Jagat memacu kudanya dengan kecepatan tinggi dia tidak memedulikan sekitarnya. Lelaki itu semakin dingin dalam segala hal. Perjalanan yang ditempuh Jagat begitu panjang, mulai dari hutan gelita tanpa ujung hingga hutan nyata yang gelap harus melewati berbagai aral rintang yang tidak mudah. Banyaknya siluman yang inginkan kujang dengan sembilan permata membuat Jagat harus sesekali meladeni inginnya mereka satu per satu. Namun, apapun yang coba halangi langkahnya pria itu selalu mampu berdiri dan bertarung kuat. Slash! Sekelebat anak panah melesat dari arah depan menuju ke dada kiri Jagat. Dengan cepat, pria itu menyentak tapi kelang kudanya hingga membuat meringkuk berdiri dengan kedua kaki depannya terangkat tinggi. Sebuah anak panah berhasil disingkirkan oleh sepak kaki kuda. Jagat langsung memindai seluruh hutan sejauh matanya menjangkau. Lalu bibirnya menyeringai tajam. Jagat membungkuk, ujung tangan kanannya mencoba meraih ranting kering yang ada di bawah kaki kuda.
Setelah berkata, Jagat mulai meladeni setiap serangan dari pemuda itu. Baik tendangan maupun pukulan bisa ditangkis oleh Jagat dengan mudahnya, hal ini membuat sang lawan makin geram hingga dia kembali memfokuskan sumber dayanya di satu titik vital. "Kali ini kau akan mati, Jagat!"Usai berkata pemuda itu melesat jauh dengan kaki menendang tajam. Untuk sesaat Jagat diam, dia membaca arah tendangan tersebut, sekilas tampak menyerang ke tungkai bawahnya. Namun, Jagat tidak menghindar dia justru menangkap tendangan itu yang berbelok ke arah bahunya. KrakkSuara tulang retak terdengar jelas, tidak hanya suara itu tetapi suara lengkingan kesakitan pun juga terdengar di cuping Jagat. Lalu dengan gerakan cepat Jagat menyentak dan menutup beberapa jalan darahnya. Apa yang dilakukan oleh Jagat membuat kedua bola mata lawannya melotot kaget. Dia tidak menyangka akan terjadi seperti itu, gerakan tipuannya dapat terbaca dengan jelas. "Bagaimana bisa, sialan!" umpat lawan Jagat masih tidak men
menampia mengulum senyum membuat Jagat, lalu tangannya terangkat dengan kepala mendongak menatap langit. Dari atas terlihat sinar terang meluncur deras ke bawah. Samar mulai terlihat wujud kecapi turun ke bawah. Zavia menerima kecapi dengan tangan terbuka, lalu mulai menata senar itu kembali. Wajah Zavia terlihat serius menyamakan nada setiap senar kecapi. Jagat terpana melihat keseriusan Zavia membuat ingatannya tertuju pada mimpinya. "Jadi benarkah wanita ini adalah ibundaku?" batin Jagat. Ki Cadek yang sudah berdiri di belakang tubuh Jagat seketika berbisik mengiyakan apa yang terucap lewat kaya batin. Jagat langsung menoleh ke belakang melihat wajah penunggu kujang dengan tatapan ragu. Lambat laun mulai terdengar alunan musik yang keluar dari petikan kecapi. Jemari tangan yang lentik makin menghasilkan suara yang indah hingga membuat Jagat terlena. Samar terlihat gambaran masa silam kesakitan Zavia selama dalam masa pengasingannya. Bahkan peristiwa terbunuhnya Raja L
Masih di dalam kerajaan, lebih tepatnya di penjara bawah tanah. Galasbumi sedang duduk sila, pria Tia yang memiliki jangan putih panjang itu mulai membuka kedua bola matanya. Dia kembali menatap sekitarnya, udara lambab tanpa cahaya masih saya saat pertama kali dia dimasukkan ke sana. Namun, hingga saat ini Galasbumi masih setia menunggu kabar demi kabar yang membuatnya makin bertahan hidup. Langkah kaki yang begitu pelan dan seperti penuh kewaspadaan terdengan oleh telinga Galas. Pria tua itu pun kembali ke posisinya semula. Duduk sila menghadap pada pintu teralis besi. Lambat laun langkah itu mulai mendekat, lalu tampaklah pria tambun. Dia membungkuk sesaat pada Galasbumi. Kemudian kepalanya terangkat sambil mengulas senyum. "Bagaimana usahamu, Candraka?" tanya Galasbumi Pria tambun yang dulu sempat berbicara dengan Jagat itu menganggukkan kepala tiga kali, lalu bibirnya mengulum senyum simpul. Galasbumi menjadi ikut tersenyum tipis, "Bagus, awasi pergerakannya terus.
