Beberapa jam sebelumnya ...
Alya sudah kembali ke ruangannya usai menemui Gavin tadi. Dia sangat kesal dengan Gavin yang seakan tak peduli dengan perasaannya dan malah melanjutkan rencana pernikahannya dengan Yeni.
“Sial!! Rasanya aku gak boleh tinggal diam. Mas Gavin gak boleh nikah dengan Yeni. Aku harus mencegahnya dan sepertinya alergi Yeni itu memberiku ide,” gumam Alya sambil tersenyum.
Ia sudah duduk menopang kaki sambil tersenyum menghubungi sebuah kontak yang memang sudah dia simpan sejak dulu.
“Hallo,” sapa ramah Alya di telepon.
Sudah terdengar salam ramah juga di seberang.
“Saya mau pesan sebuah kue khusus. Kalau bisa mengandung banyak kacang, ya?” Alya diam mendengarkan.
“Tidak. Begini nanti kakak saya Gavin Mahendra berserta calon istrinya akan ke tempat Anda untuk mencicipi menu makanan Anda dan tadi dia sudah pesan untuk minta dibuatkan kue spesial yang mengandung banyak kacang untuk tunangannya. Tunangannya itu sangat suka kacang,” jelas Alya dalam panggilannya.
Lagi-lagi Alya terdiam sejenak mendengarkan pihak di seberang sedang asyik berbicara.
“Kata siapa dia alergi kacang? Buktinya sekarang malah meminta saya untuk menelepon Anda,” tegas Alya.
“Ya, kerjakan saja sesuai pesanan. Tidak perlu terlalu besar kuenya yang penting rasanya, kan? Satu lagi kalau bisa kacangnya dihaluskan sehingga tidak terlihat di permukaan. Saya rasa Anda pasti ahli untuk urusan seperti itu.”
Alya terdiam sambil mengangguk-angguk, kemudian sudah tersenyum sambil menutup ponselnya.
“Rasain lu. Masuk rumah sakit, deh,” sungut Alya dengan sadis.
Tak berapa lama sebuah ketukan di pintu ruangannya terdengar. Asistennya sudah masuk dengan tergesa.
“Ada apa, Rin?” tanya Alya penasaran.
“Itu, Bu. Ada kiriman dari toko souvenir katanya untuk Ibu. Saya sudah periksa isinya tas rajut dalam jumlah banyak. Lalu saya taruh di mana barangnya, Bu?” ujar Rini, asisten Alya.
Alya tersenyum mendengarnya. Memang beberapa minggu yang lalu dia memesan tas rajut dalam jumlah banyak ke toko souvenir yang sudah dipesan oleh kakaknya juga. Ia sengaja melakukan itu agar kakaknya batal menikah. Bahkan Alya berani membayar dua kali lipat harga sebuah tas rajut tersebut.
“Langsung kirim ke apartemenku saja. Aku mau mendistribusikannya untuk anak yatim besok,” pungkas Alya.
Rini langsung mengangguk kemudian sudah undur diri meninggalkan ruangan Alya.
‘Jadi apa kau masih melanjutkan rencana pernikahanmu, Mas?’ gumam Alya dalam hati.
**
Gavin terdiam menatap Alya yang sudah duduk manis di depannya. Dari mana Alya tahu kalau Yeni sedang tidak baik-baik saja? Apa dia yang sengaja merencanakan ini? Berbagai tanya sudah berkumpul di benak Gavin.
“Apa maksud pertanyaanmu, Al? Apa kau tahu kalau Yeni sedang tidak baik-baik saja?” sergah Gavin bertanya.
Alya tertawa memperlihatkan lesung pipi menambah manis raut sawo matangnya.
“Aku hanya sekedar bertanya, Mas. Karena aku lihat Yeni sudah tidak ada di mejanya. Itu tandanya dia sudah pulang. Bukankah biasanya kalian selalu pulang bareng. Jadi apa salah kalau aku bertanya seperti itu?” urai Alya.
