“Apa kamu pernah makan di sini sebelumnya?” tanya Leon.
Saat ini, Leon dan Aerline berada di sebuah restoran untuk makan siang bersama.
“Belum, sih. Karena aku belum sebulan bekerja di sini. Jadi belum mencoba kuliner di sekitaran sini. Aku hanya pernah mencoba makan di restoran yang ada di seberang kantor.”
Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan memberikan dua buku menu ke arah mereka berdua.
“Menu makanan di sini semuanya enak. Kamu pasti akan suka,” ucap Leon.
Aerline hanya tersenyum kecil. Sebenarnya dia sedang tidak bersemangat setelah melihat Joel bersama wanita lain tadi.
Aerline mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi. Dia membuka buku menu sambil dalam hati berharap menemukan sesuatu yang bisa menghibur hatinya.
“Hmm, ada banyak pilihan di sini ya,” ucapnya, berpura-pura memperhatikan menu dengan serius.
Leon tersenyum dan melihat ke arah Aerline. “Kalau kamu suka makanan pedas, aku rekomendasikan spaghetti aglio e olio di sini. Rasanya benar-benar luar biasa.”
Aerline mengangguk, meski pikiran masih melayang-layang tentang Joel. “Kedengarannya enak. Aku akan coba itu,” jawabnya, berusaha untuk bersikap ringan.
Pelayan datang menghampiri mereka. “Selamat siang, apakah sudah siap untuk memesan?” tanyanya dengan ramah.
“Ya, saya pesan spaghetti aglio e olio,” kata Aerline.
Dan Leon melanjutkan, “Saya akan pesan steak medium rare, terima kasih.”
Pelayan mencatat pesanan mereka dan pergi. Leon menatap Aerline sejenak, memperhatikan ekspresi wajahnya. “Kamu baik-baik saja? Sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu,” ujarnya dengan lembut.
Aerline menghela napas sepertinya mempertimbangkan untuk berbagi perasaannya. “Sebenarnya, aku baru saja melihat… seseorang yang membuatku sedikit tidak nyaman,” jawabnya, suara pelan.
Leon mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, menunjukkan ketertarikan. “Siapa? Kalau boleh tahu.”
Aerline menggeleng perlahan, “Tidak usah dibahas. Mungkin aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan semuanya.”
“Baiklah, kalau begitu. Tapi ingat, kamu bisa berbagi kapan saja. Kadang, berbicara tentang itu bisa membantu,” balas Leon, memberi dukungan.
“Terima kasih, Leon.” Aerline tersenyum manis sambil menatap keluar jendela restoran.
“Oh iya, katanya akan ada acara reuni dalam waktu dekat. Kamu sudah dengar?” tanya Leon.
“Reuni? Nggak, sih. Aku belum mendengar hal itu,” jawab Aerline.
Leon menyandarkan punggungnya, tampak antusias. “Ya, sepertinya panitianya sedang mengumpulkan daftar nama untuk mengundang teman-teman lama. Mereka berencana mengadakan acara di akhir bulan ini.”
Aerline menatap Leon dengan rasa ingin tahu. “Kamu akan pergi?” tanyanya, berharap dapat melupakan masalah yang mengganggu pikirannya.
“Diajak sih, tapi aku masih ragu. Sudah cukup lama sejak terakhir kali aku bertemu dengan banyak teman lama,” jawab Leon, menyunggingkan senyuman. “Tapi, kalau kamu ikut, mungkin aku juga akan lebih semangat.”
Aerline merasa sedikit terkejut. “Maksudmu, kamu ingin aku ikut? Padahal aku baru tahu tentang acara ini,” ujarnya.
“Ya, kenapa tidak? Aku rasa kamu akan bertemu banyak teman lama, dan dengan teman di sampingmu, acara akan terasa lebih menyenangkan, bukan? ” ucap Leon tulus diselingi lelehan kecil.
Aerline memikirkan tawaran itu sejenak. Dia memang merasa agak canggung menghadiri acara seperti itu, terutama dengan keadaannya sekarang. Namun, kata-kata Leon membuatnya merasa ingin mencoba. “Mungkin aku bisa mempertimbangkannya. Siapa tahu bisa menjadi kesempatan baik untuk berkenalan dengan orang-orang.”
“Betul! Jadi, bagaimana kalau kita cari tahu lebih lanjut tentang acara ini bersama-sama? Kita bisa ngobrol dengan panitianya,” ajak Leon dengan semangat.
Aerline mengangguk, sedikit tersenyum. “Oke, itu terdengar seperti rencana yang bagus. Terima kasih sudah mengajak, Leon.”
Saat pelayan kembali dengan hidangan mereka, Aerline merasa suasana mulai membaik. Dia menyadari bahwa meskipun ada hal-hal yang mengganggu pikirannya, ada juga kesempatan untuk melangkah maju dan menemukan hal-hal baru yang menyenangkan.
***
Aerline kembali ke kantor setelah makan siang bersama Leon dan mereka berpisah di lift.
Aerline sampai di mejanya dan mendaratkan bokongnya di kursi. Tatapan matanya tertuju ke ruangan Joel yang sepi tak ada siapa pun.
“Eh, kamu baru kembali dari makan siang, Lin?” tanya Maya yang baru keluar dari area pantry.
“Iya,” jawab Aerline.
“Tadi tuan Joel berpesan kalau dia tidak akan kembali ke kantor. Setelah menyelesaikan pekerjaanmu, kamu bisa pulang,” ucapnya.
“Oh ya, terima kasih untuk informasinya, Maya.”
Maya pun berlalu pergi dan kini Aerline termenung seorang diri. Apa Joel pergi bersama wanita bernama Grasella itu. Ke mana mereka pergi dan apa yang sedang mereka lakukan?
Aerline menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran negatif yang menghantuinya. Meskipun dia tahu bahwa dia seharusnya tidak mempermasalahkan urusan pribadi Joel, perasaannya tetap tidak bisa dia kendalikan. Dia mengalihkan perhatian dengan melihat tumpukan dokumen di meja.
Kepala Aerline berputar, berusaha untuk fokus menyelesaikan pekerjaan. Namun, pikirannya terus kembali ke wajah Joel dan momen-momen yang pernah mereka habiskan bersama. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengambil pena, berusaha mencatat beberapa catatan untuk laporan yang harus diselesaikan.
“Kenapa harus terjebak dalam pikiran seperti ini?” gumamnya pelan pada dirinya sendiri.
Setelah beberapa saat, Aerline memutuskan untuk mengambil jeda sejenak. Dia berdiri dari kursinya dan menuju jendela, melihat pemandangan kota di luar. Cairan biru dari langit yang cerah seolah mengundangnya untuk keluar dan menghirup udara segar. Namun, hatinya tetap berat.
Tidak lama setelah itu, Maya kembali dengan secangkir kopi di tangan. “Apa kamu baik-baik saja, Lin? Kamu terlihat sedikit murung,” tanya Maya sambil menatap Aerline.
“Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah dengan pekerjaan,” jawab Aerline, menciptakan senyuman palsu.
Maya mengangguk, meski tampak ragu. “Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, aku di sini, ya. Kadang, berbagi itu bisa membantu.”
“Terima kasih, Maya. Sungguh, aku menghargainya,” ucap Aerline, berusaha menggenggam semangat dari temannya.
Setelah Maya pergi, Aerline kembali ke mejanya. Meski hatinya berat, dia bertekad untuk fokus menyelesaikan pekerjaannya. Dia ingat obrolan dengan Leon tentang reuni, dan hatinya kembali bergetar, berharap acara tersebut bisa menjadi saluran baru untuk mengalihkan perasaan dan menemukan kembali kebahagiaan.
Dengan langkah mantap, Aerline mulai mengetik, berusaha menghentikan bayangan Joel dan Grasella yang menghantui pikirannya. Dia tahu bahwa terkadang, yang harus dilakukan adalah fokus pada dirinya sendiri dan menemukan kebahagiaan sendiri, terlepas dari apa pun yang terjadi di sekitar.
***
Aerline meninggalkan kantor tepat pukul lima sore. Kebetulan sekali dia membawa motornya, dia akan segera pulang dan mengambil jalan tikus untuk bisa segera sampai di apartemen.
Aerline menghidupkan mesin motor dan melesat keluar dari area parkir kantor. Jalan tikus yang dia pilih biasanya sepi dan nyaman, memungkinkan dia untuk merenungkan pikirannya tanpa gangguan. Angin yang berhembus menyegarkan wajahnya, membawa aroma dedaunan dan tanah basah, membantunya sedikit melupakan kegundahan yang masih menghantuinya.
Saat meluncur di jalanan yang lebih sepi, Aerline merasakan ketenangan yang mulai mengisi hatinya. Meski Joel dan wanita itu masih terbayang, dia berusaha meyakinkan diri bahwa hidupnya tidak tergantung pada satu orang. Perlahan, dia mulai merencanakan apa yang akan dilakukannya setelah kembali ke apartemen. Mungkin menonton film atau memasak makanan favorit untuk menghibur diri.
Setiba di apartemen, Aerline memarkir motornya dengan cepat dan memasuki rumah dengan sedikit semangat. Dia mengambil napas dalam-dalam dan melepas helmnya, lalu menyalakan lampu. Apartemennya terasa hangat dan nyaman. Ia berjalan ke dapur untuk melihat bahan makanan yang ada.
“Hmm, sepertinya aku bisa membuat spaghetti aglio e olio, ya. Mungkin itu bisa menjadi cara untuk menghargai rekomendasi Leon,” pikirnya sambil tersenyum.
Sambil menunggu air mendidih, Aerline mencuri kesempatan untuk memeriksa ponsel. Bukannya melihat pesan dari Joel yang tak kunjung datang, dia malah membuka grup reuni yang disebutkan Leon. Beberapa teman lama mulai mendiskusikan siapa yang akan hadir dan bagaimana mereka akan mengatur acara itu.
Aerline merasa bersemangat. Terlibat dalam perencanaan reuni bisa membantunya menemukan suasana hati yang lebih baik. Dia pun ikut berkomentar, menyemangati teman-temannya untuk mempersiapkan acara yang menyenangkan.
Setelah selesai memasak, dia duduk di meja makan, menikmati spaghetti yang baru saja dia buat sambil menonton drama di televisi. Sesekali, dia tertawa dan terlibat dalam alur cerita, melupakan sejenak ketidakpastian yang mengisi pikirannya.
Satu menit demi satu menit berlalu, dan meskipun dia masih memiliki beberapa pertanyaan tentang Joel, Aerline berusaha untuk fokus pada dirinya sendiri. Dia tahu bahwa kebahagiaannya adalah miliknya untuk diciptakan, bukan tergantung pada orang lain.
