Danika senyum-senyum sendiri. Ada perasaan rindu yang membuncah tatkala melihat wajah manis dan tampan itu lagi. Danika tak bisa menghilangkan rasa cinta dihatinya pada lelaki itu. Walau sampai sekarang, perasaan itu masih tersimpan di hatinya.
Tetapi ketika melihatnya sudah sesukses sekarang, Danika jadi minder dan sedikit sedih dengan perbedaan yang ada pada mereka. Sepertinya sampai kapanpun, perasaan ini akan tetap tinggal di hatinya. Tak akan pernah terungkapkan dengan cara apapun. Mereka akan tetap berteman sampai kapanpun.‘Ya, dia adalah cinta pertamaku.’“Wah, kenapa dia jadi makin ganteng gitu? Aduh, kayaknya ada yang kesemsem, nih! Haha.” Reni mengedip-ngedipkan matanya pada Danika.“Apaan sih, Ren! Kan lo tahu dari dulu kita hanya berteman dengan dia. Gue juga biasa saja kali sama dia!”“Biasa, apa biasa? Hahaha.” Reni kembali menggoda sahabatnya itu. Dan yang digoda hanya memonyongkan bibirnya saja.“Apaan sih lo! Lihat deh, dia sekarang! Banyak berubah, ya? Mudah-mudahan dia masih ingat dengan kita, Ren?” tersirat sedikit kesedihan dari cara Danika bicara. Apalagi saat teman mereka yang bernama Azka itu hanya lewat tanpa memperhatikan mereka.Reni mengusap-usap bahu Danika. Reni sebenarnya sudah lama tahu kalau Danika menyukai Azka. Tapi Danika mampu menahan perasaan itu, alasannya supaya pertemanan mereka tidak akan bubar dan berantakan.‘Paten lo, Ka! Sekian tahun menyimpan perasaan untuk Azka, yang bahkan dia tidak tahu kalau lo suka sama dia. Salut gue sama lo.’Reni bermonolog dalam hati, dia lalu tersenyum untuk membalas Danika yang tersenyum padanya.“Sudah, ayo kita kembali ke meja, Ren! Pegel kaki gue kalau berdiri lama-lama pakai heels.”"Ayo, Ka."..................******.................."Tuan, Tuan Azka sudah tiba di kantor kita." Amar memberitahukan perihal kedatangan Azka untuk melakukan kerja sama dengan perusahaan Arsenio."Hem, jadi aku harus apa?" tanya Arsenio sambil memainkan pulpen yang dia pegang.'Harus jungkir balik, Tuan! kenapa jawaban Anda seperti tidak berniat gitu, sih! huufft.'"Harus bersiap-siap, Tuan!""Aku sudah siap! Aku kan tinggal menyiapkan kata ya atau tidak pada anak itu! Ah, dia masih jauh dibawah ku, kan?""Jauh yang bagaimana ini, Tuan? Jauh di atas atau jauh di bawah?"Arsenio memandang ilfeel Amar yang hanya berwajah datar itu.'Dasar! Dia mau main-main denganku rupanya!'Melihat wajah Tuannya sudah jutek, mau tidak mau Amar terkekeh kecil."Tuan Azka itu CEO muda di perusahaan tambang, Tuan. Dia baru saja di angkat menjadi CEO karena orang tuanya memilih untuk pensiun. usia Tuan Azka sekitar 28 tahun."Arsenio manggut-manggut. "Hem."Tak lama terdengar ketukan pintu. Amar dengan segera membukakan pintu itu. Amar langsung menyapa ramah tamu Tuannya."Silahkan masuk, Tuan Azka." Amar mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Azka."Terima kasih, Tuan Amar."Arsenio segera bangkit dari duduknya dan memperhatikan lelaki yang lebih muda darinya beberapa tahun