Alya termenung, diam di sudut ruangan hotel bintang lima ini. Dia tidak peduli dengan hiruk pikuk orang yang berlalu lalang dan tepuk tangan merayakan sakralnya acara akad nikah Gavin dan Yeni. Alya tidak peduli dengan cibiran dan pandangan aneh orang-orang yang melihatnya. Ia hanya ingin sendiri sekarang.
Sebuah helaan napas berulang keluar masuk dari mulut Alya, bergantian dengan air mineral yang membasahi bibir seksinya. Alya kesal, marah dan cemburu harus menghadapi kenyataan kalau pria yang dicintainya sudah resmi bersanding dengan orang lain.
Sebuah tepukan lembut menginterupsi lamunan Alya seketika. Alya menoleh dan tampak pria berwajah manis dengan rambut ikal tak beraturan berdiri di belakangnya.
“Kamu di sini? Tadi Ibu Aminah mencarimu, Al. Sepertinya mau foto keluarga,” ucap pria berambut ikal yang tak lain bernama Rendi itu.
Alya hanya tersenyum masam dan sekali lagi menenggak sisa air mineral di botol kecilnya.
“Kenapa? Kamu sedih kakakmu menikah. Aku rasa itu hal yang wajar, sih. Dia saudaramu satu-satunya. Kamu pasti merasa kehilangan. Tapi bukankah kalian masih sering ketemu di kantor. Lagipula Gavin bilang tinggal di apartemen tak jauh dari rumahmu,” ulas Rendy.
Lagi-lagi Alya hanya diam dan sudah mengalihkan pandangannya. Ia terus melihat keramaian di luar sana lewat jendela di sudut ballroom hotel. Kali ini akad nikah kakaknya memang diadakan di sebuah ballroom hotel ternama dan berlanjut ke resepsi yang diadakan di taman belakang hotel ini. Yeni, istri Gavin menginginkan sebuah pesta kebun untuk resepsi mereka.
Alya mendengus kesal sambil melirik Rendy yang masih setia berdiri menunggu di sampingnya.
“Kamu tidak ke sana?” tanya Alya sambil menunjuk keluar jendela melalui dagunya.
“Aku nunggu kamu. Aku disuruh Bu Aminah untuk mencarimu tadi. Bu Aminah khawatir melihat keadaanmu. Ada apa sebenarnya? Apa kamu sakit?” kembali Rendy berkata penuh kekhawatiran.
Alya menelan ludah sambil menatap kosong ke luar jendela.
‘Iya, aku memang sakit. Sakit hati dan penyebabnya kakak angkatku yang ganteng itu. Akh, aku tidak bisa mengatakan hal ini ke Rendy. Dia tidak tahu hubungan Mas Gavin denganku hanya saudara angkat. Bahkan semua orang termasuk Yeni, tidak ada yang tahu. Apalagi dengan perasaan anehku ini. Apa aku harus menghilangkan semua perasaan aneh ini?’ batin Alya.
Tiba-tiba lamunan Alya terhenti saat sorot matanya sudah menangkap sorot mata lain yang sedang menatapnya dengan sendu dari luar jendela. Memang jendela tempat dia berdiri tidak sepenuhnya tertutup. Alya sudah membukanya sebagian dari tadi, sehingga suasana di luar terlihat dengan jelas dari sini. Tentu saja pelaminan adalah pandangan pertama yang bisa dilihat Alya langsung dari sini.
Alya terdiam saat dua mata sipit itu terus menatapnya dari jauh. Ia tahu Gavin sedang melihatnya. Mungkin Gavin penasaran dengan menghilangnya Alya sejak acara akad nikah tadi, hingga akhirnya netra Gavin sibuk mencari dan menemukan Alya di sini.
Alya segera menunduk dan cepat-cepat mengalihkan tatapannya. Ia tidak mau terus berpandangan seperti ini. Selain membuat luka di hatinya semakin menganga, ia juga tidak mau orang lain tahu.
“Ibuku di mana, Ren?” ujar Alya mengalihkan perhatian.
