MENCARI BANGKAI YANG TERSEMBUNYI"Dek, sebenarnya Mas Zain itu sedang terlibat masalah yang cukup rumit loh," ujar Mbak Alif."Masalah cukup rumit? Maksudnya apa toh, Mbak?" tanya Hasan yang masih tak paham."Dia memang tak bisa berubah. Dia berulah lagi...""Berhutang?" tebak Hasan murka memotong pembicaraan Mbak Alif.'Glek' Mbak Alif menelan ludah nya kasar. Belum sampai dia menyampaikannya nampak Hasan sudah tersulut emosi. Tangannya langsung mengepal, namun Dinda segera mengulurkan segelas air padanya."Minum dulu, Mas. Jangan emosi," pinta Dinda."Bener, San. Jangan emosi begitu, aku langsung takut melihatmu begitu," ucap Mbak Alif."Begini lo, San. Kau jangan marah kali ini bukan sertifikat rumah kita kok," sambungnya."Lalu apa, Mbak?" tanya Hasan mulai luluh."Ya, jatuhnya lebih bahaya kali ini," gumam nya lirih."Lebih bahaya? Bahaya bagaimana, Mbak?" selidik Hasan."La bagaimana tak lebih bahaya, bukan sertifikat Ibu atau harta kita yang di jaminkan. Tapi yang di hutangkan
KECURIGAAN MASALAH PERTEMUAN DAN UANG!Hasan hanya tersenyum melihat istrinya yang sangat bersemangat bercerita tentang hari ini. Dia nampak bahagia, padahal sebenarnya Dinda mengkode sang suami untuk memiliki rumah sendiri. Namun rupanya Hasan tak peka juga."Kapan yo, Mas? Kapan kita bisa memiliki rumah sendiri?" tanya Dinda. Hasan mendongakkan kepalanya, melihat Dinda."Hasan hanya tersenyum melihat istrinya yang sangat bersemangat bercerita tentang hari ini. Dia nampak bahagia, padahal sebenarnya Dinda mengkode sang suami untuk memiliki rumah sendiri. Namun rupanya Hasan tak peka juga."Kapan yo, Mas? Kapan kita bisa memiliki rumah sendiri?" tanya Dinda. Hasan mendongakkan kepalanya, melihat Dinda."Kenapa kau menatapku seperti itu, Mas? Apakah ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Dinda dengan wajah polosnya."Tidak ada yang salah dengan semua ucapan dan keinginanmu, Mas. Doakan Mas ya, doakan agar kita bisa segera mendapatkan rumah itu. Doakan agar semua pekerjaan Mas lancar j
APA JAMINANNYA, PAK?"Pak Hendi," panggil Hasan."Ya, Nak," sahut Pak Hendi."Apakah Bapak tahu sesuatu masalah uang tiga puluh juta?" tanya Hasan menatap Pak Hendi tajam."Saya lebih menghargai jika Pak Hendi jujur dan saya harap Bapak juga jujur dengan pertanyaan saya ini," minta Hasan."Wahh, sepertinya ini akan membahas hal yang serius sekali," kata Pak Hendi membenarkan posisi duduknya karena merasa tak nyaman.Tak lama kemudian Laras keluar sambil membawa dua gelas kopi minum. Dia tersenyum ramah pada Hasan dan Papa nya. Mengulurkan dua gelas kopi di meja dengan setoples makanan ringan."Monggi di minum dulu, Mas," perintah Laras."Terima kasih ya, Laras. Kau sungguh baik sekali! Beruntung nanti yang akan jadi suamimu," puji Hasan membuat Laras tersenyum salah tingkah."Bermainlah ke rumahku, Laras. Kenapa sih kau tak pernah bermain lagi dengan Ifah? Padahal kalian dulu sering bermain bersama sampai kayak anak kembar begitu. Eh sekarang pas dewasa sudah punya hidup sendiri- sen
TITIK SABAR HASAN!"Bayangkana dia sampai rela berkorban seperti itu demi anak-anaknya. Demi Mas Zain mu itu, kakakmu lelaki. Jadi kau jangan salah paham yo, San. Jangan marah pada Ibumu, wajar saja ibumu melakukannya karena kepepet," lanjutnya."Lalu apa yang menjadi jaminannya, Pak?" tanya Hasan.Pak Hendi pun langsung terdiam. Hasan benar- benar di titik frustasi sekarang, dia mengusap wajahnya kasar. Dia sekarang berpikir keras memaksa otaknya menduga barang berharga apalagi yang ada di rumah mereka yang dapat di jadikan untuk jaminan dengan nilai yang setara. Hasan terdiam."Maafkan aku, Hasan. Aku sungguh tak bisa mengatakannya padamu. Coba lah kau tebak lagi," perintah Pak Hendi yang kasihan melihat Hasan mulai frustasi. Hasan terdiam lagi, rasanya tak ada yang bisa di jaminkan. "Masih ada satu yang kau lewati mungkin, Hasan. Coba ingat lagi, ya itulah yang dijaminkan ibumu," ujar Pak Hendi.Hasan langsung terdiam, pantas saja sebelum ibunya berangkat ke Kediri dia mengataka
