“Aerline, kamu tolong wakilkan Kakak untuk memenuhi undangan pertunangan Joel.”
Dan di sinilah gadis itu berada, di acara pertunangan mantan kekasih yang masih sangat dicintainya.
Aerline memilih tempat duduk yang cukup jauh dari altar dan cukup tersembunyi. Di depan sana, dia bisa melihat dengan jelas pria yang selalu dirindukannya selama lima tahun ini sedang menyematkan cincin di jari manis wanita lain. Sekuat tenaga Aerline menahan tubuhnya yang bergetar, deru nafas yang berat dan sesak di dadanya. Dia merasa sesuatu yang besar sedang menghantam dadanya dengan sangat keras. Kedua matanya sudah memerah menahan air mata yang siap tumpah ruah membasahi pipi.
‘Kenapa? sampai akhirpun, aku tetap tidak bisa melupakan kamu, Joel. Dan aku pikir dengan melihatmu sekarang bersanding dengan wanita lain, aku bisa lebih ikhlas melepaskanmu. Tapi kenapa? rasanya sesakit ini?’ batin Aerline di mana air matanya luruh membasahi pipi setelah dia tahan sejak tadi.
Tidak sanggup menyaksikan hal yang menyakitkan lagi, Aerline pun bergegas meninggalkan tempat itu dengan terburu-buru.
Prank!
Aerline tidak sengaja menabrak pelayan yang sedang membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Dan minuman itu tumpah ruah ke pakaian bagian depan Aerline.
Tubuh Aerline membeku dan bergetar, semua perhatian tertuju padanya termasuk tatapan Joel yang kini tertuju pada Aerline. Joel cukup terkejut melihat Aerline ada di sana, dia hanya melihat sisi wajah Aerline, tetapi sudah sangat mengenali gadis itu.
“Maafkan saya, Nona. Pakaian anda basah,” ucap pelayan wanita itu terlihat ketakutan. Pelayan itu siap menerima amukan atau omelan dari Aerline.
“Ti-tidak apa-apa,” ucap Aerline lirih dengan kepala yang terus tertunduk, kedua tangannya mengepal kuat. Dan tanpa mengatakan apa pun lagi, dia berlalu dengan langkah cepat dan sedikit berlari meninggalkan ruangan yang menyesakkan itu.
Aerline berlari menyusuri lorong hingga sampai di lobi hotel tempat acara berlangsung. Dia bergegas naik ke dalam taksi dan kembali ke rumah yang dia sewa di kota itu.
Selama perjalanan menuju rumahnya, Aerline tidak berhenti menangis, sesekali dia meremas dadanya yang terasa begitu sakit dan sesak. Ternyata sesakit ini rasanya melihat pria yang dicintai bersanding dengan wanita lain. Sedangkan selama bertahun-tahun Aerline berjuang untuk melupakannya. Tetapi sampai akhir pun, rasa itu tetap ada dan malah semakin menyiksanya.
“Anda baik-baik saja, Nona?” tanya sopir taksi sambil mengulurkan tissue pada Aerline.
“Terima kasih,” ucap Aerline menerima dan menyeka air matanya.
Sesampainya di dalam apartemen, tubuh Aerline luruh membasahi pipi. Ingatannya melalang buana pada kejadian delapan tahun yang lalu. Memang benar, dirinya yang salah dan melarikan diri karena ingin melanjutkan kuliahnya ke luar negeri. Walau saat itu, Joel sudah melamarnya dan siap berhadapan dengan Kaivan untuk mengatakan keseriusannya. Tapi, karena kebodohan Aerline yang memang belum siap untuk menjalin sebuah hubungan yang serius, dia pun memilih melarikan diri tanpa mengatakan apa pun pada Joel.
“Aku baik-baik saja saat tidak mendengar kabar darimu, walau aku selalu merindukanmu. Tetapi sekarang, kenapa rasanya sangat menyakitkan? Aku kehilangan semangatku dalam sekejap. Aku harus apa sekarang, Joel? Kenapa sulit sekali untuk bisa melupakanmu dan mencoba membuka hati untuk yang lain?” gumam Aerline menyeka air matanya.
