"Kita harus segera merebut apa yang seharusnya milik kita, Anakmas. Jangan terlalu terlena dengan posisi saat ini, lihat nasib mereka yang tertindas!""Bukan seperti itu maksud Jagat, Ibu. Jujur saat ini masih ada yang perlu Jagat luruskan di dunia berbeda," jawab Jagat dengan suara rendah. Zavia menatap putranya penuh tanya, dia tidak mengerti apa maksud dari kalimat putranya. Namun, hanya sebatas itu dan dia tidak ingin mencari tahu selebihnya. Jagat terdiam dia mulai konsentrasi dalam menyalurkan sumber daya yang baru pada tubuh Galasbumi agar pria tua itu semakin bertenaga. Apa yang dilakukan oleh Jagat membawa dampak positif pada tubuh renta sang senopati lama. Perlahan tapi pasti tubuh Galasbumi mulai terlihat sehat dan bertenaga. Pandangannya mulai memindai satu per satu wajah yang ada di sekitarnya hingga berhenti di wajah ayu milik Roro Wening. "Apakah ini bayi merah yang dulu sempat aku simpan di mulut goa? Pasti kamu yang ambil, Bajang?" tanya Galasbumi pada pria tua y
Jaka tampak acuh dan dingin meskipun tatapan Jagat mengintimidasinya, pria itu seakan tidak mengenal sosok pria yang dulu pernah diserangnya itu. Sikap Jaka membuat Jagat makin penasaran hingga dalam otak kecilnya muncul tanya siapa yang sudah membuat Jaka menjadi seperti itu. "Aneh, ilmu apa yang sudah membelenggu jiwa Jaka hingga dia bak benda mati yang digerakkan dari jarak jauh? Huft huu," gumam Jagat yang diakhiri hembusan napas panjang. Apa yang dilakukan oleh Jagat membuat Zavia menatap penuh tanya pada manik mata sang putra. Namun, Jagat hanya menggelengkan kepala dia lebih memilih memendamnya sendiri. Kemudian pandangannya berpindah pada sosok Galasbumi, pria tua berjenggot putih itu terlihat mulai segar dengan aliran darah yang lancar. "Paman, apa hubungan Paman dengan seruling emas? Bagaimana senjata itu hanya bisa dikendalikan oleh Roro Wening?"Galasbumi terhenyak kaget, dia tidak menyangka jika akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Jagat. Lalu tangannya beralih k
Roro Wening masih menunggu jawaban dari Galasbumi, dia tidak memedulikan Jagat yang tetap memberi tatapan tajamnya. Gadis itu kini berjalan menuju ke gurunya, lalu dia duduk bersimpuh di bawah kaki Bajanglawu "Beri aku wajah, Guru!" kata Wening sambil menempelkan kepalanya pada ubin kayu pendopo. Bajanglawu seketika langsung meraih bahu murid terbaiknya, dia membawa tubuh yang bergetar karena menahan tekanan hingga harus menangis tertahan ke sisi Zavia. "Bantulah muridku ini, Nyai Ratu! Aku masih ingat jika Nyai memiliki ajian yang bisa melihat masa lalu dan depan," ungkap Bajanglawu. Zavia terdiam. Wanita itu belum menggerakkan bibirnya agar mengeluarkan suara. Kedua matanya hany terpejam dengan napas yang naik turun dengan ritme yang sama. Tubuh Wening secara kasat nyata terlihat baik-baik saja, tetapi dalam hatinya sudah terjadi pergolakan dan pertentangan yang cukup membuatnya sesak dan susah bernapas. Suasana pendopo agung padepokan terasa makin tegang dan dingin. Semua pen