Gavin terdiam dan menunduk. Ia menghela napas berulang. Ia menyesal sudah menuduh adik angkatnya ini yang tidak-tidak.
“Yeni masuk rumah sakit tadi sepertinya pihak katering lupa kalau Yeni alergi kacang dan mereka tadi memberinya kue kacang,” jelas Gavin.
Alya diam tak bereaksi, tetapi matanya terus menatap Gavin dengan iba.
“Entahlah, ada apa dengan hari ini. Kenapa juga banyak masalah yang datang mendekati hari pernikahanku ini?” keluh Gavin.
Alya masih diam dan terus mendengarkan keluh kesah Gavin.
“Tadi pihak souvenir juga menelepon katanya tidak bisa mengirim tepat waktu dan mereka akan mengganti yang lain dengan harga sesuai. Kesal aku seharian ini.”
Alya tetap diam dan sudah melipat tangannya ke depan dada sambil terus menatap Gavin tanpa jeda.
“Kamu tahu, Mas. Mungkin itu pertanda,” ucap Alya akhirnya setelah lama terdiam.
Gavin terkejut dan menatap Alya dengan seksama.
“Apa maksudmu, Al?’ tanya Gavin penasaran.
“Mungkin itu pertanda agar kamu mau membatalkan pernikahanmu dengan Yeni. Sepertinya semesta sama sekali tidak berpihak kepadamu,” tandas Alya.
Gavin tampak kesal dan menatap Alya dengan pandangan tak suka.
“Cukup, Al! Jangan diteruskan! Aku tahu ucapanmu ini nantinya akan berujung ke mana dan rasanya kita sudah membahasnya kemarin,” tegas Gavin.
Alya melepas lipatan tangannya kemudian sudah mengulurkan tangan meraih tangan Gavin yang tergeletak bebas di atas meja.
“Aku cinta kamu, Mas. Sayang kamu dan aku ingin memilikimu seutuhnya. Bukan sebagai seorang kakak, tetapi seutuhnya sebagai seorang kekasih. Apa begitu sulit mengabulkan permintaanku ini?” lirih Alya bertutur.
Gavin sontak menarik tangannya dengan kasar. Ia langsung berdiri dan menatap kesal ke arah Alya. Rasanya kesulitannya hari ini semakin bertambah dengan kehadiran Alya.
“Cukup, Al!! Lebih baik kamu pulang saja. Aku tidak akan pulang malam ini, aku mau menemani Yeni di rumah sakit. Aku rasa untuk sementara kita gak usah bertemu dulu sampai keinginan dan perasaan anehmu itu benar-benar hilang dari ingatanmu,” pungkas Gavin.
Ia sudah beranjak akan pergi dari ruangan namun Alya menarik tangannya membuat Gavin menghentikan langkahnya.
“Aku sudah bilang, Mas. Kalau aku bersedia menjadi yang kedua asal kau mau menerima perasaanku ini.”
“Kamu gila!” sergah Gavin marah sambil mengibaskan tangannya.
Alya terdiam menerima perlakuan kasar Gavin lalu sudah berjalan mendekatinya.
“Oke, kalau kau terus menolakku. Asal kau tahu kalau aku bisa berbuat lebih untuk membatalkan pernikahanmu ini,” tandas Alya.
Gavin langsung terkejut dan menatap dengan marah ke arah Alya. Tangannya mengepal, giginya juga gemelatukan seakan sedang menahan amarah yang siap meledak.
“Jadi kamu yang melakukan semua kekacauan hari ini?” tuduh Gavin dengan marah.
Alya hanya diam tidak menjawab, tetapi sudah menyunggingkan sebuah senyuman yang artinya sulit sekali dijelaskan oleh Gavin.
“Al, benar kamu yang melakukannya? Kamu yang menyuruh pihak katering membuatkan kue kacang itu?” tebak Gavin lagi.
Ia makin penasaran dengan sikap Alya yang semakin aneh ini. Sementara Alya sudah kembali duduk di sofa sambil sibuk memainkan jemarinya dan tersenyum dengan seringai yang menyeramkan.