“Bahkan sampai jam segini pun, tidak ada pesan darinya,” gumam Aerline yang termenung di atas sofa yang ada di apartemennya. Wanita itu menatap ke luar jendela yang memperlihatkan suasana kota dengan gedung pencakar langit dan kerlap kerlip lampu di luar jendela apartemen yang indah. Tetapi, keindahan itu sama sekali tidak bisa menghibur hati Aerline yang terus overthinking. Aerline meneguk minuman soda kaleng yang mengandung kadar alkohol sedang. Pikirannya terus tertuju pada Joel, entah pergi ke mana pria itu Tanpa memberi kabar dan memberi pesan pada Aerline. Sebenarnya dia dan wanita itu pergi ke mana, sampai Joel tidak bisa memberikan kabar pada Aerline? Itulah yang terus pemikiran - pemikiran yang terus mengusik pikiran Aerline. Dia mencoba mengalihkan perhatian dari kekhawatiran yang terus menerus mengganggu pikirannya. Dia bangkit dari sofa, menyusuri apartemen yang di dekorasi minimalis, sebelum akhirnya menepuk-nepuk bukunya yang tergeletak di meja. Membaca adalah cara ter
“Uh, sial! Kenapa aku harus minum banyak sekali semalam. Pagi ini, kepalaku rasanya berputar tidak karuan,” keluh Aerline berjalan pelan memasuki lobi kantor.“Hei, Lin.” Sapaan itu membuat Aerline menoleh ke sumber suara. “Oh, Leon. Kamu baru datang?” tanya Aerline. “Ya. Kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali, apa kamu sakit?” tanya Leon hendak menyentuh kening Aerline, tetapi dengan cepat wanita itu menghindar. “Aku baik-baik saja,” jawab Aerline. “Sebenarnya karena semalam aku minum terlalu banyak.” Aerline hanya menunjukkan cengirannya. “Kenapa kamu mabuk saat hari kerja. Pasti akan terasa menyiksa, apalagi kamu harus bangun pagi dan pergi ke kantor,” ucap Leon. “Entahlah. Semalam aku hanya sedang ingin minum” jawabnya tersenyum kecil. Leon menggelengkan kepalanya, merasa prihatin sekaligus geli dengan sikap Aerline. “Kamu harus lebih bijak, Aerline. Mungkin sebaiknya kamu mencari cara lain untuk bersenang-senang yang tidak melibatkan alkohol,” sarannya.Aerline mengangkat bahu,
Aerline mengikuti Joel bersama Maya memasuki ruang meeting. Di dalam ruangan, semua orang sudah berkumpul, manager divisi hingga branch manager sudah ada di sana. Joel yang merupakan Direktur utama pun menduduki kursi kebesarannya, kemudian Aerline dan Maya yang merupakan sekretaris Joel, memilih duduk di samping Joel. Setelah semua peserta rapat hadir, BM membuka pertemuan dengan senyuman. "Selamat datang semuanya, terima kasih telah meluangkan waktu untuk berkumpul di sini. Hari ini kita akan membahas beberapa agenda penting terkait laporan per tiga bulan atau triwulan."Maya, yang selalu sigap, menyiapkan catatan dan alat presentasi. Aerline memandang sekeliling ruangan, menyadari bahwa setiap orang tampak antusias tetapi juga sedikit tegang. Dia tahu betapa pentingnya pertemuan ini untuk melihat perkembangan setiap divisi."Pertama-tama, mari kita tinjau hasil dari laporan sebelumnya," lanjut BM. "Saya ingin mendengar pendapat dari masing-masing divisi mengenai pencapaian dan tan
“Pesanlah apa pun yang kamu mau dan suka,” ucap Joel. Saat ini, Joel dan Aerline berada sebuah restoran mewah. Mereka sedang membaca dan melihat daftar menu yang tersedia di sana. “Hmm… Apa, ya?” gumam Aerline berpikir keras. Aerline terlihat bingung, matanya berkeliling membaca semua tulisan di buku menu yang penuh dengan pilihan lezat. Dia kemudian berpaling ke Joel, “Bagaimana kalau kita coba beberapa hidangan? Mungkin kamu bisa merekomendasikan sesuatu?” Joel tersenyum, “Tentu! Aku sangat merekomendasikan steak mereka. Dikenal sangat empuk dan dimasak dengan sempurna. Tapi kalau kamu suka makanan laut, udang panggang mereka juga luar biasa.”Aerline mengangguk, “Steak terdengar menggoda. Tapi aku juga penasaran dengan udang panggang. Mungkin kita bisa pesan keduanya dan berbagi?”“Okay! Kita bisa menambahkan beberapa hidangan pembuka juga. Bagaimana dengan sup krim jamur?” Joel menyarankan.Aerline terlihat semakin bersemangat, “Setuju! Ini akan menjadi makan siang yang luar
“Apa kamu sedang sibuk?” tanya Maya mendekati Aerline. “Tidak terlalu sih. Ada apa?” tanya Aerline. “Aku ingin minta bantuanmu untuk mencari beberapa berkas di ruang arsip. Apa kamu mau bantu?” tanyanya. “Baiklah,” jawab Aerline. Maya tersenyum lega. “Terima kasih, Aerline. Berkas-berkas itu penting, dan aku kesulitan mencarinya sendiri.”Mereka berdua berjalan menuju ruang arsip. Selama perjalanan, Maya menjelaskan jenis berkas yang mereka cari. “Itu berkas terkait proyek yang kita kerjakan bulan lalu. Aku butuh dokumen itu untuk presentasi minggu depan.”Setibanya di pintu ruang arsip, Aerline membuka pintu dan mereka melangkah masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi rak-rak berkas. “Wow, ini banyak sekali berkasnya. Dari mana kita mulai?” tanya Aerline sambil melihat sekeliling.“Kita bisa mulai dari rak sebelah kanan. Biasanya berkas proyek kita disimpan di sana,” jawab Maya. Aerline mengangguk dan mulai menarik berkas-berkas dari rak tersebut. Mereka membolak-balik dokumen, me
“Lin, ini beberapa berkas yang harus kamu pelajari untuk mendampingi Tuan Joel melakukan bisnis di luar kota,” ucap Maya menunjukkan email berisik dokumen yang sudah disiapkannya. Beberapa menit lalu, Joel mengadakan briefing bersama dengan tim sekretarisnya, karena ada perjalanan bisnis ke luar kota untuk meninjau proyek. Kepergiannya itu bisa memakan waktu tiga sampai lima hari, tergantung situasi di sana. Dan biasanya, Joel akan memilih Erdan yang merupakan sekretaris pria satu-satunya di sana untuk menemaninya kalau ada pekerjaan di luar kota. Tetapi, kali ini Joel memilih Aerline untuk menemaninya dengan alasan, bagian dari training Aerline yang merupakan karyawan baru. Semua orang memahami itu tanpa menaruh kecurigaan. Tetapi, Aerline mengerti alasan kenapa Joel ingin pergi bersamanya. Itu karena dia ingin berduaan dengan Aerline selama di sana. “Terima kasih, Maya,” jawab Aerline sambil membuka file dokumen tersebut. “Oh iya, apakah ada hal khusus yang perlu aku perhatikan?”
“Akhirnya sampai juga,” ucap Joel merenggangkan kedua tangan dan lehernya. Kemudian dia menoleh ke arah Aerline yang ternyata sudah terlelap di jok penumpang. “Ternyata dia tertidur, “ ujar Joel tersenyum melihatnya. Pria itu melepaskan sabuk pengamannya dan mencondongkan badannya ke arah Aerline. Ditatapnya wajah cantik Aerline dalam jarak dekat. Joel jadi teringat saat pertama dia bertemu dengan Aerline, saat gadis itu duduk di bangku SMP, dengan segala tingkahnya yang kekanakan dan ceria, berhasil mengusik perhatian Joel. Dan entah sejak kapan dia menyukainya hingga berani menyatakan perasaan dan mengajaknya untuk berpacaran saat Aerline masih duduk di bangku SMA. Sekarang, dia kembali menjadi wanitanya. Dan sejujurnya, hanya Aerline lah yang bisa menarik perhatian Joel yang terkenal pendiam dan begitu dingin pada wanita.“Apa yang kamu miliki, sampai membuatku bisa gila kalau tidak memilikimu, Arlyn,” bisk Joel merapikan anak rambut yang jatuh ke pelipisnya. “Semuanya terasa l
“Kamu sudah siap?” tanya Joel yang duduk di atas sofa dengan memainkan ponselnya. Saat melihat kedatangan Aerline yang memakai dress cantik di sana, dan wajah yang memakai makeup soft, membuatnya terlihat sederhana dan cantik. Untuk beberapa saat, Joel terpaku melihat penampilan Aerline yang tampak memikat.“Aku sudah siap,” jawab Aerline sambil merasa wajahnya bersemu merah karena malu, ditatap seperti itu oleh Joel. Senyum lembutnya menunjukkan perasaan bahagia meski sedikit canggung.“Kalau begitu, kita berangkat sekarang,” kata Joel. Ia bangkit dari posisi duduknya, kemudian mengulurkan tangannya pada Aerline dengan penuh percaya diri.Dengan senyuman yang terukir di bibirnya, wanita itu pun menyambut uluran tangan Joel. Tangan mereka bersatu, dan ada hangat yang mengalir di antara keduanya. Mereka berjalan bersama meninggalkan kamar, memasuki suasana malam yang penuh harapan.Mobil Joel terparkir di luar, menanti untuk membawa mereka menuju restoran yang telah mereka pilih. Mereka
“Jadi, Joelio sudah siuman?” tanya Garren saat menerima laporan langsung dari anak buahnya. “Benar, Tuan. Dan sepertinya, mereka tahu kalau kejadian kemarin itu ulah Anda,” tambahnya. “Kurang ajar! Rencana kita jadi kacau, kenapa bukan wanita itu saja yang tertembak dan mati!” keluh Garren merasa sangat kesal sekali di sana. “Dan sepertinya, Kainan Dirgantara, sedang menyiapkan sesuatu yang besar untuk melawan kita membantu Joelio,” jelasnya. Garren menatap pria di depannya dengan intens. “Apa saja yang orang suruhan kita lihat dari gerak gerik mereka?” tanya Garren. “Tidak ada laporan gerak-geriknya bagaimana. Hanya saja, dia meyakini kalau mereka sedang merencanakan sesuatu untuk melawan kita,” jelas pria itu.Garren menghela napas panjang, amarahnya semakin membara. "Mereka mulai berani menantangku, ya?" gumamnya dengan nada penuh kebencian. "Terutama bocah sialan bernama Joelio itu. Seharusnya dia mati saja kemarin."Pria di depann
“Jadi, apa menurutmu, cerita putri dan pangeran itu sangat cocok untuk di dongengkan padaku?” gurau Joel membuat Aerline tersenyum. “Ya, biasanya sang pangeran akan terbangun. Dan ternyata benar bangun, kan?” ucap Aerline di sana. “Putri terbangun karena dicium pangeran. Dan The beast bangun hingga berubah jadi manusia normal karena ciuman beauty,” ujar Joel. “Aku bahkan tidak menerima ciuman apa pun. Ck... malang sekali, padahal aku berharap sekali ada adegan ciuman saat kamu menyelesaikan dongengnya.” “Maaf, Tuan. Karena ekspektasimu berbeda jauh dengan realita,” ucap Aerline di sana.Joel pura-pura memasang wajah kecewa. "Jadi, aku cuma bisa bangun tanpa ciuman penyelamat? Begitu kejamnya dunia ini..."Aerline tertawa kecil, hatinya terasa hangat melihat Joel kembali dengan candaan khasnya. "Ya, dunia memang kejam, Tuan. Lagipula, siapa yang bilang kamu butuh ciuman untuk bangun?"Joel mengerucutkan bibirnya, berpura-pura kesal. "Hei, bukanka