“Ayo aku antar ke sana!” ajak Rendy sambil mengapit tangan Alya dan mengajaknya berlalu dari sana. Sementara netra sipit itu terus mengikuti ke mana Alya pergi.
“Alya!! Kamu dari mana saja? Ibu tadi mau foto keluarga, tapi kamu gak ada. Habis ini kita foto, ya? Kamu jangan ke mana-mana dulu,” ujar Bu Aminah.
Alya hanya mengangguk sambil tersenyum kemudian duduk dengan manis di sebelah ibunya. Tak lama kemudian dia sudah khidmat mengikuti acara demi acara resepsi pernikahan ini. Berulang Alya menebarkan senyum palsunya. Ia tidak ingin membuat ibunya khawatir lagi.
Hingga akhirnya sesi foto keluarga, Bu Aminah sudah mengajak Alya mengikutinya maju ke depan untuk foto bersama. Bu Aminah langsung menyalami Gavin dan Yeni kemudian memeluk serta berulang mengecup pipi mereka. Alya mengekor di belakang kemudian dengan canggung mengulurkan tangannya ke arah Gavin.
“Selamat, Mas. Semoga samawa,” ucap Alya singkat.
Gavin tersenyum menyambut uluran tangan kemudian langsung menarik Alya dalam rengkuhannya dan memeluk dengan erat.
“Terima kasih, Al,” ucap Gavin sambil mengecup kening Alya.
Alya hanya diam dan bergegas mengurai pelukan kemudian sudah berjalan ke arah Yeni menyalami serta melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan ke Gavin. Sesudahnya ia berdiri di sebelah Yeni kemudian foto bersama mereka.
Lagi-lagi Alya harus bekerja keras menampilkan senyuman paling manis miliknya. Ia tidak mau seluruh dunia tahu kesedihannya hari ini. Cukup hari ini dia bersedih dan terluka karena esok hari masih ada kesempatan untuk mendapatkan hati Gavin kembali. Itu yang sudah ditekadkan Alya dalam hati.
**
Malam menjelang saat Alya memasukkan mobilnya ke garasi. Hari ini adalah hari terpadat dalam hidupnya. Cukup seharian ini ia berpura-pura baik-baik saja, kini saatnya ia menumpahkan semua kesedihannya di kamar. Ya, mungkin hanya kamarnya kini yang menjadi tempat ia mencurahkan seluruh kesedihannya.
Usai foto keluarga tadi, Alya langsung pergi menghilang. Ia malas harus memasang wajah manisnya di acara pernikahan Gavin seharian ini. Jadi Alya memutuskan menghabiskan waktu hang out di kafe bersama teman-temannya. Hari sudah sangat larut saat Alya pulang, mungkin juga hampir dini hari. Alya tidak peduli lagipula pasti tidak ada orang di rumahnya.
Perlahan Alya mengeluarkan kunci rumah dari tasnya, baru saja ia akan memasukkan kunci rumah. Tiba-tiba handel pintu sudah bergerak dan pintu terbuka dengan perlahan. Sontak Alya terkejut.
Ia mengucek matanya sambil menatap dengan samar sosok yang berada di balik pintu. Kembali Alya terkejut saat melihat ada sosok tampan bermata sipit itu sedang berdiri menatapnya sambil melipat tangan di dada.
‘Mas Gavin! Kenapa dia ada di sini? Bukannya dia menginap di hotel, menghabiskan malam pertamanya. Untuk apa dia di sini?’ tanya Alya dalam hati.
“Dari mana kamu?” seru Gavin bertanya.
Alya terdiam menunduk, ia mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa memburu.
“Kamu tidak punya mulut sehingga tidak bisa menjawab pertanyaanku?” lagi Gavin bertanya.
Alya marah, ia menengadahkan kepala dan menatap Gavin dengan sorot mata penuh kebencian.
“Aku main sama teman,” jawab Alya datar.
Gavin langsung mengernyitkan alisnya dan menatap Alya dengan pandangan menyelidik memutari tubuhnya.
“Teman siapa?” lanjut Gavin terus bertanya.
Alya melotot dan merasa geram dengan ulah kakak angkatnya ini.
“Mas gak kenal, percuma juga aku kasih tahu,” cetus Alya sambil hendak beranjak pergi.
Cepat-cepat Gavin menarik tangannya membuat Alya berhenti seketika.
“Kamu habis minum?”
Alya tersenyum mendengar pertanyaan Gavin ini. Ia sudah mengibaskan tangan ke udara sambil menatap Gavin dengan kesal.
“Kalau iya, kenapa? Mengapa Mas Gavin peduli?” cercah Alya kemudian.
“Jelas aku peduli, Al. Kamu masih adikku. Apa kau tahu ibu cemas memikirkanmu semalaman ini. Kau pergi tanpa pamit kepadanya. Makanya aku memutuskan pulang ke rumah untuk menemani ibu. Kamu benar-benar keterlaluan, Al,” sergah Gavin marah.
Alya mendecak kesal sambil menatap Gavin datar.
“Oh ya? Aku pikir kamu sudah tidak mempedulikan aku sekarang.”
Gavin menghela napas panjang dan menarik Alya untuk duduk di sofa.
“Tolong, Al. Jangan mulai lagi. Kita masih saudara sampai kapan pun dan aku selalu peduli kepadamu. Aku harap kamu jangan membuat ibu cemas terus. Apalagi bila aku sudah tidak di sini,” pinta Gavin.
Alya hanya mengangguk menjawab permintaan Gavin.
“Ya sudah, kalau begitu istirahatlah! Aku yakin kamu pasti lelah,” pungkas Gavin.
Alya mengangguk lagi kemudian perlahan menatap Gavin dengan pandangan curiga.
“Mas sendiri kenapa tidak menghabiskan malam pertamanya? Apa Yeni tidak memuaskanmu?” cetus Alya tiba-tiba.
Gavin langsung melotot mendengar ucapan Alya ini.
“Jangan ngawur kamu! Yeni kecapekan seharian ini lagipula dia lagi halangan, kami harus menundanya,” jelas Gavin.
Alya tertawa mengejek mendengar penjelasan Gavin kemudian sudah bangkit dari sofa hendak beranjak pergi. Namun, sepertinya Alya belum berdiri dengan sempurna sehingga oleng dan langsung jatuh duduk kembali di pangkuan Gavin.
Gavin spontan menangkapnya dan langsung terdiam saat wajah mereka sudah sangat dekat. Lalu entah siapa yang memulai lebih dulu, tiba-tiba bibir mereka sudah saling menyatu.
Hai!! Salam kenal, ini novel pertamaku yang publish di sini. Semoga kalian suka, ya? Jangan lupa subcribe dan tinggalkan jejak kalian di kolom review. Makasih.
