"Gunakan apa yang ada pada inti sumber daya Anda, Pangeran Abi!" kata Banyubiru. Abimana seketika ingat bagaimana cara untuk pengaturan napas, dia mulai terfokus dan menata ulang jalan napasnya sesuai runtutan dalam kitab beladiri ala Pandan Alas. Lambat laun jalan napas dan darah mulai tertata hingga fokus Abimana kian terjaga. Meskipun fokusnya terjaga konsentrasi yang mulai goyang. Bayangan tubuh telanjang Gayatri menyapa retinanya. Desah hangat yang lolos dari bibir seksi wanita itu sedikit banyak telah mempengaruhi konsentrasinya hingga perlahan jalan napasnya goyang. "Apapun yang muncul dalam pikiran lebih baik dibuang, Pangeran. Itu adalah aral yang harus Anda taklukkan!" bisik Banyubiru. Abimana kembali menyusun jalan napasnya, dia menutup aura negatif yang memunculkan siluet Gayatri. Dalam pikir dan hatinya, pria itu berusaha memunculkan sosok tiga sahabatnya yang mungkin akan sulit dijumpai lagi. Mengingat hal itu, seketika membuat jiwa Abimana berontak. Hal ini membaw
Ambarawa membawa putranya ke tempat biasa dia adu kenuragan bersama istri. Pandangan Abimana menggelap saat melihat lingkungan sekitar. "Biasakan penglihatanmu, Anakmas!"Abimana mencoba mengikuti semua arahan ayahandanya. Perlahan tapi pasti penglihatannya mulai terbiasa dengan penampakan yang tidak biasa di sekitar. "Bagus, sekarang fokus pada sumber daya yang kamu miliki!" Albara terus memberi arahan pada putranya dalam bertarung yang sesungguhnya. Dia tidak ingin kecolongan saat terjadi perebutan kekuasaan yang mungkin saja akan segera terjadi. "Tahan, jangan sampai kau tergoda!" kata Albara saat sesosok wanita yang mulai membelai punggung Abimana. Saat ini Abimana dibawa oleh Albara di suatu tempat yang banyak terdapat makhluk astral. Berbagai godaan baik secara fisik maupun suara sering terjadi agar fokus putra mahkota terbelah. "Fokus, Abimana!" kata Albara lantang. Lalu dengan gerak cepat Albara menyerang putranya dengan berbagai jurus. Tendangan dan pukulan dilayangkan
"Ayahanda, bagaimana keadaanmu?" tanya Abimana begitu pedangnya seakan menyentuh daging. Kedua mata Abimana membelalak tajam saat dilihatnya lengan Albara telah tergeletak menggelepar di atas tanah. Melihat hal itu dia maju beberapa langkah untuk melihat lebih dekat. Tangannya maju dan mulai menyentuh meskipun sedikit ragu, dia tetap memberanikan diri. Ujung jari Abimana menekan lengan ayahnya yang terpotong sempurna, lalu kepalanya tengadah menatap wajah Albara yang masih datar dan dingin seolah apa yang terjadi tidak menurunkan sumber daya. "Bagaimana tidak ada rasa dan efeknya, Ayahanda?"Albara mengulum senyum tipis, kemudian dia melirik lengan kirinya yang telah buntung dan darah masih keluar meskipun tidak sederas di awal. Abimana pun mengikuti arah pandang ayahnya, untuk sesaat ada nyeri yang menelusup relung hatinya. Andai itu terjadi padanya mungkin saja darah akan mengucur deras. Namun, apa yang terjadi pada organ tubuh ayahnya sama sekali darah mengucur. Hanya merembes
