“Tapi malam ini Mama harus istirahat dulu. Arsen tidak mengizinkan Mama untuk ke mana-mana malam ini.”
Mama Lena mendengus sebal. “Hissh, tuh,kan! Kamu pintar sekali membohongi Mama!”Arsenio menghela nafas. “Bukan begitu, Mama. Mama kan baru saja pingsan. Lebih baik malam ini pulihkan dulu tenaga Mama, ya? lagi pula, Arsen harus bicara dulu dengan Zakia.”Semula Mama Lena kecewa, tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya juga ucapan anaknya.“Baiklah. Mama akan istirahat malam ini.”Arsenio tersenyum. “Baiklah, Ma. Arsen pergi dulu ke kamar, ya?”Mama Lena hanya mengangguk. Arsenio segera bangkit dan melangkahkan kakinya keluar kamar Mamanya dan menuju kamarnya. Setelah Arsenio pergi, Mama Lena langsung mengirim pesan pada Danika.Setelah membersihkan tubuhnya yang lengket, Arsenio meneguk kopi hitam yang sudah disediakan oleh pelayan di rumahnya. Sambil mengecek ponselnya, dia menggerutu.“Sudah jam segini, kenapa Zakia belum pulang juga? Sebenarnya pekerjaan apa yang dia lakukan di kantornya?”1 jam berlalu, Zakia akhirnya muncul dari balik pintu dengan wajah yang lelah sekali. Arsenio langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri istrinya itu. Dia tersenyum pada Zakia, tapi senyumnya langsung redup ketika tak sengaja melihat rambut Zakia yang sedikit berantakan.“Za, kenapa dengan rambutmu?”“Hah?” Zakia sedikit gelagapan merapikan rambutnya. “Kepalaku tadi pusing. Jadi aku pijit-pijit kepala dan lupa merapikan rambutnya kembali.”Arsenio hanya ber-oh saja. Di dekatinya Zakia yang hendak membuka baju kerjanya, dan memeluk wanita itu dari belakang. “Oh iya, nanti malam aku mau ngajakin kamu dinner di restoran favorit kita.”Zakia membalikkan badannya dan mengalungkan tangannya pada leher Arsenio. “Maaf ya, sayang. Aku lelah sekali hari ini. Pekerjaan di kantor begitu banyak. Kita lakukan lain kali saja, ya?”Zakia mengecup kecil bibir Arsenio dan pergi ke kamar mandi. Menyisakan Arsenio yang terbengong. Lagi-lagi dia hanya bisa menghela nafas.................******...............“Woi, Ren! Ambil nih berkas! Pusing gue ngerjainnya!”“Lo tuh asik pusiiiing saja. Lama-lama gue bosan dengar lagu lama lo itu!”Danika hanya tertawa cekikikan. Dia akui, kalau dalam mengerjakan pekerjaan yang satu ini, Reni lebih jago dari dirinya.“Hei, cin!”Danika dan Reni mendongakkan kepalanya pada sumber suara. Mereka saling tatap ketika melihat lelaki yang sedikit melambai tersenyum pada mereka.“Adul!” panggil mereka secara bersamaan.“Eh! Sstt..sstt. jangan panggil Adul! Panggil Dila!” ucapnya dengan raut wajah tak suka.“Iihh, mulai sinting nih orang! Lo dulu kekar dan gagah! Kenapa sekarang jadi begini?” celoteh Danika yang disambut tawa Reni.“Ya, terserah gue, dong! Gimana? Sudah selesai pekerjaan kalian?” tanya Adul dengan sok profesional. Matanya melongo pada berkas yang ada di meja Reni.Adul ini adalah teman sekolah Danika dan Reni. Sebelumnya dia bekerja di salah satu anak perusahaan Arsenio. Walau tingkah dan gayanya begitu, tapi kinerja otak dan keahliannya jangan di ragukan lagi. Jauh di atas Danika dan Reni.