Sehari sebelumnya ...
Alya terdiam duduk di sudut kamarnya. Ia menatap sebuah berkas yang tanpa sengaja ia temukan di laci lemari ibunya. Memang ia tadi ingin mengambil berkas tentang surat menyurat milik ayahnya.
Perusahaan peninggalan ayahnya itu menginginkan bukti tertulis kalau dia adalah yang mengambil ahli tampuk pimpinan. Alih-alih menemukan surat itu, kini malah Alya menemukan sebuah surat yang menunjukkan kalau Gavin, kakaknya adalah anak yang diadopsi dari panti asuhan.
"Berarti benar dugaanku. Mas Gavin bukan kakak kandungku. Berarti tidak salah kalau aku mempunyai perasaan aneh ini untuknya? Aku harus meyakinkan Mas Gavin agar dia mau terima perasaanku ini," gumam Alya dengan lirih.
**
Gavin terdiam sambil tidur terlentang menatap langit-langit di kamarnya. Sudah satu jam lalu dia masuk ke kamar dan terus berbaring tanpa bisa memejamkan mata. Berulang ia sentuh bibirnya yang tipis sambil memejamkan mata. Sejenak bayangan ia berciuman dengan Alya di kantor tadi tiba-tiba bermain di benaknya.
“Sial!! Kenapa lagi dengan Alya? Kenapa juga dia nekat menciumku? Untung saja Yeni tidak tahu tadi. Coba kalau sampai tahu bakal marah dia. Lagipula kenapa Alya makin aneh sekarang? Kenapa juga tiba-tiba punya pikiran mau jadi pacarku? Apa dia sudah tahu sesungguhnya tentang diriku? Tentang hubungan kami,” gumam Gavin sambil menghela napas panjang.
Sebuah ketukan beruntun terdengar di pintu kamar Gavin. Gavin segera bangun dan tampak Aminah Baskoro, ibunya sudah tersenyum berdiri di depan pintu kamar Gavin.
“Belum tidur, Vin?” tanya Aminah sambil berjalan meringsek masuk.
“Belum, Bu. Belum ngantuk,” jawab Gavin.
Aminah tersenyum dan langsung duduk di tepi kasur Gavin sambil membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar.
“Bagaimana persiapan pernikahanmu, kurang satu bulan loh, Vin,” ucap Aminah.
Gavin tersenyum sambil mengangguk.
“Sudah beres kok, Bu. Semua dihandle oleh WO, mungkin dua minggu lagi saya akan fitting baju dan gladi resik,” ujar Gavin menerangkan.
Aminah tampak manggut-manggut mendengarkan penjelasan Gavin ini.
“Syukurlah kalau begitu. Ibu ikut senang mendengarnya. Andai saja ayahmu masih hidup, Vin.” Aminah sudah bicara sambil pandangannya menerawang jauh ke depan.
Gavin hanya tersenyum dan berulang mengelus dengan lembut tangan wanita separuh baya di depannya ini.
“Oh ya, apa kau juga mengundang Ibu Tari, pemilik panti asuhan tempatmu tinggal dulu?” tanya Aminah kemudian.
“Iya, sudah, Bu. Katanya beliau akan hadir di hari pernikahan saya.”
“Syukurlah. Sayangnya beliau juga belum berhasil menemukan keberadaan orangtua kandungmu, Vin. Kamu tidak apa-apa, kan?” lagi Aminah bertanya.
Gavin mengangguk sambil tersenyum lagi.
“Saya tidak masalah, Bu. Bagi saya, ayah dan ibu sudah seperti orangtua kandung saya. Rasanya kalaupun bertemu mereka, kasih sayang saya ke Ibu tidak akan berubah,” tegas Gavin.
Aminah tersenyum merangkum wajah pria tampan dengan mata sipit di depannya ini kemudian mencium pipinya.
“Ibu sayang kamu, Vin. Kamu sudah seperti anak ibu sendiri dan ibu juga tidak mau kehilangan kamu nantinya.”
Gavin tersenyum dan kini malah memeluk Aminah dengan erat. Aminah memang mengadopsi Gavin sejak ia berumur tiga bulan. Aminah dan Baskoro melakukannya sebagai pancingan agar mereka mempunyai anak. Di usia sepuluh tahun pernikahan, mereka memang belum dikaruniai anak. Hingga akhirnya mengadopsi Gavin dari panti asuhan. Beruntungnya lima tahun setelah itu, Aminah diberi anugerah hamil lalu lahirlah Alya dari rahim Aminah.
