“ALYA!!!” seru Aminah saat melihat Alya sedang memeluk erat Gavin.
Alya sudah melepas pagutannya sesaat sebelum pintu kamar Gavin terbuka dan langsung memeluk tubuh Gavin dengan erat. Aminah yang melihat kedua putra putrinya berpelukan di dalam kamar sedikit terkejut.
“Alya! Gavin! Ada apa?” tanya Aminah kebingungan.
Alya bergegas mengurai pelukannya sambil mengusap airmata yang tadi sempat menetes di pipinya.
Alya tersenyum sambil duduk di tepi kasur, begitu juga Gavin.
“Ada apa?” kembali Aminah bertanya dengan tatapan mata yang terus menyelidik ke arah Gavin dan Alya.
“Gak papa, Bu. Alya hanya takut kehilangan Mas Gavin. Sebentar lagi Mas Gavin akan menikah dan pasti pergi dari rumah ini. Alya takut Mas Gavin akan melupakan aku, Bu,” tutur Alya sedikit berbohong.
Aminah tersenyum lalu ikut duduk di samping Alya, memeluk dan mengelus punggungnya dengan lembut.
“Astaga, Alya! Masmu cuman tinggal sepuluh kilometer dari sini. Paling gak sampai satu jam juga sudah sampai ke sini. Dia juga akan berkunjung setiap akhir pekan. Betul 'kan, Vin?” tanya Aminah ke arah Gavin.
Gavin buru-buru mengangguk. Ia jadi sedikit canggung gara-gara ulah spontan Alya tadi.
“Tuh, kan? Sudah, jangan aneh-aneh. Ibu pikir kalian bertengkar tadi,” lanjut Aminah.
Alya hanya mengangguk sambil tersenyum. Untung saja ibunya tidak melihat apa yang dia lakukan seperkian detik sebelum pintu terbuka tadi.
‘Sepertinya memang harus dengan cara lain aku mendapatkan Mas Gavin,’ begitu yang sedang dipikirkan Alya kini.
“Ada apa ibu mencari saya?” pertanyaan Gavin memecahkan keheningan yang tengah tercipta.
Aminah tersenyum kemudian menatap Gavin dengan sayang.
“Itu, Vin. Ibu mau tanya apa undangan yang untuk keluarga sudah tercetak? Biar minggu depan ibu bagikan. Kalau dibagi jauh-jauh hari begini, mereka bisa menyediakan waktu sehingga bisa hadir semua di acaramu besok.”
Gavin tampak manggut-manggut sambil tersenyum mendengar penuturan Aminah. Sementara Alya hanya diam sambil terus menatapnya.
“Kamu mau bantu antar undangan kakakmu 'kan, Al?” kini Aminah bertanya ke Alya yang terdiam.
Alya bergegas mengangguk tanpa menjawab.
“Ya sudah. Besok kalau bisa kau ambil undangan di percetakannya, Vin. Biar cepat kelar semua.”
Lagi-lagi Gavin mengangguk. Aminah sudah beranjak pergi hendak meninggalkan kamar Gavin. Namun, sesaat sebelum pergi, Aminah menoleh ke arah Alya.
“Alya, ayo tidur! Sudah malam, bukankah besok kau harus berangkat pagi. Kakakmu juga biar istirahat jangan ganggu dia!” ajak Aminah.
Alya mengangguk lalu segera bangkit mengikuti Aminah berjalan pergi keluar kamar. Gavin ikut berdiri mengantar mereka hingga di depan pintu kamar. Tepat saat Aminah sudah menghilang di balik tembok, Alya menoleh dan sekali lagi mengecup pipi Gavin dekat dengan sudut bibirnya membuat Gavin terkejut.
“Have a nice dream, Babe,” desis Alya lirih sambil mengedipkan sebelah matanya.
Sementara Gavin hanya terpaku di depan pintu kamar menatap Alya dengan sebuah semburat merah yang sudah memenuhi wajah putihnya.