Merasa angin berhembus sedikit berbeda membuat Jagat langsung berdiri dan melompat ke arah ibundanya. Sensor pria muda itu menangkap adanya sosok yang berbeda sedang berkeliaran di sekitar pendopo. Zavia langsung mengulas senyum manis pada putranya, dia terlihat begitu bahagia dengan reaksi spontan Jagat yang seakan melindunginya. "Redam emosimu, Anakmas! Dia tamuku," kata Zavia. Galasbumi seketika segar bugar, apalagi saat sosok wanita cantik keluar dari kabut tipis. Wanita yang sudah lama dia rindukan, baru saat ini Galasbumi melihatnya. Sosok wanita yang anggun dengan pakaian kebaya bak putri kerajaan. Senyum tipis terukir indah dengan tatapan penuh rindu pada sosok pria tua berjanggut. "Selamat datang, Dewi Palastri."Palastri hanya melempar senyum, dia terus melangkah menuju ke posisi Galasbumi yang berdiri dengan senyumnya. Saat wanita itu makin dekat dengan Galasbumi, api kecil langsung menyala di setiap bumbung bambu. Kini pendopo terlihat terang hingga semua yang ada d
Bajanglawu mengikuti saran dari Palastri, pria tua itu menekan titik pusat yang dimaksud oleh wanita tersebut. Beberapa saat kemudian Bledek pun terbatuk dengan kedua mata terbuka dan menatap penuh tanya pada Bajanglawu. "Ada apa dengan tubuhku, Ki Bajang?"Bajanglawu tersenyum tipis lalu dia menepuk bahu kembarannya itu dengan gelengan kepala. "Sudah tidak apa, jangan lanjutkan lagi!"Bledek makin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Bajanglawu, kembali pandangannya menyapu seluruh area pendopo hingga terhenti pada sosok Palastri yang berdiri sambil memeluk tubuh Roro Wening."Bukankah Anda yang tadi menyapaku, Nyai?" Palastri hanya diam menatap datar pada Bledek hingga membuat oria tua itu menunduk dalam. Dia merasa ada yang salah dan berbeda dengan kondisi saat itu, tetapi apa? Bledek berjalan mundur, dia mencari ruang yang sedikit lebih longgar agar bisa melapangkan sesak pada dadanya. Sepintas tatapan Bledek terlihat oleh Zavia, hal ini menimbulkan tanya dalam hati.
Padepokan Wenning kembali disibukkan dengan latihan kanuragan dan kebatinan. Di beberapa titik terlihat banyak pemuda yang saling beradu ilmu beladiri dengan tangan kosong, tetapi juga ada yang menggunakan ilmu pedang. Namun, di bagian yang lain terlihat sekumpulan wanita muda sedang memainkan lesung dengan irama yang penuh dengan tenaga dalam. Sepertinya mereka bukan main-main, melainkan sedang memeragakan sebuah formasi tempur khusus pasukan wanita dengan dipimpin oleh Roro Wening. Di sudut padepokan ada gubug yang dikhususkan untuk meracik obat herbal. Di sana tampak Galasbumi berdiri menatap beberapa murid yang sedang meracik obat-obatan persiapan untuk perang besar. "Bagaimana hasil herbal yang aku berikan resepnya, Paman?" tanya Jagat saat sudah berada di depan Galasbumi. "Semua sudah sesuai dengan takarannya, Pangeran. Hal ini juga sudah dibuktikan pada hewan liar yang hampir sama struktur organ tubuhnya," jawab Galasbumi. "Ini dosisnya untuk manusia lho, Paman. Apakah ti
Ruang khusus untuk semua jadwal pertemuan penting terlihat lengang. Hanya ada Kurubumi dan Albara. Raja dan bawahannya berbincang hangat di meja bundar dengan hidangan makan siang yang menggugah selera. Tidak hanya buah dan sayuran segar yang terhidang, melainkan ada berbagai menu santapan daging dengan berbagai varian. Tentunya ada juga tuak dan arak yang cukup langka. Pandangan Kurubumi masih terfokus pada semua ucapan dari sang raja. Kali ini dia begitu menahan selera makannya meskipun lapar. Berulangkali Kurubumi menelan air liurnya hanya untuk itu. "Apakah yang dikatakan telek sandi kita semua itu benar, Pangeran Kuru?""Begitulah adanya, Paduka. Satu urusan sudah aku kirim. Awalnya dia berhasil pulnag. Lalu, setelah semau selesai melapor dia aku tugaskan lagi. Dan tanpa kabar." Albara diam, dia mencerna apa yang diungkapkan oleh bawahannya itu. Kata tanpa kabar bisa diartikan bahwa telek sandi itu tertangkap dan mati. Atau bahkan tertawan. Albara menggeleng kepala kuat. Pri
Semilir angin malam menerpa wajah tampan Jagat, dia sedang semedi dibawah pohon ajaib. Kedua matanya terpejam denah napas yang naik turun secara teratur. Suara hewan malam menemani dan berdiri di sekitarnya. Bahkan tampak harimau putih duduk manis di sisi kanannya dengan kepala terjulur ke depan menopang pada kaki depan. Sebuah pemandangan yang syahdu di tambah dengan cahaya rembulan sempurna membuat lokasi sekitarnya sedikit redup. Jagat masih konsentrasi tetapi di alam bawah sadarnya pria itu terlihat sedang melatih ilmu kanuragan melawan Ki Cadek.Jurus demi jurus dilakukan oleh Jagat guna menurunkan tensi juang penunggu kujang. Namun, semua usaha telah dikerahkan dan tidak ada perubahan yang signifikan dari stamina Ki Cadek. "Bagus, Pangeran. Tingkatkan lagi sumber daya kamu di bagian ujung tapak kaki. Tendang secara maksimal!"Sesuai perintah itu, Jagat pun bersiap untuk menyerang kembali. Semua sumber daya yang ada dialirkan ke semua titik serang agar saatnya tiba akan lebi
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk
Jagat berdiri menatap langit yang masih malu menampakkan sinar mentari. Cuaca hari itu sedikit sendu, seakan membawa angin kesedihan. Roro Wening pun ikut berdiri tetapi dia tidak mengikuti arah pandang suaminya. Wanita nomer satu di Kerajaan Singgalang justru menatap ke arah utara sedangkan suaminya menatap ke arah timur. Dua arah yang berbeda meskipun berjalan pasti tidak akan menemui ujungnya. Keduanya masih diam menatap pada arah tersebut. Angin yang berhembus pun seakan enggan memberi kabar atas cuaca yang tidak bersahabat. "Akankah ada bencana lagi, Suamiku? Ada yang berbeda aroma angin berhembus hari ini," kata Roro Wening. "Sepertinya begitu, Nyai Wening. Semua bisa terjadi yang datang dari berbagai arah." Beberapa saat kemudian, Jagat berbalik melihat sosok istrinya yang sedang hamil lima bulan. Perut Roro Wening sudah terlihat membuncit. Lalu Jagat segera meraih tubuh istrinya dan digendong ala bridal. Dibawanya tubuh sang istri ke dalam sebuah bilik di dekat pendopo.
Jagat terus melangkah tanpa menoleh ke setiap pintu paviliun milik selir-selirnya. Dia terus melangkah hingga sampai di pendopo sunyi tempat biasa dia bermeditasi. Jagat berdiri menatap hamparan tanah hijau dalam gelita malam. Bibirnya tertutup rapat tetapi pikirannya melayang tak tentu arah. Dia mencari alasan mengapa istri gaibnya begitu ingin menjauh kembali setelah sekian lama tak berjumpa dalam dunia nyata. "Mungkin saat ini wanitamu itu sedang ada masalah lagi di Kerajaan gaib miliknya, Pangeran." Suara tua yang sudah lama tidak terdengar di telinga Jagat. "Ki, akhirnya kamu muncul juga setelah lama kita tidak berbincang." "Saya sedang meditasi, Pangeran. Bukankah selama saya pergi semua masih bisa terkendali secara fisik dan rohani?"Jagat menghela napas panjang dan berat. Apalagi sejak kepergian Ki Cadek beberapa waktu lalu setelah kembalinya Ashita, Jagat sering di uji gairah yang sulit terkendali. Dia sadar bahwa selama ini gairahnya seringkali tidak mendapat tempat yan