“Bu, apa Alya tahu tentang ini?” Gavin mengurai pelukannya.
Aminah terdiam menatap Gavin dengan tertegun.
“Alya tahu kalau saya anak angkat ibu bukan saudara kandungnya?” tanya Gavin memperjelas.
Aminah bergegas menggeleng sambil tersenyum.
“Tidak, Vin. Alya tidak tahu. Memangnya kenapa? Apa dia menanyakan sesuatu kepadamu?” kata Aminah balik bertanya.
Gavin kini yang menggeleng.
“Tidak. Alya tidak menanyakan apa-apa. Apa ibu akan berencana mengatakannya suatu saat nanti?”
“Iya,Vin. Pasti itu. Alya juga harus tahu siapa kamu sebenarnya. Apalagi kalau dia menikah nanti. Kau tidak akan bisa menjadi walinya. Kau bukan saudara kandungnya juga bukan saudara sepersusuan. Ibu pasti akan memberi tahu, tapi tidak sekarang belum saatnya,” tandas Aminah.
Gavin hanya diam. Padahal dia berharap Alya segera tahu rahasia tentang siapa dia sesungguhnya. Ia tidak ingin bersembunyi dari Alya terus apalagi setelah kejadian tadi siang yang sangat membuat Gavin bingung.
“Ya sudah sekarang tidurlah.” Aminah bergegas bangkit dari duduknya. Gavin juga ikut berdiri mengantar ibu angkatnya itu hingga berlalu di balik pintu.
Gavin menghela napas panjang selepas kepergian Aminah dan beranjak akan menutup pintu kamar. Namun, sebuah tangan sudah terulur mencegahnya.
Gavin langsung terbelalak saat melihat Alya sudah berdiri di belakang pintu kamarnya.
“Alya!! Kamu mau ngapain?” tanya Gavin terkejut.
Alya diam dan langsung menarik tangan Gavin untuk masuk kamar lalu menutup pintu kamarnya dengan tergesa.
“KATAKAN!!! Katakan yang sesungguhnya siapa Mas Gavin!” seru Alya sambil berkaca-kaca.
Gavin terdiam tidak berbicara dan hanya menatap Alya yang matanya sudah berkabut.
“Apa benar Mas Gavin hanya anak angkat ayah dan ibu? Bukan kakak kandungku?” tanya Alya kemudian.
Gavin masih diam dan tetap bergeming di tempatnya. Sepertinya Alya mendengar pembicaraannya dengan Aminah tadi.
“Apa benar seperti itu, Mas?” tanya Alya lagi.
Gavin menghela napas sambil menatap Alya dengan sendu.
“Iya, Al. Kita memang bukan saudara kandung. Aku diadopsi ayah dan ibu saat berumur tiga bulan. Aku diadopsi dari panti asuhan. Ayah dan ibu baru memberitahuku saat aku SMA dulu. Mereka juga memberi aku kebebasan untuk mencari tahu keberadaan orangtua kandungku. Oleh sebab itu saat kuliah aku memilih di luar kota tempat orangtua kandungku tinggal,” jelas Gavin.
Alya terdiam, terhenyak duduk di tepi kasur. Sekarang dia baru tahu mengapa surat wasiat ayahnya meminta dia yang menjadi CEO di perusahaan bukan Gavin, kakaknya. Alya tertegun menatap Gavin dengan mata yang masih berkabut.
“Lalu ... apa sudah ketemu? Apa Mas sudah bertemu dengan orangtua kandungnya?”
Gavin menggeleng dengan cepat.
“Tidak. Orangtuaku hidup nomaden, selalu berpindah-pindah dan sangat singkat untuk menetap di suatu tempat. Aku tidak berhasil menemukannya. Aku juga berusaha meminta bantuan ibu panti agar membantu mencari, tetapi sepertinya beliau juga sama belum menemukan keberadaan mereka.”
Alya lagi-lagi terdiam menatap Gavin seraya mendengarkan penjelasannya.
“Apa Mas Gavin bersedih setelah mendengarnya?” tanya Alya dengan polosnya.
“Tentu, Al. Tapi bagaimana lagi. Itu kenyataan dan mau tidak mau aku harus menerimanya. Kamu lucu juga deh seharian ini,” sahut Gavin sambil tersenyum.