**
“Sial!! Aku harus melakukan apa agar Mas Gavin batal nikah dengan Yeni,” gumam Alya lirih sambil sibuk mengetuk jari lentiknya di dagu.
Ia baru saja selesai meeting pagi dan kembali sibuk dengan rutinitas jadwalnya sebagai CEO baru di perusahaan property milik ayahnya ini. Perusahaan property milik Baskoro memang sudah dirintis sejak ia masih muda dan sekarang tinggal Alya yang meneruskan dan mengembangkannya.
Berbagai proyek pembangunan seperti perumahan, perkantoran, mall, apartemen dan masih banyak lagi selalu menggunakan nama perusahaan milik Baskoro sebagai pengembang. Memang ini semua juga didukung dengan kualitas kerja yang selalu memuaskan para pelanggan. Selain itu peran serta para arsitek dan semua divisi di perusahaan itu turut membantu berkembangnya perusahaan milik Baskoro ini.
Sebuah ketukan di pintu ruangan Alya membuyarkan lamunannya. Tak lama setelah itu muncul pria berwajah manis dengan rambut keriting ikalnya yang selalu tak beraturan.
“Pagi, Bos!” sapa pria manis itu yang tak lain Rendy, sahabat sekaligus salah satu staf manager di perusahaan Alya.
“Ada apa, Ren?” tanya Alya sambil menatap Rendy dengan malas.
Rendy tersenyum dengan cengirannya kemudian sudah duduk di depan Alya.
“Duh, Bu Bos. Pagi-pagi sudah nyolot saja. Habis sarapan apa tadi?” gurau Rendy.
Alya tidak menjawab dan sudah sibuk dengan laptopnya kini.
“Itu aku mau laporan kalau siang ini mau ke lokasi tanah yang mau kita beli. Katanya sih ada kabar baik dari negosiasi kemarin. Kamu ikutan, gak?” tawar Rendy.
Alya mendecak kesal sambil terus sibuk menarikan jemari tangannya di atas keyboard laptop.
“Ogah. Aku gak mau kulitku tambah gosong nantinya,” cetus Alya tanpa melihat ke arah Rendy. Sontak Rendy sudah terbahak-bahak mendengar celetukan Alya ini.
“Tambah manis kali kok tambah gosong, sih,” goda Rendy.
Alya tak peduli dan hanya mencibirkan bibirnya.
“Sudah, jangan ganggu aku. Pergi saja sana dan urusi secepatnya biar kita bisa memulai pembangunannya,” pinta Alya.
Rendy hanya manggut-manggut sambil tersenyum. Dia sudah beranjak hendak pergi lalu tiba-tiba berbalik lagi.
“Eh, pulang kerja nanti nonton, yuk! Ada film baru, Al,” tawar Rendy.
“Gak, aku sibuk,” putus Alya.
Rendy sekali lagi menganggukkan kepala dan sudah pamit pergi meninggalkan Alya dengan lesu.
“Sial! Gara-gara Rendy aku jadi gagal memikirkan ide, 'kan?” gerutu Alya.
Akhirnya Alya memutuskan keluar ruangan dan tanpa ia sadari sudah berdiri di bagian departemen pemasaran, tempat Gavin berada. Alya langsung masuk tanpa permisi ke ruangan Gavin. Namun, bukan Gavin yang ada melainkan Yeni, sekretaris sekaligus tunangan Gavin.
“Eh, Alya. Mas Gavin lagi ke toilet bentar. Ada apa?” sapa Yeni dengan senyum manisnya.
Alya hanya diam tidak menjawab dan terus menatap Yeni dengan sinis.
“Bu Alya. Panggil aku itu bila di kantor. Bukankah kau tahu aku atasan di sini,” ujar Alya dengan ketus.
Yeni tampak terkejut dengan ucapan Alya ini. Ia hanya mengangguk kemudian sudah menyilakan Alya duduk untuk menunggu.
“Apa ada yang harus saya siapkan, Al eh Bu?” tanya Yeni dengan gugup.
“Gak usah. Biar aku tunggu saja,” pungkas Alya.
