🏵️🏵️🏵️
“Help me, please.” Rania menyusun sepuluh jari kepada pemuda yang saat ini berada di sampingnya.
“Who are you?” Pemuda itu bertanya heran.
“You don’t know me, but you must help me now.”
Rania langsung menggunakan bahasa asing karena ia sangat yakin kalau orang pemuda tidak tahu bahasa Indonesia. Wajah orang itu sangat mirip dengan aktor Thailand favoritnya, James Jirayu.
“Please, help me.” Rania kembali membuka suara. Kali ini, ia tidak dapat menahan air matanya agar tidak jatuh hingga membuat pemuda tersebut makin bingung.
“Kamu ada masalah apa?” Kini, justru Rania yang terkejut mendengar pertanyaan pemuda itu.
“What? Abang bisa bahasa Indonesia? Abang bukan bule?” Rania masih belum percaya dengan apa yang ia dengar tadi.
“Yes. Papi saya asli Indonesia. Jadi, saya bisa ngomong bahasa Indonesia.”
“Bagus, deh. Saya pun bisa ngomong dengan leluasa.”
“Kenapa kamu masuk mobil saya? Saya buru-buru mau ngantor.” Pemuda itu kembali bertanya. Ia sangat terkejut karena Rania memasuki Rush putih miliknya.
Rania pun langsung menyampaikan masalah yang ia hadapi saat ini. “Tolongin saya, Bang. Saya kehilangan barang berharga saya.”
“Barang berharga? Maksudnya apa?” Pemuda itu mengerutkan dahi.
“Tas dan buku-buku saya tertinggal di angkot, tapi angkotnya udah pergi.”
“Apa urusannya dengan saya?”
“Tolong saya kejar angkot yang saya naiki tadi.”
“Angkot di sekitar sini dari tadi banyak. Angkot yang mana?”
“Tadi angkotnya melaju ke depan. Kita kejar sekarang, ya. Saya mohon.” Air mata Rania kembali jatuh membasahi pipi.
“Ya, udah, saya tolongin. Tapi jangan nangis.”
Rania sangat bersyukur karena pemuda yang baru ia kenal tersebut bersedia membantu dirinya. Rush putih itu pun melaju meninggalkan kampus. Rania tidak peduli lagi kalau hari ini, dosen mata kuliah Akuntansi Keuangan akan mengadakan kuis. Saat ini, ia hanya memikirkan tas dan buku-bukunya.
“Saya belum hafal semua daerah Tanjungpinang. Saya baru beberapa bulan di sini.” Pemuda yang sedang bersama Rania kembali membuka suara.
“Sebelumnya Abang tinggal di mana?”
“Thailand.”
Rania sangat terkejut karena pemuda yang baru bertemu dengannya berasal dari negara yang sama dengan aktor favoritnya. Sejak dulu, ia selalu berharap kalau suatu saat nanti, akan berkunjung ke Thailand. Ia sangat mengagumi negara itu.
“Thailand?” Rania ingin meyakinkan kebenaran nama negara yang disebutkan pemuda di sampingnya.
“Yes. Mami saya asli Thailand, tapi Papi saya asli Tanjungpinang.”
Ternyata Rania tidak mendengar apa yang diucapkan pemuda itu. “Stop! Itu mirip angkot yang saya naiki tadi, warnanya putih.” Ia menunjuk ke arah angkutan umum yang terparkir.
“Heran, ya. Warna angkot di Tanjungpinang, kan, kebanyakan putih. Gimana, sih? Saya yang baru aja di sini bisa tahu.”
“Saya nggak peduli. Pokoknya berhenti.” Rania tetap bersikeras meminta pemuda itu menghentikan mobilnya.
“Terserah kamu, deh.” Pemuda itu pun menepikan kendaraan roda empat miliknya.
Setelah mobil berhenti, Rania segera turun. Ia berjalan menuju angkutan umum yang sedang terparkir. Namun, ia sangat kecewa karena setelah melihat ke dalam, ternyata sopirnya bukan orang yang sama dengan yang dinaiki tadi. Ia pun kembali melangkah lalu memasuki Rush putih milik pemuda tampan yang baru ia temui itu.
“Ternyata itu bukan angkot yang sama dengan yang aku naiki. Kita harus meluncur sekarang! Lebih ngebut lagi, ya.” Rania bersikap seolah-olah pemuda yang kini bersamanya sudah lama ia kenal. Ia berani memberikan perintah kepada orang yang baru bertemu dengannya.
‘Dasar cewek aneh. Baru juga kenal, tapi udah nyuruh-nyuruh. Untung aku masih punya rasa kemanusiaan. Lagi pun, dia cantik.’ Pemuda itu menggerutu dalam hati.