HANYA KALIAN YANG SAYANG IFAH"Hasan, istigfar! Ayok eling," perintah Pak Hendi."Mas kau kenapa? Kenapa kau seperti ini?" tanya Dinda sambil memeluk suaminya."Ayo Mas, minum dulu," perintah Ifah ikut panik sambil mengulurkan segelas air pada Hasan."Sabar Hasan," perintah Pak Hendi. "Mas ini ada apa, Pak? Ada apa?" tanya Dinda."Bajingann memang! Bangsaatt," gumam Hasan."San, Hasan. Hasan sabar, San! Eling- eling nyebut," perintah Pak Hendi."Sabar, Mas. Sabar, istighfar," perintah Dinda juga."Ck! Aku tak akan memaafkannya lagi," kata Hasan."Mas, istigfar. Aku sedang hamil loh," tegur Dinda.Hasan pun langsung terduduk terdiam. Dia memandang wajah Dinda, entahlah rasanya Hasan seperti tak punya muka saja sekarang berhadapan dengan istrinya sendiri. Hasan benar- benar tak bisa membayangkan, bagaimana jika Dinda tahu semuanya apa yang membuatnya marah. Pasti Dinda akan kecewa dan meminta pulang ke Kediri.Bahkan kemungkinan terburuknya mereka adalah perceraian dalam rumah tangga
MASA LALU KELAM MERTUAKU!Dinda tersenyum mendengar semua ucapan adiknya itu. Tak munafik dia juga sangat menyayangi Ifah, namun di sisi lain dia juga sangat realistis. Siapa yang tak ingin membina keluarga sendiri? Siapa yang memiliki rumah sendiri mengatur rumah tangganya bersama anak-anaknya."Kau ikut Mbak Dinda saja, bagaimana?" tanya Dinda."Ya tak mungkin dong, Mbak. Bagaimanapun juga kan kasihan Ibu nanti jika di rumah sendiri. Ya, meskipun Ibu selalu begitu, aku tak mau meninggalkannya sendiri," jawab Ifah."Semoga suatu saat ada jalan nya, Dek," kata Dinda. Ifah menganggukkan kepalanya.Di sisi lain teras rumah Bu Nafis, Pak Hendi mencoba menenangkan Hasan yang sedari tadi sudah tak bisa mengontrol emosinya. Berkali- kali dia mengelus lengan Hasan mencoba mengurangi emosi nya. Hasan menghela nafasnya panjang. "Sabar dulu, San. Sabar! Sebisa mungkin Bapak akan membantumu juga, Bapak di sini akan bersikap netral, mungkin Bapak memang tak sesempurna Abahmu, tetapi Bapak ingi
LELAKI ROYAL?"Pak apakah Bapak mau menjadi penengah kami Jujur saja? Pak, aku sangat malu kepada Dinda. Rasanya aku tak bisa berkata-kata lagi padanya, aku membutuhkan bapak untuk menengahi masalah ini. Kalau Bapak berkenan," pinta Hasan."Tak masalah, Nak. Menurutku justru itu keputusan yang makin baik. Ini harus di selesaikan semakin cepat bahkan semakin baik, aku juga akan memberikan nasehat untuk Dinda. Bagaimanapun juga kalian itu seperti anak- anakku sendiri, Dinda dan dirimu sangat baik kepada keluargaku, pada Laras. Bahkan istrimu juga tak pernah perhitungan kepada kami, saat acara tiga harian neneknya Laras, dia menyumbang makanan yang tak sedikit juga," jawab Pak Hendi."Terima kasih, Hasan. Terima kasih kau telah peduli pada keluargaku, apalagi selama aku bekerja dan merantau di Jakarta. Siapa lagi yang bisa di repotin oleh Laras? oleh almarhum istriku dan neneknya. Jika bukan keluargamu siapa lagi yang peduli pada kami? Mungkin saatnya ini aku membalas budi atas jasa kali
DIAM!"Pertama mungkin karena biasanya setahu Dinda jika seorang lelaki sudah mencintai wanita akan mengorbankan apapun untuk wanita yang dicintainya. Apalagi kalau hanya masalah uang yang bisa dicari lagi, tipikal lelaki royal. Biasanya lelaki akan memilih untuk memberikan cuma-cuma tanpa ada jaminan apapun, tapi biasanya itu terjadi setelah konteks pernikahan. Kalau tidak ada ikatan pernikahan mungkin saja, tapi rasanya juga sedikit berlebihan. Mengingat pak Hendi juga bukan seorang yang sangat mampu sampai harus memberikan uang nominal itu dengan cuma-cuma. Pak Hendi sendiri juga masih memiliki anak dan keluarga kan?" jawab Dinda."Betul, aku memang bisa memberikannya secara cuma-cuma jika status mertuamu adalah istriku. Tetapi kan di sini status mertuamu bukan istriku, tentu aku tak akan pernah meminjamkannya gratis. Iya nanti kalau aku pinjamkan, dia mau menjadi istriku. Kalau tidak, bukankah aku yang rugi nanti, Nduk," jelas Pak Hendi."Nah itu dia, Pak. Begitu maksud saya," sah