Ia sudah duduk di tepi kasur mengikuti Alya yang sudah duduk lebih dulu. Mereka sama-sama diam kini seakan sibuk dengan isi benaknya masing-masing.
“Apa itu artinya kita tidak ada hubungan darah sama sekali. Kita bukan saudara kandung dan bukan saudara sepersusuan?”
Gavin mengangguk membenarkan pertanyaan Alya. Alya kembali diam lalu perlahan ia mengangkat kepala dan menatap Gavin dengan tatapan berbeda.
“Apa itu artinya Mas Gavin mau menerima pernyataan cintaku tadi?” cetus Alya kemudian.
Gavin langsung terkejut menoleh ke arah Alya, mata sipitnya kembali membesar dengan alami mendengar pertanyaan Alya.
“Al, aku sudah bilang tadi. Aku sudah bertunangan dengan Yeni dan akan menikahinya. Aku tidak mungkin memutuskannya secara sepihak. Aku juga mencintainya,” tegas Gavin.
Alya masih diam dan terus menatap pria bermata sipit ini dengan tatapan penuh cinta.
“Mas tidak perlu memutuskan Yeni. Aku mau menjadi yang kedua setelah Yeni asalkan Mas Gavin mau terima perasaan cintaku ini.”
Seketika Gavin melotot ke arah Alya. Ia sungguh bingung dan tak habis pikir dengan adik angkatnya ini.
Berulang helaan napas terdengar keluar masuk dari mulut Gavin.
“Kamu aneh, Al. Aku tidak pernah menganggapmu lebih dari seorang adik. Jadi mana mungkin aku bisa mencintaimu sebagai seorang kekasih. Lagipula aku sama sekali tidak mau menduakan cintaku. Maaf, aku tidak bisa melakukannya,” tolak Gavin.
Alya terdiam menatap Gavin kemudian sudah tersenyum sambil memperlihatkan lesung pipinya.
“Kalau Mas Gavin hanya menganggapku sebagai seorang adik mengapa Mas diam saja saat aku menciummu tadi di kantor?”
Kembali Gavin melotot memperlebar mata sipitnya sambil menoleh ke arah Alya. Dia langsung berdiri dan tidak menggubris ucapan Alya.
“Seharusnya Mas menolakku tadi, tapi mengapa Mas tidak melakukannya? Bukankah itu bukti kalau Mas juga punya rasa yang sama terhadapku.”
Gavin terdiam tak bicara, dia hanya memandang adik angkatnya yang terlihat sangat menguasai keadaan kini.
“Baik, untuk pembuktiannya. Bagaimana kalau kita melakukannya lagi,” ucap Alya sambil mengerling nakal. Dia sudah berdiri berjalan menghampiri Gavin, berhadapan dengannya kemudian meletakkan lengan ke leher Gavin sambil tersenyum.
Gavin melotot dan menatap Alya dengan kebingungan. Seketika Alya mendekatkan wajahnya hingga tak berjarak dengan kaki setengah jinjit, ia perlahan menempelkan bibirnya ke bibir Gavin. Gavin mencoba menolak, ia tidak mau Alya terus membuat jantungnya berdetak tak karuan.
Gavin ingin berontak dan mengurai pelukan namun, entah mengapa tangannya terasa membeku dan terdiam saat bibir sensual Alya mulai mengecup pelan sudut bibirnya.
Hingga sebuah ketukan kembali terdengar di pintu kamar Gavin.“Vin ... Vin ... .” Gavin melotot dan mencoba mendorong Alya saat tahu suara siapa yang terdengar di depan kamarnya. Namun, sepertinya Alya tidak mau melepaskannya. Hingga handle pintu bergerak dan pintu terbuka.
“ALYA!!!”