"Kita harus segera merebut apa yang seharusnya milik kita, Anakmas. Jangan terlalu terlena dengan posisi saat ini, lihat nasib mereka yang tertindas!""Bukan seperti itu maksud Jagat, Ibu. Jujur saat ini masih ada yang perlu Jagat luruskan di dunia berbeda," jawab Jagat dengan suara rendah. Zavia menatap putranya penuh tanya, dia tidak mengerti apa maksud dari kalimat putranya. Namun, hanya sebatas itu dan dia tidak ingin mencari tahu selebihnya. Jagat terdiam dia mulai konsentrasi dalam menyalurkan sumber daya yang baru pada tubuh Galasbumi agar pria tua itu semakin bertenaga. Apa yang dilakukan oleh Jagat membawa dampak positif pada tubuh renta sang senopati lama. Perlahan tapi pasti tubuh Galasbumi mulai terlihat sehat dan bertenaga. Pandangannya mulai memindai satu per satu wajah yang ada di sekitarnya hingga berhenti di wajah ayu milik Roro Wening. "Apakah ini bayi merah yang dulu sempat aku simpan di mulut goa? Pasti kamu yang ambil, Bajang?" tanya Galasbumi pada pria tua y
Jaka tampak acuh dan dingin meskipun tatapan Jagat mengintimidasinya, pria itu seakan tidak mengenal sosok pria yang dulu pernah diserangnya itu. Sikap Jaka membuat Jagat makin penasaran hingga dalam otak kecilnya muncul tanya siapa yang sudah membuat Jaka menjadi seperti itu. "Aneh, ilmu apa yang sudah membelenggu jiwa Jaka hingga dia bak benda mati yang digerakkan dari jarak jauh? Huft huu," gumam Jagat yang diakhiri hembusan napas panjang. Apa yang dilakukan oleh Jagat membuat Zavia menatap penuh tanya pada manik mata sang putra. Namun, Jagat hanya menggelengkan kepala dia lebih memilih memendamnya sendiri. Kemudian pandangannya berpindah pada sosok Galasbumi, pria tua berjenggot putih itu terlihat mulai segar dengan aliran darah yang lancar. "Paman, apa hubungan Paman dengan seruling emas? Bagaimana senjata itu hanya bisa dikendalikan oleh Roro Wening?"Galasbumi terhenyak kaget, dia tidak menyangka jika akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Jagat. Lalu tangannya beralih k
Roro Wening masih menunggu jawaban dari Galasbumi, dia tidak memedulikan Jagat yang tetap memberi tatapan tajamnya. Gadis itu kini berjalan menuju ke gurunya, lalu dia duduk bersimpuh di bawah kaki Bajanglawu "Beri aku wajah, Guru!" kata Wening sambil menempelkan kepalanya pada ubin kayu pendopo. Bajanglawu seketika langsung meraih bahu murid terbaiknya, dia membawa tubuh yang bergetar karena menahan tekanan hingga harus menangis tertahan ke sisi Zavia. "Bantulah muridku ini, Nyai Ratu! Aku masih ingat jika Nyai memiliki ajian yang bisa melihat masa lalu dan depan," ungkap Bajanglawu. Zavia terdiam. Wanita itu belum menggerakkan bibirnya agar mengeluarkan suara. Kedua matanya hany terpejam dengan napas yang naik turun dengan ritme yang sama. Tubuh Wening secara kasat nyata terlihat baik-baik saja, tetapi dalam hatinya sudah terjadi pergolakan dan pertentangan yang cukup membuatnya sesak dan susah bernapas. Suasana pendopo agung padepokan terasa makin tegang dan dingin. Semua pen
Merasa angin berhembus sedikit berbeda membuat Jagat langsung berdiri dan melompat ke arah ibundanya. Sensor pria muda itu menangkap adanya sosok yang berbeda sedang berkeliaran di sekitar pendopo. Zavia langsung mengulas senyum manis pada putranya, dia terlihat begitu bahagia dengan reaksi spontan Jagat yang seakan melindunginya. "Redam emosimu, Anakmas! Dia tamuku," kata Zavia. Galasbumi seketika segar bugar, apalagi saat sosok wanita cantik keluar dari kabut tipis. Wanita yang sudah lama dia rindukan, baru saat ini Galasbumi melihatnya. Sosok wanita yang anggun dengan pakaian kebaya bak putri kerajaan. Senyum tipis terukir indah dengan tatapan penuh rindu pada sosok pria tua berjanggut. "Selamat datang, Dewi Palastri."Palastri hanya melempar senyum, dia terus melangkah menuju ke posisi Galasbumi yang berdiri dengan senyumnya. Saat wanita itu makin dekat dengan Galasbumi, api kecil langsung menyala di setiap bumbung bambu. Kini pendopo terlihat terang hingga semua yang ada d
