshita pada sandaran kursi kemudian dia duduk menyilang agar lebih dekat. "Kang!" panggil Akshita dengan nada berat. "Hemm."Jagat tidak melepaskan pelukannya dia justru mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke ayunan yang biasa di gunakan Jagat saat mengingat kenangan bersama Akshita. "Apakah di sini tidak akan mengganggu yang lainnya, Kang? Aku merindukanmu," bisik Akshita yang membuat gairah Jagat memuncak. "Tidak. Dan jangan remehkan kekuatanku saat ini, Nyai."Akshita tersenyum, jari jemarinya mulai bergerak perlahan membuka satu per satu kain penutup tubuh suaminya. Jagat membiarkan semua inginnya Akshita. Dia terlihat begitu menikmati apa pun y
Mendengar niat suaminya, Roro Wening pun menyiapkan segalanya yang biasa dilakukan Jahat sebelum penyatuan. Kali ini selir itu tidak mau ada yang tertinggal. Ini adalah pelajaran yang sudah dia pahami selama hidup bersama Jagat baik sebelum miliki kerajaan ataupun sudah. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Asih!" kata Roro Wening sambil menata beberapa benda yang harus dipakai oleh selir utama. "Nggeh, siap."Seorang dayang senior ikut membantu selur agung menyiapkan semua. Mulai dari aroma cendana hingga kain penutup kala penyatuan dimulai. Roro Wening juga memberikan beberapa catatan apa saja yang akan diucapkan sebelum tubuh Prameswari tersentuh. "Semua sudah siap, Kanjeng Ratu.""Jangan sebut nama itu, Asih. Semua belum resmi meskipun Yunda Akshita sudah datang menemaniku semalam.""Jika sudah seperti ini tidak mungkin akan lupa, Kanjeng Ratu. Niat Nyai Akshita sudah jelas bahkan putranya sendiri ditugaskan untuk menjaga kedamaian kerajaan ini lho," papar Asih--dayang senior.
Sinar mentari masuk di sela jendela kamar Roro Wening, hangatnya mampu membangunkan selir cantik dan seksi itu. Melihat istrinya mulai bangkit dari ranjang Jagat segera mendekat dan membantu istrinya itu. Perlakuan Jagat yang hangat membuat hati Roro Wening terharu. "Duduk sini dulu, tunggu kusiapkan air untuk kamu mandi!" kata Jagat. Roro Wening pun mengikuti apa yang dikatakan oleh Jagat. Kemudian pria itu berdiri menuju ke balik pembatas anyaman bambu. Terdengar suara gemericik air yang dialirkan oleh Jagat. Setelah semua persiapan mandi istri selesai, Jagat keluar dari dalam lalu melangkah mengikis jarak dengan istrinya. Kemudian dengan lengannya diangkat tubuh istrinya ala bridal. "Turunkan aku, Suamiku!""Jangan banyak bergerak biar ndak jatuh!"Mendengar hal itu membuat Roro Wening mempererat pegangannya pada leher Jagat. Pria itu tersenyum melihat sikap istrinya, lalu dimasukkan perlahan tubuh Roro Wening ke dalam bak mandi. Tangan Jagat mulai bergerak membasuh punggung i