Share

Jadikan Aku yang Kedua
Jadikan Aku yang Kedua
Author: Aira Tsuraya

Pernyataan Alya

“Aku cinta kamu, Mas,” ucap Alya lirih namun bisa terdengar jelas oleh rungu pria berwajah tampan di depannya ini.

Pria berkulit putih itu hanya terdiam sambil menatap tajam ke arah Alya dengan mata sipitnya. Alya yang ditatap sedemikian intens hanya tersenyum sambil menunjukkan dua lesung pipi di kanan kirinya.

“Kamu lagi mabok, Al?” cetus pria itu sambil menatap Alya datar.

Alya langsung mendelik mendengar celetukan yang baru keluar dari mulut pria itu.

“Kok mabok sih, Mas? Aku beneran ngomongnya. Aku cinta sama Mas Gavin. Suka, sayang,” kata Alya mempertegas.

Laki-laki berkulit putih dan bermata sipit yang tak lain bernama Gavin Mahendra itu sudah tersenyum sambil beranjak bangkit.

“Iya, aku juga sayang kamu kok, Al. Aku pikir kamu memanggilku ke ruanganmu tadi untuk membicarakan meeting kita pagi ini. Tenyata hanya ingin ngomong itu. Lucu juga kamu, Al,” ucap Gavin sambil mengacak rambut panjang Alya.

Alya tampak kesal dan langsung menarik tangan Gavin yang hendak beranjak pergi dari ruangan Alya.

“Mas, denger!! Aku ngomong serius dan perasaanku tadi beneran berasal dari hatiku. Aku cinta Mas Gavin. Bukan sebagai kakak dan saudara, tetapi sebagai seorang kekasih.”

Gavin terdiam tidak jadi beranjak pergi dan sedikit bingung menatap Alya.

“Apa Mas mau menjadi kekasihku? Kita pacaran!” tandas Alya.

Gavin sontak melotot, matanya yang sipit sedikit membesar akibat keterkejutannya tadi.

“Kamu gak apa-apa kan, Al? Apa karena jabatan CEO ini membuat kamu stress sehingga kamu bicara ngelindur begini?” ucap Gavin lagi.

Alya mendecak kesal dan sudah berjalan ke arah Gavin lalu menariknya duduk di sofa.

“Aku gak stress, Mas. Aku juga gak ngelindur. Aku memang cinta Mas Gavin. Aku sudah memendam rasa ini sejak lama. Sejak SMA dulu. Sayangnya saat aku SMA, Mas Gavin harus kuliah di luar kota, jadi kita jarang bertemu. Saat aku lulus SMA, giliran aku yang meninggalkan rumah dan kita semakin jarang bertemu. Aku rasa ini saat yang tepat untuk mengutarakan perasaanku ini. Aku cinta Mas Gavin,” jelas Alya.

Gavin terdiam dan tertegun menatap gadis manis di depannya ini. Adiknya ini memang memiliki wajah yang nyaris sempurna. Hidung bangir dengan mata bulat dan bulu mata lentik serta bibir sensual siap menggoda siapa saja yang melihat. Belum lagi bentuk tubuhnya yang ramping berisi layaknya gitar Spanyol dan kulit sawo matang yang menambah eksotis. Apalagi sejak kepulangannya dari sekolah di luar negeri Alya semakin pandai merawat diri dan memperhatikan penampilan.

“Mas, ... kok diem?” tegur Alya membuyarkan lamunan Gavin.

Sudah hampir seminggu Alya Prameswari menjabat sebagai CEO di perusahaan Pak Baskoro yang tak lain ayah Alya sendiri. Sepeninggal beliau dua bulan yang lalu, tampuk pimpinan berada di tangan Alya. Pagi ini usai meeting dan briefing pagi, Alya memanggil Gavin ke ruangannya. Ternyata Gavin mendapat kejutan yang tak terduga dari Alya, sebuah pernyataan cinta.

Gavin masih tertegun dan berulang menelan salivanya sambil menatap wajah manis adiknya. Mungkin kalau orang lain yang mendapat pernyataan cinta dari gadis semanis dia akan bersorak-sorak kegirangan dan bahkan melompat jumpalitan. Tapi tidak bagi Gavin.

“Al ... kita saudara mengapa kamu mengatakan seperti itu.” Akhirnya keluar juga sebuah kata dari mulut Gavin.

Alya mendengus kesal dan melengos, mengalihkan pandangan. Itu kebiasaannya kalau sedang ngambek. Sejak kecil memang Alya seperti itu dan Gavin sudah paham sekali.

“Setan apa yang sedang merasukimu hingga kamu bicara seperti ini kepada kakakmu sendiri. Aku mencintaimu hanya sebagai saudara tidak lebih. Tidak ada ajaran yang menyuruh mencintai saudara seperti kekasih apalagi menikahinya. Kamu kenapa?” ucap Gavin sambil menarik Alya dan menatapnya dengan khawatir.

Alya terdiam menunduk. Padahal beberapa saat yang lalu dia tampil sangat dewasa, mandiri dan bijaksana di ruang meeting. Namun, kini sifatnya tiba-tiba berubah menjadi kekanak-kanakan, sungguh jauh berbeda.