itu. Kesan pertama yang dilihat Arsenio dari Azka adalah orang yang berpenampilan menarik. Ya walau tidak lebih menarik dari dirinya. Dia harus tetap yang paling menarik."Selamat siang, Tuan Arsenio." Azka membungkuk hormat lalu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Arsenio."Selamat siang. Mari silakan." Arsenio mempersilahkan Azka untuk duduk di sofa.Setelah berbincang masalah kerja sama antar perusahaan mereka, akhirnya terjalinlah kerja sama itu. Lagi pula, ternyata orang tua mereka sudah pernah berteman sebelumnya. Ini mungkin akan memudahkan mereka ke depannya."Besok saya akan datang lagi bersama dengan staf saya, Tuan Arsenio.""Oh, baiklah. Sepertinya kita akan memulai tugas kita. Lagi pula saya sudah lama libur." Arsenio tertawa kecil. Sedang Azka hanya tersenyum."Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu." Azka membungkuk hormat, Arsenio membalasnya dengan menganggukkan kepala sekilas.Setelah Azka keluar, Arsenio mengendurkan sedikit dasinya. Dia lalu pergi melihat langit biru dari dinding kaca yang ada di ruangannya itu. Pikirannya kembali menerawang pada sang istri. Arsenio sangat takut menyakiti hati wanita yang dia cintai itu. Padahal dia pun tidak tahu kalau istrinya sudah sangat menyakitinya tanpa sepengetahuan dirinya.Melihat Tuannya yang sudah seperti orang suntuk itu, Amar pun mendekatinya. Niatnya sih ingin menanyakan apakah Tuannya itu butuh racun apa tidak. Eh salah!"Tuan, apa ada sesuatu yang Anda inginkan?""Tidak.""Apakah Anda ingin pulang?""Tidak."Amar lama-lama bisa migrain kalau menghadapi Tuannya yang dilema karena disuruh menikah lagi ini."Kenapa Anda tidak ingin pulang, Tuan?"Arsenio menghela nafas kasar. "Kau bagaimana, sih? Kalau aku pulang sekarang, Mama pasti akan menanyakan hal itu terus menerus, tahu!"Amar terkekeh kecil. "Maaf, Tuan. Oh iya, sebentar lagi kita akan meeting di hotel grand.""Hem." hanya itu saja yang keluar dari mulut Arsenio. Memangnya dia harus menjawab apa selain hem-hemnya yang sangat berfaedah itu. Iya itu sangat berfaedah disaat dia malas bicara dan sedang marah...................******.................."Wah, siapakah pemuda tampan yang sedang berjalan ke arah sini?"Azka mengernyit mendengar ucapan dari seorang pria jangkung yang berdiri jauh dari tempat dia berjalan. Tapi tiba-tiba senyumnya terbit ketika tahu siapa pria itu."Bro Adul!" Azka melambai-lambaikan tangannya. Sesampainya Azka di tempat di mana Adul berdiri, mereka pun melakukan tos sama seperti masa dulu."Apa kabar, bro? sudah lama banget kita tidak ketemu!""Alhamdulilah gue sehat." Azka memperhatikan Adul yang sudah menjelma menjadi seperti pria sejati. Tapi tatapan kagum itu langsung hilang ketika melihat kuku-kuku lentik Adul yang berwarna itu. Azka seketika terpaku, kenapa hatinya hancur melihat sahabatnya menjadi seperti ini?"Jadi tadi lo yang di elu-elukan para kaum betina di depan? Tapi memang wajar, sih! Lo sekarang sudah menjelma jadi CEO sukses