Dia menghela napasnya, kepalanya terasa berat dan pening karena terlalu lama menangis dan belum makan apa pun.
Aerline mengambil bir kaleng dari kulkas. Dia butuh minuman beralkohol untuk meredakan rasa sakit yang menderanya. Dia duduk lesehan di atas permadani dan menegum minuman kaleng itu. Dia juga masih memakai gaun yang masih basah dan kotor karena tumpahan minuman tadi. Saat ini, dia hanya ingin minum hingga mabuk dan melupakan semua hal yang terjadi hari ini. Berharap, saat dia terbangun dari tidur nanti, dia tidak akan mengingat kejadian di hari ini.
Saat sedang asyik minum, ponselnya berdering dan sebuah pesan masuk ke dalam emailnya. Aerline mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan melihat pesan yang baru saja masuk ke emailnya. Itu adalah undangan wawancara kedua dengan pimpinan perusahaan Deere GE and Company. Satu bulan yang lalu, Aerline memang memasukkan lamaran ke perusahaan itu, dan sudah sempat melakukan wawancara pertama.
“Saatnya aku bangkit dan memulai hidup baruku. Aku tidak bisa terus menerus merasa terpuruk dan menyedihkan seperti ini,” gumam Aerline menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskan napasnya perlahan.
***
Aerline baru saja sampai di perusahaan Deere GE and Company. Perusahaan manufaktur terbesar di California, dan menurut kebanyakan orang, untuk bisa bekerja di perusahaan ini sangatlah susah. Tetapi entah kenapa, jalan Aerline sejak awal begitu mudah untuk bisa melamar ke perusahaan raksasa ini.
Aerline menghampiri meja resepsionis, dan bertanya, “Selamat pagi, saya Aerline Lavanya Dirgantara. Saya menerima undangan untuk melakukan wawancara,” ucap Aerline.
“Benar, anda bisa langsung naik ke lantai 45, di sana akan ada sekretaris Pak Nathaniel yang akan mengarahkan anda. Kebetulan pak Nathaniel sudah menunggu anda,” ucap wanita cantik dengan rambut dicepol rapi itu.
“Baiklah, terima kasih.”
Tanpa menunggu lama lagi, Aerline berjalan menuju lift. Sesampainya di lantai 45, dia langsung disambut oleh seorang pria berjas rapi.
“Nona Aerline?” tanya pria itu.
“Benar, saya Aerline Lavanya Dirgantara.” Aerline menjawab dengan sangat ramah.
“Perkenalkan nama saya Andreas, tuan Nathaniel sudah menunggu anda. Mari, saya antar menemui beliau,” ucap Andreas sangat ramah dan cukup membuat Aerline bingung. Dia tidak menyangka kalau karyawan di perusahaan ini begitu ramah.
Aerline mengetuk pintu ruangan dan setelah mendengar seruan dari dalam, dia pun masuk ke dalam ruangan tersebut. Aerline melihat sosok pria yang berdiri di depan jendela dengan posisi membelakanginya. Dia cukup gugup sebenarnya, tetapi dia memberanikan diri untuk berjalan mendekat.
“Selamat pagi, tuan Nathaniel. Saya Aerline Lavanya Dirgantara,” ucap Aerline memperkenalkan dirinya dengan tatapan yang terus tertuju pada sosok pria tinggi di depannya.
“Aku tahu,” jawab pria itu membuat Aerline bingung mendengar jawabannya.
Pria itu membalikkan badannya dan saat itu juga kedua mata Aerline membelalak lebar, bahkan dia kehilangan keseimbangannya hingga kakinya melangkah mundur.
“Joel?” Aerline sangat terkejut di sana, sampai dia teringat nama lengkap pria di depannya itu, Joelio Nathaniel Richard.