“ALYA!!!” seru Aminah saat melihat Alya sedang memeluk erat Gavin.Alya sudah melepas pagutannya sesaat sebelum pintu kamar Gavin terbuka dan langsung memeluk tubuh Gavin dengan erat. Aminah yang melihat kedua putra putrinya berpelukan di dalam kamar sedikit terkejut.“Alya! Gavin! Ada apa?” tanya Aminah kebingungan.Alya bergegas mengurai pelukannya sambil mengusap airmata yang tadi sempat menetes di pipinya.Alya tersenyum sambil duduk di tepi kasur, begitu juga Gavin.“Ada apa?” kembali Aminah bertanya dengan tatapan mata yang terus menyelidik ke arah Gavin dan Alya.“Gak papa, Bu. Alya hanya takut kehilangan Mas Gavin. Sebentar lagi Mas Gavin akan menikah dan pasti pergi dari rumah ini. Alya takut Mas Gavin akan melupakan aku, Bu,” tutur Alya sedikit berbohong.Aminah tersenyum lalu ikut duduk di samping Alya, memeluk dan mengelus punggungnya dengan lembut.“Astaga, Alya! Masmu cuman tinggal sepuluh kilometer dari sini. Paling gak sampai satu jam juga sudah sampai ke sini. Dia jug
Hari yang padat dilalui Gavin dan Yeni hari ini. Mereka harus berlomba dengan waktu untuk mempersiapkan pernikahannya. Sesuai kata Gavin tadi, begitu istirahat makan siang Gavin dan Yeni sudah keluar kantor. Mereka berencana ke percetakan untuk mengambil undangan kemudian janjian dengan WO untuk ke tempat katering.“Maaf, kami terlambat,” ucap Gavin begitu sudah bertemu dengan pihak WO.Mereka sudah berada di salah satu katering ternama di kota ini yang akan ditugasi untuk menyediakan menu makanan pada pesta pernikahan nanti.“Gak papa, Mas. Saya juga baru saja datang. Kita masuk dulu supaya langsung mengetest rasa dan menu apa saja yang diinginkan,” ucap pihak WO dengan ramah.Gavin dan Yeni hanya mengangguk kemudian sudah menurut mengikuti pihak WO tersebut. Mereka sudah masuk ke sebuah ruangan seperti ruang makan dengan meja panjang yang besar. Di sana sudah berjajar macam-macam menu makanan yang sudah diminta oleh Gavin dan Yeni sebelumnya.“Ini menu yang diminta sesuai dengan per
Beberapa jam sebelumnya ...Alya sudah kembali ke ruangannya usai menemui Gavin tadi. Dia sangat kesal dengan Gavin yang seakan tak peduli dengan perasaannya dan malah melanjutkan rencana pernikahannya dengan Yeni.“Sial!! Rasanya aku gak boleh tinggal diam. Mas Gavin gak boleh nikah dengan Yeni. Aku harus mencegahnya dan sepertinya alergi Yeni itu memberiku ide,” gumam Alya sambil tersenyum.Ia sudah duduk menopang kaki sambil tersenyum menghubungi sebuah kontak yang memang sudah dia simpan sejak dulu.“Hallo,” sapa ramah Alya di telepon.Sudah terdengar salam ramah juga di seberang.“Saya mau pesan sebuah kue khusus. Kalau bisa mengandung banyak kacang, ya?” Alya diam mendengarkan.“Tidak. Begini nanti kakak saya Gavin Mahendra berserta calon istrinya akan ke tempat Anda untuk mencicipi menu makanan Anda dan tadi dia sudah pesan untuk minta dibuatkan kue spesial yang mengandung banyak kacang untuk tunangannya. Tunangannya itu sangat suka kacang,” jelas Alya dalam panggilannya.Lagi-
Alya termenung, diam di sudut ruangan hotel bintang lima ini. Dia tidak peduli dengan hiruk pikuk orang yang berlalu lalang dan tepuk tangan merayakan sakralnya acara akad nikah Gavin dan Yeni. Alya tidak peduli dengan cibiran dan pandangan aneh orang-orang yang melihatnya. Ia hanya ingin sendiri sekarang. Sebuah helaan napas berulang keluar masuk dari mulut Alya, bergantian dengan air mineral yang membasahi bibir seksinya. Alya kesal, marah dan cemburu harus menghadapi kenyataan kalau pria yang dicintainya sudah resmi bersanding dengan orang lain. Sebuah tepukan lembut menginterupsi lamunan Alya seketika. Alya menoleh dan tampak pria berwajah manis dengan rambut ikal tak beraturan berdiri di belakangnya. “Kamu di sini? Tadi Ibu Aminah mencarimu, Al. Sepertinya mau foto keluarga,” ucap pria berambut ikal yang tak lain bernama Rendi itu. Alya hanya tersenyum masam dan sekali lagi menenggak sisa air mineral di botol kecilnya. “Kenapa? Kamu sedih kakakmu menikah. Aku rasa itu hal yan
