Cakra yang menguar dengan kuat tidak hanya dirasakan oleh wanita terpasung melainkan juga terbaca oleh dua pendekar putih yang sedang menyamar. Ki Bledek seketika menghentikan laju kudanya tepat di sebuah gubug tua. Kedua matanya menyipit dan menyapu sekitar. "Mengapa berhenti tergesa, Kang?" tanya Ki Bajanglawu. Ki Bledek masih diam, dia mulai menghidu perlahan. Kemudian tubuhnya melenting ke udara melihat seluruh penampakan dari atas. Tiba-tiba seberkas sinar kristal bening melesat naik sesuai bayangan yang mengikutinya. Ki Bledek pun segera mengejar laju sinar tersebut hingga membuat Ki Bajanglawu hanya termangu menatap kepergian kakak seperguruannya. Sedangkan Ki Bledek yang melesat cukup kewalahan untuk mengejar lari pemilik sinar tersebut. "Sialan, kemana perginya sinar itu? Pasti dia yang aku cari selama puluhan tahun." Ki Bledek menggelengkan kepalanya merasakan begitu besar dan kuat cakra tersebut. Sementara Ki Bajanglawu masih menunggu saudara seperguruannya di atas kud
ka "Apakah Dinda Ratu tidak merasakan cakra kristal itu?" tanya Albara. "Cakra itu masih ingusan, untuk apa diributkan. Lebih baik fokus pada perebutan wilayah barat!"Albara menatap ratunya sambil mengernyitkan dahi. Apa maksud kata merebut, sedangkan wilayah itu masih dalam kekuasaannya. Melihat wajah bingung suaminya, Arsinta pun terkekeh lirih. Wanita itu sudah tahu jika wilayah barat akan segera tumbang. "Sepertinya Kanjeng Ratu mengetahui suatu hal mengenai wilayah itu, Paduka Raja," kata Banyubiru. "Apa yang sedang ada di penglihatanmu, Dinda Ratu?"Arsinta kembali fokus untuk membuka cakra ajna(mata ketiga), untuk sesaat ballroom hening semua terfokus pada ratu. Wanita itu menatap ruang kosong, tangannya mulai bergerak memutar seperti sedang membentu bola. Kemudian kedua lengannya dihentak, Blush! Asap tebal membentuk sebuah cermin yang ditengahnya berlobang. Perlahan terlihat pertempuran yang tidak imbang membuat dahi Albara berkerut. Bahkan panglima utama berdiri untuk
Seorang pria tua dengan jubah putih kumal masih terikat rantai besi. Pria itu perlahan mulai membuka kedua matanya dan menatap pada asal suara. "Dirja, apakah itu kamu, Le?" tanya pria itu. "Benar, ini Dirja, Tuan. Anak pria kecil yang dulu Anda tolong," jawab Dirja. "Suaramu sudah berbeda menandakan bahwa kamu tumbuh besar sekarang, bagaimana kabar keluarga kamu, Le?" Dirja adalah sosok anak kecil yang kedua orang tuanya sempat dijatuhi hukuman pancung karena membela Galasbumi. Namun, akhirnya kedua terbebas dan Galasbumi dihukum penjara bawah tanah. "Berkat kesaksian palsu Anda seluruh kelurga kami bebas, Penasehat Galasbumi," jawab Dirja. "Lupakan pangkat tersebut. Yang utama adalah kabar keluarga dan calon penerus itu. Bagaimana?" tanya Galasbumi. Dirja merogoh saku celananya lalu menyerahkan pada Galasbumi. Pria tua itu menerima dan meraba apa yang telah diberi pemuda tersebut. Kedua matanya seketika membuka sempurna. "Ini, apakah benar?""Maaf, Ki Galas, ada apa dengan k
Sepeninggal Gayatri, Galasbumi hanya menghela napas panjang. Setiap hari pria tua itu hanya diam menata jalan napasnya. Cukup lama dia mendekam di sana bersama udara lembab dan pengap. Namun, tidak sedikitpun semangatnya putus Meskipun sesekali pada malam hari mantan istrinya berkunjung dia tetap tidak mau berpihak pada yang salah. Selama ini hatinya berkata bahwa masih ada lentera terang yang akan melawan kebatilan dan keserakahan. "Kau telah salah langkah, Gayatri. Sepertinya setiap kedatanganmu pun sudah membawa kabar terbaru bagiku, sayang semua itu tidak kau sadari," gumam Galasbumi. Perlahan pria tua itu merangkak menuju tempat yang sedikit lebih kering, di sana dia segera duduk sila dan mulai menata ulang jalan napasnya. Pelan-pelan dia mulai memejamkan mata dan konsentrasi untuk satu titik. Galasbumi mulai membuka kembali satu per satu segel yang dia buat sendiri. Selama ini dia tidak bodoh, sengaja semua kekuatannya disegel sendiri agar tidak terendus oleh beberapa pungga
