“Bagaimana kondisinya, Bang Richard?” tanya Aerline langsung menghampiri Richard yang baru saja keluar ruang operasi. “Perluru di tubuhnya sudah berhasil dikeluarkan dan pendarahan yang terjadipun sudah berhasil di tangani. Tetapi, karena terlalu banyak kehilangan darah, kondisinya masih belum stabil dan masih kritis. Kami akan membawa pasien ke ruang ICU,” jelas Richard di sana.Aerline menelan ludah dengan berat, mencoba menahan emosinya yang hampir meledak. “K-kritiskah?” tanyanya dengan suara bergetar, matanya yang merah menatap penuh harap pada Richard.Richard mengangguk perlahan. “Iya, tetapi kita sudah melewati tahap paling genting di ruang operasi. Sekarang tinggal bagaimana tubuh Joel merespons perawatan berikutnya di ICU.” Kaivan yang berada di samping Aerline, meremas bahu adiknya dengan lembut untuk memberinya kekuatan. “Kamu dengar sendiri, Lin? Operasinya berhasil. Itu langkah besar,” ucapnya mencoba menenangkan Aerline.Namun, Aerline masih sulit m
Aerline mengenakan pakaian steril yang diberikan oleh perawat, tangannya sedikit gemetar saat menyesuaikan masker di wajahnya. Dengan langkah pelan namun penuh tekad, dia memasuki ruang ICU yang dipenuhi suara mesin medis yang monoton namun menenangkan.Di sana, Joel terbaring lemah di atas tempat tidur dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya. Wajahnya pucat, namun masih menunjukkan ketampanan yang selalu membuat Aerline jatuh cinta. Hatinya terasa perih melihat pria yang begitu ia cintai berada dalam kondisi seperti ini.Aerline mendekat, menarik kursi dan duduk di samping Joel. Tangannya yang gemetar menyentuh jemari Joel yang terasa dingin di bawah kulitnya. "Joel..." bisiknya lirih. Air matanya jatuh, namun dia segera menghapusnya dengan punggung tangan."Aku di sini... kumohon bertahanlah," ucapnya pelan. "Kalau kamu dengar aku, bangunlah. Aku janji nggak akan lari lagi. Kita akan coba semuanya dari awal... asal kamu tetap di sini."Aerline menggenggam tangan Joel e
Angin berhembus dengan cukup kencang. Aerline menatap langit yang cukup mendung dan pepohonan di depannya. Wajahnya yang pucat dan sembab, dan matanya yang menunjukkan kelelahan yang tidak berujung. Ternyata menanti adalah hal yang paling menyebalkan. Setiap hari, hatinya tidak pernah merasa tenang, dan terus merasa cemas. Apa dia akan kembali padanya atau memang takdir menakdirkan mereka untuk berpisah. Entah, Aerline harus bagaimana lagi menguatkan keyakinannya di tengah keraguan yang menyerang hatinya. Apalagi melihat kondisi Joel yang masih tidak menunjukkan perkembangan.Aerline menghela napas panjang, mencoba meredakan beban yang menghimpit dadanya. Angin yang berhembus kencang menggoyangkan ranting-ranting pohon, seolah menggambarkan kegelisahan hatinya yang terus bergemuruh. Langit yang kelabu semakin mempertegas kekosongan yang ia rasakan.Dia memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya udara yang menusuk kulitnya. Matanya yang sembab menatap tanpa fokus,
“Aerline, kamu tolong wakilkan Kakak untuk memenuhi undangan pertunangan Joel.” Dan di sinilah gadis itu berada, di acara pertunangan mantan kekasih yang masih sangat dicintainya. Aerline memilih tempat duduk yang cukup jauh dari altar dan cukup tersembunyi. Di depan sana, dia bisa melihat dengan jelas pria yang selalu dirindukannya selama lima tahun ini sedang menyematkan cincin di jari manis wanita lain. Sekuat tenaga Aerline menahan tubuhnya yang bergetar, deru nafas yang berat dan sesak di dadanya. Dia merasa sesuatu yang besar sedang menghantam dadanya dengan sangat keras. Kedua matanya sudah memerah menahan air mata yang siap tumpah ruah membasahi pipi. ‘Kenapa? sampai akhirpun, aku tetap tidak bisa melupakan kamu, Joel. Dan aku pikir dengan melihatmu sekarang bersanding dengan wanita lain, aku bisa lebih ikhlas melepaskanmu. Tapi kenapa? rasanya sesakit ini?’ batin Aerline di mana air matanya luruh membasahi pipi setelah dia tahan sejak tadi.
“Jadi kamu sudah lulus S2? Waktu berlalu begitu cepat,” ucap Joel melihat CV milik Aerline. Wanita itu masih duduk diam berhadapan dengan Joel yang sibuk membaca CV-nya. Tatapan matanya terus tertuju pada pria di depannya. Tidak pernah terbayangkan kalau dia akan kembali bertemu dengan pria yang sudah membuatnya terluka kemarin. “Apa semua ini adalah rencanamu?” tanya Aerline membuat Joel mengalihkan pandangannya dari berkas cv di tangannya pada Aerline. “Apa maksudmu?” tanya Joel menaikkan sebelah alisnya. “Aku sempat berpikir, kenapa wawancara dan test di perusahaan raksasa seperti Deere GE and Company terkesan mudah. Orang berkata, supaya bisa masuk ke sini, setidaknya harus lulusan terbaik di kampus. Sedangkan, aku yang bermodal nekat, bisa dengan mudah lolos di beberapa tahapan. Apa semua ini perbuatanmu?” tanya Aerline menatap Joel dengan intens. Sorot mata gadis itu menunjukkan kesedihan mendalam sekaligus kerinduan yang sudah di
“Ar, malam nanti, kamu temani aku memenuhi undangan makan malam dengan klien,” ucap Joel dengan perhatian terus tertuju pada layar laptopnya. Di depannya Aerline berdiri dengan sabar. Sejak tadi, Joel memanggilnya dan baru kali ini dia membuka suara. “Kenapa harus aku?” tanya Aerline sedikit keberatan. Sudah dua minggu dia bekerja di sini, dan Joel seakan terus menguji dirinya. Sekuat tenaga Aerline menjauhi pria itu dan fokus pada pekerjaan yang diberikan Maya. Tetapi Joel terus meminta Aerline yang mengerjakan tugas yang diberikannya, lebih tepatnya bukan pekerjaan melainkan melayani Joel dengan pekerjaan sepele. Seperti membuat kopi, merapikan berkas di ruangan Joel, meminta Aerline merapikan berkas di ruangan Joel dan semua pekerjaan itu benar-benar menyiksa dirinya. “Kenapa? kamu menolak perintahku?” tanya Joel seperti biasa menggunakan kalimat itu untuk menekan Aerline. “Bukankah yang biasa menemani kamu meeting di luar dan undan
Aerline membuka matanya perlahan setelah pergelutan panas di atas ranjang semalam bersama Joel. Wanita itu berangsur bangun dari posisinya dan menoleh ke sampingnya, di mana Joel masih terlelap dengan nyenyaknya. Tubuh mereka berdua sama-sama polos dan hanya tertutupi selimut di sana. “Jadi, semalam itu nyata, bukan hanya khayalanku,” batin Aerline. "Harusnya aku senang, tapi kenapa hatiku malah terasa begitu sakit?” Aerline bangkit menuruni ranjang, dengan gerakan perlahan dan menahan rasa ngilu di bagian pangkal pahanya. Dia memunguti pakaian yang berserakan di lantai dan bergegas ke kamar mandi. Karena kemejanya dirobek oleh Joel, akhirnya Aerline memakai jubah handuk yang ada di sana, dan dia tutupi dengan celana panjang miliknya juga jas kerjanya. Dia memunguti pakaian yang sudah koyak dan memasukannya ke dalam tong sampah di kamar mandi. dia mengambil pakaian milik Joel dan meletakkannya di atas sofa. Sebelum keluar dari kamar itu, Aerline
“A-apa maksud anda?” tanya Aerline memalingkan wajahnya. “Apa kamu pikir aku tidak akan mengingatnya karena aku sedang mabuk?” tanya Joel tepat sasaran. “Kalaupun kamu mengingatnya, lalu kenapa? Anggap saja tidak pernah terjadi apa pun pada kita,” jawab Aerline mendorong pelan dada bidang Joel untuk bisa melepaskan dirinya. Tetapi dugaan Aerline salah, Joel malah semakin merapatkan tubuh mereka berdua. “Pak-?” “Panggil namaku seperti semalam, panggil aku, Joel,” bisiknya tepat di daun telinga Aerline, membuat wanita itu merasa geli. “Tolong lepaskan aku, masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan,” ujar Aerline. “Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu, kenapa kamu kabur dan meninggalkanku sendiri di sana?” tanya Joel. “Aku sangat khawatir saat tidak menemukanmu di manapun, aku khawatir kamu terluka.” Joel menatap Aerline dengan tatapan lebih lembut, dan tidak bisa dipungkiri kalau hal itu bisa men
Angin berhembus dengan cukup kencang. Aerline menatap langit yang cukup mendung dan pepohonan di depannya. Wajahnya yang pucat dan sembab, dan matanya yang menunjukkan kelelahan yang tidak berujung. Ternyata menanti adalah hal yang paling menyebalkan. Setiap hari, hatinya tidak pernah merasa tenang, dan terus merasa cemas. Apa dia akan kembali padanya atau memang takdir menakdirkan mereka untuk berpisah. Entah, Aerline harus bagaimana lagi menguatkan keyakinannya di tengah keraguan yang menyerang hatinya. Apalagi melihat kondisi Joel yang masih tidak menunjukkan perkembangan.Aerline menghela napas panjang, mencoba meredakan beban yang menghimpit dadanya. Angin yang berhembus kencang menggoyangkan ranting-ranting pohon, seolah menggambarkan kegelisahan hatinya yang terus bergemuruh. Langit yang kelabu semakin mempertegas kekosongan yang ia rasakan.Dia memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya udara yang menusuk kulitnya. Matanya yang sembab menatap tanpa fokus,
Aerline mengenakan pakaian steril yang diberikan oleh perawat, tangannya sedikit gemetar saat menyesuaikan masker di wajahnya. Dengan langkah pelan namun penuh tekad, dia memasuki ruang ICU yang dipenuhi suara mesin medis yang monoton namun menenangkan.Di sana, Joel terbaring lemah di atas tempat tidur dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya. Wajahnya pucat, namun masih menunjukkan ketampanan yang selalu membuat Aerline jatuh cinta. Hatinya terasa perih melihat pria yang begitu ia cintai berada dalam kondisi seperti ini.Aerline mendekat, menarik kursi dan duduk di samping Joel. Tangannya yang gemetar menyentuh jemari Joel yang terasa dingin di bawah kulitnya. "Joel..." bisiknya lirih. Air matanya jatuh, namun dia segera menghapusnya dengan punggung tangan."Aku di sini... kumohon bertahanlah," ucapnya pelan. "Kalau kamu dengar aku, bangunlah. Aku janji nggak akan lari lagi. Kita akan coba semuanya dari awal... asal kamu tetap di sini."Aerline menggenggam tangan Joel e
“Bagaimana kondisinya, Bang Richard?” tanya Aerline langsung menghampiri Richard yang baru saja keluar ruang operasi. “Perluru di tubuhnya sudah berhasil dikeluarkan dan pendarahan yang terjadipun sudah berhasil di tangani. Tetapi, karena terlalu banyak kehilangan darah, kondisinya masih belum stabil dan masih kritis. Kami akan membawa pasien ke ruang ICU,” jelas Richard di sana.Aerline menelan ludah dengan berat, mencoba menahan emosinya yang hampir meledak. “K-kritiskah?” tanyanya dengan suara bergetar, matanya yang merah menatap penuh harap pada Richard.Richard mengangguk perlahan. “Iya, tetapi kita sudah melewati tahap paling genting di ruang operasi. Sekarang tinggal bagaimana tubuh Joel merespons perawatan berikutnya di ICU.” Kaivan yang berada di samping Aerline, meremas bahu adiknya dengan lembut untuk memberinya kekuatan. “Kamu dengar sendiri, Lin? Operasinya berhasil. Itu langkah besar,” ucapnya mencoba menenangkan Aerline.Namun, Aerline masih sulit m
“Joel, bertahanlah, kumohon... “ Aerline terus memegang tangan Joel yang saat ini berada di atas brankar rumah sakit. Para perawat berjalan cepat sambil mendorong brankar yang ditempati Joel, tangan Aerline yang penuh dengan darah, tidak kunjung terlepas dari tangan Joel. “Kumohon bertahanlah, Joel. Jangan tinggalkan aku,” isaknya.Aerline tak bisa menghentikan tangisnya, suara isakan yang keluar dari tenggorokannya begitu dalam dan penuh penderitaan. Semua yang ada di sekelilingnya seolah menghilang, hanya ada Joel, dan ia ingin sekali menyelamatkannya, meski ia tahu ini adalah hal yang di luar kekuatannya.Mereka sampai di ruang gawat darurat, dan para dokter segera bergerak cepat, memindahkan Joel ke meja perawatan. Aerline dipaksa untuk mundur, namun tangannya tetap terulur, berharap ada sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan Joel, yang kini terbaring lemah.Seorang dokter mendekat, mencoba menenangkan Aerline. “Coba tenang, Nona. Kami akan melakuk
“Pak, apa ini masih lama?” tanya Aerline begitu gelisah sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya. Ya, sejak kemarin dia terus merasa bimbang, sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemui Joel dan bicara kembali. Ini adalah kesempatan terakhir dari Aerline untuk perasaannya sendiri. Kalau, sekarang situasi kembali seperti sebelumnya, dia memutuskan untuk menyerah walau sebenarnya hatinya masih begitu keras kepala dan ingin terus bersama Joel. “Sepertinya ada perbaikan jalan di depan sana,” ucap sopir taksi. Aerline menyesal karena tidak memakai ojeg online. “Kalau begitu saya turun di sini saja, Pak,” ucap Aerline. “Saya tahu jalan alternatif, Bu. Kalau buru-buru, saya akan coba ambil jalan itu,” ucapnya. “Boleh, Pak, terima kasih.”Aerline membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel, mengetikkan pesan singkat kepada Lyman untuk memberi tahu bahwa dia akan segera menuju bandara. Rasanya berat sekali, tetapi dia tahu ini a
“Kok cepet banget udah balik?” tanya Lyman saat Joel sudah kembali ke apartemen temannya itu. Di sana juga ada Richard yang sedang duduk dan bermain kartu dengan Lyman. Mereka sama-sama memperhatikan Joel yang menghela napas panjang sambil duduk di sofa. “Kalian udah bicara? Kaivan sudah kasih izin, loh,” ucap Richard menimpali. “Dia gak mau bicara padaku dan memilih menghindar,” jawab Joel. “Dia benar-benar sudah menyerah padaku dan memutuskan untuk berkomunikasi lagi denganku,” Lyman dan Richard saling bertukar pandang. Keduanya memahami situasi sulit yang sedang dialami Joel, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Mereka tahu betapa keras kepala Joel dalam mempertahankan perasaannya untuk Aerline."Ya, setidaknya kamu udah coba, bro," ujar Lyman mencoba menenangkan. "Kalau dia butuh waktu atau emang gak bisa lagi, mungkin kamu harus belajar nerima."Joel menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap langit-langit apartemen dengan pandanga
Aerline masih membeku di tempatnya saat Joel berjalan mendekatinya. Wanita itu merasa ini hanya khayalannya saja, tetapi sosoknya begitu nyata, bahkan debaran jantungnya berdebar sangat cepat sekali. “Hei...” sapa Joel saat sudah berdiri di hadapan Aerline yang masih menatapnya dengan tatapan terkejut. “Joel?” gumamnya. Joel tersenyum canggung di sana. Dan situasinya semakin menegangkan, tatapan keduanya menyiratkan kerinduan yang begitu mendalam. “Aku udah izin sama Abangmu, katanya tidak boleh lebih dari jam sembilan,” ucap Joel membuka suaranya sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. “Masih ada waktu satu jam lagi.” Joel kembali melihat ke arah Aerline di hadapannya. “Apa kamu bisa memberiku waktu untukku, Aerly?” tanya Joel. Aerline memalingkan wajahnya, tanpa mengatakan apa pun dia berjalan mendekati bibir pantai. Dia masih berpikir, kalau sosok Joel hanya halusinasinya saja.Namun, langkah Aerl
Tiga Bulan Kemudian... Aerline tidak menyangka kalau dia akan melewati waktu selama ini dengan segala kesibukannya bekerja, tanpa mengenal lelah dan waktu. Dia ingin seluruh pikirannya, hanya terfokus pada apa yang sedang dia kerjakan sekarang, walau terkadang, dia merasa lelah dan kembali teringat tentang sosok Joel. Kadang, dia ingin sekali bertanya pada Kaivan, apa mereka benar-benar menikah. Atau dia ingin bertanya pada Lyman, bagaimana kabar Joel di sana, apa dia sehat, apa dia bahagia. Sayangnya, Aerline sudah bertekad untuk benar-benar menghilangkannya dari pikiran, walau sangat sulit untuk menghilangkan nama Joel dari hatinya. Saat ini, Aerline sedang berjalan seorang diri menyusuri bibir pantai dengan menenteng tas tangannya. Sepulang meeting di luar kantor dengan klien, dia memutuskan untuk berjalan-jalan ke pantai dan menikmati waktu kesendiriannya. Aerline berjalan menyusuri dermaga yang terbuat dari kayu, berjalan sampai ke bagian u
“Gimana hari pertamamu, Lin?” tanya Kaivan sambil bersandar di pintu. Ini sudah jam pulang dan sebagian rekan kerjanya sudah pulang.Aerline menoleh dan tersenyum kecil. “Lelah, tapi aku menikmatinya.”“Bagus. Itu yang penting,” ujar Kaivan dengan bangga.Hari pertama Aerline di kantor berakhir dengan perasaan lega dan puas. Meski masih banyak yang harus dipelajari, dia tahu bahwa dia sudah mengambil langkah besar untuk keluar dari masa-masa sulitnya. Malam itu, saat dia pulang ke rumah, Aerline merasa lebih percaya diri dan penuh harapan untuk hari esok.“Kalau sudah selesai, ayo pulang. Kebetulan Khayra masak banyak, kamu makan malam di rumah Abang saja,” ucap Kaivan.“Dalam rangka apa nih?” tanya Aerline.“Tidak ada, hanya makan malam bersama saja,” jawabnya tersenyum merekah.“Baiklah.” Aerline membereskan meja kerjanya, mematikan laptop dan memasukkan ponsel ke dalam tas tangannya, Kemudian dia bangkit dari duduknya.“Yuk, Bang.”Kaivan mengangguk dan berjalan di samping Aerline