“Alya, aku mohon ... katakan sejujurnya!” pinta Gavin sambil duduk di sebelahnya.
Alya menghentikan aktivitasnya dan menengadahkan kepala menatap Gavin yang sudah berada di sampingnya.
“IYA. Aku yang melakukannya, Mas. Aku sengaja menyuruh pihak katering untuk membuatkan kue kacang itu. Aku juga yang melakukan pemesanan tas rajut souvenir pernikahanmu dalam jumlah banyak. Aku bahkan membayar dua kali lipat untuk setiap tas tersebut. Aku sengaja melakukannya untuk mendapatkanmu, Mas. Aku ingin kamu membatalkan pernikahanmu. Aku mencintaimu, Mas,” jelas Alya dengan uraian airmata.
Gavin terdiam, tertegun menatap gadis berwajah manis di depannya ini. Ia mengenal Alya saat berumur lima tahun. Sejak itu rasa sayangnya ke Alya begitu dalam. Ia tidak rela siapa pun menyakiti hati adiknya itu. Ia bahkan sudah berjanji dalam hati akan selalu menjaga Alya sampai kapan pun. Namun, bila seperti ini sepertinya ia tidak akan bisa menepati janjinya itu. Lebih-lebih dia yang membuat hati gadis manis ini tersakiti.
Gavin masih diam kemudian perlahan merengkuh tubuh Alya mendekat dan memeluknya dengan erat.
“Maafkan aku, Al. Maafkan aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu. Aku tidak bisa mengubah rasa sayang seorang kakak menjadi seorang kekasih. Aku tidak bisa, Al. Aku tidak bisa,” ujar Gavin di sela pelukannya.
Alya hanya diam dan masih sesenggukkan dalam pelukan Gavin.
“Tolong, berhentilah melakukan apa pun itu. Aku tidak mau semakin dalam melukaimu. Aku tidak mau melihatmu terus menangis.”
Alya terus diam kemudian perlahan Gavin mengurai pelukannya. Dirangkumnya wajah gadis manis di depannya ini sambil tersenyum.
“Kamu cantik dan pintar, pasti ada pria di luar sana yang bisa meluluhkan hatimu. Namun yang pasti pria itu bukan aku. Tolong, berhenti melakukan ini. Aku mohon.”
Alya masih diam. Ia sudah berhasil menenangkan diri, tangisnya juga sudah reda. Gavin yang masih duduk di sampingnya juga terdiam menatap tak berkedip.
“Baik. Aku akan menyudahi semuanya, tetapi aku punya syarat dan Mas Gavin harus menyanggupinya,” ucap Alya setelah lama terdiam.
Gavin mengangguk dan sudah memegang tangan Alya dengan lembut.
“Tentu, katakan syarat apa itu!” sahut Gavin.
Alya diam lagi, menghela napas panjang sambil menatap wajah tampan seperti aktor yang sering dilihat di drama China favoritnya.
“Mas boleh melanjutkan pernikahan ini, tetapi Yeni harus resign dari sini. Mas pasti tahu peraturan di kantor ini dan itu juga tanpa pengecualian.”
Gavin mengangguk sambil tersenyum. Ia sedikit lega dengan syarat Alya ini.
“Satu lagi, aku ingin sebuah ciuman dan aku ingin kali ini Mas membalasnya.”
Gavin sontak terdiam, bergeming di tempatnya. Tidak mengangguk juga tidak menggeleng.
“Baik, ayo kita lakukan!” ucap Gavin akhirnya setelah lama terdiam dan menghela napas panjang.
Alya tersenyum kemudian sudah menggeser duduknya ke arah Gavin. Gavin pun demikian. Tangannya sudah merengkuh tubuh Alya untuk mendekat dan mengikis jarak. Perlahan seakan janjian kepala mereka mendekat menempati posisi yang tepat kemudian dengan lembut bibir Gavin menyentuh bibir Alya. Mengecupnya dengan pelan kemudian mencecap dan melumatnya hingga mendalam.