“Belum! Eh, kenapa lo bisa ada di sini? Baru masuk lo?”“Eh, sorry cin. Gue gantiin kepala staf kalian yang sedang cuti beranak!”“Apa?” Danika dan Reni sama-sama terkejut.“Jangan kaget, cin! Kalian bisa lah dapat sedikit kelonggaran sama gue, hihi.” Adul tertawa dengan menutup mulutnya. Membuat Danika dan Reni ilfil.Tiba-tiba Danika melirik pada kuku Adul yang terawat. Waduh! Soal penampilan, dia yang sebagai wanita tulen saja kalah.“Dul, kuku lo kok bisa warna merah gitu. Di apain?”Adul geleng-geleng kepala. “Aduh, cin. Ini namanya di pakein kutek. Eh, hari ini gajian, kan? Kita pergi ke salon, yuk?”Danika dan Reni saling pandang. “Salon?”Setelah pulang kerja, mereka bertiga benar-benar pergi ke salon. Baru saja mereka takjub diberi tumpangan mobilnya si Adul ke salon, dan sekarang lebih takjub lagi setelah tahu kalau salon yang mereka datangi adalah milik Adul.“Ck..ck.. sekaya apa lo, Dul? Gila! Sampai punya salon segala!” Reni terkagum-kagum pada Adul yang berdiri dengan sok anggun. Walau berbalut setelan jas, tetap saja tidak bisa dibohongi kalau gayanya begitu.“Masuklah woi. Tenang saja! Pekerja gue ramah-ramah dan lembut orangnya.”“Tapi Lo beneran sudah bilang kan kalau kita bayarnya free di dalam? Nanti diminta tagihan lagi! Lo kan tahu, gue sama Reni itu bayarannya banyak kalau sudah di awal bulan begini!”“Ck, tenang saja! Sudah ya? Gue ada urusan penting sekarang. Bye!” Adul langsung meluncur pergi dengan mobilnya.“Wah, beruntung juga kita punya teman kayak dia ya, Ka? Bisa terus-terusan kita minta gratisan sama dia, hahaha.”“Haha, iya, Ren! Setuju gue sama lo!”Mereka berdua lalu masuk. Gila! Mereka langsung disambut sama pegawai salon yang memang ramah. Mereka di kasih pilihan mau melakukan treatment apa di salon si Adul itu.“Pijit enak kali ya, Ren? Sudah lama badan gue tidak di pijit!”“Oh, benar juga! Gue juga ikutan pijit ah, Ka!”“Mbak, ini ruangannya masing-masing atau gimana?” tanya Danika pada pegawai salonnya.“Samain saja deh ruangan kita!” Reni merasa kurang nyaman kalau dia di ruangan sendirian.“Oke, deh! Kami satu ruangan saja, Mbak.”Pegawai itu mengangguk dan tersenyum ramah. Kemudian mengantar mereka menuju ruangan yang paling nyaman pokoknya.Mereka lalu diberikan baju khusus pijat. Setelah selesai berganti baju, Danika dan Reni berbaring di masing-masing ranjang. Dua pegawai si Adul pun segera memulai treatment-treatment yang membuat mata mereka ingin terpejam.‘Gila! Enak banget nih pijitan mereka,’ gumam Danika dalam hati. Dia saja sampai tidak sadar ketiduran dan mengeluarkan air liur.“Ya ampun, Mbak!” tiba-tiba saja pegawai salon itu memekik. Danika gelagapan dan langsung duduk.“Ada apa, Mbak?”“Astagoi, Mbak!”Danika mengernyit. “Astagoi?”