“Dad!” Gisela memasuki ruangan milik Garren dengan sorot mata penuh kekesalan. “Oh, Gisel. Ada apa?” tanya Garren di sana. Menoleh ke arah Gisela dengan santai. “Kenapa Kyle dilarang masuk ke rumah ini?” tanya Gisela dengan tatapan penuh rasa kesal. “Kyle? Siapa dia?” tanya Garren. “Dad!” Gisela sedikit merajuk di sana karena kesal. Garren tertawa kecil di sana. “Oh, pria yang tidak jelas asal usulnya itu. Kenapa kamu harus bergaul dengan pria seperti itu, Gisel?” tanya Garren. “Dia pria yang baik, Dad. Dia temanku, biarkan dia masuk,” ucap Gisela. “No! tidak bisa, Gisela. Berhenti bergaul dengan pria tidak ada kejelasan itu. Kamu dan Joel memutuskan pernikahan, dan itu masih jadi perbincangan hangat di media, Darling. Kamu tidak boleh terkena skandal apa pun, Daddy ingin semua kesalahan ditimpakan pada Joelio, alasan kenapa pernikahan kalian dibatalkan,” ucap Garren. “Apa Dad mau menghancurkan r
“Oh, kamu sudah kembali, Lyman?” tanya Kaivan saat Lyman datang ke rumah sakit di mana Kaivan berada. “Ya, gimana Joel?” tanya Lyman. “Masih belum ada perubahan. Aerline masih menemaninya di ruang ICU,” jawab Kaivan. “Ada yang ingin aku katakan tentang penembakan itu. Kita bicara di ruangan Richard,” ucap Lyman. “Baiklah.” Kaivan memberi perintah pada bodyguard yang dibawanya untuk memastikan Aerline baik-baik saja. Dia masih khawatir, akan ada yang berusaha menyakiti adiknya.Kaivan menatap Lyman dengan tatapan serius, lalu mengangguk. "Ayo kita ke sana sekarang," katanya tanpa basa-basi. Mereka berjalan cepat menuju ruangan Richard yang terletak di lantai berbeda dari ICU.Setibanya di ruangan tersebut, Richard yang mengenakan jas Dokter menunggu mereka dengan wajah penuh tanda tanya. "Apa terjadi sesuatu dengan Joel?" tanyanya segera."Bukan soal itu," ujar Lyman sambil menutup pintu rapat. "Ini soal penembakan yang hampir merenggut
Angin berhembus dengan cukup kencang. Aerline menatap langit yang cukup mendung dan pepohonan di depannya. Wajahnya yang pucat dan sembab, dan matanya yang menunjukkan kelelahan yang tidak berujung. Ternyata menanti adalah hal yang paling menyebalkan. Setiap hari, hatinya tidak pernah merasa tenang, dan terus merasa cemas. Apa dia akan kembali padanya atau memang takdir menakdirkan mereka untuk berpisah. Entah, Aerline harus bagaimana lagi menguatkan keyakinannya di tengah keraguan yang menyerang hatinya. Apalagi melihat kondisi Joel yang masih tidak menunjukkan perkembangan.Aerline menghela napas panjang, mencoba meredakan beban yang menghimpit dadanya. Angin yang berhembus kencang menggoyangkan ranting-ranting pohon, seolah menggambarkan kegelisahan hatinya yang terus bergemuruh. Langit yang kelabu semakin mempertegas kekosongan yang ia rasakan.Dia memeluk dirinya sendiri, merasakan dinginnya udara yang menusuk kulitnya. Matanya yang sembab menatap tanpa fokus,
Aerline mengenakan pakaian steril yang diberikan oleh perawat, tangannya sedikit gemetar saat menyesuaikan masker di wajahnya. Dengan langkah pelan namun penuh tekad, dia memasuki ruang ICU yang dipenuhi suara mesin medis yang monoton namun menenangkan.Di sana, Joel terbaring lemah di atas tempat tidur dengan berbagai alat medis yang terhubung ke tubuhnya. Wajahnya pucat, namun masih menunjukkan ketampanan yang selalu membuat Aerline jatuh cinta. Hatinya terasa perih melihat pria yang begitu ia cintai berada dalam kondisi seperti ini.Aerline mendekat, menarik kursi dan duduk di samping Joel. Tangannya yang gemetar menyentuh jemari Joel yang terasa dingin di bawah kulitnya. "Joel..." bisiknya lirih. Air matanya jatuh, namun dia segera menghapusnya dengan punggung tangan."Aku di sini... kumohon bertahanlah," ucapnya pelan. "Kalau kamu dengar aku, bangunlah. Aku janji nggak akan lari lagi. Kita akan coba semuanya dari awal... asal kamu tetap di sini."Aerline menggenggam tangan Joel e
