Alya baru saja memarkir mobilnya dan berjalan lesu menuju lift, dia tidak melihat mobil Gavin di sana. Alya bisa memastikan kalau suami sekaligus kakak angkatnya itu tidak masuk kerja lagi kali ini. Sebuah helaan napas panjang keluar dari bibir seksi Alya. Ia sudah menekan tombol di lift dan bergegas masuk saat pintunya terbuka.
Sepi dan hening pagi ini, tidak seperti hari biasanya kali ini suasana sedikit sunyi. Padahal telinga Alya akhir-akhir ini sering mendengar lebah yang berdengung. Lebah-lebah itu selalu sibuk menjelekkan namanya dan juga nama Gavin. Alya sudah biasa mendengarnya jadi sedikit aneh jika kali ini, dia tidak mendnegar suara berdengung itu.
Perlahan Alya masuk ke ruangannya. Rini belum datang dan Alya bisa melihat mejanya yang masih rapi, kosong belum terisi. Alya segera mengeluarkan isi di dalam paper bag yang dibawanya dari rumah. Bu Aminah sudah menyiapkan sarapan pagi untuk Alya juga sebuah susu ibu hamil sebagai pelengkapnya.
Alya tersen
Gavin bergegas turun dari mobil usai memarkirnya. Entah mengapa Bu Aminah tiba-tiba menelepon sore tadi dan memintanya datang ke rumah. Gavin menghentikan langkahnya saat melihat mobil Alya yang baru saja datang. Alya segera turun dari mobil dan berjalan menghampiri Gavin. Mereka berdua terlihat canggung, mungkin karena sudah lama tidak bertemu dan jarangnya komunikasi. Kemudian Gavin yang lebih dulu jalan mendekat dan langsung merengkuh Alya dalam pelukannya. Ia memeluk Alya dengan sangat erat seakan takut kehilangan. Alya hanya terdiam dalam pelukan suami sekaligus kakak angkatnya. “Maafkan aku, Babe. Aku janji akan memperbaiki semuanya,” cicit Gavin lirih sambil mengecup kening Alya sekilas. Alya mengangguk sambil tersenyum. Mereka kemudian sudah berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Gavin dan Alya sedikit terkejut saat melihat sudah banyak orang di dalam ruang tamu. Ada Yeni beserta bibi dan pamannya, ada Bu Tari, ibu pemilik panti asuhan tempat Gavin diadopsi dulu, ada bude
“Aku cinta kamu, Mas,” ucap Alya lirih namun bisa terdengar jelas oleh rungu pria berwajah tampan di depannya ini. Pria berkulit putih itu hanya terdiam sambil menatap tajam ke arah Alya dengan mata sipitnya. Alya yang ditatap sedemikian intens hanya tersenyum sambil menunjukkan dua lesung pipi di kanan kirinya. “Kamu lagi mabok, Al?” cetus pria itu sambil menatap Alya datar. Alya langsung mendelik mendengar celetukan yang baru keluar dari mulut pria itu. “Kok mabok sih, Mas? Aku beneran ngomongnya. Aku cinta sama Mas Gavin. Suka, sayang,” kata Alya mempertegas. Laki-laki berkulit putih dan bermata sipit yang tak lain bernama Gavin Mahendra itu sudah tersenyum sambil beranjak bangkit. “Iya, aku juga sayang kamu kok, Al. Aku pikir kamu memanggilku ke ruanganmu tadi untuk membicarakan meeting kita pagi ini. Tenyata hanya ingin ngomong itu. Lucu juga kamu, Al,” ucap Gavin sambil mengacak rambut panjang Alya. Alya tampak kesal dan langsung menarik tangan Gavin yang hendak beranjak p
Sehari sebelumnya ... Alya terdiam duduk di sudut kamarnya. Ia menatap sebuah berkas yang tanpa sengaja ia temukan di laci lemari ibunya. Memang ia tadi ingin mengambil berkas tentang surat menyurat milik ayahnya. Perusahaan peninggalan ayahnya itu menginginkan bukti tertulis kalau dia adalah yang mengambil ahli tampuk pimpinan. Alih-alih menemukan surat itu, kini malah Alya menemukan sebuah surat yang menunjukkan kalau Gavin, kakaknya adalah anak yang diadopsi dari panti asuhan. "Berarti benar dugaanku. Mas Gavin bukan kakak kandungku. Berarti tidak salah kalau aku mempunyai perasaan aneh ini untuknya? Aku harus meyakinkan Mas Gavin agar dia mau terima perasaanku ini," gumam Alya dengan lirih. ** Gavin terdiam sambil tidur terlentang menatap langit-langit di kamarnya. Sudah satu jam lalu dia masuk ke kamar dan terus berbaring tanpa bisa memejamkan mata. Berulang ia sentuh bibirnya yang tipis sambil memejamkan mata. Sejenak bayangan ia berciuman dengan Alya di kantor tadi tiba-ti