dan tampan."Azka hanya tersenyum sembari mengusap-usap tengkuknya. "Ah, lo bisa saja! Lo lagi apa di sini? di parkiran mau ngapain?""Lo belum tahu, ya? Kalau gue sekarang jadi kepala staf di sini. Sebentar lagi gue mau ikut meeting bareng Tuan Arsenio. Tuh, lah! lo terlalu sibuk, sampai lo pada ngelupain gue dan kawan-kawan.""Aduh, maaf ya, bro? Gue benar-benar sibuk semenjak mulai jadi CEO. Tapi kali ini, gue janji akan tebus waktu kita yang sudah terlewati.""Baguslah kalau gitu, bro!" Tiba-tiba Adul teringat dengan gadis-gadis sahabat mereka."Eh, gue ada kejutan buat lo, bro!"Azka sedikit terkejut. "Kejutan? Kejutan apa, bro?""Sudah-" Adul menepuk bahu Azka. "Ayo ikut saja! Lo pasti tidak akan menyangka nanti."Walau merasa bingung dengan ucapan Adul, Azka tetap saja mengikuti langkah tegap lelaki di hadapannya.'Langkahnya saja tegap begitu! Menunjukkan kalau dia lelaki sejati, tapi kalau di lihat dari kukunya, haduh!'Lagi-lagi Azka tidak mengerti dengan penampilan Adul. Tapi tetap saja dia berharap Adul akan berubah suatu hari nanti."Lo lihat tidak dua gadis yang sedang sibuk di meja sana itu?" Adul mengarahkan telunjuknya yang diikuti picingan mata Azka.Senyum Azka langsung terbit ketika tahu siapa dua gadis yang di maksud oleh Adul. "Mereka bekerja di sini juga?""Yup! Lo tunggu di sini sebentar!"Adul mendekati Danika dan Reni yang tengah sibuk mengetik. "Ssttt."Kepala mereka sama-sama mendongak lalu menunduk lagi, seolah-olah kehadiran Adul itu tiada gunanya bagi mereka saat ini. Adul mendengus sebal."Ssstt, kalian ini kalau dipanggil pura-pura tidak menyahut, ya? Mau gue turunin nilai laporan kinerja kalian?" ucap Adul sembari bersedekap dada.Mata Danika dan Reni sama-sama terbelalak menatap Adul."Dul, lo apa-apaan, sih? Tidak lo lihat gue sama Reni tengah sibuk sekarang?" Danika berkoar-koar sambil berkacak pinggang. Sedang Reni menatap sebal makhluk di depan mereka yang terkadang berubah-ubah menjadi pejantan tangguh dan kemayuh secara bersamaan itu.Adul terkekeh. "Kalian pasti tidak akan jadi marah kalau tahu gue manggil kalian karena apa!" Adul berbalik badan dan menunjuk Azka dengan dagunya.Lagi-lagi Danika dan Reni terbelalak melihat pria tampan yang tengah tersenyum itu.'Apaaa? Hobaaaa..'..................******.................."Jadi selama ini lo kuliah di luar negeri? Dan setelah tamat lo gantiin bokap lo memimpin perusahaan?" tanya Reni dengan begitu penasaran.Azka mengangguk sambil menyeruput sedikit kopi hitam panas miliknya. Ya iyalah miliknya. Masa milik orang lain?"Iya, Ren! Makanya gue tidak ada waktu lagi sekarang. Tapi Alhamdulillah kita kembali di pertemukan di sini, ya?""Alhamdulillah-" Danika menyahut "Kalau kita sudah kumpul begini, gue rindu dengan misi kita dulu."Danika mengangkat cangkir yang juga berisi kopi hitam panas dan menyeruputnya sedikit. Memang sekumpulan kawan ini sama-sama pecinta kopi. Tanpa Danika ketahui, sepasang manik sedang menatapnya dalam kesempatan. Ada seutas senyum muncul di bibir orang yang sedang menatap Danika itu."Gimana kalau kita mulai menjalankan lagi misi kita? Mana tahu dosa gue diampuni dengan melakukan hal yang baik seperti misi kita itu." Adul mulai tersenyum berangan-angan melakukan kebaikan seperti dulu
"Danika semakin cantik saja. Senyum tulus dan cerianya tidak pernah berubah dari dulu. Apakah dia tahu kalau sebenarnya aku sudah lama menyimpan rasa padanya? Ah! Kenapa aku jadi uring-uringan begini?"Azka mengambil ponselnya. Ingin sekali dia menanyakan berapa nomor ponsel Danika pada Adul. Kemarin saking terburu-burunya, dia hanya meminta nomor ponsel Adul saja."Apa iya aku minta nomor Danika sekarang? Tapi nanti apa yang akan dipikirkan Adul padaku? Hem-" Azka menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Dia menatap langit-langit kamarnya sambil berpikir bagaimana caranya menyampaikan sesuatu yang sudah lama bergejolak dihatinya ini.Dulu, mereka berempat punya kesepakatan kalau diantara mereka tidak ada yang boleh saling menyukai dan mencintai. Tapi itu dulu, ketika mereka masih remaja. Sekarang Azka sudah dewasa dan menjelma menjadi pria yang sukses. Mungkin tidak akan salah kalau dia menyatakan perasaan ini langsung pada Danika."Atau aku lamar saja Dan
Danika menatap langit-langit kamarnya yang tak seberapa ini. Ponselnya masih dengan setia menayangkan kisah horor Tante, tapi dia enggan untuk menontonnya kali ini. Danika masih terbayang-bayang dengan wajah Arsenio yang tampan itu."Haaah-" Selalu dia menghela nafas. Perasaannya jadi tidak enak semenjak dia curi-curi pandang tadi. "Bodoh! Kenapa aku harus menatap orang aneh seperti Arseniot itu. Lagi pula kenapa dia harus tampan, sih, Ya Allah? Kan mata suci dan polos ini jadi ternoda untuk melihat dia?"Danika mendadak jadi orang bodoh. Dia yang dengan sadar memandangi Arsenio tadi, malah sibuk menyalahkan pria yang memang sudah tampan dari masih jadi zigot di rahim Mama Lena itu."Ya Allah, kalau bisa, jatuh cintakanlah hamba dengan Tuan Arsenio ketika kami sudah menikah nanti. Amiin."Dari pada termenung tidak jelas, Danika memilih menonton kembali acara kesukaannya sambil menikmati kopi susu yang baru saja dia buat............*****.
"Wah! Cara bicara lo memang mengagumkan, Ka!" puji Adul yang sukses membuat Danika tersipu. Sedang Reni tertawa, dan Azka menatap Danika dengan terkagum-kagum."Iya benar! Buktinya CEO disebelah gue langsung setuju bekerja sama dengan Tuan Arsenio karena cara bicara lo, Ka!" Reni melirik-lirik pada Azka yang duduk disebelahnya dengan tersenyum malu-malu itu."Haha, bisa saja lo, Ren!" Danika lebih merasa malu-malu lagi. Padahal tidak pernah dia begitu, tuh!"Kalau gitu, gue traktir!" ujar Azka yang disambut hore oleh sahabatnya,Acara minum kopi di cafe itu bikin sekelompok sahabat itu terlihat santai dan senang. Berbeda dengan Mama Lena yang sedari tadi sudah duduk dengan tegang. Kopi yang dia pesan dengan harga termahal di cafe ini tak lagi membuat Mama Lena berselera. Dia jadi semakin kebelet untuk segera menikahkan Arsenio dengan Danika."Minggu depan gimana kalau kita jalankan misi? Kan, minggu depan gajian!""Boleh juga itu
"Akhirnya aku menemukanmu, Nak!” Tangis seorang Ibu pecah. Dipeluknya Danika dengan erat, hingga gadis itu merasa sesak nafas karena tercekik.“Bu, tolong, Bu! Saya tercekik, Bu!” Tangan Danika menggapai-gapai pada Reni, sang sahabat yang berdiri tercengang menyaksikan kejadian didepannya. Bagaimana tidak, dia pun syok dengan apa yang terjadi barusan.Beberapa jam lalu..“Pusing banget kepala gue, Ren!” Danika berujar sambil memijit keningnya.Danika dan Reni adalah sahabat sejak mereka SMA, hubungan persahabatan itu kembali terjalin saat kuliah dan bekerja di perusahaan yang sama.Mereka berdua baru saja keluar dari kantor untuk pulang ke rumah masing-masing. Danika dan Reni berjalan menuju halte terdekat untuk menunggu angkutan umum.“Memangnya lo pusing kenapa, Ka?”“Kerjaan kantor banyak banget belakangan ini. Terus tadi gue ditegur kepala staf karena sering terlambat. Padahal terlambat gue hanya 30 menit doang!”Reni tiba-tiba saja tertawa. Melihat itu, Danika bersedekap dada
“Kamu ini sebagai karyawan seharusnya membiasakan diri untuk selalu disiplin waktu! Apa jadinya perusahaan saya mempunyai karyawan yang sering terlambat seperti kamu ini! Ini yang ketahuan, bagaimana kalau ada karyawan lain yang mengikuti jejak sesat kamu ini, hah?”‘Apa? Sesat katanya? Tak kuasa aku! Telat itu adalah hal berguna untuk memangkas waktu bekerja, Tuan!’Danika mengedikkan bahu. “Ya itu bukan urusan saya, Tuan! Toh, ini bukan perusahaan saya!”Arsenio melotot. “Apa? Berani sekali kamu, ya?”Nyali Danika menciut. “Maafkan saya, Tuan,” ucap Danika penuh penyesalan yang dibuat-buat. Arsenio menghela nafas. Baru ini ada karyawan yang kurang ajarnya melampaui batas padanya. Arsenio langsung ingin berubah jadi malaikat maut saat ini juga.“Sekarang kamu keluar! Ini peringatan terakhir dari saya. Kalau kamu terlambat barang sedetik saja, siap-siap kamu terhempas dari kantor saya. Dan asal kamu tahu, kamu bakalan ada di daftar hitam!”Danika garuk-garuk kepala tidak mengerti mak
Sebelum berangkat ke kantor, Arsenio menyempatkan datang ke kamar Mamanya. Dari wajah Mamanya yang sangat serius tadi pagi, pasti ada sesuatu yang sangat penting yang ingin disampaikan oleh wanita yang telah melahirkannya itu.“Kamu memang sendirian, kan?” Mama Lena berkeliling memutari tubuh Arsenio. Barangkali ada bayang-bayang Zakia yang ikut untuk menguping. Mama Lena harus waspada pada menantunya itu.Arsenio geleng-geleng kepala. “Dia sudah pergi bekerja, Ma!” Arsenio melangkahkan kakinya untuk duduk menyilangkan kaki pada sofa mahal yang ada di kamar Mamanya ini.“Apa yang ingin Mama bicarakan?”Mama Lena ikut duduk di samping putra semata wayangnya itu. “Arsen, Mama begitu sangat bahagia mengetahui hal ini.”Alis Arsenio terangkat sebelah. “Memang hal apa yang membuat Mama bahagia?”“Kamu ingat sama Ibu Sawiyah teman Mama?”Arsenio coba mengingat dan kemudian mengangguk. “Memangnya kenapa dengan Ibu itu? Bukannya
Arsenio bernafas lega saat semua pekerjaannya selesai. Amar-ajudan pribadi dan sekretaris Arsenio dengan sigap membereskan berkas-berkas yang ada di meja bosnya itu.“Apakah ada yang Anda butuhkan, Tuan?”Arsenio menyandarkan tubuhnya pada kursi kekuasaannya itu dan menggelengkan kepalanya. “Kepalaku pusing.” Arsenio mulai memijit-mijit pelipisnya. Dia memejamkan sejenak matanya.“Kenapa Anda bisa pusing? Sebaiknya Anda pulang saja, Tuan.”Arsenio membuka matanya, dia lalu duduk tegak seperti semula. “Niatnya begitu. Tapi, aku malas bertemu dengan Mamaku.”Amar terperangah. Tidak biasanya Tuannya itu bicara seperti itu tentang Mamanya.‘Hem, apakah Tuan sedang bermasalah dengan Nyonya besar?’ Amar menduga-duga.“Kalau boleh tahu, apakah Tuan sedang ada masalah dengan Nyonya?”Arsenio mengangguk kecil pada Amar. “Sebenarnya ada. Aku juga tidak tahu apa penyebabnya Mama meminta itu dariku. Ah, apa jangan-jangan Ma
"Wah! Cara bicara lo memang mengagumkan, Ka!" puji Adul yang sukses membuat Danika tersipu. Sedang Reni tertawa, dan Azka menatap Danika dengan terkagum-kagum."Iya benar! Buktinya CEO disebelah gue langsung setuju bekerja sama dengan Tuan Arsenio karena cara bicara lo, Ka!" Reni melirik-lirik pada Azka yang duduk disebelahnya dengan tersenyum malu-malu itu."Haha, bisa saja lo, Ren!" Danika lebih merasa malu-malu lagi. Padahal tidak pernah dia begitu, tuh!"Kalau gitu, gue traktir!" ujar Azka yang disambut hore oleh sahabatnya,Acara minum kopi di cafe itu bikin sekelompok sahabat itu terlihat santai dan senang. Berbeda dengan Mama Lena yang sedari tadi sudah duduk dengan tegang. Kopi yang dia pesan dengan harga termahal di cafe ini tak lagi membuat Mama Lena berselera. Dia jadi semakin kebelet untuk segera menikahkan Arsenio dengan Danika."Minggu depan gimana kalau kita jalankan misi? Kan, minggu depan gajian!""Boleh juga itu
Danika menatap langit-langit kamarnya yang tak seberapa ini. Ponselnya masih dengan setia menayangkan kisah horor Tante, tapi dia enggan untuk menontonnya kali ini. Danika masih terbayang-bayang dengan wajah Arsenio yang tampan itu."Haaah-" Selalu dia menghela nafas. Perasaannya jadi tidak enak semenjak dia curi-curi pandang tadi. "Bodoh! Kenapa aku harus menatap orang aneh seperti Arseniot itu. Lagi pula kenapa dia harus tampan, sih, Ya Allah? Kan mata suci dan polos ini jadi ternoda untuk melihat dia?"Danika mendadak jadi orang bodoh. Dia yang dengan sadar memandangi Arsenio tadi, malah sibuk menyalahkan pria yang memang sudah tampan dari masih jadi zigot di rahim Mama Lena itu."Ya Allah, kalau bisa, jatuh cintakanlah hamba dengan Tuan Arsenio ketika kami sudah menikah nanti. Amiin."Dari pada termenung tidak jelas, Danika memilih menonton kembali acara kesukaannya sambil menikmati kopi susu yang baru saja dia buat............*****.
"Danika semakin cantik saja. Senyum tulus dan cerianya tidak pernah berubah dari dulu. Apakah dia tahu kalau sebenarnya aku sudah lama menyimpan rasa padanya? Ah! Kenapa aku jadi uring-uringan begini?"Azka mengambil ponselnya. Ingin sekali dia menanyakan berapa nomor ponsel Danika pada Adul. Kemarin saking terburu-burunya, dia hanya meminta nomor ponsel Adul saja."Apa iya aku minta nomor Danika sekarang? Tapi nanti apa yang akan dipikirkan Adul padaku? Hem-" Azka menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Dia menatap langit-langit kamarnya sambil berpikir bagaimana caranya menyampaikan sesuatu yang sudah lama bergejolak dihatinya ini.Dulu, mereka berempat punya kesepakatan kalau diantara mereka tidak ada yang boleh saling menyukai dan mencintai. Tapi itu dulu, ketika mereka masih remaja. Sekarang Azka sudah dewasa dan menjelma menjadi pria yang sukses. Mungkin tidak akan salah kalau dia menyatakan perasaan ini langsung pada Danika."Atau aku lamar saja Dan
"Jadi selama ini lo kuliah di luar negeri? Dan setelah tamat lo gantiin bokap lo memimpin perusahaan?" tanya Reni dengan begitu penasaran.Azka mengangguk sambil menyeruput sedikit kopi hitam panas miliknya. Ya iyalah miliknya. Masa milik orang lain?"Iya, Ren! Makanya gue tidak ada waktu lagi sekarang. Tapi Alhamdulillah kita kembali di pertemukan di sini, ya?""Alhamdulillah-" Danika menyahut "Kalau kita sudah kumpul begini, gue rindu dengan misi kita dulu."Danika mengangkat cangkir yang juga berisi kopi hitam panas dan menyeruputnya sedikit. Memang sekumpulan kawan ini sama-sama pecinta kopi. Tanpa Danika ketahui, sepasang manik sedang menatapnya dalam kesempatan. Ada seutas senyum muncul di bibir orang yang sedang menatap Danika itu."Gimana kalau kita mulai menjalankan lagi misi kita? Mana tahu dosa gue diampuni dengan melakukan hal yang baik seperti misi kita itu." Adul mulai tersenyum berangan-angan melakukan kebaikan seperti dulu
Danika senyum-senyum sendiri. Ada perasaan rindu yang membuncah tatkala melihat wajah manis dan tampan itu lagi. Danika tak bisa menghilangkan rasa cinta dihatinya pada lelaki itu. Walau sampai sekarang, perasaan itu masih tersimpan di hatinya.Tetapi ketika melihatnya sudah sesukses sekarang, Danika jadi minder dan sedikit sedih dengan perbedaan yang ada pada mereka. Sepertinya sampai kapanpun, perasaan ini akan tetap tinggal di hatinya. Tak akan pernah terungkapkan dengan cara apapun. Mereka akan tetap berteman sampai kapanpun.‘Ya, dia adalah cinta pertamaku.’“Wah, kenapa dia jadi makin ganteng gitu? Aduh, kayaknya ada yang kesemsem, nih! Haha.” Reni mengedip-ngedipkan matanya pada Danika.“Apaan sih, Ren! Kan lo tahu dari dulu kita hanya berteman dengan dia. Gue juga biasa saja kali sama dia!”“Biasa, apa biasa? Hahaha.” Reni kembali menggoda sahabatnya itu. Dan yang digoda hanya memonyongkan bibirnya saja.“Apaan sih lo! Lihat deh, dia sekarang! Banyak berubah, ya? Mudah-mudahan
Dari mereka di mobil, hingga masuk ke dalam rumah. Mamanya terus saja bungkam. Itu membuat Arsenio semakin sakit kepala.“Mama kenapa lagi, sih? Kan Arsen sudah bertemu dengan gadis itu sesuai keinginan Mama!” ucap Arsenio dengan gusar.“Namanya Danika, bukan gadis itu!” jawab Mama Lena ketus.Arsenio menghela nafas frustasi. “Iya-iya! Sekarang Mama masuk kamar dan tidur, ya?”Mama Lena tak menjawab. Dia pergi begitu saja meninggalkan Arsenio. Arsenio pun pergi ke kamarnya. Di dalam hati dia tidak tahu apa yang akan istrinya tanyakan nanti. Dan benar saja, saat pintu kamar terbuka, Zakia sudah duduk di ranjang dengan bersedekap dada. Wajahnya juga sudah seperti singa yang ingin menelan Arsenio hidup-hidup.“Sayang..,” suara Arsenio seperti tercekat.“Dari mana saja kamu? Kenapa jam segini kamu baru pulang? Memang ada pertemuan apa malam-malam pakai setelan jas?”Arsenio berjalan mendekat pada Zakia dan ingin membelai pipinya. “Aku tadi.. Ah bagaimana ini? Aku bohong apa jujur saja, ya
Danika tengah bersiap-siap. Dia berdiri di depan cermin dan tersenyum. Dia memuji dirinya cantik, karena semenjak dia dewasa, tidak ada orang yang pernah memujinya.“Hah, aku jadi rindu lagi sama orang tuaku. Karena hanya mereka yang pernah memuji diriku yang cantik dan aduhai ini.”Tiba-tiba ada rasa canggung untuk bertemu dengan pria yang akan dijodohkan dengannya itu. Lagi-lagi dia tepis perasaan itu.“Ini aku lakukan semata-mata untuk Ibu dan Ayah. I love .. eh apa bahasa inggrisnya aku cinta kalian ya? Ah bodoh! Tapi aku berharap, semoga kita kelak berkumpul lagi di sana. Tunggu Nika!”Cairan bening meluncur dari mata indahnya begitu saja. Kadang dia merutuk dirinya sendiri yang terkadang cengeng.Kalau biasanya Danika selalu pergi dengan Reni, kali ini dia harus berani sendiri. Lagi pula Reni belum tahu kalau dia akan dijodohkan dadakan begini. Danika akhirnya sampai di restoran yang disampaikan oleh Bu Lena tadi di pesan ponselnya.Danika memandang takjub restoran itu. Orang-or
“Tapi malam ini Mama harus istirahat dulu. Arsen tidak mengizinkan Mama untuk ke mana-mana malam ini.”Mama Lena mendengus sebal. “Hissh, tuh,kan! Kamu pintar sekali membohongi Mama!”Arsenio menghela nafas. “Bukan begitu, Mama. Mama kan baru saja pingsan. Lebih baik malam ini pulihkan dulu tenaga Mama, ya? lagi pula, Arsen harus bicara dulu dengan Zakia.”Semula Mama Lena kecewa, tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya juga ucapan anaknya.“Baiklah. Mama akan istirahat malam ini.”Arsenio tersenyum. “Baiklah, Ma. Arsen pergi dulu ke kamar, ya?”Mama Lena hanya mengangguk. Arsenio segera bangkit dan melangkahkan kakinya keluar kamar Mamanya dan menuju kamarnya. Setelah Arsenio pergi, Mama Lena langsung mengirim pesan pada Danika.Setelah membersihkan tubuhnya yang lengket, Arsenio meneguk kopi hitam yang sudah disediakan oleh pelayan di rumahnya. Sambil mengecek ponselnya, dia menggerutu.“Sudah jam segini, kenapa
Arsenio bernafas lega saat semua pekerjaannya selesai. Amar-ajudan pribadi dan sekretaris Arsenio dengan sigap membereskan berkas-berkas yang ada di meja bosnya itu.“Apakah ada yang Anda butuhkan, Tuan?”Arsenio menyandarkan tubuhnya pada kursi kekuasaannya itu dan menggelengkan kepalanya. “Kepalaku pusing.” Arsenio mulai memijit-mijit pelipisnya. Dia memejamkan sejenak matanya.“Kenapa Anda bisa pusing? Sebaiknya Anda pulang saja, Tuan.”Arsenio membuka matanya, dia lalu duduk tegak seperti semula. “Niatnya begitu. Tapi, aku malas bertemu dengan Mamaku.”Amar terperangah. Tidak biasanya Tuannya itu bicara seperti itu tentang Mamanya.‘Hem, apakah Tuan sedang bermasalah dengan Nyonya besar?’ Amar menduga-duga.“Kalau boleh tahu, apakah Tuan sedang ada masalah dengan Nyonya?”Arsenio mengangguk kecil pada Amar. “Sebenarnya ada. Aku juga tidak tahu apa penyebabnya Mama meminta itu dariku. Ah, apa jangan-jangan Ma