“Bagaimana kondisinya, Bang Richard?” tanya Aerline langsung menghampiri Richard yang baru saja keluar ruang operasi. “Perluru di tubuhnya sudah berhasil dikeluarkan dan pendarahan yang terjadipun sudah berhasil di tangani. Tetapi, karena terlalu banyak kehilangan darah, kondisinya masih belum stabil dan masih kritis. Kami akan membawa pasien ke ruang ICU,” jelas Richard di sana.Aerline menelan ludah dengan berat, mencoba menahan emosinya yang hampir meledak. “K-kritiskah?” tanyanya dengan suara bergetar, matanya yang merah menatap penuh harap pada Richard.Richard mengangguk perlahan. “Iya, tetapi kita sudah melewati tahap paling genting di ruang operasi. Sekarang tinggal bagaimana tubuh Joel merespons perawatan berikutnya di ICU.” Kaivan yang berada di samping Aerline, meremas bahu adiknya dengan lembut untuk memberinya kekuatan. “Kamu dengar sendiri, Lin? Operasinya berhasil. Itu langkah besar,” ucapnya mencoba menenangkan Aerline.Namun, Aerline masih sulit m
“Joel, bertahanlah, kumohon... “ Aerline terus memegang tangan Joel yang saat ini berada di atas brankar rumah sakit. Para perawat berjalan cepat sambil mendorong brankar yang ditempati Joel, tangan Aerline yang penuh dengan darah, tidak kunjung terlepas dari tangan Joel. “Kumohon bertahanlah, Joel. Jangan tinggalkan aku,” isaknya.Aerline tak bisa menghentikan tangisnya, suara isakan yang keluar dari tenggorokannya begitu dalam dan penuh penderitaan. Semua yang ada di sekelilingnya seolah menghilang, hanya ada Joel, dan ia ingin sekali menyelamatkannya, meski ia tahu ini adalah hal yang di luar kekuatannya.Mereka sampai di ruang gawat darurat, dan para dokter segera bergerak cepat, memindahkan Joel ke meja perawatan. Aerline dipaksa untuk mundur, namun tangannya tetap terulur, berharap ada sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan Joel, yang kini terbaring lemah.Seorang dokter mendekat, mencoba menenangkan Aerline. “Coba tenang, Nona. Kami akan melakuk
“Pak, apa ini masih lama?” tanya Aerline begitu gelisah sambil melihat jam tangan di pergelangan tangannya. Ya, sejak kemarin dia terus merasa bimbang, sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemui Joel dan bicara kembali. Ini adalah kesempatan terakhir dari Aerline untuk perasaannya sendiri. Kalau, sekarang situasi kembali seperti sebelumnya, dia memutuskan untuk menyerah walau sebenarnya hatinya masih begitu keras kepala dan ingin terus bersama Joel. “Sepertinya ada perbaikan jalan di depan sana,” ucap sopir taksi. Aerline menyesal karena tidak memakai ojeg online. “Kalau begitu saya turun di sini saja, Pak,” ucap Aerline. “Saya tahu jalan alternatif, Bu. Kalau buru-buru, saya akan coba ambil jalan itu,” ucapnya. “Boleh, Pak, terima kasih.”Aerline membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel, mengetikkan pesan singkat kepada Lyman untuk memberi tahu bahwa dia akan segera menuju bandara. Rasanya berat sekali, tetapi dia tahu ini a