“Jadi kamu sudah lulus S2? Waktu berlalu begitu cepat,” ucap Joel melihat CV milik Aerline. Wanita itu masih duduk diam berhadapan dengan Joel yang sibuk membaca CV-nya. Tatapan matanya terus tertuju pada pria di depannya. Tidak pernah terbayangkan kalau dia akan kembali bertemu dengan pria yang sudah membuatnya terluka kemarin. “Apa semua ini adalah rencanamu?” tanya Aerline membuat Joel mengalihkan pandangannya dari berkas cv di tangannya pada Aerline. “Apa maksudmu?” tanya Joel menaikkan sebelah alisnya. “Aku sempat berpikir, kenapa wawancara dan test di perusahaan raksasa seperti Deere GE and Company terkesan mudah. Orang berkata, supaya bisa masuk ke sini, setidaknya harus lulusan terbaik di kampus. Sedangkan, aku yang bermodal nekat, bisa dengan mudah lolos di beberapa tahapan. Apa semua ini perbuatanmu?” tanya Aerline menatap Joel dengan intens. Sorot mata gadis itu menunjukkan kesedihan mendalam sekaligus kerinduan yang sudah di
“Ar, malam nanti, kamu temani aku memenuhi undangan makan malam dengan klien,” ucap Joel dengan perhatian terus tertuju pada layar laptopnya. Di depannya Aerline berdiri dengan sabar. Sejak tadi, Joel memanggilnya dan baru kali ini dia membuka suara. “Kenapa harus aku?” tanya Aerline sedikit keberatan. Sudah dua minggu dia bekerja di sini, dan Joel seakan terus menguji dirinya. Sekuat tenaga Aerline menjauhi pria itu dan fokus pada pekerjaan yang diberikan Maya. Tetapi Joel terus meminta Aerline yang mengerjakan tugas yang diberikannya, lebih tepatnya bukan pekerjaan melainkan melayani Joel dengan pekerjaan sepele. Seperti membuat kopi, merapikan berkas di ruangan Joel, meminta Aerline merapikan berkas di ruangan Joel dan semua pekerjaan itu benar-benar menyiksa dirinya. “Kenapa? kamu menolak perintahku?” tanya Joel seperti biasa menggunakan kalimat itu untuk menekan Aerline. “Bukankah yang biasa menemani kamu meeting di luar dan undan
Aerline membuka matanya perlahan setelah pergelutan panas di atas ranjang semalam bersama Joel. Wanita itu berangsur bangun dari posisinya dan menoleh ke sampingnya, di mana Joel masih terlelap dengan nyenyaknya. Tubuh mereka berdua sama-sama polos dan hanya tertutupi selimut di sana. “Jadi, semalam itu nyata, bukan hanya khayalanku,” batin Aerline. "Harusnya aku senang, tapi kenapa hatiku malah terasa begitu sakit?” Aerline bangkit menuruni ranjang, dengan gerakan perlahan dan menahan rasa ngilu di bagian pangkal pahanya. Dia memunguti pakaian yang berserakan di lantai dan bergegas ke kamar mandi. Karena kemejanya dirobek oleh Joel, akhirnya Aerline memakai jubah handuk yang ada di sana, dan dia tutupi dengan celana panjang miliknya juga jas kerjanya. Dia memunguti pakaian yang sudah koyak dan memasukannya ke dalam tong sampah di kamar mandi. dia mengambil pakaian milik Joel dan meletakkannya di atas sofa. Sebelum keluar dari kamar itu, Aerline