Dia sudah duduk di salah satu sofa dengan menopang kaki. Yeni mengangguk dan bersiap undur diri. Ia hendak kembali ke mejanya di depan namun, Alya kembali memanggilnya.
“Satu lagi jangan panggil Mas Gavin saat di kantor. Dia atasanmu. Kau seharusnya memanggil Pak Gavin. Paham?” imbuh Alya.
Yeni hanya terdiam lalu perlahan ia menganggukkan kepala sambil menatap Alya dengan penuh tanya. Alya seharusnya tahu kalau dia dari dulu memanggil Gavin dengan sebutan ‘Mas’. Alya juga tahu kalau dia dan Gavin sebulan lagi akan menikah, mengapa juga harus mengatur sebutannya untuk memanggil sang calon suami.
Yeni tidak ambil pusing dengan ucapan Alya itu. Ia sudah bergegas keluar ruangan Gavin dan langsung duduk manis di kursinya melanjutkan pekerjaan.
Tak lama Gavin datang dan sedikit terkejut saat melihat Alya sudah di ruangannya.
“Ada apa, Al?” tanya Gavin sambil duduk di kursi kerjanya.
Alya tersenyum langsung bangkit menghampiri Gavin dan duduk di kursi tepat di depan meja Gavin.
“Mas, kita makan siang bareng, yuk! Aku punya kupon makan gratis, nih. Sayang banget kalau gak dipakai,” ujar Alya sambil menatap Gavin dengan wajah berseri-seri.
Gavin mengangkat kepalanya dan menatap Alya sambil tersenyum.
“Maaf, Al. Aku gak bisa. Istirahat makan siang ini aku dan Yeni mau ke katering. Kita sudah janjian dengan pihak WO untuk mencicipi menu yang akan disediakan nantinya. Kau tahu sendiri kalau tidak semua makanan bisa dimakan Yeni. Dia ‘kan punya alergi,” terang Gavin.
Alya terdiam. Dia kesal, marah karena sekali lagi Gavin lebih mementingkan Yeni daripada dirinya.
“Sorry, ya. Kamu pergi sama Rendy saja. Anak itu ‘kan paling suka kalau dapat gratisan,” seloroh Gavin menambahkan.
Alya masih diam dan terus menatap pria tampan berwajah khas oppa Korea ini dengan kesal. Kemudian berangsur Alya menarik bibirnya hingga terbentuk sebuah senyum manis yang mungkin sulit diartikan Gavin.
“Memangnya Yeni alergi apa, Mas?” tanya Alya kemudian.
Entah mengapa otaknya tiba-tiba berpikir dengan cemerlang tentang sebuah rencana yang akan memuluskan keinginannya menggagalkan pernikahan Gavin.
Hari yang padat dilalui Gavin dan Yeni hari ini. Mereka harus berlomba dengan waktu untuk mempersiapkan pernikahannya. Sesuai kata Gavin tadi, begitu istirahat makan siang Gavin dan Yeni sudah keluar kantor. Mereka berencana ke percetakan untuk mengambil undangan kemudian janjian dengan WO untuk ke tempat katering.“Maaf, kami terlambat,” ucap Gavin begitu sudah bertemu dengan pihak WO.Mereka sudah berada di salah satu katering ternama di kota ini yang akan ditugasi untuk menyediakan menu makanan pada pesta pernikahan nanti.“Gak papa, Mas. Saya juga baru saja datang. Kita masuk dulu supaya langsung mengetest rasa dan menu apa saja yang diinginkan,” ucap pihak WO dengan ramah.Gavin dan Yeni hanya mengangguk kemudian sudah menurut mengikuti pihak WO tersebut. Mereka sudah masuk ke sebuah ruangan seperti ruang makan dengan meja panjang yang besar. Di sana sudah berjajar macam-macam menu makanan yang sudah diminta oleh Gavin dan Yeni sebelumnya.“Ini menu yang diminta sesuai dengan per