Bajanglawu mengikuti saran dari Palastri, pria tua itu menekan titik pusat yang dimaksud oleh wanita tersebut. Beberapa saat kemudian Bledek pun terbatuk dengan kedua mata terbuka dan menatap penuh tanya pada Bajanglawu. "Ada apa dengan tubuhku, Ki Bajang?"Bajanglawu tersenyum tipis lalu dia menepuk bahu kembarannya itu dengan gelengan kepala. "Sudah tidak apa, jangan lanjutkan lagi!"Bledek makin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Bajanglawu, kembali pandangannya menyapu seluruh area pendopo hingga terhenti pada sosok Palastri yang berdiri sambil memeluk tubuh Roro Wening."Bukankah Anda yang tadi menyapaku, Nyai?" Palastri hanya diam menatap datar pada Bledek hingga membuat oria tua itu menunduk dalam. Dia merasa ada yang salah dan berbeda dengan kondisi saat itu, tetapi apa? Bledek berjalan mundur, dia mencari ruang yang sedikit lebih longgar agar bisa melapangkan sesak pada dadanya. Sepintas tatapan Bledek terlihat oleh Zavia, hal ini menimbulkan tanya dalam hati.
Roro Wening berjalan kembali ke paviliunnya. Dia membuka pintu dan langsung melihat suaminya sudah duduk sila di atas ranjang. Melihat Jagat Kelana sudah duduk sila seketika Roro Wening mempercepat langkahnya. Ada kekhawatiran yang muncul dalam sorot mata sendu, dia merasakan adanya aura lain yang merasuki tubuh suaminya. "Suamiku, ada apa dengan tubuhmu?" ucap Roro Wening sambil duduk di belakang Jagat Kelana. Jemarinya yang lentik menyentuh kulit suaminya, lalu terjadi sengatan begitu kulit keduanya saling bersentuhan. "Jangan ganggu aku dulu, Nyai. Biarkan semua energi ini masuk dalam tubuhku!"Suara Jagat menghentikan gerakan Roro Wening. Wanita itu memilih bangkit dari ranjang dan berjalan menuju ke kursi yang menghadap pada posisi suaminya. Dahi selir agung berkerut kala mendapati tubuh Jagat mulai berkeringat besar dan bergetar. Tubuh telanjang dada itu perlahan mulai terlihat segar dan menggoda akibat lelehan air bening. Beberapa kali Wening menelan air liurnya. Dia send
Pitaloka terdiam, dia tidak berani berkata lagi. Tatapan selir agung begitu tajam hingga terasa sesak dada Pitaloka. "Pergilah, Sasti. Segera siapkan apa yang aku pinta!"Sasti pun segera berlalu meninggalkan kedua selir raja yang saling berseteru. Melihat dayang pribadi selir agung pergi kedua mata Pitaloka menyipit, dia meraup wajahnya sendiri "Apa maksud kamu menghalangi pekerjaan dayangku, hem?""Bukan begitu, Yunda Selir. Aku hanya bertanya pada dayang itu, tidak ada maksud lain," jawab Pitaloka. "Iya sudah, lupakan saja. Ini bukan urusan kamu." Usai berkata Wening berlalu meninggalkan tempat itu. Pitaloka mengepalkan kedua tapak tangan sambil menghela napas berat. Dia tidak terima dengan perlakuan selir agung, dia ingin saat ini menjadi permaisuri raja. Setidaknya menjadi wanita di hati raja itu. "Sialan kau, Wanita Tua. Lihat saja nanti!" Pitaloka kembali ke paviliun miliknya, dia memanggil dayang pribadi yang khusus dipilihnya sendiri. Mendengar namanya dipanggil dayang
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk