Hari yang padat dilalui Gavin dan Yeni hari ini. Mereka harus berlomba dengan waktu untuk mempersiapkan pernikahannya. Sesuai kata Gavin tadi, begitu istirahat makan siang Gavin dan Yeni sudah keluar kantor. Mereka berencana ke percetakan untuk mengambil undangan kemudian janjian dengan WO untuk ke tempat katering.
“Maaf, kami terlambat,” ucap Gavin begitu sudah bertemu dengan pihak WO.
Mereka sudah berada di salah satu katering ternama di kota ini yang akan ditugasi untuk menyediakan menu makanan pada pesta pernikahan nanti.
“Gak papa, Mas. Saya juga baru saja datang. Kita masuk dulu supaya langsung mengetest rasa dan menu apa saja yang diinginkan,” ucap pihak WO dengan ramah.
Gavin dan Yeni hanya mengangguk kemudian sudah menurut mengikuti pihak WO tersebut. Mereka sudah masuk ke sebuah ruangan seperti ruang makan dengan meja panjang yang besar. Di sana sudah berjajar macam-macam menu makanan yang sudah diminta oleh Gavin dan Yeni sebelumnya.
“Ini menu yang diminta sesuai dengan permintaan Mas Gavin dan Mbak Yeni,” kembali pihak WO itu menerangkan kini didampingi oleh pihak katering.
Gavin dan Yeni hanya manggut-manggut kemudian sudah mulai mencicipi satu demi satu menu yang tersedia di sana. Mulai dari capcay, udang asam manis, ayam kecap hingga sampai ke menu tambahan lainnya sudah mereka cicipi dan sepertinya tidak ada masalah mengenai rasa.
“Bagaimana, Mas? Sudah cocok?” tanya pihak WO.
“Iya, sudah cocok. Saya suka semuanya,” Yeni yang menjawab mewakili Gavin.
Pihak WO dan katering tampak senang dengan tanggapan calon pengantin ini.
“Lalu apa kuenya juga ada? Saya mau mencicipinya sekalian,” ucap Yeni lagi.
Pihak katering mengangguk, ia sudah tergopoh masuk ke dalam kemudian tak berapa lama sudah keluar dengan sebuah kue yang terlihat manis dan indah di tangannya.
“Astaga! Ini terlihat enak sekali,” seru Yeni sambil tersenyum.
Ia sudah menyendok kue tersebut kemudian memasukkan ke dalam mulutnya. Mata Yeni langsung terpejam begitu kelembutan kue meluncur masuk ke mulutnya.
“Hmm ... enak sekali. Aku suka, Mas,” sahut Yeni sambil menatap Gavin yang duduk di sampingnya.
Gavin ikut tersenyum dan membiarkan Yeni menghabiskan kuenya.
“Ya sudah kalau begitu. Kita pilih kue yang ini,” tegas Gavin.
Yeni mengangguk sambil tersenyum namun belum sempat senyumnya terkembang dengan sempurna di wajah. Tiba-tiba Yeni langsung memegang tenggorokannya dan batuk tidak berhenti. Gavin ikut bingung melihatnya. Apalagi wajah Yeni sudah memerah, matanya juga berair.
“Sayang, ada apa? Kamu kenapa?” tanya Gavin kebingungan.
Yeni tidak menjawab dan tiba-tiba pingsan. Sontak Gavin segera menangkap tubuhnya. Ia sudah bergegas membopong tubuh Yeni, menaikkan ke mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
“Tunangan Anda alergi kacang, Tuan. Untung saja segera dibawa ke sini dan diberi pertolongan,” jelas dokter yang menangani Yeni.
Gavin hanya diam mendengarkan, padahal dia sudah menjelaskan ke pihak katering dan WO kalau Yeni punya alergi kacang kenapa juga memberi kue dengan kacang di dalamnya. Begitu kini pertanyaan yang memenuhi benak Gavin.
“Mas ... ,” panggilan Yeni membuyarkan lamunan Gavin.
“Aku sudah gak papa, kok. Jangan marah begitu. Mungkin pihak kateringnya lupa kalau aku alergi kacang,” ucap Yeni lirih sambil meraih tangan Gavin yang berdiri terdiam di sampingnya.
“Saya tinggal dulu ya, Tuan,” ucap dokter membuyarkan lamunan Gavin.
“Iya, terima kasih, Dok,” jawab Gavin.
Yeni tampak tersenyum sambil menatap Gavin yang terlihat khawatir sedari tadi.
“Sudah. Jangan cemberut gitu. Aku sudah tidak apa-apa, kok,” rengek Yeni sambil menarik tangan Gavin lagi.
Gavin sudah tersenyum kemudian duduk di tepi kasur dan berulang mengusap lembut kening Yeni.
“Syukurlah kalau kamu sudah tidak apa-apa. Jujur aku sangat panik tadi. Lain kali jangan buat aku bingung lagi, ya?”
Yeni langsung mengangguk sambil tersenyum menatap Gavin penuh cinta.
“Sehari ini kamu istirahat di sini dulu, ya? Aku takut tubuhmu belum fit benar. Sebentar lagi kita akan semakin sibuk dan aku tidak mau kalau di hari H nanti kamu jatuh sakit,” jelas Gavin.
Yeni langsung tersenyum mendengarnya.
“Hmm ... sepertinya ada yang sedang khawatir, nih,” goda Yeni.
Gavin tersenyum lalu meraih tangan Yeni dan mengecupnya sekilas.
“Jelas aku khawatir, Sayang. Aku tidak mau kita menunda honeymoon hanya gara-gara kamu jatuh sakit nanti,” desis Gavin setengah berbisik.
Tentu saja ucapan Gavin ini langsung membuat Yeni tersipu. Gadis berambut sebahu itu sudah sepenuhnya menunduk tak berani menatap wajah pria di depannya yang sedang menatap dengan intens.
Selang beberapa saat Gavin sudah dalam perjalanan menuju kantor. Ia masih harus mengurusi beberapa pekerjaan yang ditinggalnya tadi. Gavin sudah berada di ruangannya dan langsung sibuk menyelesaikan pekerjaan.
Baru beberapa menit, ia mengerjakan pekerjaannya. Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan sebuah panggilan dari nomor tak dikenal sudah masuk.
“Hallo,” sapa Gavin di telepon.
[“Hallo, ini dengan Tuan Gavin Mahendra?”] tanya suara di seberang.
“Iya, saya sendiri. Ada apa? Ini dari mana?” kata Gavin balik bertanya.
[“Saya dari toko souvenir yang dipesan untuk pernikahannya, Tuan,”] jelas suara di seberang.
Gavin tersenyum dan sedikit bernapas lega. Ia pikir dari orang yang akan membawa kabar buruk tentang Yeni.
“Oh ... iya. Ada apa, Mas?” tanya Gavin ramah.
[“Begini, Tuan. Souvenir yang Anda pesan mengalami keterlambatan pengiriman. Saya mohon maaf. Jadi yang bisa saya kirim hanya sebagian saja,”] jelas orang itu.
Gavin terdiam berusaha menahan amarah yang tiba-tiba sudah ada di dadanya.
“Lalu sisanya kapan?”
[“Satu bulan setelah itu.”]
“Satu bulan lagi? Mas, saya nikahnya kurang tiga setengah minggu, loh. Kalau souvenirnya mau dikirim satu bulan lagi. Itu artinya setelah acara selesai baru dikirim. Lalu tamu yang datang harus saya kasih apa. Mas gak mikir, ya?” cercah Gavin penuh amarah.
Dadanya sudah kembang kempis, tangannya juga terus mengepal mencoba menahan amarah yang siap membludak.
[“Maaf, Tuan. Ini karena ada pesanan mendadak dalam jumlah banyak dan kebetulan karyawan kami juga banyak yang cuti. Jadi pembuatan tas rajutnya agak terlambat. Saya mohon maaf.”]
“Gak bisa. Kenapa juga pesanan mendadaknya itu gak ditolak? 'Kan saya duluan yang pesan. Aku sudah bayar penuh jauh-jauh hari loh, Mas,” sergah Gavin masih dengan amarah.
Dia benar-benar kesal dengan sikap pihak souvenir yang seakan meremehkannya.
[“Maaf, Tuan. Ini benar-benar bukan kehendak saya. Saya benar-benar minta maaf. Mungkin kalau Tuan berkenan sisanya diganti souvenir lain saja yang sama harganya bagaimana?”] saran si pemilik toko souvenir.
“Gak mau. Calon istri saya yang memilih souvenir itu dan saya gak mau dia kecewa. Pokoknya Mas harus menyiapkan semua pesanan saya tepat waktu. Kalau gak, saya akan menuntut Anda,” ancam Gavin.
Dia sudah sangat kesal dengan jawaban pemilik toko souvenir yang seenaknya saja.
[“Tapi, Tuan. Saya hanya pegawai di sini, saya juga disuruh atasan saya untuk mengatakan hal tersebut. Saya mohon kerjasamanya. Pihak kami tidak bisa mengirimkan semua pesanan Anda tepat waktu. Tapi kami berusaha memberi solusi dengan mengganti barang yang sama harganya. Kami juga akan memberi diskon lagi nanti.”]
Gavin terdiam, dia sudah tidak bisa menjawab lagi. Otaknya sudah penuh hari ini. Persiapan pernikahan ini ternyata sangat menguras konsentrasinya. Padahal pihak WO sudah jauh hari menawarkan jasa penyedia souvenir namun, Yeni lebih memilih membeli souvenir di toko langganannya. Kalau seperti ini Gavin tidak mau menyalahkan Yeni juga. Dia pasti tambah kepikiran nantinya. Sepertinya kejadian hari ini membuat ia batal nikah saja.
“Ya sudah. Terserah, Masnya. Pokoknya saya mau semua pesanan saya harus lengkap tidak kurang dan datang sebelum hari H,” tandas Gavin.
Setelah mendengar jawaban pasti dari toko souvenir, Gavin menutup teleponnya. Ia kembali menghela napas sambil menyandarkan kepala di punggung kursi. Gavin memejamkan mata berharap ingin merilekskan tubuhnya sejenak dan tanpa sepengetahuannya sudah ada seseorang yang masuk ke ruangan, langsung berdiri di belakang Gavin memijat lembut bahunya.
Perlahan Gavin membuka mata. Tampak sosok manis Alya, adik angkat Gavin sedang berdiri di belakangnya.
“Kamu belum pulang, Al?” lirih Gavin bertanya.
“Aku nunggu Mas,” jawab Alya sambil masih meneruskan pijatannya.
Gavin tersenyum dan meraih tangan Alya untuk menghentikan pijatannya. Alya menurut dan sudah berdiri di depan Gavin.
“Ada masalah, Mas?” tanya Alya penuh perhatian.
Gavin tersenyum sambil menggelengkan kepala. Alya hanya tersenyum datar sambil duduk di kursi depan Gavin.
“Apa Yeni baik-baik saja, Mas?” kembali Alya bertanya dan ini langsung membuat Gavin terkejut.
Beberapa jam sebelumnya ...Alya sudah kembali ke ruangannya usai menemui Gavin tadi. Dia sangat kesal dengan Gavin yang seakan tak peduli dengan perasaannya dan malah melanjutkan rencana pernikahannya dengan Yeni.“Sial!! Rasanya aku gak boleh tinggal diam. Mas Gavin gak boleh nikah dengan Yeni. Aku harus mencegahnya dan sepertinya alergi Yeni itu memberiku ide,” gumam Alya sambil tersenyum.Ia sudah duduk menopang kaki sambil tersenyum menghubungi sebuah kontak yang memang sudah dia simpan sejak dulu.“Hallo,” sapa ramah Alya di telepon.Sudah terdengar salam ramah juga di seberang.“Saya mau pesan sebuah kue khusus. Kalau bisa mengandung banyak kacang, ya?” Alya diam mendengarkan.“Tidak. Begini nanti kakak saya Gavin Mahendra berserta calon istrinya akan ke tempat Anda untuk mencicipi menu makanan Anda dan tadi dia sudah pesan untuk minta dibuatkan kue spesial yang mengandung banyak kacang untuk tunangannya. Tunangannya itu sangat suka kacang,” jelas Alya dalam panggilannya.Lagi-
Alya termenung, diam di sudut ruangan hotel bintang lima ini. Dia tidak peduli dengan hiruk pikuk orang yang berlalu lalang dan tepuk tangan merayakan sakralnya acara akad nikah Gavin dan Yeni. Alya tidak peduli dengan cibiran dan pandangan aneh orang-orang yang melihatnya. Ia hanya ingin sendiri sekarang. Sebuah helaan napas berulang keluar masuk dari mulut Alya, bergantian dengan air mineral yang membasahi bibir seksinya. Alya kesal, marah dan cemburu harus menghadapi kenyataan kalau pria yang dicintainya sudah resmi bersanding dengan orang lain. Sebuah tepukan lembut menginterupsi lamunan Alya seketika. Alya menoleh dan tampak pria berwajah manis dengan rambut ikal tak beraturan berdiri di belakangnya. “Kamu di sini? Tadi Ibu Aminah mencarimu, Al. Sepertinya mau foto keluarga,” ucap pria berambut ikal yang tak lain bernama Rendi itu. Alya hanya tersenyum masam dan sekali lagi menenggak sisa air mineral di botol kecilnya. “Kenapa? Kamu sedih kakakmu menikah. Aku rasa itu hal yan
Gavin terdiam berdiri mematung di belakang pintu kamarnya. Berulang ia sentuh bibir tipisnya. Lagi-lagi ia melakukan yang seharusnya tidak ia lakukan. Berciuman lagi dengan Alya, entah untuk yang keberapa kali ini. Mengapa ia tidak bisa menghindar dan menikmati setiap detiknya. Ini salah dan seharusnya tidak boleh terjadi.Gavin memejamkan mata dan berulang menggelengkan kepala. Ia melirik ke atas kasur, tampak Yeni masih pulas di balik selimut. Istrinya itu bahkan tidak menyadari apa yang baru saja Gavin lakukan.Perlahan Gavin mendekat lalu naik ke atas kasur dan ikut sembunyi di balik selimut bersama Yeni. Ia langsung memeluk wanita yang baru sehari ini menjadi istrinya. Dikecupnya pipi dan leher Yeni berulang membuat si empunya tubuh tersenyum dalam tidur.‘Maafkan aku, Sayang. Aku janji tidak akan melakukan hal ini lagi. Aku janji ini terakhir kali aku mencium Alya. Sepertinya aku harus pindah dari sini secepatnya. Aku tidak mau berinteraksi terus men
Alya sedang duduk manis sambil sibuk meneliti beberapa berkas yang sudah menumpuk di mejanya. Rini, sang asisten tergopoh masuk sambil membawa beberapa lembar berkas lagi.“Bu, ini ada yang ketinggalan belum saya letakkan di sana,” ucap Rini kemudian.Alya hanya mengangguk sambil menyuruh Rini meletakkan sisa berkas yang baru dibawa di meja sebelah.“Oh ya, Bu. Tadi ada pertanyaan dari pihak HRD untuk pengganti Yeni apa sudah ada kalau belum HRD mau menyeleksi karyawan yang ada di sini lebih dulu,” lanjut Rini.Alya menghentikan aktivitasnya dan mengangkat kepala kemudian menatap Rini dengan intens.“Ya sudah kalau gitu lakukan saja seleksinya. Kalau bisa cowok saja yang menggantikan posisi Yeni. Pak Gavin ingin pria yang menjadi sekretarisnya,” ujar Alya.Rini langsung mengangguk mendengar penjelasan Alya ini. Kemudian tak lama dia sudah undur diri kembali ke mejanya lagi. Berbarengan dengan keluarnya Rin