“Lagipula kau tahu aku sudah bertunangan dan satu bulan lagi akan menikah dengan Yeni. Kalaupun kau bukan adikku, aku juga tidak akan menerima pernyataanmu dan memutuskan Yeni secara sepihak,” lanjut Gavin.

Alya masih diam dan berusaha membendung air yang sudah terkumpul di sudut matanya.

“Mas, bener-bener cinta ke Yeni dan akan menikahinya?” perlahan Alya mengangkat kepalanya sambil bertanya.

Gavin tidak menjawab hanya anggukan serta sebuah senyuman tersungging di bibirnya.

“Aku mencintai Yeni, Al. Aku hanya ingin hidup bersama dengannya. Kau juga sudah mengenal Yeni, kan? Kau bahkan ikut saat aku melamarnya kemarin. Lagipula menikah dengan Yeni adalah perjodohan dari ayah sebelum meninggal. Aku tidak mau menjadi anak durhaka,” tegas Gavin.

Alya mendesah sambil menengadahkan kepala ke atas menatap langit-langit ruang kerjanya. Tiba-tiba tanpa diminta airmatanya sudah ikut luruh. Gavin tertegun melihatnya kemudian mengambil tisu yang berada di atas meja.

“Kamu jangan menangis begini, dong. Kamu tetap adikku yang paling manis. Aku masih sayang sama kamu dan janji tidak akan melupakanmu begitu saja setelah aku menikah nanti,” ucap Gavin sambil menghapus airmata di pipi Alya dengan tisu yang baru diambilnya tadi.

Alya diam tidak menjawab dan membiarkan Gavin menghapus airmatanya.

“Aku juga janji akan sering main ke rumah. Kamu tenang saja, aku tidak akan melupakan kebiasaan kita setiap akhir pekan. Main karambol,” sambung Gavin sambil terkekeh.

Namun sepertinya candaan Gavin itu tidak membuat Alya tersenyum sedikit pun. Wajahnya masih menunduk kusut dan matanya juga sembab akibat luapan airmata yang tiada henti datangnya tadi.

“Aku tidak mau Mas Gavin hanya datang setiap akhir pekan. Aku juga tidak mau main karambol lagi. Aku hanya mau Mas Gavin menerima pernyataan cintaku ini. Aku sudah memendamnya lama, Mas dan ini saat aku menyatakannya. Mengapa Mas tega menghancurkan impianku?” dumel Alya sambil menatap Gavin marah.

Gavin terdiam lalu dibelainya rambut Alya yang panjang.

“Alya, kita saudara. Kita tidak mungkin saling mencinta seperti kekasih. Kamu juga tahu itu, 'kan? Memangnya aliran apa yang kau anut hingga kau sangat memaksa aku untuk menerima cintamu. Sudah, yang pasti aku tidak akan berubah meski sudah menikah nanti. Aku tahu kamu sengaja mengatakan ini karena takut kehilangan aku, 'kan?” ujar Gavin sambil tersenyum mencoba menebak maksud pembicaraan mereka kali ini.

Alya langsung menggeleng cepat seakan menyalahkan ucapan Gavin.

“Enggak. Aku mengatakannya dari hatiku dengan sungguh-sungguh. Aku memang mencintai Mas Gavin lebih dari kakakku. Apa Mas ingin bukti?” tantang Alya.

Gavin terkejut, sedikit memundurkan tubuhnya hingga akhirnya bersandar di sofa. Ia memang tahu kalau adiknya ini sedikit keras kepala dan arogan. Namun, ia tidak menyangka kalau dia akan berkata seperti itu.

“Sudah, Al. Aku gak akan membahas kata-katamu hari ini. Aku masih banyak kerjaan yang belum aku selesaikan.”

Gavin sudah beranjak bangkit hendak meninggalkan ruangan Alya. Namun, Alya mencegahnya dan menarik Gavin hingga duduk kembali. Gavin heran dan menatap Alya penuh tanda tanya.

'Aku tahu kita bukan saudara kandung, Mas. Kenapa kamu terus menutupinya? Kamu hanya kakak angkatku. Apa salah jika aku mencintaimu?' kata Alya dalam hati.

"Selain itu, aku bilang akan membuktikan perkataanku tadi,” lirih Alya bertutur.

Gavin masih diam dan bergeming di tempatnya. Sementara itu Alya sudah mendekatkan tubuhnya ke arah Gavin hingga wajah mereka tak berjarak. Gavin memang sangat akrab dengan Alya namun, kalau harus berdekatan tanpa jarak seperti ini, ia sedikit canggung juga.

“Al ... kamu mau apa?” desis Gavin dengan cemas.

Alya tersenyum tidak menjawab, kemudian perlahan ia sudah menempelkan bibir sensualnya ke bibir tipis Gavin membuat Gavin berhenti bernapas seketika.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sunny Day
widiw ... Alya gercep banget. Gak cuman kata2 doang, langsung tindakan dong.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status