“Iya, Mbak! Astagoi!” ucap pegawai salon itu lagi sambil melirik-lirik sesuatu yang ada di tubuh Danika.Danika menepuk keningnya ketika baru tahu dan paham apa yang di maksud Mbak pegawai itu. “Astaga, Mbak! Astaga. Bukan astagoi! Huufft, bikin kaget saja Mbak ini.”“Iya, Mbak maaf! Saya selalu salah menyebut kata-kata itu, hehe.”Danika melirik sekilas Reni yang tengah di pijat. Reni bahkan tidak bangun, padahal suara dia dan Mbak pegawai ini lumayan kuat.“Memangnya ada apa Mbak? Kok tiba-tiba bilang astaga sama saya?”“Mbak apa tidak risih kalau punya ‘hutan’ yang begitu lebat?”Danika mengernyit. “Hah? Hutan? Hutan apa? Saya mana punya hutan!”“Ini ya? Saya kasih clue..,”“Mbak, kenapa malah mau main tebak-tebakan sih sama saya?” Danika sedikit mulai frustasi.“Pokoknya Mbak harus fokus dengan clue yang saya kasih!”Danika menghela nafas dan menepuk keningnya “Astaga, Mbak!”“Hutan ini ibaratkan sebuah bulu. Bulu ini tumbuh di bawah lengan. Nah, apa nama sesuatu yang di bawah lengan itu?”Danika menggaruk-garuk kepala. “Bulu yang tumbuh di bawah lengan? Itu bukannya bulu ketiak, ya?”“Nah, Pandai!” prok-prok. Mbak itu bertepuk tangan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Danika meringis menyaksikan ini semua.“Kita waxing ya bulu ketiaknya, Mbak?”“Aduh! Itu clue apa lagi, Mbak?”“Ya ampun, Nika! Di waxing itu dicabut bulunya. Masa lo gitu saja tidak tahu, sih!” Reni menyahut degan suara khas orang bangun tidur.“Huuss, berisik! Gue tuh tidak tahu hal begituan!”‘Nih anak! Perasaan tadi dia ngorok. Tahu-tahu sudah ikut nimbrung saja!’“Mbak, waxing saja, Mbak! Biar estetik tuh ketiaknya!” ucap Reni lagi.‘Mampus deh gue! Apa lagi itu estetik-estetik?’Mbak pegawai itu mulai mengoleskan sesuatu di ketiak Danika yang sudah pasrah. Dan dengan tiba-tiba menariknya dengan begitu saja, membuat Danika menjerit.“Mbak, apa-apaan ini? Mbak mau buat ketiak saya botak ya?”“Kan, memang itu tujuannya, Mbak” ucap Mbak pegawai itu santai dan tersenyum.Danika meringis. Mau bagaimana juga, waxing itu meninggalkan rasa perih pada ketiaknya.‘Hah, bulu ketiakku yang berharga’........................*****........................Danika tengah bersiap-siap. Dia berdiri di depan cermin dan tersenyum. Dia memuji dirinya cantik, karena semenjak dia dewasa, tidak ada orang yang pernah memujinya.“Hah, aku jadi rindu lagi sama orang tuaku. Karena hanya mereka yang pernah memuji diriku yang cantik dan aduhai ini.”Tiba-tiba ada rasa canggung untuk bertemu dengan pria yang akan dijodohkan dengannya itu. Lagi-lagi dia tepis perasaan itu.“Ini aku lakukan semata-mata untuk Ibu dan Ayah. I love .. eh apa bahasa inggrisnya aku cinta kalian ya? Ah bodoh! Tapi aku berharap, semoga kita kelak berkumpul lagi di sana. Tunggu Nika!”Cairan bening meluncur dari mata indahnya begitu saja. Kadang dia merutuk dirinya sendiri yang terkadang cengeng.Kalau biasanya Danika selalu pergi dengan Reni, kali ini dia harus berani sendiri. Lagi pula Reni belum tahu kalau dia akan dijodohkan dadakan begini. Danika akhirnya sampai di restoran yang disampaikan oleh Bu Lena tadi di pesan ponselnya.Danika memandang takjub restoran itu. Orang-or