Untuk sesaat Gavin lupa siapa yang sedang dikecupnya sekarang. Dia juga tidak menyadari kalau ada sesuatu di dalam dada yang lama terpendam mulai muncul perlahan.
Alya termenung, diam di sudut ruangan hotel bintang lima ini. Dia tidak peduli dengan hiruk pikuk orang yang berlalu lalang dan tepuk tangan merayakan sakralnya acara akad nikah Gavin dan Yeni. Alya tidak peduli dengan cibiran dan pandangan aneh orang-orang yang melihatnya. Ia hanya ingin sendiri sekarang. Sebuah helaan napas berulang keluar masuk dari mulut Alya, bergantian dengan air mineral yang membasahi bibir seksinya. Alya kesal, marah dan cemburu harus menghadapi kenyataan kalau pria yang dicintainya sudah resmi bersanding dengan orang lain. Sebuah tepukan lembut menginterupsi lamunan Alya seketika. Alya menoleh dan tampak pria berwajah manis dengan rambut ikal tak beraturan berdiri di belakangnya. “Kamu di sini? Tadi Ibu Aminah mencarimu, Al. Sepertinya mau foto keluarga,” ucap pria berambut ikal yang tak lain bernama Rendi itu. Alya hanya tersenyum masam dan sekali lagi menenggak sisa air mineral di botol kecilnya. “Kenapa? Kamu sedih kakakmu menikah. Aku rasa itu hal yan
Gavin terdiam berdiri mematung di belakang pintu kamarnya. Berulang ia sentuh bibir tipisnya. Lagi-lagi ia melakukan yang seharusnya tidak ia lakukan. Berciuman lagi dengan Alya, entah untuk yang keberapa kali ini. Mengapa ia tidak bisa menghindar dan menikmati setiap detiknya. Ini salah dan seharusnya tidak boleh terjadi.Gavin memejamkan mata dan berulang menggelengkan kepala. Ia melirik ke atas kasur, tampak Yeni masih pulas di balik selimut. Istrinya itu bahkan tidak menyadari apa yang baru saja Gavin lakukan.Perlahan Gavin mendekat lalu naik ke atas kasur dan ikut sembunyi di balik selimut bersama Yeni. Ia langsung memeluk wanita yang baru sehari ini menjadi istrinya. Dikecupnya pipi dan leher Yeni berulang membuat si empunya tubuh tersenyum dalam tidur.‘Maafkan aku, Sayang. Aku janji tidak akan melakukan hal ini lagi. Aku janji ini terakhir kali aku mencium Alya. Sepertinya aku harus pindah dari sini secepatnya. Aku tidak mau berinteraksi terus men
Alya sedang duduk manis sambil sibuk meneliti beberapa berkas yang sudah menumpuk di mejanya. Rini, sang asisten tergopoh masuk sambil membawa beberapa lembar berkas lagi.“Bu, ini ada yang ketinggalan belum saya letakkan di sana,” ucap Rini kemudian.Alya hanya mengangguk sambil menyuruh Rini meletakkan sisa berkas yang baru dibawa di meja sebelah.“Oh ya, Bu. Tadi ada pertanyaan dari pihak HRD untuk pengganti Yeni apa sudah ada kalau belum HRD mau menyeleksi karyawan yang ada di sini lebih dulu,” lanjut Rini.Alya menghentikan aktivitasnya dan mengangkat kepala kemudian menatap Rini dengan intens.“Ya sudah kalau gitu lakukan saja seleksinya. Kalau bisa cowok saja yang menggantikan posisi Yeni. Pak Gavin ingin pria yang menjadi sekretarisnya,” ujar Alya.Rini langsung mengangguk mendengar penjelasan Alya ini. Kemudian tak lama dia sudah undur diri kembali ke mejanya lagi. Berbarengan dengan keluarnya Rin
Gavin terdiam, alisnya sudah mengernyit sementara keningnya juga ikut berkerut menatap Yeni tanpa jeda dengan penuh tanda tanya.“Tentang kamu? Tentang apa? Apa ada sesuatu yang belum kamu ceritakan kepadaku selama ini?” tanya Gavin.Yeni terdiam, mulutnya membisu tidak mau berkata. Ia sedang sibuk mengatur udara di dadanya yang terasa tiba-tiba terkuras habis tak bersisa.“Maafkan aku, Mas ... .” Tiba-tiba sudah meluncur dengan deras airmata Yeni membasahi pipinya. Gavin bingung melihat reaksi istrinya ini. Tanpa angin dan hujan, ia sudah menangis sedemikian hingga.“Sayang ... ada apa? Katakan saja! Aku janji tidak akan marah,” bujuk Gavin menenangkan hati Yeni.Yeni tidak menjawab. Ia terus menangis dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gavin yang duduk di sebelahnya meringsek mendekat kemudian merengkuh wanita cantik itu dan membawanya dalam pelukan.“Ada apa, Sayang? Katakan saja! Aku tidak
Alya menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke punggung kursi kerjanya. Sudah seminggu ini, ia malas sekali beraktivitas di kantor. Entah sejak kepergian Gavin berbulan madu, Alya merasa ada yang hilang dan ia bahkan tidak bersemangat mengerjakan apa pun.Berulang Alya mengembuskan napas sambil meniup keras udara ke atas membuat poninya spontan terangkat.“Huh ... benar-benar membosankan. Aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa untuk mengusir kebosanan ini,” gumam Alya sambil memajukan semua bibirnya ke depan.Sebuah ketukan di pintu tiba-tiba membuyarkan lamunan Alya. Tak berapa lama tampak Rini, asistennya terburu masuk ke ruangan.“Ada apa, Rin?” tanya Alya.Rini segera menghentikan langkahnya dan tersenyum dengan sumringah ke arah Alya.“Ini, Bu. Saya membawa Mas Doni, dia yang akan menjadi sekretaris sekaligus asisten Pak Gavin,” terang Rini.Alya hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalan
“Pagi, Alya!” sapa Yeni begitu Alya masuk ke ruang makan.Pagi ini Yeni sudah bangun lebih awal dan membantu Aminah untuk menyiapkan sarapan pagi. Alya hanya diam dan langsung duduk di kursinya. Ia langsung menenggak susu putih kesukaannya sebelum memulai sarapan. Ini memang kebiasaan Alya sejak dulu.“Kamu sarapan roti atau nasi, Al? Biar aku siapkan sekalian,” tawar Yeni dengan senyum manisnya.“Eng ... gak usah. Aku bisa ambil sendiri,” tolak Alya.Yeni tampak kecewa mendengar jawaban Alya ini padahal ia sangat ingin lebih akrab dengan Alya. Bagaimanapun mereka sudah menjadi saudara sekarang.“Biar saja, Yen. Kamu gak usah ngurusin Alya. Kamu siapkan saja untuk Gavin,” ucap Aminah yang sudah muncul sambil membawa sepiring buah potong.Yeni mengangguk sambil melebarkan senyuman di bibirnya. Tak berapa lama Gavin sudah keluar, ia sudah rapi dan bersiap masuk kerja hari ini.“Loh,
Mobil yang ditumpangi Alya dan Gavin sudah masuk ke gedung perkantoran tempat mereka bekerja. Gavin sudah memarkirnya dengan rapi di tempat biasanya. Ia sudah bersiap melepas seat belt saat Alya tiba-tiba mengulurkan tangan ke arahnya.“Ada apa?” tanya Gavin bingung.“Salim. Aku mau salim,” jawab Alya sambil cengengesan.Gavin tersenyum, entah akhir-akhir ini ia selalu kebingungan menghadapi sikap Alya yang kadang tidak terduga.Gavin sudah mengulurkan tangannya kemudian Alya menyambar dan mengecup punggung tangan Gavin dengan lembut. Ada yang aneh menjalari relung hati Gavin saat Alya melakukan hal itu.“Tumben kamu pakai minta salim segala. Biasanya nyelonong masuk saja,” ucap Gavin sambil berjalan beriringan setelah keluar dari mobil.Alya tersenyum dan langsung bergelayut manja di lengan kakaknya.“Aku ‘kan lagi belajar, Mas,” lirih Alya bertutur.Gavin kembali mengernyi
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan lampu ruangan Gavin masih menyala. Sudah tidak tampak Doni di mejanya, sepertinya sekretaris Gavin itu sudah pulang lebih awal daripada bosnya.Alya sudah berjalan menuju ruangan kakaknya, ia juga ingin pulang sekarang. Perlahan Alya mengetuk pintu ruangan Gavin. Tidak ada jawaban sehingga Alya memutuskan langsung masuk saja.Sontak Alya terkejut saat melihat sosok kakak angkatnya yang ganteng itu sedang tertidur. Kepalanya sudah ia letakkan di atas tumpukan berkas dan tampak nyaman di sana. Sepertinya ia sangat kelelahan.Alya mengulum senyum dan berjalan mendekat ke arahnya. Ia berdiri terdiam sambil terus mengamati wajah tampan yang sedang terlelap itu.‘Kamu ganteng banget sih, Mas. Pantas saja Yeni langsung terpikat kepadamu. Harusnya aku yang memilikimu seutuhnya bukan Yeni juga bukan orang lain. Kamu hanya boleh jadi milikku,’ gumam Alya dalam hati.Tiba-tiba muncul niat iseng Alya. I
Gavin bergegas turun dari mobil usai memarkirnya. Entah mengapa Bu Aminah tiba-tiba menelepon sore tadi dan memintanya datang ke rumah. Gavin menghentikan langkahnya saat melihat mobil Alya yang baru saja datang. Alya segera turun dari mobil dan berjalan menghampiri Gavin. Mereka berdua terlihat canggung, mungkin karena sudah lama tidak bertemu dan jarangnya komunikasi. Kemudian Gavin yang lebih dulu jalan mendekat dan langsung merengkuh Alya dalam pelukannya. Ia memeluk Alya dengan sangat erat seakan takut kehilangan. Alya hanya terdiam dalam pelukan suami sekaligus kakak angkatnya. “Maafkan aku, Babe. Aku janji akan memperbaiki semuanya,” cicit Gavin lirih sambil mengecup kening Alya sekilas. Alya mengangguk sambil tersenyum. Mereka kemudian sudah berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Gavin dan Alya sedikit terkejut saat melihat sudah banyak orang di dalam ruang tamu. Ada Yeni beserta bibi dan pamannya, ada Bu Tari, ibu pemilik panti asuhan tempat Gavin diadopsi dulu, ada bude
Alya baru saja memarkir mobilnya dan berjalan lesu menuju lift, dia tidak melihat mobil Gavin di sana. Alya bisa memastikan kalau suami sekaligus kakak angkatnya itu tidak masuk kerja lagi kali ini. Sebuah helaan napas panjang keluar dari bibir seksi Alya. Ia sudah menekan tombol di lift dan bergegas masuk saat pintunya terbuka.Sepi dan hening pagi ini, tidak seperti hari biasanya kali ini suasana sedikit sunyi. Padahal telinga Alya akhir-akhir ini sering mendengar lebah yang berdengung. Lebah-lebah itu selalu sibuk menjelekkan namanya dan juga nama Gavin. Alya sudah biasa mendengarnya jadi sedikit aneh jika kali ini, dia tidak mendnegar suara berdengung itu.Perlahan Alya masuk ke ruangannya. Rini belum datang dan Alya bisa melihat mejanya yang masih rapi, kosong belum terisi. Alya segera mengeluarkan isi di dalam paper bag yang dibawanya dari rumah. Bu Aminah sudah menyiapkan sarapan pagi untuk Alya juga sebuah susu ibu hamil sebagai pelengkapnya.Alya tersen