Kembali di mana Jagat berada. Sejak ditinggal pergi Akshita tanpa kabar, Jagat kembali berkelana tak tentu arah. Langkah kakinya hanya mengikuti arah angin. Kini dia berdiri di tepian hutan larangan, yang mana hutan itu telah me jadi kekuasaan Kerajaan Bumi Seloka. Tidak boleh ada yang masuki hutan tersebut apapun alasannya. Akan tetapi karena larangan tersebut membuat hati Jagat bergetar hebat begitu tapak kaki kanannya mulai menginjak tanah hutan. Nalurinya mengabarkan bahwa dia harus masuki hutan tersebut apapun halangannya. "Apakah kamu yakin, Pangeran?" tanya Ki Cadek. "Iya, jiwaku seakan membawaku untuk masuki lebih dalam hutan ini. Seperti ajaran yang telah Aki beri, kata hati lebih utama daripada pola pikir."Jagat pun melangkah masuki hutan dengan kewaspadaan yang cukup tinggi. Terlihat kedua bola matanya menyipit kala dilihatnya sekelebat bayangan wanita cantik berkemben cokelat dengan rambut tergerai panjang. "Hai, tunggu!" teriak Jagat lantang. Bayangan itu menghilang
Pria itu diam menatap pada tangan kanan Jagat yang memegang kujang tanpa tiga permata paling ujung. Jagat mengikuti arah pandang pria tersebut, bibirnya tersenyum."Ternyata tidak hanya kaum muda yang inginkan kujang ini, melainkan yang tua pun juga masih inginkan senjata ini," kata Jagat."Aku hanya ingin amankan senjata tersebut dari tangan yang tidak berhak saja, tidak lebih," jawab pria tersebut."Tidak berhak? Tahu darimana Anda jika saya tidak berhak tas senjata ini?" Hening, pria tua itu tidak menjawab tanya Jagat membuat pemuda tersebut memindai sosok tua yang ada di hadapannya, "Atau jangan-jangan justru Anda lah yang berbohong atas identitas diri."Terdengar tawa terbahak yang menggetarkan tanah sekitar yang dipijak oleh Jagat. Bahkan kujang yang dipegangnya pun terasa ikut bergetar. Hal ini membuat Jagat paham akan tenaga dalam yang dimiliki oleh pria tua. Segera pemuda itu menutup beberapa jalan darah utama yang mungkin dapat diserang oleh pria tersebut. Tanpa disadari l
Tawa menggelegar kembali terdengar membuat Jagat seketika menutup kedua telinganya. Pemuda itu paham akan suara tawa pria tersebut. "Ternyata benar adanya info yang aku peroleh selama ini, bahwa pemuda yang dulu hanya pecundang kini telah berkembang pesat menjadi pendekar pilih tanding. Namun, sayangnya jiwanya sudah cacat mental," ejek pria tersebut. Jagat terdiam, otaknya mencerna lagi apa yang dikatakan oleh Sanggabumi. Tiba-tiba ingatannya kembali pada wanita yang dulu pernah dan masih mengisi relung hati terdalam. "Walau bagaimanapun wanita itu adalah putrimu sendiri, Begawan. Apakah ini yang kau maksud dengan tanggung jawab semu?" tanya Jagat. "Semua ada tujuannya, Jagat. Tetapi nyawamu yang harusnya sirna, bukan putriku. Bangsat!" umpat Sanggabumi. Usai mengumpat pria itu segera melesat dengan kekuatan penuh menerjang tubuh Jagat dengan tusukan pedang. Jagat segera menangkis setiap serangan pedang yang menusuk di beberapa organ tubuh dengan kujangnya. Begitu pedang itu ma
Tombak beracun milik Sanggabumi meluncur deras menuju ke jantung Jagat. Namun, tiba-tiba angin bertiup kencang hingga membelokkan arah tombak dan menembus ke pohon pisang. "Sialan, kau! Bangsat," umpat Sanggabumi. Kemudian dia melesat menyerang kembali di saat Jagat masih duduk sila dengan mata terpejam. Sanggabumi menyerang dengan ujung tombaknya, tetapi anehnya setiap serangannya selalu mental bahkan terasa kesemutan pada setiap ujung jarinya. Akhirnya tombak itu dilenyapkan dengan cara melempar ke udara. Lalu dia menyerang Jagat dengan menggunakan ajian pukulan pemecah batu. Sanggabumi mulai memfokuskan sumber daya yang tersisa pada kepalan tangan kanannya. Angin bertiup lebih kencang menerbangkan jubah putih milik begawan. Kemudian dengan segala kekuatan yang tersisa, Begawan Sanggabumi melontarkan pukulan pemecah batu yang baru saja dia kuasai beberapa purnama lalu. Jagat yang bisa merasakan deru angin yang berbeda pun merentangkan kedua lengannya lalu bergerak naik turun un