Dari mereka di mobil, hingga masuk ke dalam rumah. Mamanya terus saja bungkam. Itu membuat Arsenio semakin sakit kepala.“Mama kenapa lagi, sih? Kan Arsen sudah bertemu dengan gadis itu sesuai keinginan Mama!” ucap Arsenio dengan gusar.“Namanya Danika, bukan gadis itu!” jawab Mama Lena ketus.Arsenio menghela nafas frustasi. “Iya-iya! Sekarang Mama masuk kamar dan tidur, ya?”Mama Lena tak menjawab. Dia pergi begitu saja meninggalkan Arsenio. Arsenio pun pergi ke kamarnya. Di dalam hati dia tidak tahu apa yang akan istrinya tanyakan nanti. Dan benar saja, saat pintu kamar terbuka, Zakia sudah duduk di ranjang dengan bersedekap dada. Wajahnya juga sudah seperti singa yang ingin menelan Arsenio hidup-hidup.“Sayang..,” suara Arsenio seperti tercekat.“Dari mana saja kamu? Kenapa jam segini kamu baru pulang? Memang ada pertemuan apa malam-malam pakai setelan jas?”Arsenio berjalan mendekat pada Zakia dan ingin membelai pipinya. “Aku tadi.. Ah bagaimana ini? Aku bohong apa jujur saja, ya
Danika senyum-senyum sendiri. Ada perasaan rindu yang membuncah tatkala melihat wajah manis dan tampan itu lagi. Danika tak bisa menghilangkan rasa cinta dihatinya pada lelaki itu. Walau sampai sekarang, perasaan itu masih tersimpan di hatinya.Tetapi ketika melihatnya sudah sesukses sekarang, Danika jadi minder dan sedikit sedih dengan perbedaan yang ada pada mereka. Sepertinya sampai kapanpun, perasaan ini akan tetap tinggal di hatinya. Tak akan pernah terungkapkan dengan cara apapun. Mereka akan tetap berteman sampai kapanpun.‘Ya, dia adalah cinta pertamaku.’“Wah, kenapa dia jadi makin ganteng gitu? Aduh, kayaknya ada yang kesemsem, nih! Haha.” Reni mengedip-ngedipkan matanya pada Danika.“Apaan sih, Ren! Kan lo tahu dari dulu kita hanya berteman dengan dia. Gue juga biasa saja kali sama dia!”“Biasa, apa biasa? Hahaha.” Reni kembali menggoda sahabatnya itu. Dan yang digoda hanya memonyongkan bibirnya saja.“Apaan sih lo! Lihat deh, dia sekarang! Banyak berubah, ya? Mudah-mudahan
"Jadi selama ini lo kuliah di luar negeri? Dan setelah tamat lo gantiin bokap lo memimpin perusahaan?" tanya Reni dengan begitu penasaran.Azka mengangguk sambil menyeruput sedikit kopi hitam panas miliknya. Ya iyalah miliknya. Masa milik orang lain?"Iya, Ren! Makanya gue tidak ada waktu lagi sekarang. Tapi Alhamdulillah kita kembali di pertemukan di sini, ya?""Alhamdulillah-" Danika menyahut "Kalau kita sudah kumpul begini, gue rindu dengan misi kita dulu."Danika mengangkat cangkir yang juga berisi kopi hitam panas dan menyeruputnya sedikit. Memang sekumpulan kawan ini sama-sama pecinta kopi. Tanpa Danika ketahui, sepasang manik sedang menatapnya dalam kesempatan. Ada seutas senyum muncul di bibir orang yang sedang menatap Danika itu."Gimana kalau kita mulai menjalankan lagi misi kita? Mana tahu dosa gue diampuni dengan melakukan hal yang baik seperti misi kita itu." Adul mulai tersenyum berangan-angan melakukan kebaikan seperti dulu
"Danika semakin cantik saja. Senyum tulus dan cerianya tidak pernah berubah dari dulu. Apakah dia tahu kalau sebenarnya aku sudah lama menyimpan rasa padanya? Ah! Kenapa aku jadi uring-uringan begini?"Azka mengambil ponselnya. Ingin sekali dia menanyakan berapa nomor ponsel Danika pada Adul. Kemarin saking terburu-burunya, dia hanya meminta nomor ponsel Adul saja."Apa iya aku minta nomor Danika sekarang? Tapi nanti apa yang akan dipikirkan Adul padaku? Hem-" Azka menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Dia menatap langit-langit kamarnya sambil berpikir bagaimana caranya menyampaikan sesuatu yang sudah lama bergejolak dihatinya ini.Dulu, mereka berempat punya kesepakatan kalau diantara mereka tidak ada yang boleh saling menyukai dan mencintai. Tapi itu dulu, ketika mereka masih remaja. Sekarang Azka sudah dewasa dan menjelma menjadi pria yang sukses. Mungkin tidak akan salah kalau dia menyatakan perasaan ini langsung pada Danika."Atau aku lamar saja Dan
Danika menatap langit-langit kamarnya yang tak seberapa ini. Ponselnya masih dengan setia menayangkan kisah horor Tante, tapi dia enggan untuk menontonnya kali ini. Danika masih terbayang-bayang dengan wajah Arsenio yang tampan itu."Haaah-" Selalu dia menghela nafas. Perasaannya jadi tidak enak semenjak dia curi-curi pandang tadi. "Bodoh! Kenapa aku harus menatap orang aneh seperti Arseniot itu. Lagi pula kenapa dia harus tampan, sih, Ya Allah? Kan mata suci dan polos ini jadi ternoda untuk melihat dia?"Danika mendadak jadi orang bodoh. Dia yang dengan sadar memandangi Arsenio tadi, malah sibuk menyalahkan pria yang memang sudah tampan dari masih jadi zigot di rahim Mama Lena itu."Ya Allah, kalau bisa, jatuh cintakanlah hamba dengan Tuan Arsenio ketika kami sudah menikah nanti. Amiin."Dari pada termenung tidak jelas, Danika memilih menonton kembali acara kesukaannya sambil menikmati kopi susu yang baru saja dia buat............*****.
"Wah! Cara bicara lo memang mengagumkan, Ka!" puji Adul yang sukses membuat Danika tersipu. Sedang Reni tertawa, dan Azka menatap Danika dengan terkagum-kagum."Iya benar! Buktinya CEO disebelah gue langsung setuju bekerja sama dengan Tuan Arsenio karena cara bicara lo, Ka!" Reni melirik-lirik pada Azka yang duduk disebelahnya dengan tersenyum malu-malu itu."Haha, bisa saja lo, Ren!" Danika lebih merasa malu-malu lagi. Padahal tidak pernah dia begitu, tuh!"Kalau gitu, gue traktir!" ujar Azka yang disambut hore oleh sahabatnya,Acara minum kopi di cafe itu bikin sekelompok sahabat itu terlihat santai dan senang. Berbeda dengan Mama Lena yang sedari tadi sudah duduk dengan tegang. Kopi yang dia pesan dengan harga termahal di cafe ini tak lagi membuat Mama Lena berselera. Dia jadi semakin kebelet untuk segera menikahkan Arsenio dengan Danika."Minggu depan gimana kalau kita jalankan misi? Kan, minggu depan gajian!""Boleh juga itu