Gavin terdiam berdiri mematung di belakang pintu kamarnya. Berulang ia sentuh bibir tipisnya. Lagi-lagi ia melakukan yang seharusnya tidak ia lakukan. Berciuman lagi dengan Alya, entah untuk yang keberapa kali ini. Mengapa ia tidak bisa menghindar dan menikmati setiap detiknya. Ini salah dan seharusnya tidak boleh terjadi.Gavin memejamkan mata dan berulang menggelengkan kepala. Ia melirik ke atas kasur, tampak Yeni masih pulas di balik selimut. Istrinya itu bahkan tidak menyadari apa yang baru saja Gavin lakukan.Perlahan Gavin mendekat lalu naik ke atas kasur dan ikut sembunyi di balik selimut bersama Yeni. Ia langsung memeluk wanita yang baru sehari ini menjadi istrinya. Dikecupnya pipi dan leher Yeni berulang membuat si empunya tubuh tersenyum dalam tidur.‘Maafkan aku, Sayang. Aku janji tidak akan melakukan hal ini lagi. Aku janji ini terakhir kali aku mencium Alya. Sepertinya aku harus pindah dari sini secepatnya. Aku tidak mau berinteraksi terus men
Alya sedang duduk manis sambil sibuk meneliti beberapa berkas yang sudah menumpuk di mejanya. Rini, sang asisten tergopoh masuk sambil membawa beberapa lembar berkas lagi.“Bu, ini ada yang ketinggalan belum saya letakkan di sana,” ucap Rini kemudian.Alya hanya mengangguk sambil menyuruh Rini meletakkan sisa berkas yang baru dibawa di meja sebelah.“Oh ya, Bu. Tadi ada pertanyaan dari pihak HRD untuk pengganti Yeni apa sudah ada kalau belum HRD mau menyeleksi karyawan yang ada di sini lebih dulu,” lanjut Rini.Alya menghentikan aktivitasnya dan mengangkat kepala kemudian menatap Rini dengan intens.“Ya sudah kalau gitu lakukan saja seleksinya. Kalau bisa cowok saja yang menggantikan posisi Yeni. Pak Gavin ingin pria yang menjadi sekretarisnya,” ujar Alya.Rini langsung mengangguk mendengar penjelasan Alya ini. Kemudian tak lama dia sudah undur diri kembali ke mejanya lagi. Berbarengan dengan keluarnya Rin
Gavin terdiam, alisnya sudah mengernyit sementara keningnya juga ikut berkerut menatap Yeni tanpa jeda dengan penuh tanda tanya.“Tentang kamu? Tentang apa? Apa ada sesuatu yang belum kamu ceritakan kepadaku selama ini?” tanya Gavin.Yeni terdiam, mulutnya membisu tidak mau berkata. Ia sedang sibuk mengatur udara di dadanya yang terasa tiba-tiba terkuras habis tak bersisa.“Maafkan aku, Mas ... .” Tiba-tiba sudah meluncur dengan deras airmata Yeni membasahi pipinya. Gavin bingung melihat reaksi istrinya ini. Tanpa angin dan hujan, ia sudah menangis sedemikian hingga.“Sayang ... ada apa? Katakan saja! Aku janji tidak akan marah,” bujuk Gavin menenangkan hati Yeni.Yeni tidak menjawab. Ia terus menangis dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Gavin yang duduk di sebelahnya meringsek mendekat kemudian merengkuh wanita cantik itu dan membawanya dalam pelukan.“Ada apa, Sayang? Katakan saja! Aku tidak
Alya menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke punggung kursi kerjanya. Sudah seminggu ini, ia malas sekali beraktivitas di kantor. Entah sejak kepergian Gavin berbulan madu, Alya merasa ada yang hilang dan ia bahkan tidak bersemangat mengerjakan apa pun.Berulang Alya mengembuskan napas sambil meniup keras udara ke atas membuat poninya spontan terangkat.“Huh ... benar-benar membosankan. Aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa untuk mengusir kebosanan ini,” gumam Alya sambil memajukan semua bibirnya ke depan.Sebuah ketukan di pintu tiba-tiba membuyarkan lamunan Alya. Tak berapa lama tampak Rini, asistennya terburu masuk ke ruangan.“Ada apa, Rin?” tanya Alya.Rini segera menghentikan langkahnya dan tersenyum dengan sumringah ke arah Alya.“Ini, Bu. Saya membawa Mas Doni, dia yang akan menjadi sekretaris sekaligus asisten Pak Gavin,” terang Rini.Alya hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalan