“Jadi kamu sudah lulus S2? Waktu berlalu begitu cepat,” ucap Joel melihat CV milik Aerline.
Wanita itu masih duduk diam berhadapan dengan Joel yang sibuk membaca CV-nya. Tatapan matanya terus tertuju pada pria di depannya. Tidak pernah terbayangkan kalau dia akan kembali bertemu dengan pria yang sudah membuatnya terluka kemarin.
“Apa semua ini adalah rencanamu?” tanya Aerline membuat Joel mengalihkan pandangannya dari berkas cv di tangannya pada Aerline.
“Apa maksudmu?” tanya Joel menaikkan sebelah alisnya.
“Aku sempat berpikir, kenapa wawancara dan test di perusahaan raksasa seperti Deere GE and Company terkesan mudah. Orang berkata, supaya bisa masuk ke sini, setidaknya harus lulusan terbaik di kampus. Sedangkan, aku yang bermodal nekat, bisa dengan mudah lolos di beberapa tahapan. Apa semua ini perbuatanmu?” tanya Aerline menatap Joel dengan intens.
Sorot mata gadis itu menunjukkan kesedihan mendalam sekaligus kerinduan yang sudah ditahannya selama ini.
“Kenapa aku harus melakukan itu? Ya, aku tahu kamu adalah adik dari temanku, tapi aku tidak pernah memberikan hak istimewa, sekalipun itu padamu,” jawab Joel dengan tenang.
Aerline menundukkan kepalanya, kedua tangannya mengepal kuat. Sekuat tenaga dia menahan gejolak di hatinya, bertatapan dan mendengar suara Joel kembali adalah harapannya selama bertahun-tahun ini. Dia berusaha mencari kabar tentang Joel, tetapi tidak sedikitpun didapatkannya. Sekarang, pria itu berada tepat di depannya, dan bisa dia dengar suara bassnya yang selalu membuat jantungnya berdebar, mengobati rasa rindunya selama ini, tetapi di sisi lain hatinya sakit karena sadar pria itu sudah memiliki wanita lain yang akan menikah dengannya.
“Syukurlah,” ucap Aerline terdengar seperti bergumam. Dia tidak sanggup bertatapan dengan pria itu lagi.
“Kurasa tidak ada yang perlu aku tanyakan lagi padamu. Semua sudah ditanyakan oleh pihak HRD, jadi langsung ke intinya saja. Bagian yang kamu lamar sudah diisi, ada bagian yang ingin aku tawarkan untukmu, Ar.” Aerline mengangkat kepalanya, tatapan mereka kembali terpaut dengan sorot mata tajam di depannya. Ini pertama kalinya pria itu memanggil nama yang merupakan nama panggilan kesayangan.
“Apa kamu bersedia menjadi sekretaris pribadiku? Kebetulan salah satu sekretarisku resign satu minggu yang lalu?” tanya Joel.
“Aku melamar bagian lain, dan tidak memiliki pengalaman di bidang sekretaris,” jawab Aerline.
“Tidak masalah. Aku tahu kamu tidak bodoh. Lagipula kamu menguasai lima bahasa, itu tidak akan menyulitkanmu. Kalau kamu bersedia, maka kamu boleh mulai bekerja besok, tetapi kalau kamu menolak, tidak ada lowongan untukmu di perusahaan ini,” ucap Joel berbicara dengan tenang, tetapi Aerline dapat melihat seringai tipis di bibir pria itu.
‘Apa Joel berusaha menjebakku? Tetapi kalau aku menolak kesempatan ini, ke mana lagi aku harus cari pekerjaan di Negara yang serba mahal ini. Aku tidak mau kembali ke Indonesia,’ batin Aerline menatap Joel di depannya.
Aerline dalam kebimbangan di mana hati dan berpikirannya berdebat. Haruskah menerima pekerjaan ini, atau menolaknya dan mencari pekerjaan lain yang tidak tahu apa dia akan diterima dengan mudah seperti ini atau tidak. Bagaimana pun, Joel adalah racun sekaligus penawar untuk Aerline. Di sisinya, Aerline pasti akan terus merasa sakit dan terluka karena hanya bisa memandang tanpa bisa memiliki pria itu, tetapi, tanpa ada dia dan berjauhan dengannya, Aerline akan semakin terluka karena rasa rindu yang setiap saat selalu menyiksanya hingga dia sangat kesulitan untuk bernapas. Dan kalau harus memilih, maka, Aerline lebih memilih untuk menelan semua kesakitan itu asalkan bisa melihat Joel setiap saat di jarak yang dekat.
“Aku bersedia,” jawab Aerline.
“Bagus,” ucap Joel menyunggingkan senyuman di bibirnya. “Kamu bisa mulai bekerja besok.”
“Baiklah.”
Joel berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya pada Aerline. “Selamat bergabung di Deere Ge and Company, Ar.”
Aerline menatap uluran tangan Joel di depannya. Dia pun bangkit dari duduknya dan menyambut tangan pria itu.
“Terima kasih, Mr. Nathaniel.”
Aerline mengernyitkan dahinya saat tangannya dipegang dengan cukup kuat oleh Joel. Dia mencoba menarik tangannya tetapi sulit, Joel sepertinya tidak berniat melepaskan pegangan tangannya.
“Maaf, bisa tolong lepaskan tanganku?” pinta Aerline.
Joel diam dan menatap Aerline di depannya cukup lama. “Tuan Nathaniel, tolong lepaskan tanganku!” ucap Aerline sekali lagi dan berhasil menyadarkan keterpakuan Joel.
“Oh, ya.” Tanpa kata maaf, Joel pun melepaskan pegangannya pada Aerline.
“Kalau begitu, aku pergi sekarang. Permisi,” pamit Aerline membalikkan badannya dan berjalan ke arah pintu.
“Ar?”
Panggilan Joel menghentikan langkah Aerline. Wanita itu pun menoleh ke arah Joel, berusaha menunjukkan ekspresi tenangnya.
“Senang bertemu denganmu lagi.”
Degh!
Melihat senyuman yang terukir di bibir Joel, membuat Aerline segera memalingkan wajahnya dan berlalu pergi. Dia berjalan cepat menuju lift, jantungnya berdebar sangat cepat.
Saat di dalam lift, Aerline berdiri dengan berpegangan tangan ke dinding lift, kedua tangannya bergetar. Bayangan Joel yang tersenyum dan mengatakan kalau dia merasa senang bertemu dengan Aerline membuat pertahanan wanita itu runtuh.
‘Kenapa?’ batin Aerline tidak bisa menahan air mata yang mengalir membasahi pipi.
Ini baru pertemuan pertama, Aerline sudah merasa rapuh dan tidak bisa bersikap tegar. Lalu, bagaimana hari-hari selanjutnya harus Aerline lalui?
***
Tiga puluh menit sebelum jam kerja, Aerline sudah sampai di kantor. Dia melihat ruangan Joel masih kosong.
“Permisi, apa anda Aerline?” tanya seorang wanita yang menyapanya terlebih dulu.
“Benar, saya Aerline.”
“Perkenalkan, nama saya Maya. Saya sekretaris Pak Nathaniel,” ucap wanita cantik bernama Maya.
“Halo,” sapa Aerline.
“Karena anda sudah sampai, simpan saja dulu tas anda di atas meja ini. Lalu ikut saya ke ruang HRD untuk mengambil ID Card,” ucap Maya.
“Baiklah.” Aerline mengikuti Maya menuju ruang HRD untuk mengambil ID Cardnya.
Setelah mengambil ID Card, mereka kembali ke ruangan dan Aerline dapat melihat dari balik jendela ruangan kalau Joel sudah datang. Dan secara bersamaan, Joel pun melihat ke arahnya. Aerline segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Saat itu, Maya menunjukkan meja Aerline, dan entah kebetulan atau tidak. Meja itu berhadapan langsung dengan ruangan Joel, dan mereka bisa saling menatap dari balik jendela.
“Tunggu sebentar, saya dipanggil oleh Pak Nathaniel,” ucap Maya beranjak pergi menuju ruangan Joel.
Selang beberapa menit, Maya kembali mendekati meja Aerline.
“Aerline, anda dipanggil pak Nathaniel untuk datang ke ruangannya,” ucap Maya.
“Oh, iya.” Aerline beranjak bangun dari duduknya dan pergi ke ruangan Joel.
“Anda memanggil saya, Pak?” tanya Aerline dan Joel tersenyum kecil.
“Tidak perlu berbicara formal denganku. Bicara saja seperti biasa,” ucap Joel.
“Tapi, Pak?”
“Ini perintah. Aku lebih nyaman saat kamu berbicara seperti biasa,” kata Joel tidak mau dibantah.
“Baiklah.” Sekali lagi Aerline mengalah, dia tidak mau berdebat dengan Joel di pagi hari.
“Kenapa kamu memanggilku? Apa kamu butuh sesuatu?” tanya Aerline.
“Buatkan aku kopi,” perintah Joel.
“Eh?” Aerline terkejut mendengar perintah Joel.
“Kenapa? kamu tidak mau?” tanya Joel.
“Tidak, bukan seperti itu,” ucap Aerline tidak mau Joel salah paham kalau dia menolak keinginannya. “Baiklah, aku akan membuatkan kopi untukmu.”
“Seperti biasa, Ar.” Aerline terdiam sesaat saat mendengar ucapan Joel.
“Baiklah,” jawab Aerline yang mengetahui kopi kesukaan pria itu.
Aerline pergi ke pantry dan membuatkan kopi di mesin kopi. Dia tertegun sesaat, ‘Aku sudah menguatkan tekad untuk tidak terpengaruh oleh Joel. Apa pun itu, aku harus bisa menahan diri dan lebih tegar. Demi masa depanku,’ batin Aerline penuh tekad.
***
“Ar, malam nanti, kamu temani aku memenuhi undangan makan malam dengan klien,” ucap Joel dengan perhatian terus tertuju pada layar laptopnya. Di depannya Aerline berdiri dengan sabar. Sejak tadi, Joel memanggilnya dan baru kali ini dia membuka suara. “Kenapa harus aku?” tanya Aerline sedikit keberatan. Sudah dua minggu dia bekerja di sini, dan Joel seakan terus menguji dirinya. Sekuat tenaga Aerline menjauhi pria itu dan fokus pada pekerjaan yang diberikan Maya. Tetapi Joel terus meminta Aerline yang mengerjakan tugas yang diberikannya, lebih tepatnya bukan pekerjaan melainkan melayani Joel dengan pekerjaan sepele. Seperti membuat kopi, merapikan berkas di ruangan Joel, meminta Aerline merapikan berkas di ruangan Joel dan semua pekerjaan itu benar-benar menyiksa dirinya. “Kenapa? kamu menolak perintahku?” tanya Joel seperti biasa menggunakan kalimat itu untuk menekan Aerline. “Bukankah yang biasa menemani kamu meeting di luar dan undan
Aerline membuka matanya perlahan setelah pergelutan panas di atas ranjang semalam bersama Joel. Wanita itu berangsur bangun dari posisinya dan menoleh ke sampingnya, di mana Joel masih terlelap dengan nyenyaknya. Tubuh mereka berdua sama-sama polos dan hanya tertutupi selimut di sana. “Jadi, semalam itu nyata, bukan hanya khayalanku,” batin Aerline. "Harusnya aku senang, tapi kenapa hatiku malah terasa begitu sakit?” Aerline bangkit menuruni ranjang, dengan gerakan perlahan dan menahan rasa ngilu di bagian pangkal pahanya. Dia memunguti pakaian yang berserakan di lantai dan bergegas ke kamar mandi. Karena kemejanya dirobek oleh Joel, akhirnya Aerline memakai jubah handuk yang ada di sana, dan dia tutupi dengan celana panjang miliknya juga jas kerjanya. Dia memunguti pakaian yang sudah koyak dan memasukannya ke dalam tong sampah di kamar mandi. dia mengambil pakaian milik Joel dan meletakkannya di atas sofa. Sebelum keluar dari kamar itu, Aerline
“A-apa maksud anda?” tanya Aerline memalingkan wajahnya. “Apa kamu pikir aku tidak akan mengingatnya karena aku sedang mabuk?” tanya Joel tepat sasaran. “Kalaupun kamu mengingatnya, lalu kenapa? Anggap saja tidak pernah terjadi apa pun pada kita,” jawab Aerline mendorong pelan dada bidang Joel untuk bisa melepaskan dirinya. Tetapi dugaan Aerline salah, Joel malah semakin merapatkan tubuh mereka berdua. “Pak-?” “Panggil namaku seperti semalam, panggil aku, Joel,” bisiknya tepat di daun telinga Aerline, membuat wanita itu merasa geli. “Tolong lepaskan aku, masih banyak pekerjaan yang harus aku lakukan,” ujar Aerline. “Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu, kenapa kamu kabur dan meninggalkanku sendiri di sana?” tanya Joel. “Aku sangat khawatir saat tidak menemukanmu di manapun, aku khawatir kamu terluka.” Joel menatap Aerline dengan tatapan lebih lembut, dan tidak bisa dipungkiri kalau hal itu bisa men
“Tunggu, Joel!” Aerline mendorong dada bidang Joel yang sudah membuatnya hampir kehilangan napas. Bisa-bisanya pria itu mencium Aerline dengan brutal. “Apa yang kamu lakukan?!” tanya Aerline. Wanita itu memekik kaget saat Joel mengangkat tubuh wanita itu dan mendudukannya di kepala sofa, dengan Joel yang masih berdiri dihadapannya. “Aku bilang, aku merindukanmu, Arlyn. Apa kamu tidak mengerti?” tanya Joel tersenyum simpul. “Ah, masakanku!” Aerline melepaskan diri dari Joel dan berlari ke arah pantry. Wanita itu segera mengambil spatula dan mengaduk masakannya di dalam wajan. Syukurlah tidak sampai gosong, dan masakan itu masih bisa di selamatkan. Aerline mematikan kompor dan hendak mengambil piring, tetapi Joel sudah berdiri di sampingnya dengan sebuah piring di tangan. “Kamu butuh piring, kan?” tanya Joel menunjukkan piring pada Aerline. “Oh, ya. Terima kasih,” jawab Aerline menerimanya dan mulai memindahkan masakan ke dalam piring tersebut. “Aku tidak tau kalau kamu bisa mas
“Hai,” sapa seseorang mengetuk meja kerja Aerline membuat wanita menengadahkan kepalanya dan kedua matanya melebar di sana. “Leon?” Aerline terkejut saat melihat sosok pria yang dikenalnya berdiri di depannya. “Wah, Lin. Aku pikir tadi bukan kamu, loh. Kamu kerja di sini sekarang?” tanya Leon. “Ya, aku kerja di sini. Oh, ngomong-ngomong kenapa kamu ada di sini?" tanya Aerline. "Sebenarnya, aku juga kerja di sini," kekehnya. “Aku asisten BM Heiner. Kamu baru ya?” tanyanya. “Ya, aku belum ada sebulan sih bekerja di sini. Wah, gak nyangka kita bisa bekera di perusahaan yang sama,” kekehnya. Leon dan Aerline terlihat asyik berbincang, tawa mereka menggema di seluruh ruangan, dan rasanya seperti mereka berada di dunia sendiri. Joel yang memperhatikan dari dalam ruangannya melalui jendela, merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia menyeringai sinis saat melihat Aerline begitu akrab dengan Leon, sementara dirinya
“Apa kamu pernah makan di sini sebelumnya?” tanya Leon. Saat ini, Leon dan Aerline berada di sebuah restoran untuk makan siang bersama. “Belum, sih. Karena aku belum sebulan bekerja di sini. Jadi belum mencoba kuliner di sekitaran sini. Aku hanya pernah mencoba makan di restoran yang ada di seberang kantor.”Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan memberikan dua buku menu ke arah mereka berdua. “Menu makanan di sini semuanya enak. Kamu pasti akan suka,” ucap Leon. Aerline hanya tersenyum kecil. Sebenarnya dia sedang tidak bersemangat setelah melihat Joel bersama wanita lain tadi. Aerline mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi. Dia membuka buku menu sambil dalam hati berharap menemukan sesuatu yang bisa menghibur hatinya. “Hmm, ada banyak pilihan di sini ya,” ucapnya, berpura-pura memperhatikan menu dengan serius. Leon tersenyum dan melihat ke arah Aerline. “Kalau kamu suka makanan pedas, aku rekomendasikan spaghetti aglio e olio di sini. Rasanya benar-benar
“Bahkan sampai jam segini pun, tidak ada pesan darinya,” gumam Aerline yang termenung di atas sofa yang ada di apartemennya. Wanita itu menatap ke luar jendela yang memperlihatkan suasana kota dengan gedung pencakar langit dan kerlap kerlip lampu di luar jendela apartemen yang indah. Tetapi, keindahan itu sama sekali tidak bisa menghibur hati Aerline yang terus overthinking. Aerline meneguk minuman soda kaleng yang mengandung kadar alkohol sedang. Pikirannya terus tertuju pada Joel, entah pergi ke mana pria itu Tanpa memberi kabar dan memberi pesan pada Aerline. Sebenarnya dia dan wanita itu pergi ke mana, sampai Joel tidak bisa memberikan kabar pada Aerline? Itulah yang terus pemikiran - pemikiran yang terus mengusik pikiran Aerline. Dia mencoba mengalihkan perhatian dari kekhawatiran yang terus menerus mengganggu pikirannya. Dia bangkit dari sofa, menyusuri apartemen yang di dekorasi minimalis, sebelum akhirnya menepuk-nepuk bukunya yang tergeletak di meja. Membaca adalah cara ter
“Uh, sial! Kenapa aku harus minum banyak sekali semalam. Pagi ini, kepalaku rasanya berputar tidak karuan,” keluh Aerline berjalan pelan memasuki lobi kantor.“Hei, Lin.” Sapaan itu membuat Aerline menoleh ke sumber suara. “Oh, Leon. Kamu baru datang?” tanya Aerline. “Ya. Kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali, apa kamu sakit?” tanya Leon hendak menyentuh kening Aerline, tetapi dengan cepat wanita itu menghindar. “Aku baik-baik saja,” jawab Aerline. “Sebenarnya karena semalam aku minum terlalu banyak.” Aerline hanya menunjukkan cengirannya. “Kenapa kamu mabuk saat hari kerja. Pasti akan terasa menyiksa, apalagi kamu harus bangun pagi dan pergi ke kantor,” ucap Leon. “Entahlah. Semalam aku hanya sedang ingin minum” jawabnya tersenyum kecil. Leon menggelengkan kepalanya, merasa prihatin sekaligus geli dengan sikap Aerline. “Kamu harus lebih bijak, Aerline. Mungkin sebaiknya kamu mencari cara lain untuk bersenang-senang yang tidak melibatkan alkohol,” sarannya.Aerline mengangkat bahu,
“Lin?” Lyman masuk ke dalam ruang rawat Aerline. “Bang?” jawab Aerline melihat ke arah Lyman. Lyman berjalan mendekati Aerline yang duduk terbaring di atas ranjang rumah sakit. “Kenapa malam itu tidak tunggu Abang sih?” tanya Lyman terlihat begitu khawatir. “Aku baik-baik saja, Bang,” ujar Aerline di sana. “Kamu itu,” ucap Lyman sampai tidak bisa berkata apa-apa. “Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Abang sangat mencemaskanmu, Lin. Semalaman Abang keliling cari kamu,” ucap Lyman. “Maaf, Bang.” “Kalau terjadi sesuatu padamu, bagaimana Abang jelasin ke Kaivan? Kamu berharga untuk keluargamu, Lin. Jangan merasa sendiri, Abang di sini untuk jaga kamu,” ucap Lyman mengusap kepala Aerline dengan lembut.Aerline menunduk, merasa hangat mendengar kata-kata Lyman. Dia tidak menyangka Lyman begitu peduli padanya, bahkan rela mencari dirinya sepanjang malam."Maafkan aku, Bang. Aku nggak bermaksud bikin abang khawat
“Um... “ Aerline perlahan membuka matanya dan melihat sekeliling ruangan. Dia meringis kecil sambil memegang kepalanya yang terasa berat. Dia menoleh ke arah punggung tangannya yang dipasang infusan di sana. “Apa aku ada di rumah sakit?” gumamnya berusaha mengingat apa yang terjadi. “Kamu sudah siuman, Lin?” pertanyaan itu membuat Aerline menoleh ke sumber suara dan melihat sosok Leon di sana dan terlihat pria itu baru saja terbangun dari tidurnya. “Leon?” tanya Aerline. “Aku melihatmu pingsan dan tergeletak di pinggir jalan. Jadi, aku bawa kamu ke rumah sakit, menurut dokter kamu terkena usus buntu dan harus segera di operasi,” jawab Leon. “Operasi?” Aerline mengernyitkan dahinya. “Ponselmu mati, jadi aku tidak punya pilihan lain selain menandatangani surat persetujuannya. Aku sangat khawatir padamu,” ucap Leon. Aerline tersenyum di sana. “Terima kasih, Leon. Berkatmu, aku bisa selamat,” ujarnya
“Apa semuanya sudah sesuai?” tanya Aerline pada pelayan di restoran yang sudah dia booking jauh-jauh hari untuk acara ulang tahun Joel. Dia ingin memberikan kejutan spesial untuk Joel. “Semua sudah disiapkan dengan sangat baik, Nona. Kami hanya tinggal menunggu kode dari anda,” ucap pelayan itu. “Baiklah, terima kasih.” Aerline tersenyum lebar di sana. “Kalau begitu, saya permisi,” pamit pelayan tersebut. Aerline merapikan gaun cantik yang dikenakannya. Dia sengaja memakai gaun warna violet, karena menurut Joel, dia selalu cantik kalau memakai warna itu. Wanita itu duduk di kursi sambil melihat jam tangannya. “Masih ada 20 menitan lagi sampai Joel datang. Astaga, aku deg-degan sekali. Semoga saja, acaranya berjalan dengan lancar,” gumam Aerline tersenyum lebar. Dia sengaja membooking area rooftop sebuah restoran untuk merayakan ulang tahun Joel. Dia juga sudah menyiapkan beberapa kejutan kecil, di mana mereka akan memotong kue
“Jangan lupa dengan wine yang akan jadi pelengkap makan malam kita,” ucap Joel.“Aku akan mengambilkan wine kualitas terbaik, sebentar.” Tambah pria itu berlalu pergi dari sana meninggalkan Aerline yang masih menikmati makanannya.Joel kembali beberapa saat kemudian dengan sebotol wine berlabel premium di tangannya. “Ini dia, wine terbaik untuk melengkapi makan malam kita,” ucapnya sambil tersenyum.Aerline menatap botol itu dengan kagum. “Kamu benar-benar mempersiapkan semuanya dengan sempurna, Joel. Aku terkesan.”Joel hanya tersenyum kecil sambil membuka botol wine tersebut dengan anggun. Ia menuangkan wine ke dua gelas, lalu menyerahkan salah satunya kepada Aerline. “Untuk malam yang tidak akan pernah kita lupakan.”Aerline menerima gelas itu sambil menatap Joel dengan lembut. “Untuk malam ini, dan untuk kita,” ujarnya sambil mengangkat gelasnya untuk bersulang.Mereka berdua menyeruput wine itu dengan perlahan, menikmati rasa anggur yang lembut dan kaya. Angin pantai yang sepoi-s
“Wah, apakah ini vila yang kamu maksud?” tanya Aerline saat dia menuruni mobil dan melihat suasana vila di bibir pantai. “Ya, ini adalah vila pribadi. Aku sengaja membookingnya. Jadi, tidak akan ada orang lain lagi selain kita berdua di sini,” ucap Joel memeluk Aerline dari belakang. Wanita itu tersenyum hangat dan memegang tangan Joel yang melingkar di perutnya."Tempat ini indah sekali, Joel," ucap Aerline, memandang hamparan pantai dengan pasir putih yang berkilauan diterpa sinar matahari. Suara ombak yang tenang dan angin laut yang sejuk memberikan suasana damai yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Joel menunduk sedikit, menyandarkan dagunya di bahu Aerline. "Aku ingin kamu merasa tenang dan melupakan semua beban yang ada," ucapnya lembut.Aerline menolehkan wajahnya sedikit, menatap Joel dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Joel. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Ini lebih dari cukup."Joel melepaskan pelukan itu perlahan, mengambil tangan Aerline dan membawanya ma
“Kamu masih marah padaku?” tanya Joel mendekati Aerline yang masih kerja di meja kerjanya. Hari sudah malam, semua rekan kerjanya sudah pulang lebih dulu. Sedangkan Aerline harus lembur karena sempat tidak masuk, membuat pekerjaannya cukup menumpuk. Wanita itu menengadahkan kepalanya dan menatap Joel di depannya. "Aku tidak marah padamu, Joel,” jawab Aerline. “Aku paham posisimu, dan aku coba mengerti.” “Tapi kamu terus menghindariku seharian ini, apa kamu akan terus bersikap begitu? Padahal aku sangat merindukanmu,” ujar Joel yang duduk dihadapan Aerline sambil memegang tangan wanita itu. “Akhir-akhir ini, hubungan kita semakin renggang dan jauh, aku sangat merindukanmu.” Joel tersenyum di sana.Aerline menarik tangannya perlahan dari genggaman Joel, lalu menghela napas dalam-dalam. Ia menatap Joel dengan sorot mata yang bercampur antara lelah dan keraguan.“Joel, aku tidak menghindarimu,” ucapnya pelan, suaranya terdengar
“Aerline… “Semua rekan kerjanya kembali menyambut kedatangannya di kantor setelah tidak masuk kerja selama tiga hari. “Kamu baik-baik saja, Lin?” tanya Lita. “Kamu sakit apa sebenarnya? Kami khawatir banget, tau.” Kali ini Agnes yang berbicara. “Sakit asam lambung,” jawab Aerline tidak mengatakan yang sebenarnya kalau dia sakit Gerd. Aerline berusaha tersenyum pada rekan-rekannya yang tampak benar-benar khawatir. “Maaf ya, bikin kalian khawatir. Aku sudah lebih baik sekarang,” katanya sambil menepuk bahu Lita dengan lembut.“Kamu harus lebih jaga kesehatan, Lin,” ujar Maya dengan nada penuh perhatian.“Iya, jangan terlalu memaksakan diri di kantor,” tambah Agnes, menatap Aerline dengan pandangan serius.Aerline mengangguk kecil. “Aku akan lebih hati-hati. Terima kasih sudah peduli,” jawabnya tulus. Meski mencoba terdengar ringan, hatinya sedikit berat karena tahu mereka tidak mengetahui sepenuhnya apa yang ia alami belakangan ini.“Ngomong-ngomong, Leon nyariin kamu tadi pagi,”
Gisela sedang duduk di atas kursi roda, Joel mendorong kursi rodanya berjalan-jalan ke taman rumah sakit. “Kenapa sih, masih ngurusin aku? Kamu gak paham, seberapa susuahnya aku menahan diri untuk tidak terbawa perasaan dengan aktingmu itu.” keluh Gisela. Joel masih diam membisu di sana, dia hanya bisa menghela napasnya. “Mata-mata Ayahmu ada di mana-mana,” ucapnya. “Aku ingin kamu tahan sebentar saja, karena situasi ini pun tidak menyenangkan bagiku. Aku ingin memastikan orang-orang yang kucintai aman, maka aku tidak akan mengganggumu lagi,” ujar Joel berkata dengan kejamnya membuat Gisela terdiam, hatinya sakit bukan main mendengar perkataan kasar Joel di sana. Dia tahu, semua ini hanya akting saja, dia juga tahu kalau Joel tidak bersungguh-sungguh padanya. Tapi dengan bodohnya, dia masih tetap berharap dan terbawa perasaan oleh perhatian Joel yang tidak nyata itu. Gisela bodoh, saat berkenalan dengan Joel dan sikapnya yang kadang baik padanya
Dor! “Tidak!” Aerline terperanjat bangun dari tidurnya. Nafasnya terengah dan keringat sudah membanjiri seluruh tubuhnya. Dia melihat sekeliling ruangan, ternyata dia tertidur di sofa ruang tengah apartemennya. Cahaya matahari sudah menerobos masuk ke celah jendela apartemennya. “Ternyata hanya mimpi,” gumamnya masih mencoba mengatur napasnya yang terengah-engah.Aerline memegangi dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. Mimpi itu terasa begitu nyata, seperti dia benar-benar terperangkap dalam kegelapan yang menyesakkan. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat apa yang baru saja dialaminya dalam tidur.Gambaran teror yang menakutkan, sampai muncul sosok berjubah hitam yang ingin membunuhnya. Mimpi itu membawa rasa sakit yang sulit dijelaskan, seolah-olah itu adalah cerminan dari semua yang mungkin akan terjadi padanya.Aerline menghela napas panjang, lalu bangkit perlahan dari sofa. Dia berjalan ke dapur untuk meng