Keringat dingin keluar dari pelipis Jagat. Pria itu terlihat begitu serius mengobati sakit yang diderita oleh senopati kerajaan. Galasbumi hanya mengulum senyum menatap pada Jagat. "Sudah jangan diteruskan, Pangeran. Tubuh renta ini harus segera meninggalkan dunia fana," kata Galasbumi dengan sedikit terputus. Napas pria tua itu sesekali muncul di permukaan, di lain waktu menghilang. Apa yang terjadi membuat seluruh orang yang hadir di sana menjadi tegang. "Tapi, ibunda ratu masih inginkan kehidupan ada di tubuh Paman," kilah Jagat. "Jangan pedulikan apa yang dititahkan oleh Nyai Ratu, Pangeran. Sumber dayamu lebih berguna untuk masa depan." Usai berkata tatapan Galasbumi beralih pada sosok cantik dan anggun berdiri menatapnya penuh harap. "Ikhlaskan aku pergi Adikku!" pinta Galasbumi bernada sangat rendah. Sebuah permintaan yang hanya bisa didengar oleh Zavia membuat wanita itu membola matanya dengan bibir cemberut. "Tidak, kamu harus sembuh, Ki!" Galasbumi merai
Suasana Padepokan Galuh Wening mulai terlihat sunyi. Beberapa murid lebih memilih berada di dalam bilik masing-masing sesuai pesan Jagat. Bukan karena mereka malas ataupun takut akan suatu hal melainkan mereka diberi tugas untuk semedi. Hampir seluruh murid berada di biliknya hanya sesekali tampak satu atau dua murid yang berkeliling sekitar padepokan. Angin bertiup seperti tidak biasanya, seakan membawa uap air yang begitu dingin membuat kedua pemuda itu menggigil kedinginan. "Malam ini mungkin akan makin dingin, Sobat," kata pemuda kurus. "Huum, seperti yang dikatakan oleh pendekar berkujang itu." "Hust, jangan panggil seperti itu, dia adalah pangeran yang sengaja dihilangkan."Angin makin bertiup kencang hingga sesekali terdengar tawa cekikikan yang berderai menyapa telinga keduanya. Mereka saling tatap penuh tanya, lalu tiba-tiba sebuah anak panah meluncur deras hingga hampir saja menembus jantung si kurus. "Selamet aku isek iso nyingkir," kata kurus sambil menghela napas leg
"Gunakan apa yang ada pada inti sumber daya Anda, Pangeran Abi!" kata Banyubiru. Abimana seketika ingat bagaimana cara untuk pengaturan napas, dia mulai terfokus dan menata ulang jalan napasnya sesuai runtutan dalam kitab beladiri ala Pandan Alas. Lambat laun jalan napas dan darah mulai tertata hingga fokus Abimana kian terjaga. Meskipun fokusnya terjaga konsentrasi yang mulai goyang. Bayangan tubuh telanjang Gayatri menyapa retinanya. Desah hangat yang lolos dari bibir seksi wanita itu sedikit banyak telah mempengaruhi konsentrasinya hingga perlahan jalan napasnya goyang. "Apapun yang muncul dalam pikiran lebih baik dibuang, Pangeran. Itu adalah aral yang harus Anda taklukkan!" bisik Banyubiru. Abimana kembali menyusun jalan napasnya, dia menutup aura negatif yang memunculkan siluet Gayatri. Dalam pikir dan hatinya, pria itu berusaha memunculkan sosok tiga sahabatnya yang mungkin akan sulit dijumpai lagi. Mengingat hal itu, seketika membuat jiwa Abimana berontak. Hal ini membaw
Ambarawa membawa putranya ke tempat biasa dia adu kenuragan bersama istri. Pandangan Abimana menggelap saat melihat lingkungan sekitar. "Biasakan penglihatanmu, Anakmas!"Abimana mencoba mengikuti semua arahan ayahandanya. Perlahan tapi pasti penglihatannya mulai terbiasa dengan penampakan yang tidak biasa di sekitar. "Bagus, sekarang fokus pada sumber daya yang kamu miliki!" Albara terus memberi arahan pada putranya dalam bertarung yang sesungguhnya. Dia tidak ingin kecolongan saat terjadi perebutan kekuasaan yang mungkin saja akan segera terjadi. "Tahan, jangan sampai kau tergoda!" kata Albara saat sesosok wanita yang mulai membelai punggung Abimana. Saat ini Abimana dibawa oleh Albara di suatu tempat yang banyak terdapat makhluk astral. Berbagai godaan baik secara fisik maupun suara sering terjadi agar fokus putra mahkota terbelah. "Fokus, Abimana!" kata Albara lantang. Lalu dengan gerak cepat Albara menyerang putranya dengan berbagai jurus. Tendangan dan pukulan dilayangkan
