KECURIGAAN HASAN!
"San," panggil Pak Hendi. Hasan menoleh."Aku hanya ingin membantu keluargamu tanpa harus ada yang di jaminkan. Agar sama- sama enak," sambungnya."Apa maksudnya?" tanya Hasan sambil mengernyitkan keningnya heran. Hasan hanya tersenyum dan berlalu pergi karena tak ingin berbasa basi lebih banyak lagi. Sepanjang jalan ke rumah yang tak seberapa jauh itu, Hasan terus memikirkan ucapan Pak Hendi tadi. Hasan mengusap wajahnya kasar, dia mencoba berpikir positif tak mungkin ibunya aneh- aneh, lagi pula apa yang mau di jaminkan di rumah."Assalamualaikum," sapa Hasan masuk dalam rumah."Waalaikum salam," sahut semua orang. Nampak Bu Nafis dan Zain duduk berdua di meja makan."San," panggil Bu Nafis."Duduk sini, Le," perintahnya. Hasan pun duduk di samping Bu Nafis berhadapan dengan Mas Zain."Ada apa, Bu?" tanya Hasan."Besok Ibu ingin pergi ke Kediri," ucap Bu Nafis. Hasan terhenyak."Mbok ya jangan mendadak to, Bu. HasEGOISTapi di sisi lain dia juga tak bisa berbohong dengan suaminya, bagaimanapun juga suaminya berhak tahu. Kalau ada apa-apa dengan dirinya nanti suaminya lah yang bisa diandalkan. Hasan bingung melihat Dinda tak bersemangat."Kenapa kau terdiam?" tanya Hasan."Ya begitulah Mas. Aku bingung harus menjelaskannya bagaimana. Memang alhamdulillahnya bayi kita sudah banyak berkembang meskipun perkembangannya sangat lambat," ujar Dinda."Alhamdulillah kalau begitu, Dek. Jaga baik- baik ya," pinta Hasan."Tapi ada sedikit masalahnya, Mas," jawab Dinda."Masalah? Masalah apa itu?" tanya Hasan."Kita tak tahu juga, karena kata dokter nanti harus USG seminggu sekali, Mas. Ini untuk membantu memantau perkembangannya," jelas Dinda."Maksudnya?" tanya Hasan."Ya kan kategorinya berkembangnya lambat, Mas. Jadi harus di pantau terus sebagaimana mestinya atau tidak berkembangnya. Kalau memang tidak maka dokter menyarankan untuk dikuret rasa saja. Apalagi ada komplikasi darah tinggi...""Akibat kel
KETAKUTAN ZAIN!"Jelas. Kenapa? Kau ingin marah? Kau tak terima? Tak masalah. Ayo kita kembalikan uang ini sekarang juga pada Pak Hendi, tapi ku pastikan kau dan istrimu akan bercerai. Aku yakin dan jamin, Eva tak akan mau memaafkanmu kali ini. Memang kau mau?" ancam Bu Nafis."Ya Allah maafkan aku, sebenarnya aku tak ingin egois seperti ini. Namun sungguh kali ini tak ada pilihan lain," batin Zain dalam hati."Tapi Bu, apakah Pak Hendi benar- benar meminjamkan uang ini secara cuma- cuma? Bukankah Ibu harusnya takut dengan kebaikannya? Apalagi Ibu tidak mau kan menerima pinangannya?" cerca Zain."Aku menggadaikan mobil Dinda," jawab Bu Nafis lirih."Astagfirullah!" pekik Zain kaget."Apakah Ibu berpikir jauh sebelum melakukannya? Bagaimana nanti jika Dinda tahu, Bu? Apalagi kalau Hasan tahu juga. Aku yakin Ibu pasti tak akan meminta timbangan Hasan kan? Ya Allah, Bu! Bisa- bisa kalau Hasan tahu dia akan tambah marah, kalau aku bertemu dengannya aku akan di bunuh olehnya," kata Zain pa
MENCARI BANGKAI YANG TERSEMBUNYI"Dek, sebenarnya Mas Zain itu sedang terlibat masalah yang cukup rumit loh," ujar Mbak Alif."Masalah cukup rumit? Maksudnya apa toh, Mbak?" tanya Hasan yang masih tak paham."Dia memang tak bisa berubah. Dia berulah lagi...""Berhutang?" tebak Hasan murka memotong pembicaraan Mbak Alif.'Glek' Mbak Alif menelan ludah nya kasar. Belum sampai dia menyampaikannya nampak Hasan sudah tersulut emosi. Tangannya langsung mengepal, namun Dinda segera mengulurkan segelas air padanya."Minum dulu, Mas. Jangan emosi," pinta Dinda."Bener, San. Jangan emosi begitu, aku langsung takut melihatmu begitu," ucap Mbak Alif."Begini lo, San. Kau jangan marah kali ini bukan sertifikat rumah kita kok," sambungnya."Lalu apa, Mbak?" tanya Hasan mulai luluh."Ya, jatuhnya lebih bahaya kali ini," gumam nya lirih."Lebih bahaya? Bahaya bagaimana, Mbak?" selidik Hasan."La bagaimana tak lebih bahaya, bukan sertifikat Ibu atau harta kita yang di jaminkan. Tapi yang di hutangkan
KECURIGAAN MASALAH PERTEMUAN DAN UANG!Hasan hanya tersenyum melihat istrinya yang sangat bersemangat bercerita tentang hari ini. Dia nampak bahagia, padahal sebenarnya Dinda mengkode sang suami untuk memiliki rumah sendiri. Namun rupanya Hasan tak peka juga."Kapan yo, Mas? Kapan kita bisa memiliki rumah sendiri?" tanya Dinda. Hasan mendongakkan kepalanya, melihat Dinda."Hasan hanya tersenyum melihat istrinya yang sangat bersemangat bercerita tentang hari ini. Dia nampak bahagia, padahal sebenarnya Dinda mengkode sang suami untuk memiliki rumah sendiri. Namun rupanya Hasan tak peka juga."Kapan yo, Mas? Kapan kita bisa memiliki rumah sendiri?" tanya Dinda. Hasan mendongakkan kepalanya, melihat Dinda."Kenapa kau menatapku seperti itu, Mas? Apakah ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Dinda dengan wajah polosnya."Tidak ada yang salah dengan semua ucapan dan keinginanmu, Mas. Doakan Mas ya, doakan agar kita bisa segera mendapatkan rumah itu. Doakan agar semua pekerjaan Mas lancar j
APA JAMINANNYA, PAK?"Pak Hendi," panggil Hasan."Ya, Nak," sahut Pak Hendi."Apakah Bapak tahu sesuatu masalah uang tiga puluh juta?" tanya Hasan menatap Pak Hendi tajam."Saya lebih menghargai jika Pak Hendi jujur dan saya harap Bapak juga jujur dengan pertanyaan saya ini," minta Hasan."Wahh, sepertinya ini akan membahas hal yang serius sekali," kata Pak Hendi membenarkan posisi duduknya karena merasa tak nyaman.Tak lama kemudian Laras keluar sambil membawa dua gelas kopi minum. Dia tersenyum ramah pada Hasan dan Papa nya. Mengulurkan dua gelas kopi di meja dengan setoples makanan ringan."Monggi di minum dulu, Mas," perintah Laras."Terima kasih ya, Laras. Kau sungguh baik sekali! Beruntung nanti yang akan jadi suamimu," puji Hasan membuat Laras tersenyum salah tingkah."Bermainlah ke rumahku, Laras. Kenapa sih kau tak pernah bermain lagi dengan Ifah? Padahal kalian dulu sering bermain bersama sampai kayak anak kembar begitu. Eh sekarang pas dewasa sudah punya hidup sendiri- sen
TITIK SABAR HASAN!"Bayangkana dia sampai rela berkorban seperti itu demi anak-anaknya. Demi Mas Zain mu itu, kakakmu lelaki. Jadi kau jangan salah paham yo, San. Jangan marah pada Ibumu, wajar saja ibumu melakukannya karena kepepet," lanjutnya."Lalu apa yang menjadi jaminannya, Pak?" tanya Hasan.Pak Hendi pun langsung terdiam. Hasan benar- benar di titik frustasi sekarang, dia mengusap wajahnya kasar. Dia sekarang berpikir keras memaksa otaknya menduga barang berharga apalagi yang ada di rumah mereka yang dapat di jadikan untuk jaminan dengan nilai yang setara. Hasan terdiam."Maafkan aku, Hasan. Aku sungguh tak bisa mengatakannya padamu. Coba lah kau tebak lagi," perintah Pak Hendi yang kasihan melihat Hasan mulai frustasi. Hasan terdiam lagi, rasanya tak ada yang bisa di jaminkan. "Masih ada satu yang kau lewati mungkin, Hasan. Coba ingat lagi, ya itulah yang dijaminkan ibumu," ujar Pak Hendi.Hasan langsung terdiam, pantas saja sebelum ibunya berangkat ke Kediri dia mengataka
HANYA KALIAN YANG SAYANG IFAH"Hasan, istigfar! Ayok eling," perintah Pak Hendi."Mas kau kenapa? Kenapa kau seperti ini?" tanya Dinda sambil memeluk suaminya."Ayo Mas, minum dulu," perintah Ifah ikut panik sambil mengulurkan segelas air pada Hasan."Sabar Hasan," perintah Pak Hendi. "Mas ini ada apa, Pak? Ada apa?" tanya Dinda."Bajingann memang! Bangsaatt," gumam Hasan."San, Hasan. Hasan sabar, San! Eling- eling nyebut," perintah Pak Hendi."Sabar, Mas. Sabar, istighfar," perintah Dinda juga."Ck! Aku tak akan memaafkannya lagi," kata Hasan."Mas, istigfar. Aku sedang hamil loh," tegur Dinda.Hasan pun langsung terduduk terdiam. Dia memandang wajah Dinda, entahlah rasanya Hasan seperti tak punya muka saja sekarang berhadapan dengan istrinya sendiri. Hasan benar- benar tak bisa membayangkan, bagaimana jika Dinda tahu semuanya apa yang membuatnya marah. Pasti Dinda akan kecewa dan meminta pulang ke Kediri.Bahkan kemungkinan terburuknya mereka adalah perceraian dalam rumah tangga
MASA LALU KELAM MERTUAKU!Dinda tersenyum mendengar semua ucapan adiknya itu. Tak munafik dia juga sangat menyayangi Ifah, namun di sisi lain dia juga sangat realistis. Siapa yang tak ingin membina keluarga sendiri? Siapa yang memiliki rumah sendiri mengatur rumah tangganya bersama anak-anaknya."Kau ikut Mbak Dinda saja, bagaimana?" tanya Dinda."Ya tak mungkin dong, Mbak. Bagaimanapun juga kan kasihan Ibu nanti jika di rumah sendiri. Ya, meskipun Ibu selalu begitu, aku tak mau meninggalkannya sendiri," jawab Ifah."Semoga suatu saat ada jalan nya, Dek," kata Dinda. Ifah menganggukkan kepalanya.Di sisi lain teras rumah Bu Nafis, Pak Hendi mencoba menenangkan Hasan yang sedari tadi sudah tak bisa mengontrol emosinya. Berkali- kali dia mengelus lengan Hasan mencoba mengurangi emosi nya. Hasan menghela nafasnya panjang. "Sabar dulu, San. Sabar! Sebisa mungkin Bapak akan membantumu juga, Bapak di sini akan bersikap netral, mungkin Bapak memang tak sesempurna Abahmu, tetapi Bapak ingi
ENDING YANG BAHAGIA!"Ya Allah apapun yang terjadi aku ikhlas, akan semua keputusanmu. Berikan yang terbaik," kata Dinda dalam hati.Tanpa membuang waktu lagi dia mengetes dan hasilnya adalah garis dua. Dinda langsung memekik, memakai bajunya dengan baik dan keluar dari kamar mandi. DIa langsung bersujud saat itu juga, dia merasa senang sekali."Ya Allah ternyata kau adalah sebaik-baiknya pengatur! Di saat semuanya sudah damai saat seperti ini kau memberikanku kepercayaan lagi dan di saat ini pula itu bersama pak Hendi akan segera umroh. Alhamdulillah! Alhamdulillah ya Allah," pekik Dinda tertahan dalam isak tangisnya.Dia pun segera menelpon kedua orang tuanya. Dia ingin membagi kabar kebahagiaan itu pertama kali dengan kedua orang tuanya. Untung tak lama telpon itu diangkat."Assalamualaikum, Papa!" sapa Dinda."Waalaikumsalam, Nduk," jawab Pak Bukhori."Papa, sedang sibukkah?" tanya Dinda."Kenapa kok sepertinya kau terdengar sangat gembira sekali. Ada berita membahagiakankah?" s
HAMIL?"Ya, lama-kelamaan aku juga ikhlas. Aku selalu berpikir positif dan mengambil hikmahnya. Bayangkan saja betapa akan mengasyikkan nanti hidup kita berdua setelah menjadi saudara tiri dan kau serta aku bisa berbaikan. Ini akan sangat menguntungkan sekali bagi kita, karena kita bisa menginap di rumah masing-masing sesuka hati lagi. Ide bagus kan?" bujuk Ifah.Dinda salut sekali pada adik iparnya itu, Ifah nampak sekali mencoba untuk lebih bijak dan dewasa. Hal itu membuat Dinda dan Hasan tersenyum."Nah kau dengar sendiri kan, Nduk? Ifah saja sudah bisa berdamai dengan keadaan, kau sampai kapan mau begini terus? Percayalah Ibumu juga ingin melihat Papa bahagia dan mungkin saat ini Papa bisa bahagia jika bersama Bu Nafis. Bukannya sebagai Bapak egois tetapi Papa membutuhkan teman saat tua. Kau juga akan memiliki kehidupan sendiri nantinya. Lalu bagaimana kalau kita tua? Papa juga membutuhkan sosok bu Nafis sebagai ibu pengganti kalian," terang Pak Hendi."Jadi tolong terimalah," l
AWAL BARU KEBAHAGIAAN"Benarkah , Pak? Sungguh rasanya ini masih seperti mimpi, Mas. Alhamdulillah ya Allah," kata Bu Nafis langsung luruh di lantai.Da bersujud syukur, tak pernah terbayangkan di dunia bisa menginjak tanah suci bersama suami barunya itu. Dia sekarang benar-benar merasa sangat dicintai dan sangat bahagia meskipun pernikahannya dengan Abah dulu cukup bahagia namun dia tidak pernah mencintai Abah sepenuhnya. Beda halnya dengan Pak Hendi, dia benar-benar mencintai lelaki itu. Pak Hendi pun membiarkan sang istri menikmati sujud syukurnya, setelah selesai dia merengkuh sang istri. "Semua telah berlalu, semua telah usai. Buang semua traumamu, buang semua marahmu terhadap anak-anakmu, terhadap menantumu. Hubungan semua yang buruk-buruk lupakan, kita mulai semuanya baru. Kita akan pergi umroh bersama, kita berpamitan kepada anak-anak ya," pinta Pak Hendi.Bu Nafis memeluk Pak Hendi dan menangis sesegukan. Dia benar-benar tak kuasa menahan tangisnya.
HADIAH DARI SUAMI BARU"Bu? Apa Ibu tidak berjualan lagi?" tanya Dinda saat dia melihat dapur yang masih bersih."Tidak, Pak Hendi melarangku untuk jualan," jawab Bu Nafis.Mertuanya itu masih meminum kopinya di meja makan, sedangkan Pak Hendi entah kemana.Pamit pulang ke rumahnya. Dinda menggeret kursinya. "Maafkan Dinda ya, Bu. Selama ini Dinda yang egois, Dinda yang banyak salahnya sebagai menantu," kata Dinda."Maafkan Ibu juga," ucap Bu Nafis lirih. Terlihat dari wajahnya sepertinya dia juga menyesal. "Terkadang sebagai seorang ibu aku merasa belum rela jika anak lelakiku mencintai wanita lain bahkan terkadang aku merasa iri. Bagaimana bisa anakku memperlakukanmu begitu istimewa sedangkan akulah yang melahirkannya, akulah yang menyusuinya, akulah yang selalu membersamainya sampai dia besar. Ketika dia sudah besar aku harus melepaskannya, rasanya aku masih belum ikhlas. Aku tahu ini salah, tetapi itulah yang aku rasakan sekarang," kata Bu Nafis menghela napasnya panjang."Bu...
ORANG TUA PASTI INGIN YANG TERBAIK UNTUK ANAKNYA"Hahaha lalu kau percaya begitu saja?" tanya pak Hendi. Hasan pun mengangguk dengan polosnya. Membuat Dinda dan Pak Hendi gemas sendiri namun merasa lucu dengan tingkah Hasan."Mana ada online sembako yang bisa menggaji karyawannya sebanyak itu? Bahkan bisa untuk mencukupi dan menambal semua kekurangan kebutuhan keluarga kalian. Apakah kau pernah membelikan bensin kendaraanmu itu, San?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Lalu biaya servis? Siapa yang menanggungnya?" selidiknya."Dinda, Pak," jawab Hasan lemah."Lalu untuk kekurangan-kekurangan kebutuhan harian kalian? Bahkan untuk makan sehari-hari, biasanya siapa yang mennambal sulam?" cerca Pak Hendi."Dinda," sahut Hasan."Lalu, apakah selama ini Dinda pernah menuntutmu atau keluarga Dinda pernah menuntutmu dengan semuanya berkaitan dnegan nafkah atau uang?" tanya pak Hendi. Hasan pun menggelengkan kepalanya."Menurutmu kenapa mereka tidak menuntutmu? Bukankah itu a
MELEPAS MESKIPUN BELUM IKHLAS"Terima kasih karena Ibu sudah bicara seperti itu kepada Dinda. Sungguh Hasan tak mengira itu. Ibu bisa meminta maaf kepada Dinda dengan tulus. Hari ini rasanya adalah hari yang paling membahagiakan untuk Hasan," kata Hasan. Bu Nafis hanya tersenyum kecut mendengar semua ucapan Dinda dan diam. Begitupun dengan pak Hendi, lelaki itu lebih senang memperhatikan mereka. Ada bahagia yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata melihat keluarga barunya ini sedang mencoba memperbaiki semuanya."Kau ke sini tulus kan Nafis?" tanya pak Hendi."Iya," jawab Bu Nafis. "Nafis, ingatlah. Selama ini banyak hal dan kebaikan yang diperbuat Dinda untuk keluargamu. Jadi sekarang tak ada salahnya jika kau ganti membahagiakan Dinda. Toh Dinda tak pernah meminta banyak padamu kan? Dia tak minta hartamu, dia juga tak meminta kau menjadi ini dan itu. Dia hanya ingin mencoba membina keluarga sendiri dengan Hasan putramu, tak ada yang salah sebenarnya" ucap Pak Hendi."Nah memisah
RESTU ORANG TUA SANGAT PENTING BAGI ANAK MANTUNYA!"Pak, Bu," panggil Dinda lirih. Hasan tersedak."Uhukkk," Hasan langsung terbatuk."Kenapa to, San? Kok sampai tersedak begitu? Mbok ya kalau makan itu hati-hati. Tak akan ada yang meminta makananmu," tegur Bu Nafis dengan sigap mengulurkan air minum dalam gelas.Hasan dengan segera meminumnya, Dinda yang melihat itu hanya menghela nafasnya panjang. Lagi dia merasa, bahwa dia lah yang harus bersikap tegas sekarang. Kalau saja dia tak tegas maka yang rugi akan dirinya sendiri."Ada apa?" tanya pak Hendi."Begini, Pak. Maaf sebelumnya jika pagi-pagi Dinda langsung membahas pembahasan berat seperti ini. Tapi Dida tak dapat menahannya lagi. Karena sepertinya suami Dnda ini tidak sanggup mengatakannya," ucap Dinda. Hasan hanya mampu menundukkan kepalanya."Katakanlah, Nduk," perintah Pak Hendi."Dulu kan Mas Hasan pernah berjanji kepada Dinda untuk membawa Dinda mengekost dan membina hubungan rumah tangga sendiri tanpa ikut campur tangan
IZIN PERGI DARI RUMAH"Kau sudah berkemas, Dek? Pagi sekali. Bukankah kita bisa pindahan nanti saja saat aku pulang bekerja?" tanya Hasan."Tentu saja, Mas. Kita bisa kok pindahan nanti dan aku juga tidak menuntut untuk pindahan sekarang juga," kata Dinda menyahut."Lalu kenapa kau sudah bersiap dan berkemas seperti itu? Toh pindahnya kan masih nanti," ucap Hasan."Tak apa-apa, Mas. Aku hanya sedang senang saja, kita akhirnya bisa pindah. Aku tak ingin kau berubah pikiran, maka dari itu aku sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat nanti setelah kau pulang dari bekerja," teramg Dinda. Hasan menghela napasnya panjang. "Tapi aku belum berpamitan dengan ibu atau Pak Hendi Dek. Nanti kita pahami dulu ya," minta Hasan."Iya, Mas," sahut Dinda tanpa keberatan sedikitpun."Apa Kita tak bisa sedikit lebih lama lagi di sini, Dek?" gumam Hasan lirih namun masih bisa terdengar oleh Dinda."Tidak, Mas. Seperti janjimu dulu. Aku hanya menuntut apa saja yang sudah kau katakan padaku di dep
MINTA MAAF SEBAGAI ORANG TUA?"Selama ini aku salah Pak," gumam Bu Nafis."Nafis, kau itu harus menyadarinya kalau kau yang salah saat ini. Jangan semua kau nilai dari keuangannya saja, kau ini terbiasa menilai semua dari uang dan harta. Kita tidak tahu orang itu sebenarnya kaya atau tidakk. Karena apa? Banyak orang yang berpura-pura kaya namun tak sedikit orang juga yang masih berpura-pura miskin agar tak terlihat kaya dan banyak di hutangi orang," jawab Pak Hendi."Kita tidak dapat menilai semua hanya dari harta, tapi lihatlah. Coba kau ingat lagi, kebaikan apa yang sudah Dinda buat selama ini untukmu? Apa yang dilakukan untuk keluargamu juga? Kau bahkan juga menggadaikan mobil miliknya padaku. Apakah itu benar? Dinda masih legowo juga lo. Nah, coba kau renungi semua. Itu yang penting," tegur Pak Hendi."Lalu aku harus bagaimana, Pak?" tanya Bu Nafis. "Jika aku menjadi dirimu maka aku akan minta maaf. Jadi saranku mending sekarang kau minta maaflah kepada Dinda," jawab Pak Hendi."