“A-apa maksud anda?” tanya Aerline memalingkan wajahnya. “Apa kamu pikir aku tidak akan mengingatnya karena aku sedang mabuk?” tanya Joel tepat sasaran. “Kalaupun kamu mengingatnya, lalu kenapa? Anggap saja tidak pernah terjadi apa pun pada kita,” jawab Aerline mendorong pelan dada bidang Joel untuk bisa melepaskan dirinya. Tetapi dugaan Aerline salah, Joel malah semakin merapatkan tubuh mereka berdua. “Pak-?” “Panggil namaku seperti semalam, panggil aku, Joel,” bisiknya tepat di daun telinga Aerline, membuat wanita itu merasa geli. “Tolong lepaskan aku, masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan,” ujar Aerline. “Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu, kenapa kamu kabur dan meninggalkanku sendiri di sana?” tanya Joel. “Aku sangat khawatir saat tidak menemukanmu di manapun, aku khawatir kamu terluka.” Joel menatap Aerline dengan tatapan lebih lembut, dan tidak bisa dipungkiri kalau hal itu bisa men
“Tunggu, Joel!” Aerline mendorong dada bidang Joel yang sudah membuatnya hampir kehilangan napas. Bisa-bisanya pria itu mencium Aerline dengan brutal. “Apa yang kamu lakukan?!” tanya Aerline. Wanita itu memekik kaget saat Joel mengangkat tubuh wanita itu dan mendudukannya di kepala sofa, dengan Joel yang masih berdiri dihadapannya. “Aku bilang, aku merindukanmu, Arlyn. Apa kamu tidak mengerti?” tanya Joel tersenyum simpul. “Ah, masakanku!” Aerline melepaskan diri dari Joel dan berlari ke arah pantry. Wanita itu segera mengambil spatula dan mengaduk masakannya di dalam wajan. Syukurlah tidak sampai gosong, dan masakan itu masih bisa di selamatkan. Aerline mematikan kompor dan hendak mengambil piring, tetapi Joel sudah berdiri di sampingnya dengan sebuah piring di tangan. “Kamu butuh piring, kan?” tanya Joel menunjukkan piring pada Aerline. “Oh, ya. Terima kasih,” jawab Aerline menerimanya dan mulai memindahkan masakan ke dalam piring tersebut. “Aku tidak tau kalau kamu bisa mas
“Hai,” sapa seseorang mengetuk meja kerja Aerline membuat wanita menengadahkan kepalanya dan kedua matanya melebar di sana. “Leon?” Aerline terkejut saat melihat sosok pria yang dikenalnya berdiri di depannya. “Wah, Lin. Aku pikir tadi bukan kamu, loh. Kamu kerja di sini sekarang?” tanya Leon. “Ya, aku kerja di sini. Oh, ngomong-ngomong kenapa kamu ada di sini?" tanya Aerline. "Sebenarnya, aku juga kerja di sini," kekehnya. “Aku asisten BM Heiner. Kamu baru ya?” tanyanya. “Ya, aku belum ada sebulan sih bekerja di sini. Wah, gak nyangka kita bisa bekera di perusahaan yang sama,” kekehnya. Leon dan Aerline terlihat asyik berbincang, tawa mereka menggema di seluruh ruangan, dan rasanya seperti mereka berada di dunia sendiri. Joel yang memperhatikan dari dalam ruangannya melalui jendela, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia menyeringai sinis saat melihat Aerline begitu akrab dengan Leon, sementara dirinya
“Apa kamu pernah makan di sini sebelumnya?” tanya Leon. Saat ini, Leon dan Aerline berada di sebuah restoran untuk makan siang bersama. “Belum, sih. Karena aku belum sebulan bekerja di sini. Jadi belum mencoba kuliner di sekitaran sini. Aku hanya pernah mencoba makan di restoran yang ada di seberang kantor.”Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan memberikan dua buku menu ke arah mereka berdua. “Menu makanan di sini semuanya enak. Kamu pasti akan suka,” ucap Leon. Aerline hanya tersenyum kecil. Sebenarnya dia sedang tidak bersemangat setelah melihat Joel bersama wanita lain tadi. Aerline mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi. Dia membuka buku menu sambil dalam hati berharap menemukan sesuatu yang bisa menghibur hatinya. “Hmm, ada banyak pilihan di sini ya,” ucapnya, berpura-pura memperhatikan menu dengan serius. Leon tersenyum dan melihat ke arah Aerline. “Kalau kamu suka makanan pedas, aku rekomendasikan spaghetti aglio e olio di sini. Rasanya benar-benar
“Bahkan sampai jam segini pun, tidak ada pesan darinya,” gumam Aerline yang termenung di atas sofa yang ada di apartemennya. Wanita itu menatap ke luar jendela yang memperlihatkan suasana kota dengan gedung pencakar langit dan kerlap kerlip lampu di luar jendela apartemen yang indah. Tetapi, keindahan itu sama sekali tidak bisa menghibur hati Aerline yang terus overthinking. Aerline meneguk minuman soda kaleng yang mengandung kadar alkohol sedang. Pikirannya terus tertuju pada Joel, entah pergi ke mana pria itu Tanpa memberi kabar dan memberi pesan pada Aerline. Sebenarnya dia dan wanita itu pergi ke mana, sampai Joel tidak bisa memberikan kabar pada Aerline? Itulah yang terus pemikiran - pemikiran yang terus mengusik pikiran Aerline. Dia mencoba mengalihkan perhatian dari kekhawatiran yang terus menerus mengganggu pikirannya. Dia bangkit dari sofa, menyusuri apartemen yang di dekorasi minimalis, sebelum akhirnya menepuk-nepuk bukunya yang tergeletak di meja. Membaca adalah cara ter
“Lin?” Lyman masuk ke dalam ruang rawat Aerline. “Bang?” jawab Aerline melihat ke arah Lyman. Lyman berjalan mendekati Aerline yang duduk terbaring di atas ranjang rumah sakit. “Kenapa malam itu tidak tunggu Abang sih?” tanya Lyman terlihat begitu khawatir. “Aku baik-baik saja, Bang,” ujar Aerline di sana. “Kamu itu,” ucap Lyman sampai tidak bisa berkata apa-apa. “Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Abang sangat mencemaskanmu, Lin. Semalaman Abang keliling cari kamu,” ucap Lyman. “Maaf, Bang.” “Kalau terjadi sesuatu padamu, bagaimana Abang jelasin ke Kaivan? Kamu berharga untuk keluargamu, Lin. Jangan merasa sendiri, Abang di sini untuk jaga kamu,” ucap Lyman mengusap kepala Aerline dengan lembut.Aerline menunduk, merasa hangat mendengar kata-kata Lyman. Dia tidak menyangka Lyman begitu peduli padanya, bahkan rela mencari dirinya sepanjang malam."Maafkan aku, Bang. Aku nggak bermaksud bikin abang khawat
“Um... “ Aerline perlahan membuka matanya dan melihat sekeliling ruangan. Dia meringis kecil sambil memegang kepalanya yang terasa berat. Dia menoleh ke arah punggung tangannya yang dipasang infusan di sana. “Apa aku ada di rumah sakit?” gumamnya berusaha mengingat apa yang terjadi. “Kamu sudah siuman, Lin?” pertanyaan itu membuat Aerline menoleh ke sumber suara dan melihat sosok Leon di sana dan terlihat pria itu baru saja terbangun dari tidurnya. “Leon?” tanya Aerline. “Aku melihatmu pingsan dan tergeletak di pinggir jalan. Jadi, aku bawa kamu ke rumah sakit, menurut dokter kamu terkena usus buntu dan harus segera di operasi,” jawab Leon. “Operasi?” Aerline mengernyitkan dahinya. “Ponselmu mati, jadi aku tidak punya pilihan lain selain menandatangani surat persetujuannya. Aku sangat khawatir padamu,” ucap Leon. Aerline tersenyum di sana. “Terima kasih, Leon. Berkatmu, aku bisa selamat,” ujarnya