Beberapa jam sebelumnya ...Alya sudah kembali ke ruangannya usai menemui Gavin tadi. Dia sangat kesal dengan Gavin yang seakan tak peduli dengan perasaannya dan malah melanjutkan rencana pernikahannya dengan Yeni.“Sial!! Rasanya aku gak boleh tinggal diam. Mas Gavin gak boleh nikah dengan Yeni. Aku harus mencegahnya dan sepertinya alergi Yeni itu memberiku ide,” gumam Alya sambil tersenyum.Ia sudah duduk menopang kaki sambil tersenyum menghubungi sebuah kontak yang memang sudah dia simpan sejak dulu.“Hallo,” sapa ramah Alya di telepon.Sudah terdengar salam ramah juga di seberang.“Saya mau pesan sebuah kue khusus. Kalau bisa mengandung banyak kacang, ya?” Alya diam mendengarkan.“Tidak. Begini nanti kakak saya Gavin Mahendra berserta calon istrinya akan ke tempat Anda untuk mencicipi menu makanan Anda dan tadi dia sudah pesan untuk minta dibuatkan kue spesial yang mengandung banyak kacang untuk tunangannya. Tunangannya itu sangat suka kacang,” jelas Alya dalam panggilannya.Lagi-
Alya termenung, diam di sudut ruangan hotel bintang lima ini. Dia tidak peduli dengan hiruk pikuk orang yang berlalu lalang dan tepuk tangan merayakan sakralnya acara akad nikah Gavin dan Yeni. Alya tidak peduli dengan cibiran dan pandangan aneh orang-orang yang melihatnya. Ia hanya ingin sendiri sekarang. Sebuah helaan napas berulang keluar masuk dari mulut Alya, bergantian dengan air mineral yang membasahi bibir seksinya. Alya kesal, marah dan cemburu harus menghadapi kenyataan kalau pria yang dicintainya sudah resmi bersanding dengan orang lain. Sebuah tepukan lembut menginterupsi lamunan Alya seketika. Alya menoleh dan tampak pria berwajah manis dengan rambut ikal tak beraturan berdiri di belakangnya. “Kamu di sini? Tadi Ibu Aminah mencarimu, Al. Sepertinya mau foto keluarga,” ucap pria berambut ikal yang tak lain bernama Rendi itu. Alya hanya tersenyum masam dan sekali lagi menenggak sisa air mineral di botol kecilnya. “Kenapa? Kamu sedih kakakmu menikah. Aku rasa itu hal yan
Gavin terdiam berdiri mematung di belakang pintu kamarnya. Berulang ia sentuh bibir tipisnya. Lagi-lagi ia melakukan yang seharusnya tidak ia lakukan. Berciuman lagi dengan Alya, entah untuk yang keberapa kali ini. Mengapa ia tidak bisa menghindar dan menikmati setiap detiknya. Ini salah dan seharusnya tidak boleh terjadi.Gavin memejamkan mata dan berulang menggelengkan kepala. Ia melirik ke atas kasur, tampak Yeni masih pulas di balik selimut. Istrinya itu bahkan tidak menyadari apa yang baru saja Gavin lakukan.Perlahan Gavin mendekat lalu naik ke atas kasur dan ikut sembunyi di balik selimut bersama Yeni. Ia langsung memeluk wanita yang baru sehari ini menjadi istrinya. Dikecupnya pipi dan leher Yeni berulang membuat si empunya tubuh tersenyum dalam tidur.‘Maafkan aku, Sayang. Aku janji tidak akan melakukan hal ini lagi. Aku janji ini terakhir kali aku mencium Alya. Sepertinya aku harus pindah dari sini secepatnya. Aku tidak mau berinteraksi terus men