Gavin terdiam, alisnya sudah mengernyit sementara keningnya juga ikut berkerut menatap Yeni tanpa jeda dengan penuh tanda tanya.“Tentang kamu? Tentang apa? Apa ada sesuatu yang belum kamu ceritakan kepadaku selama ini?” tanya Gavin.Yeni terdiam, mulutnya membisu tidak mau berkata. Ia sedang sibuk mengatur udara di dadanya yang terasa tiba-tiba terkuras habis tak bersisa.“Maafkan aku, Mas ... .” Tiba-tiba sudah meluncur dengan deras airmata Yeni membasahi pipinya. Gavin bingung melihat reaksi istrinya ini. Tanpa angin dan hujan, ia sudah menangis sedemikian hingga.“Sayang ... ada apa? Katakan saja! Aku janji tidak akan marah,” bujuk Gavin menenangkan hati Yeni.Yeni tidak menjawab. Ia terus menangis dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gavin yang duduk di sebelahnya meringsek mendekat kemudian merengkuh wanita cantik itu dan membawanya dalam pelukan.“Ada apa, Sayang? Katakan saja! Aku tidak
Alya menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke punggung kursi kerjanya. Sudah seminggu ini, ia malas sekali beraktivitas di kantor. Entah sejak kepergian Gavin berbulan madu, Alya merasa ada yang hilang dan ia bahkan tidak bersemangat mengerjakan apa pun.Berulang Alya mengembuskan napas sambil meniup keras udara ke atas membuat poninya spontan terangkat.“Huh ... benar-benar membosankan. Aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa untuk mengusir kebosanan ini,” gumam Alya sambil memajukan semua bibirnya ke depan.Sebuah ketukan di pintu tiba-tiba membuyarkan lamunan Alya. Tak berapa lama tampak Rini, asistennya terburu masuk ke ruangan.“Ada apa, Rin?” tanya Alya.Rini segera menghentikan langkahnya dan tersenyum dengan sumringah ke arah Alya.“Ini, Bu. Saya membawa Mas Doni, dia yang akan menjadi sekretaris sekaligus asisten Pak Gavin,” terang Rini.Alya hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalan
“Pagi, Alya!” sapa Yeni begitu Alya masuk ke ruang makan.Pagi ini Yeni sudah bangun lebih awal dan membantu Aminah untuk menyiapkan sarapan pagi. Alya hanya diam dan langsung duduk di kursinya. Ia langsung menenggak susu putih kesukaannya sebelum memulai sarapan. Ini memang kebiasaan Alya sejak dulu.“Kamu sarapan roti atau nasi, Al? Biar aku siapkan sekalian,” tawar Yeni dengan senyum manisnya.“Eng ... gak usah. Aku bisa ambil sendiri,” tolak Alya.Yeni tampak kecewa mendengar jawaban Alya ini padahal ia sangat ingin lebih akrab dengan Alya. Bagaimanapun mereka sudah menjadi saudara sekarang.“Biar saja, Yen. Kamu gak usah ngurusin Alya. Kamu siapkan saja untuk Gavin,” ucap Aminah yang sudah muncul sambil membawa sepiring buah potong.Yeni mengangguk sambil melebarkan senyuman di bibirnya. Tak berapa lama Gavin sudah keluar, ia sudah rapi dan bersiap masuk kerja hari ini.“Loh,
Mobil yang ditumpangi Alya dan Gavin sudah masuk ke gedung perkantoran tempat mereka bekerja. Gavin sudah memarkirnya dengan rapi di tempat biasanya. Ia sudah bersiap melepas seat belt saat Alya tiba-tiba mengulurkan tangan ke arahnya.“Ada apa?” tanya Gavin bingung.“Salim. Aku mau salim,” jawab Alya sambil cengengesan.Gavin tersenyum, entah akhir-akhir ini ia selalu kebingungan menghadapi sikap Alya yang kadang tidak terduga.Gavin sudah mengulurkan tangannya kemudian Alya menyambar dan mengecup punggung tangan Gavin dengan lembut. Ada yang aneh menjalari relung hati Gavin saat Alya melakukan hal itu.“Tumben kamu pakai minta salim segala. Biasanya nyelonong masuk saja,” ucap Gavin sambil berjalan beriringan setelah keluar dari mobil.Alya tersenyum dan langsung bergelayut manja di lengan kakaknya.“Aku ‘kan lagi belajar, Mas,” lirih Alya bertutur.Gavin kembali mengernyi