Jantaka terdiam, dia menelaah ulang apa yang dikatakan oleh Kurubumi. Pria itu menggelengkan kepala seolah menolak apa yang diutarakan oleh sahabatnya itu. "Tidak bisa, semua pasti akan menemui ajalnya dan nyawa Jagat harus aku dapatkan!" "Jaga emosimu itu, Jantaka. Pemuda itu saat ini lebih dikenal oleh masyarakat sebagai pendekar yang linuwih," ungkap Kurubumi. Jantaka menggeram kesal, dia pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke tenda pribadinya. Kurubumi hanya menatap kepergian Jantaka. Dia bisa merasakan pedihnya hati lelaki itu, bahkan jika mungkin dia mengalami nasib yang sama tidak akan berani menantang Jagat. Kurubumi masih duduk di depan api unggun. Tangannya mengorek abu bekas api, bibirnya mulai bergerak seakan sedang membaca mantra. Angin malam berhembus perlahan menerbangkan surai rambut Kurubumi. "Tunjukkan peristiwa masa silam saat begawan itu mati!" Usai kalimat tersebut selesai, seketika tangan kanan Kurubumi bergerak dengan sendirinya. Tangan
"Rasanya tidak mungkin, Jantaka. Yang aku khawatirkan adalah nyawamu, bukan pasukan ku di sini. Kau tentu paham!""Jika takdirku hanya sampai di sini sudah biasa, Pangeran. Di sini yang lebih utama adalah nyawa Anda, Pangeran. Yakinlah aku tidak akan mati!"Kurubumi menghela napas panjang, dia sama sekali takut jika sahabatnya itu hanya tinggal nama. Selama ini hanya Jantaka yang paham dengan karakternya hingga Kurubumi begitu menghargai dan menghormati apapun keputusan Jantaka. Kurubumi bangkit dan melangkah menuju jendela, tatapannya menerawang jauh pada kesehatan hutan gelap. Lalu dia berbalik arah menatap pada Jantaka. "Bagaimana kau tahu jika saat ini Jagat sedang berada dalam satu hutan dengan kita, Janta?" tanya Kurubumi sambil berjalan mendekati meja. "Gampang saja, Pangeran. Aroma cakra baru dengan sinar perak sudah dapat aku cium. Dan ini aku yakin milik Jagat," kata Jantaka yakin. Kurubumi menatap tidak percaya dengan semua ucapan sahabatnya itu. Apalagi mendengar kata
Jagat menatap heran saat melihat sosok Jantaka. Pria yang dulu kurus kering kini terlihat berisi, tubuh Jantaka gempal dan kuat. Namun, bukan itu yang membuat Jagat terpana. Ada hal yang berbeda dari sosok pria yang sudah dianggap sebagai kakak ipar. "Piaraanmu cukup mumpuni, Jantaka. Tidak heran jika nasib membawamu hingga ke puncak," kata Jagat. "Seperti hal nya engkau, Jagat. Aku pun masih mampu membuatmu lumpuh!"Jagat mengulum senyum tipis, dia pun masih menunggu apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Sementara Zavia justru duduk bersila di bawah pohon besar, dia tampak asyik dengan beberapa buah jambu air yang ada di depannya. "Apa kamu tidak malu, masih muda jalan berduaan dengan wanita tua. Apakah semudah itu adikku tergantikan, Jagat?"Jagat menggelengkan kepalanya, dia tidak bermaksud menjawab apa yang ditanyakan oleh Jantaka. Gelengan kepalanya berarti akan bosannya omongan Jantaka. "Apa untungnya bagimu jika aku malu, Jantaka? Toh ini adalah jalan hidupku." Jagat berka
Angin malam bertiup dengan sendu, darah bercucuran membasahi tanah hutan gelap. Untuk sesaat Jagat berdiri mematung di depan jasad Jantaka. Pria itu seakan menyesali perbuatannya malam ini. Dia sendiri tidak mengerti mengapa harus terjadi, tetapi keadaanya begitu mendesak hingga mengharuskan dia melakukan hal itu. "Sudah jangan sesali apa yang sudah terjadi, Le! Apapun itu semua sudah diserahkan Hyang Agung," bisik Zavia. "Jika dia bisa aku kendalikan mungkin tidak akan seperti ini, Ibunda. Aku tidak ingin pendekar putih meninggal ditanganku," ucap Jagat. "Jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik segera kebumikan jasadnya sebelum terendus binatang buas lainnya!"Jagat segera melakukan apa yang dikatakan oleh ibundanya-Zavia. Untuk saat ini Jagat sudah mau menerima jalan takdirnya sebagai putra Lawangbumi yang mewakili sebuah kerajaan besar. Saat mulai pemakaman jasad Jantaka, bayangan sang begawan melintas sesaat lalu perkelahiannya dengan Jantaka ikut berputar. Jurus yang maha dahs