"Ayahanda, bagaimana keadaanmu?" tanya Abimana begitu pedangnya seakan menyentuh daging. Kedua mata Abimana membelalak tajam saat dilihatnya lengan Albara telah tergeletak menggelepar di atas tanah. Melihat hal itu dia maju beberapa langkah untuk melihat lebih dekat. Tangannya maju dan mulai menyentuh meskipun sedikit ragu, dia tetap memberanikan diri. Ujung jari Abimana menekan lengan ayahnya yang terpotong sempurna, lalu kepalanya tengadah menatap wajah Albara yang masih datar dan dingin seolah apa yang terjadi tidak menurunkan sumber daya. "Bagaimana tidak ada rasa dan efeknya, Ayahanda?"Albara mengulum senyum tipis, kemudian dia melirik lengan kirinya yang telah buntung dan darah masih keluar meskipun tidak sederas di awal. Abimana pun mengikuti arah pandang ayahnya, untuk sesaat ada nyeri yang menelusup relung hatinya. Andai itu terjadi padanya mungkin saja darah akan mengucur deras. Namun, apa yang terjadi pada organ tubuh ayahnya sama sekali darah mengucur. Hanya merembes
"Kita harus segera merebut apa yang seharusnya milik kita, Anakmas. Jangan terlalu terlena dengan posisi saat ini, lihat nasib mereka yang tertindas!""Bukan seperti itu maksud Jagat, Ibu. Jujur saat ini masih ada yang perlu Jagat luruskan di dunia berbeda," jawab Jagat dengan suara rendah. Zavia menatap putranya penuh tanya, dia tidak mengerti apa maksud dari kalimat putranya. Namun, hanya sebatas itu dan dia tidak ingin mencari tahu selebihnya. Jagat terdiam dia mulai konsentrasi dalam menyalurkan sumber daya yang baru pada tubuh Galasbumi agar pria tua itu semakin bertenaga. Apa yang dilakukan oleh Jagat membawa dampak positif pada tubuh renta sang senopati lama. Perlahan tapi pasti tubuh Galasbumi mulai terlihat sehat dan bertenaga. Pandangannya mulai memindai satu per satu wajah yang ada di sekitarnya hingga berhenti di wajah ayu milik Roro Wening. "Apakah ini bayi merah yang dulu sempat aku simpan di mulut goa? Pasti kamu yang ambil, Bajang?" tanya Galasbumi pada pria tua y
Jaka tampak acuh dan dingin meskipun tatapan Jagat mengintimidasinya, pria itu seakan tidak mengenal sosok pria yang dulu pernah diserangnya itu. Sikap Jaka membuat Jagat makin penasaran hingga dalam otak kecilnya muncul tanya siapa yang sudah membuat Jaka menjadi seperti itu. "Aneh, ilmu apa yang sudah membelenggu jiwa Jaka hingga dia bak benda mati yang digerakkan dari jarak jauh? Huft huu," gumam Jagat yang diakhiri hembusan napas panjang. Apa yang dilakukan oleh Jagat membuat Zavia menatap penuh tanya pada manik mata sang putra. Namun, Jagat hanya menggelengkan kepala dia lebih memilih memendamnya sendiri. Kemudian pandangannya berpindah pada sosok Galasbumi, pria tua berjenggot putih itu terlihat mulai segar dengan aliran darah yang lancar. "Paman, apa hubungan Paman dengan seruling emas? Bagaimana senjata itu hanya bisa dikendalikan oleh Roro Wening?"Galasbumi terhenyak kaget, dia tidak menyangka jika akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Jagat. Lalu tangannya beralih k
Roro Wening masih menunggu jawaban dari Galasbumi, dia tidak memedulikan Jagat yang tetap memberi tatapan tajamnya. Gadis itu kini berjalan menuju ke gurunya, lalu dia duduk bersimpuh di bawah kaki Bajanglawu "Beri aku wajah, Guru!" kata Wening sambil menempelkan kepalanya pada ubin kayu pendopo. Bajanglawu seketika langsung meraih bahu murid terbaiknya, dia membawa tubuh yang bergetar karena menahan tekanan hingga harus menangis tertahan ke sisi Zavia. "Bantulah muridku ini, Nyai Ratu! Aku masih ingat jika Nyai memiliki ajian yang bisa melihat masa lalu dan depan," ungkap Bajanglawu. Zavia terdiam. Wanita itu belum menggerakkan bibirnya agar mengeluarkan suara. Kedua matanya hany terpejam dengan napas yang naik turun dengan ritme yang sama. Tubuh Wening secara kasat nyata terlihat baik-baik saja, tetapi dalam hatinya sudah terjadi pergolakan dan pertentangan yang cukup membuatnya sesak dan susah bernapas. Suasana pendopo agung padepokan terasa makin tegang dan dingin. Semua pen