Sudah hampir sepekan sejak peristiwa heboh pertengkaran Alya dan Yeni di kantor, sejak hari itu juga gosip dan rumor aneh-aneh semakin berkembang cepat dari mulut ke mulut. Ujung-ujungnya selalu menyalahkan pihak ketiga alias sang pelakor yang notabene dalam hal ini adalah Alya. Setiap kesempatan di kantor, Alya selalu dikucilkan. Para karyawan dari bawahan hingga setaraf manager sibuk menggunjingkan dirinya. Bahkan Alya sekarang tidak pernah melakukan meeting pagi.Dia memang masih berangkat ngantor namun hanya diam di dalam ruangannya sibuk mengerjakan tugasnya. Datang lebih awal dan pulang paling terakhir. Alya tidak tahan dengan gunjingan dan rumor yang terus menjelekkan namanya, jadi dia lebih memilih berdiam di ruangan saja. Hal yang sama lebih parah menimpa Gavin, dia malah tidak masuk kerja hingga beberapa hari.Gavin benar-benar depresi, belum habis dukanya akan kehilangan Putri dan penyesalan mendalam ditambah kini keadaan kantor yang semakin tidak nyaman. Se
Sudah hampir dua hari berselang dan Gavin selalu melalui hari yang sama, berangkat kerja, parkir di tempat biasa lalu naik lift harus bersamaan dengan para karyawan yang terus sibuk membicarakannya. Seperti pagi ini, padahal Gavin sudah berniat berangkat pagi agar tidak satu lift dengan para karyawan tukang ghibah itu. Namun, ternyata dia salah. Gavin kembali bertemu dengan karyawan tukang ghibah tadi.“Selamat pagi, Pak!” sapa salah satu dari karyawan yang suka ghibah itu. Gavin hanya mengangguk sambil tersenyum. Sekali lagi di hari yang beda dia bertemu dengan orang yang menyebalkan.Hanya lima orang karyawan yang pangkatnya supervisor dan asisten manager sudah berada bersama Gavin di dalam lift tersebut. Kembali lima orang itu sudah kasak kusuk sambil sesekali melirik Gavin.“Pak ... kok sekarang jarang bareng sama Bu Alya. Emang sudah gak sama Bu Alya lagi?” tanya salah satu dari mereka. Gavin hanya diam menghela napas panjang.
“CABUT UCAPANMU ITU, YENI!!!” sentak Gavin penuh amarah. Yeni hanya diam dan berdiri menantang Gavin seakan siap kalau Gavin hendak memukulnya.“Jangan pernah sekalipun menyumpahi anak yang sedang dikandung Alya. Aku memang lebih mencintai Alya daripada kamu. Tapi asal kamu tahu, kamu yang membuatku seperti itu. Kamu sendiri yang menjauh saat aku ingin dekat. Kamu yang membuka lebar pintu untuk aku menikah lagi. Aku harap kamu bisa belajar menelaah kini,” pungkas Gavin.Dia sudah membalikkan badan dan bergegas pergi meninggalkan Yeni. Sontak Yeni panik, dia ikut membalikkan badan dan mengejar Gavin.“Mas!! Kamu mau ke mana? Apa kamu mau ke Alya dan minta jatah pelayanannya lagi? MAS!!!” teriak Yeni penuh amarah. Gavin tidak menjawab dan langsung masuk ke dalam mobil kemudian sudah pergi meninggalkan rumahnya.Yeni semakin kacau, ia menyesal melepas tawaran Irwan saat itu. Hanya karena ingin memperbaiki rumah tangganya,
Gavin terdiam sambil menatap jasad yang sudah ditutupi kain berwarna putih. Usai menerima telepon dari Bu Aminah tadi, Gavin sangat shock. Dengan bergegas dia melarikan mobilnya ke rumah sakit dan kini dia sudah berdiri mematung di hadapan jasad buah hati kesayangannya.Gavin menyesal tidak berada di sampingnya saat Putri merenggang nyawa, Gavin menyesal tidak melihat Putri untuk terakhir kali. Dia sudah egois, mementingkan kebutuhan biologisnya dan melupakan tanggung jawabnya sebagai ayah.Hanya terdiam mematung tanpa bicara dan tanpa tangisan airmata yang dilakukan Gavin kini. Dia tidak bisa protes kepada siapa pun tentang hal ini. Dia juga tidak bisa bertanya bagaimana kondisi terakhir putrinya itu sesaat sebelum meninggal. Ini adalah penyesalan Gavin terbesar dan untuk pertama kali dia merasa gagal. Ia gagal sebagai ayah, gagal sebagai suami dan juga gagal sebagai lelaki. Tiga predikat itu telah melekat di namanya kini.Yeni berjalan menghampiri Gavin yang m