“Apa semuanya sudah sesuai?” tanya Aerline pada pelayan di restoran yang sudah dia booking jauh-jauh hari untuk acara ulang tahun Joel. Dia ingin memberikan kejutan spesial untuk Joel. “Semua sudah disiapkan dengan sangat baik, Nona. Kami hanya tinggal menunggu kode dari anda,” ucap pelayan itu. “Baiklah, terima kasih.” Aerline tersenyum lebar di sana. “Kalau begitu, saya permisi,” pamit pelayan tersebut. Aerline merapikan gaun cantik yang dikenakannya. Dia sengaja memakai gaun warna violet, karena menurut Joel, dia selalu cantik kalau memakai warna itu. Wanita itu duduk di kursi sambil melihat jam tangannya. “Masih ada 20 menitan lagi sampai Joel datang. Astaga, aku deg-degan sekali. Semoga saja, acaranya berjalan dengan lancar,” gumam Aerline tersenyum lebar. Dia sengaja membooking area rooftop sebuah restoran untuk merayakan ulang tahun Joel. Dia juga sudah menyiapkan beberapa kejutan kecil, di mana mereka akan memotong kue
“Jangan lupa dengan wine yang akan jadi pelengkap makan malam kita,” ucap Joel.“Aku akan mengambilkan wine kualitas terbaik, sebentar.” Tambah pria itu berlalu pergi dari sana meninggalkan Aerline yang masih menikmati makanannya.Joel kembali beberapa saat kemudian dengan sebotol wine berlabel premium di tangannya. “Ini dia, wine terbaik untuk melengkapi makan malam kita,” ucapnya sambil tersenyum.Aerline menatap botol itu dengan kagum. “Kamu benar-benar mempersiapkan semuanya dengan sempurna, Joel. Aku terkesan.”Joel hanya tersenyum kecil sambil membuka botol wine tersebut dengan anggun. Ia menuangkan wine ke dua gelas, lalu menyerahkan salah satunya kepada Aerline. “Untuk malam yang tidak akan pernah kita lupakan.”Aerline menerima gelas itu sambil menatap Joel dengan lembut. “Untuk malam ini, dan untuk kita,” ujarnya sambil mengangkat gelasnya untuk bersulang.Mereka berdua menyeruput wine itu dengan perlahan, menikmati rasa anggur yang lembut dan kaya. Angin pantai yang sepoi-s
“Wah, apakah ini vila yang kamu maksud?” tanya Aerline saat dia menuruni mobil dan melihat suasana vila di bibir pantai. “Ya, ini adalah vila pribadi. Aku sengaja membookingnya. Jadi, tidak akan ada orang lain lagi selain kita berdua di sini,” ucap Joel memeluk Aerline dari belakang. Wanita itu tersenyum hangat dan memegang tangan Joel yang melingkar di perutnya."Tempat ini indah sekali, Joel," ucap Aerline, memandang hamparan pantai dengan pasir putih yang berkilauan diterpa sinar matahari. Suara ombak yang tenang dan angin laut yang sejuk memberikan suasana damai yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Joel menunduk sedikit, menyandarkan dagunya di bahu Aerline. "Aku ingin kamu merasa tenang dan melupakan semua beban yang ada," ucapnya lembut.Aerline menolehkan wajahnya sedikit, menatap Joel dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Joel. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Ini lebih dari cukup."Joel melepaskan pelukan itu perlahan, mengambil tangan Aerline dan membawanya ma
“Kamu masih marah padaku?” tanya Joel mendekati Aerline yang masih kerja di meja kerjanya. Hari sudah malam, semua rekan kerjanya sudah pulang lebih dulu. Sedangkan Aerline harus lembur karena sempat tidak masuk, membuat pekerjaannya cukup menumpuk. Wanita itu menengadahkan kepalanya dan menatap Joel di depannya. "Aku tidak marah padamu, Joel,” jawab Aerline. “Aku paham posisimu, dan aku coba mengerti.” “Tapi kamu terus menghindariku seharian ini, apa kamu akan terus bersikap begitu? Padahal aku sangat merindukanmu,” ujar Joel yang duduk dihadapan Aerline sambil memegang tangan wanita itu. “Akhir-akhir ini, hubungan kita semakin renggang dan jauh, aku sangat merindukanmu.” Joel tersenyum di sana.Aerline menarik tangannya perlahan dari genggaman Joel, lalu menghela napas dalam-dalam. Ia menatap Joel dengan sorot mata yang bercampur antara lelah dan keraguan.“Joel, aku tidak menghindarimu,” ucapnya pelan, suaranya terdengar
“Aerline… “Semua rekan kerjanya kembali menyambut kedatangannya di kantor setelah tidak masuk kerja selama tiga hari. “Kamu baik-baik saja, Lin?” tanya Lita. “Kamu sakit apa sebenarnya? Kami khawatir banget, tau.” Kali ini Agnes yang berbicara. “Sakit asam lambung,” jawab Aerline tidak mengatakan yang sebenarnya kalau dia sakit Gerd. Aerline berusaha tersenyum pada rekan-rekannya yang tampak benar-benar khawatir. “Maaf ya, bikin kalian khawatir. Aku sudah lebih baik sekarang,” katanya sambil menepuk bahu Lita dengan lembut.“Kamu harus lebih jaga kesehatan, Lin,” ujar Maya dengan nada penuh perhatian.“Iya, jangan terlalu memaksakan diri di kantor,” tambah Agnes, menatap Aerline dengan pandangan serius.Aerline mengangguk kecil. “Aku akan lebih hati-hati. Terima kasih sudah peduli,” jawabnya tulus. Meski mencoba terdengar ringan, hatinya sedikit berat karena tahu mereka tidak mengetahui sepenuhnya apa yang ia alami belakangan ini.“Ngomong-ngomong, Leon nyariin kamu tadi pagi,”
Gisela sedang duduk di atas kursi roda, Joel mendorong kursi rodanya berjalan-jalan ke taman rumah sakit. “Kenapa sih, masih ngurusin aku? Kamu gak paham, seberapa susuahnya aku menahan diri untuk tidak terbawa perasaan dengan aktingmu itu.” keluh Gisela. Joel masih diam membisu di sana, dia hanya bisa menghela napasnya. “Mata-mata Ayahmu ada di mana-mana,” ucapnya. “Aku ingin kamu tahan sebentar saja, karena situasi ini pun tidak menyenangkan bagiku. Aku ingin memastikan orang-orang yang kucintai aman, maka aku tidak akan mengganggumu lagi,” ujar Joel berkata dengan kejamnya membuat Gisela terdiam, hatinya sakit bukan main mendengar perkataan kasar Joel di sana. Dia tahu, semua ini hanya akting saja, dia juga tahu kalau Joel tidak bersungguh-sungguh padanya. Tapi dengan bodohnya, dia masih tetap berharap dan terbawa perasaan oleh perhatian Joel yang tidak nyata itu. Gisela bodoh, saat berkenalan dengan Joel dan sikapnya yang kadang baik padanya
Dor! “Tidak!” Aerline terperanjat bangun dari tidurnya. Nafasnya terengah dan keringat sudah membanjiri seluruh tubuhnya. Dia melihat sekeliling ruangan, ternyata dia tertidur di sofa ruang tengah apartemennya. Cahaya matahari sudah menerobos masuk ke celah jendela apartemennya. “Ternyata hanya mimpi,” gumamnya masih mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.Aerline memegangi dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata, seperti dia benar-benar terperangkap dalam kegelapan yang menyesakkan. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat apa yang baru saja dialaminya dalam tidur.Gambaran teror yang menakutkan, sampai muncul sosok berjubah hitam yang ingin membunuhnya. Mimpi itu membawa rasa sakit yang sulit dijelaskan, seolah-olah itu adalah cerminan dari semua yang mungkin akan terjadi padanya.Aerline menghela napas panjang, lalu bangkit perlahan dari sofa. Dia berjalan ke dapur untuk meng