Padepokan Wenning kembali disibukkan dengan latihan kanuragan dan kebatinan. Di beberapa titik terlihat banyak pemuda yang saling beradu ilmu beladiri dengan tangan kosong, tetapi juga ada yang menggunakan ilmu pedang. Namun, di bagian yang lain terlihat sekumpulan wanita muda sedang memainkan lesung dengan irama yang penuh dengan tenaga dalam. Sepertinya mereka bukan main-main, melainkan sedang memeragakan sebuah formasi tempur khusus pasukan wanita dengan dipimpin oleh Roro Wening. Di sudut padepokan ada gubug yang dikhususkan untuk meracik obat herbal. Di sana tampak Galasbumi berdiri menatap beberapa murid yang sedang meracik obat-obatan persiapan untuk perang besar. "Bagaimana hasil herbal yang aku berikan resepnya, Paman?" tanya Jagat saat sudah berada di depan Galasbumi. "Semua sudah sesuai dengan takarannya, Pangeran. Hal ini juga sudah dibuktikan pada hewan liar yang hampir sama struktur organ tubuhnya," jawab Galasbumi. "Ini dosisnya untuk manusia lho, Paman. Apakah ti
Ruang khusus untuk semua jadwal pertemuan penting terlihat lengang. Hanya ada Kurubumi dan Albara. Raja dan bawahannya berbincang hangat di meja bundar dengan hidangan makan siang yang menggugah selera. Tidak hanya buah dan sayuran segar yang terhidang, melainkan ada berbagai menu santapan daging dengan berbagai varian. Tentunya ada juga tuak dan arak yang cukup langka. Pandangan Kurubumi masih terfokus pada semua ucapan dari sang raja. Kali ini dia begitu menahan selera makannya meskipun lapar. Berulangkali Kurubumi menelan air liurnya hanya untuk itu. "Apakah yang dikatakan telek sandi kita semua itu benar, Pangeran Kuru?""Begitulah adanya, Paduka. Satu urusan sudah aku kirim. Awalnya dia berhasil pulnag. Lalu, setelah semau selesai melapor dia aku tugaskan lagi. Dan tanpa kabar." Albara diam, dia mencerna apa yang diungkapkan oleh bawahannya itu. Kata tanpa kabar bisa diartikan bahwa telek sandi itu tertangkap dan mati. Atau bahkan tertawan. Albara menggeleng kepala kuat. Pri
Semilir angin malam menerpa wajah tampan Jagat, dia sedang semedi dibawah pohon ajaib. Kedua matanya terpejam denah napas yang naik turun secara teratur. Suara hewan malam menemani dan berdiri di sekitarnya. Bahkan tampak harimau putih duduk manis di sisi kanannya dengan kepala terjulur ke depan menopang pada kaki depan. Sebuah pemandangan yang syahdu di tambah dengan cahaya rembulan sempurna membuat lokasi sekitarnya sedikit redup. Jagat masih konsentrasi tetapi di alam bawah sadarnya pria itu terlihat sedang melatih ilmu kanuragan melawan Ki Cadek.Jurus demi jurus dilakukan oleh Jagat guna menurunkan tensi juang penunggu kujang. Namun, semua usaha telah dikerahkan dan tidak ada perubahan yang signifikan dari stamina Ki Cadek. "Bagus, Pangeran. Tingkatkan lagi sumber daya kamu di bagian ujung tapak kaki. Tendang secara maksimal!"Sesuai perintah itu, Jagat pun bersiap untuk menyerang kembali. Semua sumber daya yang ada dialirkan ke semua titik serang agar saatnya tiba akan lebi
Zavia berdiri menghadap pintu barak milik Galasbumi. Bibirnya tertutup rapat dengan kedua mata terpejam. Bahunya turun naik secara teratur, menandakan jika wanita paruh baya sedang konsentrasi. Udara sekitar Zavia perlahan berubah menjadi lebih hangat, lalu terdengar hembusan napas yang memburu seakan ingin segera berkata. Sementara di dalam ruang utama barak Galasbumi, Palastri merasa gelisah. Wanita itu sering meneleng ke kanan, seakan indera perasanya mulai berkurang. "Apa yang terjadi, Nyai?""Benar, Ibu, katakan ada apa?"Palastri mengernyitkan dahi, kedua matanya menyipit dengan suara desisan ulas lolos dari bibirnya. Apa yang terjadi pada Palastri membuat Roro Wening merasa ada yang aneh. Begitu juga dengan Galasbumi, tetapi keduanya hanya saling pandang dan menunggu agar Palastri mengungkap apa yang terjadi. Namun, wanita itu masih bungkam. Bahkan kini kedua matanya justru terpejam sambil kepalanya menggeleng pelan. Sangat pelan. "Nyai, ungkapkan saja apa yang kamu rasak