Alya sedang duduk manis sambil sibuk meneliti beberapa berkas yang sudah menumpuk di mejanya. Rini, sang asisten tergopoh masuk sambil membawa beberapa lembar berkas lagi.“Bu, ini ada yang ketinggalan belum saya letakkan di sana,” ucap Rini kemudian.Alya hanya mengangguk sambil menyuruh Rini meletakkan sisa berkas yang baru dibawa di meja sebelah.“Oh ya, Bu. Tadi ada pertanyaan dari pihak HRD untuk pengganti Yeni apa sudah ada kalau belum HRD mau menyeleksi karyawan yang ada di sini lebih dulu,” lanjut Rini.Alya menghentikan aktivitasnya dan mengangkat kepala kemudian menatap Rini dengan intens.“Ya sudah kalau gitu lakukan saja seleksinya. Kalau bisa cowok saja yang menggantikan posisi Yeni. Pak Gavin ingin pria yang menjadi sekretarisnya,” ujar Alya.Rini langsung mengangguk mendengar penjelasan Alya ini. Kemudian tak lama dia sudah undur diri kembali ke mejanya lagi. Berbarengan dengan keluarnya Rin
Gavin terdiam, alisnya sudah mengernyit sementara keningnya juga ikut berkerut menatap Yeni tanpa jeda dengan penuh tanda tanya.“Tentang kamu? Tentang apa? Apa ada sesuatu yang belum kamu ceritakan kepadaku selama ini?” tanya Gavin.Yeni terdiam, mulutnya membisu tidak mau berkata. Ia sedang sibuk mengatur udara di dadanya yang terasa tiba-tiba terkuras habis tak bersisa.“Maafkan aku, Mas ... .” Tiba-tiba sudah meluncur dengan deras airmata Yeni membasahi pipinya. Gavin bingung melihat reaksi istrinya ini. Tanpa angin dan hujan, ia sudah menangis sedemikian hingga.“Sayang ... ada apa? Katakan saja! Aku janji tidak akan marah,” bujuk Gavin menenangkan hati Yeni.Yeni tidak menjawab. Ia terus menangis dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gavin yang duduk di sebelahnya meringsek mendekat kemudian merengkuh wanita cantik itu dan membawanya dalam pelukan.“Ada apa, Sayang? Katakan saja! Aku tidak
Alya menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke punggung kursi kerjanya. Sudah seminggu ini, ia malas sekali beraktivitas di kantor. Entah sejak kepergian Gavin berbulan madu, Alya merasa ada yang hilang dan ia bahkan tidak bersemangat mengerjakan apa pun.Berulang Alya mengembuskan napas sambil meniup keras udara ke atas membuat poninya spontan terangkat.“Huh ... benar-benar membosankan. Aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa untuk mengusir kebosanan ini,” gumam Alya sambil memajukan semua bibirnya ke depan.Sebuah ketukan di pintu tiba-tiba membuyarkan lamunan Alya. Tak berapa lama tampak Rini, asistennya terburu masuk ke ruangan.“Ada apa, Rin?” tanya Alya.Rini segera menghentikan langkahnya dan tersenyum dengan sumringah ke arah Alya.“Ini, Bu. Saya membawa Mas Doni, dia yang akan menjadi sekretaris sekaligus asisten Pak Gavin,” terang Rini.Alya hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalan
“Pagi, Alya!” sapa Yeni begitu Alya masuk ke ruang makan.Pagi ini Yeni sudah bangun lebih awal dan membantu Aminah untuk menyiapkan sarapan pagi. Alya hanya diam dan langsung duduk di kursinya. Ia langsung menenggak susu putih kesukaannya sebelum memulai sarapan. Ini memang kebiasaan Alya sejak dulu.“Kamu sarapan roti atau nasi, Al? Biar aku siapkan sekalian,” tawar Yeni dengan senyum manisnya.“Eng ... gak usah. Aku bisa ambil sendiri,” tolak Alya.Yeni tampak kecewa mendengar jawaban Alya ini padahal ia sangat ingin lebih akrab dengan Alya. Bagaimanapun mereka sudah menjadi saudara sekarang.“Biar saja, Yen. Kamu gak usah ngurusin Alya. Kamu siapkan saja untuk Gavin,” ucap Aminah yang sudah muncul sambil membawa sepiring buah potong.Yeni mengangguk sambil melebarkan senyuman di bibirnya. Tak berapa lama Gavin sudah keluar, ia sudah rapi dan bersiap masuk kerja hari ini.“Loh,