“ALYA!!!” seru Aminah saat melihat Alya sedang memeluk erat Gavin.Alya sudah melepas pagutannya sesaat sebelum pintu kamar Gavin terbuka dan langsung memeluk tubuh Gavin dengan erat. Aminah yang melihat kedua putra putrinya berpelukan di dalam kamar sedikit terkejut.“Alya! Gavin! Ada apa?” tanya Aminah kebingungan.Alya bergegas mengurai pelukannya sambil mengusap airmata yang tadi sempat menetes di pipinya.Alya tersenyum sambil duduk di tepi kasur, begitu juga Gavin.“Ada apa?” kembali Aminah bertanya dengan tatapan mata yang terus menyelidik ke arah Gavin dan Alya.“Gak papa, Bu. Alya hanya takut kehilangan Mas Gavin. Sebentar lagi Mas Gavin akan menikah dan pasti pergi dari rumah ini. Alya takut Mas Gavin akan melupakan aku, Bu,” tutur Alya sedikit berbohong.Aminah tersenyum lalu ikut duduk di samping Alya, memeluk dan mengelus punggungnya dengan lembut.“Astaga, Alya! Masmu cuman tinggal sepuluh kilometer dari sini. Paling gak sampai satu jam juga sudah sampai ke sini. Dia jug
Hari yang padat dilalui Gavin dan Yeni hari ini. Mereka harus berlomba dengan waktu untuk mempersiapkan pernikahannya. Sesuai kata Gavin tadi, begitu istirahat makan siang Gavin dan Yeni sudah keluar kantor. Mereka berencana ke percetakan untuk mengambil undangan kemudian janjian dengan WO untuk ke tempat katering.“Maaf, kami terlambat,” ucap Gavin begitu sudah bertemu dengan pihak WO.Mereka sudah berada di salah satu katering ternama di kota ini yang akan ditugasi untuk menyediakan menu makanan pada pesta pernikahan nanti.“Gak papa, Mas. Saya juga baru saja datang. Kita masuk dulu supaya langsung mengetest rasa dan menu apa saja yang diinginkan,” ucap pihak WO dengan ramah.Gavin dan Yeni hanya mengangguk kemudian sudah menurut mengikuti pihak WO tersebut. Mereka sudah masuk ke sebuah ruangan seperti ruang makan dengan meja panjang yang besar. Di sana sudah berjajar macam-macam menu makanan yang sudah diminta oleh Gavin dan Yeni sebelumnya.“Ini menu yang diminta sesuai dengan per
Beberapa jam sebelumnya ...Alya sudah kembali ke ruangannya usai menemui Gavin tadi. Dia sangat kesal dengan Gavin yang seakan tak peduli dengan perasaannya dan malah melanjutkan rencana pernikahannya dengan Yeni.“Sial!! Rasanya aku gak boleh tinggal diam. Mas Gavin gak boleh nikah dengan Yeni. Aku harus mencegahnya dan sepertinya alergi Yeni itu memberiku ide,” gumam Alya sambil tersenyum.Ia sudah duduk menopang kaki sambil tersenyum menghubungi sebuah kontak yang memang sudah dia simpan sejak dulu.“Hallo,” sapa ramah Alya di telepon.Sudah terdengar salam ramah juga di seberang.“Saya mau pesan sebuah kue khusus. Kalau bisa mengandung banyak kacang, ya?” Alya diam mendengarkan.“Tidak. Begini nanti kakak saya Gavin Mahendra berserta calon istrinya akan ke tempat Anda untuk mencicipi menu makanan Anda dan tadi dia sudah pesan untuk minta dibuatkan kue spesial yang mengandung banyak kacang untuk tunangannya. Tunangannya itu sangat suka kacang,” jelas Alya dalam panggilannya.Lagi-
Alya termenung, diam di sudut ruangan hotel bintang lima ini. Dia tidak peduli dengan hiruk pikuk orang yang berlalu lalang dan tepuk tangan merayakan sakralnya acara akad nikah Gavin dan Yeni. Alya tidak peduli dengan cibiran dan pandangan aneh orang-orang yang melihatnya. Ia hanya ingin sendiri sekarang. Sebuah helaan napas berulang keluar masuk dari mulut Alya, bergantian dengan air mineral yang membasahi bibir seksinya. Alya kesal, marah dan cemburu harus menghadapi kenyataan kalau pria yang dicintainya sudah resmi bersanding dengan orang lain. Sebuah tepukan lembut menginterupsi lamunan Alya seketika. Alya menoleh dan tampak pria berwajah manis dengan rambut ikal tak beraturan berdiri di belakangnya. “Kamu di sini? Tadi Ibu Aminah mencarimu, Al. Sepertinya mau foto keluarga,” ucap pria berambut ikal yang tak lain bernama Rendi itu. Alya hanya tersenyum masam dan sekali lagi menenggak sisa air mineral di botol kecilnya. “Kenapa? Kamu sedih kakakmu menikah. Aku rasa itu hal yan
Gavin terdiam berdiri mematung di belakang pintu kamarnya. Berulang ia sentuh bibir tipisnya. Lagi-lagi ia melakukan yang seharusnya tidak ia lakukan. Berciuman lagi dengan Alya, entah untuk yang keberapa kali ini. Mengapa ia tidak bisa menghindar dan menikmati setiap detiknya. Ini salah dan seharusnya tidak boleh terjadi.Gavin memejamkan mata dan berulang menggelengkan kepala. Ia melirik ke atas kasur, tampak Yeni masih pulas di balik selimut. Istrinya itu bahkan tidak menyadari apa yang baru saja Gavin lakukan.Perlahan Gavin mendekat lalu naik ke atas kasur dan ikut sembunyi di balik selimut bersama Yeni. Ia langsung memeluk wanita yang baru sehari ini menjadi istrinya. Dikecupnya pipi dan leher Yeni berulang membuat si empunya tubuh tersenyum dalam tidur.‘Maafkan aku, Sayang. Aku janji tidak akan melakukan hal ini lagi. Aku janji ini terakhir kali aku mencium Alya. Sepertinya aku harus pindah dari sini secepatnya. Aku tidak mau berinteraksi terus men