"Kita akan serang kerajaan dari segala arah, tetapi tidak bersamaan. Wilayah barat akan di pimpin oleh Ki Galasbumi, sebelah utara biar di pimpin oleh Roro Wening dengan seruling emasnya, timur dipimpin oleh dua kembar Lawu. Untuk selatan sendiri yang lansung berhadapan dengan gerbang utama kerajaan biar aku yang pimpin. Bagaimana?" tanya Jagat. Semua diam, hening cukup lama hingga deru angin makin terasa menusuk tulang barulah Zavia mengangkat kepalanya menatap wajah semua yang hadir. "Lalu apa tugasku dan Nyai Palastri, Jagat?" tanya Zavia. "Ibu dan Nyai cukup mengawasi pergerakan para siluman, bagaimana?"Kedua wanita paruh baya itu saling pandang, lalu bersama menatap heran pada Jagat. Sedangkan yang ditatap hanya nyengir sesaat dan anggukan kepala. Sikap pemuda yang sedikit tengil itu pun akhirnya diangguki oleh mereka berdua. Malam terus berjalan, mereka masih terlihat berbincang membahas skema serangan dalam memperebutkan kekuasaan mutlak atas kerajaan. Hingga suara ayam ja
Angin bertiup sedikit lebih kencang membuat suhu udara menjadi lebih dingin. Hal ini mengakibatkan beberapa warga malas untuk keluar rumah. Namun, tidak bagi para pemuda padepokan mereka justru bersemangat memulai pekerjaan malam itu. "Persiapan sudah selesai, Roro Wening," kata seorang pemuda. Roro Wening berdiri di panggung agar bisa melihat dengan jelas semua hasil kerja teman padepokan. "Bagus, kita bergerak menyusuri sungai agar lebih cepat sampai di utara kerajaan. Paham!"Sekitar lima puluh pemuda dan pemudi berkumpul dengan senjata parang dan pedang untuk melakukan penyerangan sesuai dengan arahan Jagat.Roro Wening yang berjubah ungu segera bergerak cepat. Tubuhnya yang rampung melayang bak layang-layang, begitu ringan mengikuti arah angin. Sedangkan yang lainnya berjalan menyusuri sungai. Mereka tidak berkeinginan untuk mengikuti apa yang dilakukan oleh pimpinan. Hampir semua yang ada di pasukan itu memiliki kemampuan olah kanuragan yang seimbang bahkan setara dengan Weni
Banyubiru terdiam, otaknya berpikir lebih cepat mencari penyelesaian penyerangan dadakan. Belum sempat memutuskan sesuatu hal pun sosok Albara dan Abimana telah ada di depannya. Keduanya menatap penuh tanya akan kondisi istana yang hampir porak-poranda. Banyubiru segera menjelaskan suasana terbaru mengenai keadaan istana saat itu. "Ini pasti perbuatan Jagat Kelana, Ayah." Abimana berkata lalu pandangannya berganti ke arah Banyubiru, "kemana Kurubumi berada saat ini, Paman?"Banyubiru terdiam, kepalanya melihat ke arah belakang posisi Albara dan putra mahkota Abimana. Dari jauh terlihat Kurubumi berjalan tergesa menuju ke mereka bertiga. "Paman!" panggil Abimana dengan penuh tekanan. "Aku di sini, saudaraku," kata Kurubumi. Abimana berbalik arah pada asal suara, lalu pandangannya menelisik penampilan sahabatnya yang jauh berbeda sebelum berangkat ke wilayah barat yang terakhir kali. Kurubumi mengulum senyum tipis, lalu dia menatap pada ayahnya, "bagaimana kabar selanjutnya, Ayah?
Setelah terjadi penyerangan dengan waktu sangat singkat, panglima dan jajaran kerajaan meningkatkan kewaspadaan. Beberapa prajurit kelas atas diturunkan dan bertugas di gari depan. Namun, hingga seminggu tidak ada pergerakan yang mencurigakan. Bahkan udara bergerak pelan hingga melenakan prajurit jaga. Hati terus berjalan tanpa terasa sudah satu bulan sejak peristiwa serangan maut itu. Lama kelamaan mereka mulai menurunkan status darurat menjadi normal. Mereka tidak tahu saja bahwa sejatinya ada beberapa telek sandi yang di sebar oleh Jagat Kelana guna mengawasi aktifitas di istana. "Bagaimana perkembangannya, Kuru?""Belum ada pergerakan yang mencurigakan. Bahkan di padepokan itu semua tampak biasa saja. Apakah mereka telah pindah markas?""Mungkin saja. Bagaimana dengan wanita itu?"Kurubumi menghela napas panjang, lalu menggeleng. Abimana mengusap wajahnya kasar. Sungguh dia hilang digdaya jika berhadapan dengan wanita pembawa seruling itu. Hampir seluruh anggota keluarganya m
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, semua persiapan sudah selesai, bahkan beberapa sesaji pun telah siap di setiap sudut istana. Jagat sendiri telah siap di atas singgasananya dengam pakaian kebesaran. Tampak di sisi kanannya telah duduk wanita tercantik di Singgalang. Akshita duduk dengan anggun berhias mahkota bermata merah delima yang sesekali memancarkan cahaya berkilauan. Sementara di sisi kiri singgasana Jagat duduk berderet para selir yang dimulai dengan selir utama hingga ke selor tanpa status. Kali ini kedudukan selir tanpa status dimiliki oleh Pitaloka, wanita yang telah berulang kali membuat ulah di dalam istana. Apapun yang dilakukan oleh wanita itu masih saja dimaafkan oleh Jagat mengingat wanita itu adalah sesembahan dari kerajaan kecil yang telah hancur. Roro Wening duduk sambil memangku putranya yang akan dianugrahi nama Pangeran Naga Langit. Berita ini sudah tersebat di seluruh negeri hingga membuat halaman istana dipenuhi oleh warga biasa. Saat ini kerajaan tela
Waktu begitu cepat berganti, sinar mentari masuk kamar Jagat melalui jendela yang terbuka sejak semalam, bahkan tubuh raja Singgalang pun masih tergolek berselimut di atas ranjang berteman sekuntum bunga mawar merah pekat. Prameswari yang melewati jendela kamar tersebut berdiri terdiam untuk beberapa saat lamanya. Pikirannya menerawang penuh tanya. "Tidak biasanya jendela itu terbiar begitu lama. Ada apa gerangan?" Pertanyaan demi pertanyaan menguar begitu saja tanpa ada kejelasan jawaban. Prameswari akhirnya melanjutkan perjalanan, dengan perutnya yang sudah besar membuat wanita itu sedikit kesulitan berjalan. Di tengah perjalanan pandangannya menangkap bayangan wanita cantik sedang bersenandung gending jawa yang dia tidak mengerti. Gerak wanita tersebut begitu familiar dan lembut, senyumnya terlihat lepas tulus. "Siapa wanita itu, wajahnya begitu indah bahkan aroma tubuhnya menguar hingga jauh."Tanpa sadar Prameswari terus melangkah mendekat pada sosok tersebut, bibirnya berger
Untuk sesaat Airlangga masih tenggelam dalam samudra ragu, pemuda itu menatap langit yang telah gulita, hembusan napasnya begitu terdengar berat, seakan membawa beban.Jagat Kelana yang belum bisa memahami apa jalan pikiran putra berdarah silumannya dengan sabar menunggu deretan kata yang mungkin keluar dari untaian kegelisahan.Kembali terdengar hembusan napas berat Airlangga membuat hati Jagat seketika berontak, lalu kepalanya menoleh memindai keseluruhan wajah putranya, dia mencari arti di setiap gurat wajah Airlangga. "Jangan membuat semua menjadi sulit jika jalan termudah itu ada, Putraku. Utarakan saja!"Airlangga menoleh menatap ayah biologisnya yang telah lama dia rindukan sejak kecil. Selama ini, dia hanya mendengar semua kisah pria tersebut dari ibunya tanpa mengenal secara nyata. Perlahan bibir Airlangga melengkung tipis, bahkan hampir tanpa terlihat oleh Jagat. Namun, sebagai seorang ayah Jagat Kelana masih bisa menangkap gerakan tipis bibir itu. "Jika Engkau kecewa den
Hati terus berlalu, waktu silih berganti. Angin pun seakan berhenti meninggalkan jejaknya. Jagat Kelana terlihat gelisah menunggu kelahiran putra Roro Wening.Wajahnya yang tampan mulai berkeringat dingin, tetapi auranya masih begitu memukau. Prameswari masih setia menemani Jagat meskipun dia sendiri juga dalam keadaan lemah akibat hamil muda. "Duduk saja di sini, Tuanku," pinta Prameswari masih dengan nada lembut. "Mengapa lama sekali prosesnya, Prames?""Ini sudah hal yang biasa, apakah masa silam Anda tidak pernah mengerti kelahiran Pangeran Airlangga, Tuanku?"Jagat Kelana menatap sendu pada selirnya, bibirnya bergerak lirih, "sayangnya aku tidak ada saat Airlangga lahir. Apakah sesakit itu?"Prameswari meringis, dia tidak menjawab tanya suaminya. Pendengarannya saja dibuat mati. "Prames, ada apa denganmu?""Tidak, aku hanya belum ingin merasakan sakitnya.""Lalu mengapa ada noda di sana?"Kalimat suaminya seketika membuat wajah Prameswari menjadi pias, dia mencengkeram punggun
Setelah dua hari dua malam akhirnya Jagat Kelana menyudahi pergerakan tubuhnya pada selir agung. Bibir pria itu melengkung sempurna kala melihat hasil perbuatannya pada tubuh indah dengan perut buncit itu. "Maafkan aku, Nyai. Tubuhmu begitu candu hingga hasratku sulit dibendung," ucap Jagat dengan nada rendah sambil meraih tubuh polos istrinya itu. Dua hari dua malam tubuh Roro Wening dihajar oleh Jagat membuat wanita itu terlukai lemah di atas ranjang. Dengan lembut, Jagat menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh polos istrinya. "Nyai, rasanya aku tidak sanggup bila harus meninggalkan kami sendiri di sini. Tetapi aku harus masuk lagi ke dunia Akshita. Ada entitas yang akan membahayakan dunia fana ini." Jagat berbicara dengan nada rendah cenderung berbisik. Kemudian Jagat berdiri dan meraih jubah kebesarannya, lalu dia keluar kamar pribadi selir agung. Langkahnya yang panjang membawa sampai ke dapur, tanpa suara Jagat langsung mengambil timba berisi air dan membawanya ke kamar
Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send
Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.