ZAIN MEMBUAT ULAH LAGI"Bu, mbok ya sekali ini sebagai orang tua seyogyanya harus pula menerima kenyataan bahwa anak- anak Ibu ini pun sudah menikah dan punya tanggung jawab sendiri dalam keluarganya. Hingga, kalaupun tanda bakti sudah mengakar, janganlah ngotot ingin diprioritaskan oleh anak-menantunya semisal minta ini-itu yang harganya diluar jangkauan kemampuan anak-menantu, Bu," pinta Mbak Alif."Assalamualaikum!" teriak seseorang lelaki dari luar."Waalaikumsalam," jawab Bu Nafis dan Mbak Alif bersamaan.Mereka semua menoleh ke arah pintu yang memang tak di tutup oleh Dinda tadi. Nampak seorang lelaki masuk ke dalam rumah dengan wajah muram dan rambut acak- acakan. Dia mengusap wajahnya kasar berkali- kali. Lelaki itu tak lain ternyata yang datang itu adalah Mas Zain."Lah Zain datang, Ibu undang kah?" tanya Mbak Alif. Bu Nafis menggelengkan kepalanya lemah."Ck! lihat wajahnya susah seperti itu. Sepertinya dia memang membuat ulah. Apalagi sekarang ulahnya," keluh Bu Nafis.En
SATU KANDUNGAN BEDA SPERMA!"Iya bukan rumah Ibu. Aku selalu menggadaikan sertifikat rumah milik keluarga Eva," jelas Zain."Gila!" bentak bu Nafis."Wahhh! Kau ini benar- benar edan! Edan," gumam Bu Nafis sambil memegang dadanya."Zain kali ini kau kelewatan. Kau kebacut! Jelas sungguh perilakumu di luar nalarku. Ini tak bisa dibiarkan lagi, Bu. Sudah! Inilah akibatnya jika Ibu terus- terusan membela Zain. Lihat, Bu! Ngelamak! Nngelunjak," bentak Mbak Alif."Bukankah dari awal Alif sudah bilang, Bu? Jangan tolong Zain, jangan tolong dia. Biarkan dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Biarkan dia berpikir dengan nalarnya. Ini kelewatan, orang hutang itu Ibarat orang yang kehausan, sedangkan orang yang menghutanginya itu ibaratnya memberikan minum dengan air laut! Apa yang terjadi?" tanya Mbak Alif."Jika Ibu berpikir dengan menolong Zain melunasi semua hutangnya akan membantu dia berubah, Ibu salah. Justru dia tak tahu diri. Sekali Ibu menolong masih oke, kedua kali ibu menolong aku ma
IDE BUSUK BU NAFIS!"Jiwa bisnisnya sama seperti Bapaknya. Hanya saja dia bodoh tak licik seperti Bapaknya," batin Bu Nafis sambil memandang Zain."Baiklah, Ibu tanya dulu beberapa jumlah hutangnya?" tanya Bu Nafis."Lima puluh juta, Bu," jawab Zain lirih."Astagfirullah! Gila kau, mengapa kau mengambil hutang bank begitu banyak sekali? Dari mana aku dapat uang sebanyak itu?" tanya Bu Nafis."Bu, sudah. Tak usah bertanya lo! Sudahlah Ibu tak usah di pikirkan dalam- dalam. Ini semua masalah Zain biar dia yang berpikir. Kenapa Ibu yang bingung," tegur Alif."Ck! Kau itu bagaimana aku tak mikir to, Lif. Kau mau adikmu yang memikirkan itu? Apakah kau tak punya otak juga, Lif? Kau pikir dari mana adikmu bisa mendapatkan uang lima puluh juta, wong uang lima puluh ribu saja tak pastikan tidak ada di dompetnya apalagi kok sampai lima puluh juta," sahut Bu Nafis menghina."Sek to, sebenarnya kau habiskan untuk apa saja semua uang itu?" selidik bu Nafis."Tidak Zain habiskan semua, Bu. Aku hany
RAYUAN MAUT BU NAFIS"Ada apa, Dek?" tanya Pak Hendi sambil duduk di depan Bu Nafis."Anakku terkena musibah, Mas," jawab Bu Nafis."Anakmu atau anak kita?" tanya Pak Hendi."Anak kita," jawab Bu Nafis."Ck, aku tak mengerti mengapa dia sungguh berbeda dengan diriku dan dirimu, Dek," ucap Pak Hendi."Kau salah, Mas. Dia sebenarnya sama sepertimu, ingin berbisnis namun selalu gagal dan bangkrut. Apalagi aku tak bisa mendidiknya bisnis, seperti yang kau tahu aku juga bukan pebisnis apalagi almarhum Abah, dia juga bukan seorang pebisnis juga toh," sanggah Bu Nafis."Lalu apa yang bisa aku lakukan sekarang? Aku tak mungkin kan meminjamimu uang begitu saja tanpa ada jaminan," ucap Pak Hendi."Apakah kau tega begitu padaku, Mas?" tanya Bu Nafis sambil memelaskan mukanya."Loh, bukankah kau yang meminta begitu? Kau tahu jawabannya, Nafis. Aku sudah mengajakmu menikah berkali-kali tapi kenapa kau selalu menolak. Aku yang sebenarnya heran denganmu. Apakah ada lelaki lain selain diriku?" selidi