"Akhirnya aku menemukanmu, Nak!” Tangis seorang Ibu pecah. Dipeluknya Danika dengan erat, hingga gadis itu merasa sesak nafas karena tercekik.“Bu, tolong, Bu! Saya tercekik, Bu!” Tangan Danika menggapai-gapai pada Reni, sang sahabat yang berdiri tercengang menyaksikan kejadian didepannya. Bagaimana tidak, dia pun syok dengan apa yang terjadi barusan.Beberapa jam lalu..“Pusing banget kepala gue, Ren!” Danika berujar sambil memijit keningnya.Danika dan Reni adalah sahabat sejak mereka SMA, hubungan persahabatan itu kembali terjalin saat kuliah dan bekerja di perusahaan yang sama.Mereka berdua baru saja keluar dari kantor untuk pulang ke rumah masing-masing. Danika dan Reni berjalan menuju halte terdekat untuk menunggu angkutan umum.“Memangnya lo pusing kenapa, Ka?”“Kerjaan kantor banyak banget belakangan ini. Terus tadi gue ditegur kepala staf karena sering terlambat. Padahal terlambat gue hanya 30 menit doang!”Reni tiba-tiba saja tertawa. Melihat itu, Danika bersedekap dada
"Wah! Cara bicara lo memang mengagumkan, Ka!" puji Adul yang sukses membuat Danika tersipu. Sedang Reni tertawa, dan Azka menatap Danika dengan terkagum-kagum."Iya benar! Buktinya CEO disebelah gue langsung setuju bekerja sama dengan Tuan Arsenio karena cara bicara lo, Ka!" Reni melirik-lirik pada Azka yang duduk disebelahnya dengan tersenyum malu-malu itu."Haha, bisa saja lo, Ren!" Danika lebih merasa malu-malu lagi. Padahal tidak pernah dia begitu, tuh!"Kalau gitu, gue traktir!" ujar Azka yang disambut hore oleh sahabatnya,Acara minum kopi di cafe itu bikin sekelompok sahabat itu terlihat santai dan senang. Berbeda dengan Mama Lena yang sedari tadi sudah duduk dengan tegang. Kopi yang dia pesan dengan harga termahal di cafe ini tak lagi membuat Mama Lena berselera. Dia jadi semakin kebelet untuk segera menikahkan Arsenio dengan Danika."Minggu depan gimana kalau kita jalankan misi? Kan, minggu depan gajian!""Boleh juga itu
Danika menatap langit-langit kamarnya yang tak seberapa ini. Ponselnya masih dengan setia menayangkan kisah horor Tante, tapi dia enggan untuk menontonnya kali ini. Danika masih terbayang-bayang dengan wajah Arsenio yang tampan itu."Haaah-" Selalu dia menghela nafas. Perasaannya jadi tidak enak semenjak dia curi-curi pandang tadi. "Bodoh! Kenapa aku harus menatap orang aneh seperti Arseniot itu. Lagi pula kenapa dia harus tampan, sih, Ya Allah? Kan mata suci dan polos ini jadi ternoda untuk melihat dia?"Danika mendadak jadi orang bodoh. Dia yang dengan sadar memandangi Arsenio tadi, malah sibuk menyalahkan pria yang memang sudah tampan dari masih jadi zigot di rahim Mama Lena itu."Ya Allah, kalau bisa, jatuh cintakanlah hamba dengan Tuan Arsenio ketika kami sudah menikah nanti. Amiin."Dari pada termenung tidak jelas, Danika memilih menonton kembali acara kesukaannya sambil menikmati kopi susu yang baru saja dia buat............*****.
"Danika semakin cantik saja. Senyum tulus dan cerianya tidak pernah berubah dari dulu. Apakah dia tahu kalau sebenarnya aku sudah lama menyimpan rasa padanya? Ah! Kenapa aku jadi uring-uringan begini?"Azka mengambil ponselnya. Ingin sekali dia menanyakan berapa nomor ponsel Danika pada Adul. Kemarin saking terburu-burunya, dia hanya meminta nomor ponsel Adul saja."Apa iya aku minta nomor Danika sekarang? Tapi nanti apa yang akan dipikirkan Adul padaku? Hem-" Azka menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Dia menatap langit-langit kamarnya sambil berpikir bagaimana caranya menyampaikan sesuatu yang sudah lama bergejolak dihatinya ini.Dulu, mereka berempat punya kesepakatan kalau diantara mereka tidak ada yang boleh saling menyukai dan mencintai. Tapi itu dulu, ketika mereka masih remaja. Sekarang Azka sudah dewasa dan menjelma menjadi pria yang sukses. Mungkin tidak akan salah kalau dia menyatakan perasaan ini langsung pada Danika."Atau aku lamar saja Dan
"Jadi selama ini lo kuliah di luar negeri? Dan setelah tamat lo gantiin bokap lo memimpin perusahaan?" tanya Reni dengan begitu penasaran.Azka mengangguk sambil menyeruput sedikit kopi hitam panas miliknya. Ya iyalah miliknya. Masa milik orang lain?"Iya, Ren! Makanya gue tidak ada waktu lagi sekarang. Tapi Alhamdulillah kita kembali di pertemukan di sini, ya?""Alhamdulillah-" Danika menyahut "Kalau kita sudah kumpul begini, gue rindu dengan misi kita dulu."Danika mengangkat cangkir yang juga berisi kopi hitam panas dan menyeruputnya sedikit. Memang sekumpulan kawan ini sama-sama pecinta kopi. Tanpa Danika ketahui, sepasang manik sedang menatapnya dalam kesempatan. Ada seutas senyum muncul di bibir orang yang sedang menatap Danika itu."Gimana kalau kita mulai menjalankan lagi misi kita? Mana tahu dosa gue diampuni dengan melakukan hal yang baik seperti misi kita itu." Adul mulai tersenyum berangan-angan melakukan kebaikan seperti dulu
Danika senyum-senyum sendiri. Ada perasaan rindu yang membuncah tatkala melihat wajah manis dan tampan itu lagi. Danika tak bisa menghilangkan rasa cinta dihatinya pada lelaki itu. Walau sampai sekarang, perasaan itu masih tersimpan di hatinya.Tetapi ketika melihatnya sudah sesukses sekarang, Danika jadi minder dan sedikit sedih dengan perbedaan yang ada pada mereka. Sepertinya sampai kapanpun, perasaan ini akan tetap tinggal di hatinya. Tak akan pernah terungkapkan dengan cara apapun. Mereka akan tetap berteman sampai kapanpun.‘Ya, dia adalah cinta pertamaku.’“Wah, kenapa dia jadi makin ganteng gitu? Aduh, kayaknya ada yang kesemsem, nih! Haha.” Reni mengedip-ngedipkan matanya pada Danika.“Apaan sih, Ren! Kan lo tahu dari dulu kita hanya berteman dengan dia. Gue juga biasa saja kali sama dia!”“Biasa, apa biasa? Hahaha.” Reni kembali menggoda sahabatnya itu. Dan yang digoda hanya memonyongkan bibirnya saja.“Apaan sih lo! Lihat deh, dia sekarang! Banyak berubah, ya? Mudah-mudahan
Dari mereka di mobil, hingga masuk ke dalam rumah. Mamanya terus saja bungkam. Itu membuat Arsenio semakin sakit kepala.“Mama kenapa lagi, sih? Kan Arsen sudah bertemu dengan gadis itu sesuai keinginan Mama!” ucap Arsenio dengan gusar.“Namanya Danika, bukan gadis itu!” jawab Mama Lena ketus.Arsenio menghela nafas frustasi. “Iya-iya! Sekarang Mama masuk kamar dan tidur, ya?”Mama Lena tak menjawab. Dia pergi begitu saja meninggalkan Arsenio. Arsenio pun pergi ke kamarnya. Di dalam hati dia tidak tahu apa yang akan istrinya tanyakan nanti. Dan benar saja, saat pintu kamar terbuka, Zakia sudah duduk di ranjang dengan bersedekap dada. Wajahnya juga sudah seperti singa yang ingin menelan Arsenio hidup-hidup.“Sayang..,” suara Arsenio seperti tercekat.“Dari mana saja kamu? Kenapa jam segini kamu baru pulang? Memang ada pertemuan apa malam-malam pakai setelan jas?”Arsenio berjalan mendekat pada Zakia dan ingin membelai pipinya. “Aku tadi.. Ah bagaimana ini? Aku bohong apa jujur saja, ya
Danika tengah bersiap-siap. Dia berdiri di depan cermin dan tersenyum. Dia memuji dirinya cantik, karena semenjak dia dewasa, tidak ada orang yang pernah memujinya.“Hah, aku jadi rindu lagi sama orang tuaku. Karena hanya mereka yang pernah memuji diriku yang cantik dan aduhai ini.”Tiba-tiba ada rasa canggung untuk bertemu dengan pria yang akan dijodohkan dengannya itu. Lagi-lagi dia tepis perasaan itu.“Ini aku lakukan semata-mata untuk Ibu dan Ayah. I love .. eh apa bahasa inggrisnya aku cinta kalian ya? Ah bodoh! Tapi aku berharap, semoga kita kelak berkumpul lagi di sana. Tunggu Nika!”Cairan bening meluncur dari mata indahnya begitu saja. Kadang dia merutuk dirinya sendiri yang terkadang cengeng.Kalau biasanya Danika selalu pergi dengan Reni, kali ini dia harus berani sendiri. Lagi pula Reni belum tahu kalau dia akan dijodohkan dadakan begini. Danika akhirnya sampai di restoran yang disampaikan oleh Bu Lena tadi di pesan ponselnya.Danika memandang takjub restoran itu. Orang-or
“Tapi malam ini Mama harus istirahat dulu. Arsen tidak mengizinkan Mama untuk ke mana-mana malam ini.”Mama Lena mendengus sebal. “Hissh, tuh,kan! Kamu pintar sekali membohongi Mama!”Arsenio menghela nafas. “Bukan begitu, Mama. Mama kan baru saja pingsan. Lebih baik malam ini pulihkan dulu tenaga Mama, ya? lagi pula, Arsen harus bicara dulu dengan Zakia.”Semula Mama Lena kecewa, tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya juga ucapan anaknya.“Baiklah. Mama akan istirahat malam ini.”Arsenio tersenyum. “Baiklah, Ma. Arsen pergi dulu ke kamar, ya?”Mama Lena hanya mengangguk. Arsenio segera bangkit dan melangkahkan kakinya keluar kamar Mamanya dan menuju kamarnya. Setelah Arsenio pergi, Mama Lena langsung mengirim pesan pada Danika.Setelah membersihkan tubuhnya yang lengket, Arsenio meneguk kopi hitam yang sudah disediakan oleh pelayan di rumahnya. Sambil mengecek ponselnya, dia menggerutu.“Sudah jam segini, kenapa
Arsenio bernafas lega saat semua pekerjaannya selesai. Amar-ajudan pribadi dan sekretaris Arsenio dengan sigap membereskan berkas-berkas yang ada di meja bosnya itu.“Apakah ada yang Anda butuhkan, Tuan?”Arsenio menyandarkan tubuhnya pada kursi kekuasaannya itu dan menggelengkan kepalanya. “Kepalaku pusing.” Arsenio mulai memijit-mijit pelipisnya. Dia memejamkan sejenak matanya.“Kenapa Anda bisa pusing? Sebaiknya Anda pulang saja, Tuan.”Arsenio membuka matanya, dia lalu duduk tegak seperti semula. “Niatnya begitu. Tapi, aku malas bertemu dengan Mamaku.”Amar terperangah. Tidak biasanya Tuannya itu bicara seperti itu tentang Mamanya.‘Hem, apakah Tuan sedang bermasalah dengan Nyonya besar?’ Amar menduga-duga.“Kalau boleh tahu, apakah Tuan sedang ada masalah dengan Nyonya?”Arsenio mengangguk kecil pada Amar. “Sebenarnya ada. Aku juga tidak tahu apa penyebabnya Mama meminta itu dariku. Ah, apa jangan-jangan Ma