Gavin terdiam berdiri mematung di belakang pintu kamarnya. Berulang ia sentuh bibir tipisnya. Lagi-lagi ia melakukan yang seharusnya tidak ia lakukan. Berciuman lagi dengan Alya, entah untuk yang keberapa kali ini. Mengapa ia tidak bisa menghindar dan menikmati setiap detiknya. Ini salah dan seharusnya tidak boleh terjadi.Gavin memejamkan mata dan berulang menggelengkan kepala. Ia melirik ke atas kasur, tampak Yeni masih pulas di balik selimut. Istrinya itu bahkan tidak menyadari apa yang baru saja Gavin lakukan.Perlahan Gavin mendekat lalu naik ke atas kasur dan ikut sembunyi di balik selimut bersama Yeni. Ia langsung memeluk wanita yang baru sehari ini menjadi istrinya. Dikecupnya pipi dan leher Yeni berulang membuat si empunya tubuh tersenyum dalam tidur.‘Maafkan aku, Sayang. Aku janji tidak akan melakukan hal ini lagi. Aku janji ini terakhir kali aku mencium Alya. Sepertinya aku harus pindah dari sini secepatnya. Aku tidak mau berinteraksi terus men
Alya sedang duduk manis sambil sibuk meneliti beberapa berkas yang sudah menumpuk di mejanya. Rini, sang asisten tergopoh masuk sambil membawa beberapa lembar berkas lagi.“Bu, ini ada yang ketinggalan belum saya letakkan di sana,” ucap Rini kemudian.Alya hanya mengangguk sambil menyuruh Rini meletakkan sisa berkas yang baru dibawa di meja sebelah.“Oh ya, Bu. Tadi ada pertanyaan dari pihak HRD untuk pengganti Yeni apa sudah ada kalau belum HRD mau menyeleksi karyawan yang ada di sini lebih dulu,” lanjut Rini.Alya menghentikan aktivitasnya dan mengangkat kepala kemudian menatap Rini dengan intens.“Ya sudah kalau gitu lakukan saja seleksinya. Kalau bisa cowok saja yang menggantikan posisi Yeni. Pak Gavin ingin pria yang menjadi sekretarisnya,” ujar Alya.Rini langsung mengangguk mendengar penjelasan Alya ini. Kemudian tak lama dia sudah undur diri kembali ke mejanya lagi. Berbarengan dengan keluarnya Rin
Gavin terdiam, alisnya sudah mengernyit sementara keningnya juga ikut berkerut menatap Yeni tanpa jeda dengan penuh tanda tanya.“Tentang kamu? Tentang apa? Apa ada sesuatu yang belum kamu ceritakan kepadaku selama ini?” tanya Gavin.Yeni terdiam, mulutnya membisu tidak mau berkata. Ia sedang sibuk mengatur udara di dadanya yang terasa tiba-tiba terkuras habis tak bersisa.“Maafkan aku, Mas ... .” Tiba-tiba sudah meluncur dengan deras airmata Yeni membasahi pipinya. Gavin bingung melihat reaksi istrinya ini. Tanpa angin dan hujan, ia sudah menangis sedemikian hingga.“Sayang ... ada apa? Katakan saja! Aku janji tidak akan marah,” bujuk Gavin menenangkan hati Yeni.Yeni tidak menjawab. Ia terus menangis dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gavin yang duduk di sebelahnya meringsek mendekat kemudian merengkuh wanita cantik itu dan membawanya dalam pelukan.“Ada apa, Sayang? Katakan saja! Aku tidak
Alya menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke punggung kursi kerjanya. Sudah seminggu ini, ia malas sekali beraktivitas di kantor. Entah sejak kepergian Gavin berbulan madu, Alya merasa ada yang hilang dan ia bahkan tidak bersemangat mengerjakan apa pun.Berulang Alya mengembuskan napas sambil meniup keras udara ke atas membuat poninya spontan terangkat.“Huh ... benar-benar membosankan. Aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa untuk mengusir kebosanan ini,” gumam Alya sambil memajukan semua bibirnya ke depan.Sebuah ketukan di pintu tiba-tiba membuyarkan lamunan Alya. Tak berapa lama tampak Rini, asistennya terburu masuk ke ruangan.“Ada apa, Rin?” tanya Alya.Rini segera menghentikan langkahnya dan tersenyum dengan sumringah ke arah Alya.“Ini, Bu. Saya membawa Mas Doni, dia yang akan menjadi sekretaris sekaligus asisten Pak Gavin,” terang Rini.Alya hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalan
“Pagi, Alya!” sapa Yeni begitu Alya masuk ke ruang makan.Pagi ini Yeni sudah bangun lebih awal dan membantu Aminah untuk menyiapkan sarapan pagi. Alya hanya diam dan langsung duduk di kursinya. Ia langsung menenggak susu putih kesukaannya sebelum memulai sarapan. Ini memang kebiasaan Alya sejak dulu.“Kamu sarapan roti atau nasi, Al? Biar aku siapkan sekalian,” tawar Yeni dengan senyum manisnya.“Eng ... gak usah. Aku bisa ambil sendiri,” tolak Alya.Yeni tampak kecewa mendengar jawaban Alya ini padahal ia sangat ingin lebih akrab dengan Alya. Bagaimanapun mereka sudah menjadi saudara sekarang.“Biar saja, Yen. Kamu gak usah ngurusin Alya. Kamu siapkan saja untuk Gavin,” ucap Aminah yang sudah muncul sambil membawa sepiring buah potong.Yeni mengangguk sambil melebarkan senyuman di bibirnya. Tak berapa lama Gavin sudah keluar, ia sudah rapi dan bersiap masuk kerja hari ini.“Loh,
Mobil yang ditumpangi Alya dan Gavin sudah masuk ke gedung perkantoran tempat mereka bekerja. Gavin sudah memarkirnya dengan rapi di tempat biasanya. Ia sudah bersiap melepas seat belt saat Alya tiba-tiba mengulurkan tangan ke arahnya.“Ada apa?” tanya Gavin bingung.“Salim. Aku mau salim,” jawab Alya sambil cengengesan.Gavin tersenyum, entah akhir-akhir ini ia selalu kebingungan menghadapi sikap Alya yang kadang tidak terduga.Gavin sudah mengulurkan tangannya kemudian Alya menyambar dan mengecup punggung tangan Gavin dengan lembut. Ada yang aneh menjalari relung hati Gavin saat Alya melakukan hal itu.“Tumben kamu pakai minta salim segala. Biasanya nyelonong masuk saja,” ucap Gavin sambil berjalan beriringan setelah keluar dari mobil.Alya tersenyum dan langsung bergelayut manja di lengan kakaknya.“Aku ‘kan lagi belajar, Mas,” lirih Alya bertutur.Gavin kembali mengernyi
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan lampu ruangan Gavin masih menyala. Sudah tidak tampak Doni di mejanya, sepertinya sekretaris Gavin itu sudah pulang lebih awal daripada bosnya.Alya sudah berjalan menuju ruangan kakaknya, ia juga ingin pulang sekarang. Perlahan Alya mengetuk pintu ruangan Gavin. Tidak ada jawaban sehingga Alya memutuskan langsung masuk saja.Sontak Alya terkejut saat melihat sosok kakak angkatnya yang ganteng itu sedang tertidur. Kepalanya sudah ia letakkan di atas tumpukan berkas dan tampak nyaman di sana. Sepertinya ia sangat kelelahan.Alya mengulum senyum dan berjalan mendekat ke arahnya. Ia berdiri terdiam sambil terus mengamati wajah tampan yang sedang terlelap itu.‘Kamu ganteng banget sih, Mas. Pantas saja Yeni langsung terpikat kepadamu. Harusnya aku yang memilikimu seutuhnya bukan Yeni juga bukan orang lain. Kamu hanya boleh jadi milikku,’ gumam Alya dalam hati.Tiba-tiba muncul niat iseng Alya. I
Mobil Alya sudah berhenti tepat di depan apartemen Gavin sekarang. Yeni baru saja menelepon kalau dia sudah tiba di apartemen lima belas menit yang lalu.“Kamu gak mampir, Al?” tawar Gavin sambil melepas seat belt-nya.Alya menggeleng sambil ikutan melepas seat belt-nya juga.“Enggak, Mas. Sudah malem, aku ngantuk,” ucap Alya.Gavin hanya tersenyum sambil beranjak keluar dari mobil. Alya mengikuti dan berjalan menghampirinya.“Terima kasih, ya! Hati-hati nyetirnya,” pesan Gavin saat ia beranjak berlalu meninggalkan Alya.Alya hanya manggut-manggut mendengar pesan Gavin. Namun belum sempat Gavin menjauh, Alya kembali memanggilnya membuat Gavin menoleh lagi.“Mas, besok bareng, gak?” tanya Alya.“Enggak deh, Al. Aku besok bawa mobil sendiri, gak enak juga tiap hari ngerepotin kamu,” jawab Gavin.Alya hanya tersenyum meringis.“Aku seneng kok direpotin