DEAL!'Glek' Bu Nafis menelan ludahnya kasar. Dia harus bisa untuk mengeles dan meyakinkan Pak Hendi agar dia tak harus berjanji apalagi membuat perjanjian tanda tangan diatas materai."Dek," panggil Pak Hendi."Ah iya, Mas. Wes gampanglah nanti. Mosok sampean tak percaya padaku?" tanya Bu Nafis."Benar ya, kapan kau butuh uangnya?" tanya Pak Hendi."Secepatnya, Mas. Ya, kalau bisa besok sih, Mas. Aku tak ingin menunda-nunda waktu lagi,"jawab Bu Nafis."Bukankah kau harusnya ikut ke Kediri juga, Dek?" ujar Pak Hendi memakan makanan yang sudah di pesan Bu Nafis.Memang Bu Nafis memiliki kebiasaan hanya hobi memesan dan foto- foto saja. Dia hanya mengicip sedikit dan membiarkan Pak Hendis menghabiskannya. Bu Nagis menatap Pak Hendi dengan tatapan berkaca- kaca."Bukankah lebih baik begitu, Mas? Atau kau memiliki usul lain? Aku butuh dirimu, Mas. Aku butuh sandaran," ujar Bu Nafis."Benar, Dek. Menuruku lebih baiik kau sendiri yang bawa uangnya
KECURIGAAN HASAN!"San," panggil Pak Hendi. Hasan menoleh."Aku hanya ingin membantu keluargamu tanpa harus ada yang di jaminkan. Agar sama- sama enak," sambungnya."Apa maksudnya?" tanya Hasan sambil mengernyitkan keningnya heran.Hasan hanya tersenyum dan berlalu pergi karena tak ingin berbasa basi lebih banyak lagi. Sepanjang jalan ke rumah yang tak seberapa jauh itu, Hasan terus memikirkan ucapan Pak Hendi tadi. Hasan mengusap wajahnya kasar, dia mencoba berpikir positif tak mungkin ibunya aneh- aneh, lagi pula apa yang mau di jaminkan di rumah."Assalamualaikum," sapa Hasan masuk dalam rumah."Waalaikum salam," sahut semua orang. Nampak Bu Nafis dan Zain duduk berdua di meja makan."San," panggil Bu Nafis."Duduk sini, Le," perintahnya. Hasan pun duduk di samping Bu Nafis berhadapan dengan Mas Zain."Ada apa, Bu?" tanya Hasan."Besok Ibu ingin pergi ke Kediri," ucap Bu Nafis. Hasan terhenyak."Mbok ya jangan mendadak to, Bu. Has
EGOISTapi di sisi lain dia juga tak bisa berbohong dengan suaminya, bagaimanapun juga suaminya berhak tahu. Kalau ada apa-apa dengan dirinya nanti suaminya lah yang bisa diandalkan. Hasan bingung melihat Dinda tak bersemangat."Kenapa kau terdiam?" tanya Hasan."Ya begitulah Mas. Aku bingung harus menjelaskannya bagaimana. Memang alhamdulillahnya bayi kita sudah banyak berkembang meskipun perkembangannya sangat lambat," ujar Dinda."Alhamdulillah kalau begitu, Dek. Jaga baik- baik ya," pinta Hasan."Tapi ada sedikit masalahnya, Mas," jawab Dinda."Masalah? Masalah apa itu?" tanya Hasan."Kita tak tahu juga, karena kata dokter nanti harus USG seminggu sekali, Mas. Ini untuk membantu memantau perkembangannya," jelas Dinda."Maksudnya?" tanya Hasan."Ya kan kategorinya berkembangnya lambat, Mas. Jadi harus di pantau terus sebagaimana mestinya atau tidak berkembangnya. Kalau memang tidak maka dokter menyarankan untuk dikuret rasa saja. Apalagi ada komplikasi darah tinggi...""Akibat kel
KETAKUTAN ZAIN!"Jelas. Kenapa? Kau ingin marah? Kau tak terima? Tak masalah. Ayo kita kembalikan uang ini sekarang juga pada Pak Hendi, tapi ku pastikan kau dan istrimu akan bercerai. Aku yakin dan jamin, Eva tak akan mau memaafkanmu kali ini. Memang kau mau?" ancam Bu Nafis."Ya Allah maafkan aku, sebenarnya aku tak ingin egois seperti ini. Namun sungguh kali ini tak ada pilihan lain," batin Zain dalam hati."Tapi Bu, apakah Pak Hendi benar- benar meminjamkan uang ini secara cuma- cuma? Bukankah Ibu harusnya takut dengan kebaikannya? Apalagi Ibu tidak mau kan menerima pinangannya?" cerca Zain."Aku menggadaikan mobil Dinda," jawab Bu Nafis lirih."Astagfirullah!" pekik Zain kaget."Apakah Ibu berpikir jauh sebelum melakukannya? Bagaimana nanti jika Dinda tahu, Bu? Apalagi kalau Hasan tahu juga. Aku yakin Ibu pasti tak akan meminta timbangan Hasan kan? Ya Allah, Bu! Bisa- bisa kalau Hasan tahu dia akan tambah marah, kalau aku bertemu dengannya aku akan di bunuh olehnya," kata Zain pa