Sinar mentari pagi sudah menerobos masuk tanpa sopan menembus tirai kamar tempat Gavin terpulas. Matanya langsung mengerjap begitu sinar mentari yang hangat ini menyentuh tubuhnya. Dilihat ke samping kasur, sudah tidak ada Alya di sana. Gavin mendengar suara gemericik air di kamar mandi. Gavin menyimpulkan kalau istri keduanya itu pasti sedang mandi.Gavin mengulum senyum sambil menyibak selimut dan memakai boxernya dengan sembarang. Gavin berjalan berjingkat menuju kamar mandi. Dia ingin meminta bonus tambahan kali ini ke sang Istri. Gavin selalu kecanduan jika sudah melakukan dengan Alya. Tubuh dan pesona Alya seakan terus menghipnotis dirinya dan tak bisa lepas begitu saja.CEKLEKTepat dugaan Gavin, Alya tidak mengunci pintu kamar mandi. Gavin mengulum senyum saat melihat siluet tubuh istrinya sedang berdiri di bawah shower tertutup tirai mandi. Seketika onderdil penting miliknya langsung berdiri menjulang siap menerjang kembali. Pelan Gavin berjalan mendeka
Alya tersenyum sambil menatap pria tampan di sampingnya yang sekarang sibuk mengendarai kendaraan mengurai kemacetan sore ini. Mobil Gavin sudah melaju cepat, tetapi sama sekali tidak mengarah ke rumah Bu Aminah ataupun apartemen mereka berdua. Gavin sudah mengarahkannya ke rumah mereka di tepi pantai yang terletak di luar kota.“Kita ke rumah pantai lagi, Mas?” Alya bertanya. Gavin mengangguk sambil tersenyum.“Iya, aku tidak ingin kamu cemas, Al. Lebih baik kamu beristirahat beberapa hari di sana sampai keadaan di kantor kondusif. Lagipula kerjaan di kantor bisa dihandle Rini dan Rendy,” urai Gavin kemudian. Alya hanya tersenyum sambil manggut-manggut.“Terus Mas Gavin sendiri ke mana? Aku akan ditinggal sendiri di sana? Sama juga bohong dong, Mas,” dumel Alya sambil memajukan seluruh bibirnya ke depan. Gavin tersenyum. Gemas memperhatikan ulah istri mudanya itu.“Jangan khawatir, Babe. Aku temani, kok. Aku akan
Gavin sibuk memainkan kakinya. Dia gelisah karena operasi Putri belum juga usai. Sudah hampir pukul dua siang dan belum ada tanda-tanda operasi itu selesai. Sesekali Gavin menoleh ke arah Yeni yang tampak duduk terdiam sambil menyandarkan kepalanya ke dinding. Gavin tahu kalau Yeni juga sama gelisahnya dengan dia kali ini.Gavin berdiri hendak mendekat ke arah Yeni kemudian tiba-tiba lampu di atas pintu padam dan tak lama pintu terbuka. Gavin menghela napas lega saat melihat beberapa suster sudah mendorong ranjang tidur rumah sakit tersebut. Gavin dan Yeni bergegas mengikuti.“Bagaimana keadaannya, Sus? Dia baik-baik saja, ‘kan?” tanya Gavin penasaran. Suster hanya tersenyum sambil memberi isyarat agar Gavin tenang.“Kita tunggu ya, Pak. Nanti setelah diobservasi baru tahu keadaan adek,” jawab suster itu diplomatis. Gavin mengangguk kemudian dia tiba-tiba menghentikan langkah tidak mengikuti dua suster dan Yeni yang mengiringi Putri tadi. Ponselnya sudah berdering nyaring dan Gavin te