“Lebih ngebut lagi, dong! Saya nggak mau kalau tas saya sampai hilang.” Rania kembali memberikan perintah.
“Ini juga udah ngebut.”
“Ini belum ngebut.”
“Kok, kamu bawel, sih?” Pemuda itu tidak mampu lagi menyimpan kekesalannya.
===========
🏵️🏵️🏵️Leo Archen Wirawan sangat heran melihat sikap Rania—gadis yang baru ia kenal. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan seseorang yang menurutnya sangat langka. Ia menganggap Rania terlalu berlebihan karena mereka sebelumnya tidak saling kenal.Ia kembali mengingat kenapa dirinya harus berada di depan kampus Rania tadi. Semua itu terjadi karena ia harus mengantarkan berkas Bu May Sanoh Wirawan—ibunya, yang tertinggal di rumah.Telah lima tahun lamanya, Bu May menjadi donatur di STIE Pembangunan—kampus Rania. Ia memiliki impian untuk mengembangkan kampus tersebut karena telah melahirkan banyak sarjana berprestasi. Salah satunya, adik Pak Zainal Wirawan—ayah Leo.“Bisa diam, nggak, sih? Nggak usah cerewet, deh. Saya harus fokus nyetir.” Leo mengingatkan Rania.“Saya hanya ingin agar tas dan buku-buku saya kembali. Itu aja.” “Ini saya udah berusaha bantu. Jadi, jangan bawel.”“Bilang aja kalau Abang nggak ikhlas bantuin saya.” Rania meruncingkan bibirnya. “Kalau saya n
🏵️🏵️🏵️Rania tidak pernah menyangka kalau pemuda yang baru ia kenal seminggu yang lalu, kini sedang berbincang dengan kedua orang tuanya. Baginya, ini merupakan hal yang sangat langka. Padahal selama ini, tidak sedikit laki-laki yang berkenalan dengannya, tetapi tidak senekat Leo.Pak Bagas Wardana—ayah Rania, melemparkan senyuman kepada putri bungsunya lalu meminta gadis itu duduk. Sementara Bu Farida—ibu Rania, masih tertegun melihat ketampanan Leo. Ternyata Pak Bagas memperhatikan sikap istrinya tersebut.“Kita ke ruang TV, yuk, Mah.” Laki-laki itu berdiri lalu meraih tangan Bu Farida.“Papa duluan aja. Mama mau ikutan ngobrol.” “Mama ada-ada aja. Biarkan mereka ngomong berdua. Masa mau ikut campur urusan anak muda.” Pak Bagas tetap masih bersikeras menghentikan keinginan istrinya.“Iya, deh.” Bu Farida pun, berdiri. “Om dan Tante ke dalam dulu, ya, Nak Leo.” Wanita itu menunjukkan deretan gigi putihnya di depan Leo lalu ia dan sang suami beranjak dari ruangan itu.“Abang kenap
🏵️🏵️🏵️Cuaca tampak cerah walaupun hari sudah sore. Leo sangat menikmati suasana saat ini, tetapi tidak dengan Rania. Gadis itu masih bingung harus menentukan keputusan. Ia tidak mengerti kenapa pertemuannya dengan laki-laki yang baru ia kenal itu, akhirnya membawa perasaan yang membingungkan.Saat ini, posisi Leo dan Rania sedang duduk berhadapan. Mereka masih terdiam dengan pikiran masing-masing. Leo ingin memulai pembicaraan, tetapi merasa sungkan karena melihat wajah Rania yang murung.Sementara itu, Rania tidak tahu harus memulai dari mana untuk memberikan jawaban kepada Leo. Ia mengaku mengagumi pemuda itu, tetapi pernikahan belum tebersit dalam benaknya karena belum siap menjadi seorang istri.“Apa jawaban kamu, Nia?” Leo pun akhirnya membuka suara.“Aku harus jawab apa? Kenapa kamu senekat ini?” Rania mulai menunjukkan wajah kesalnya.“Apa salah jika aku ingin menghalalkan gadis yang kudambakan?”“Dambakan? Apa kamu nggak ingat kalau pertemuan kita hanya dua jam? Itu sama d
🏵️🏵️🏵️Leo sangat terkejut mendengar teriakan Rania. Pemuda itu segera berlari menuju pintu kamar mandi. Ia panik karena takut terjadi sesuatu terhadap istrinya. Ia pun mengetuk pintu sambil memanggil gadis yang ia cintai tersebut. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa Rania baik-baik saja.“Sayang, ada apa? Buka pintunya!” Rania tidak memberikan respons, tetapi justru makin takut karena lampu yang berada tidak jauh darinya, berkelip tidak hanya sekali. Ia pun memilih keluar dari bathtub lalu meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. Ia berniat akan mengenakan pakaian, tetapi dirinya lupa kalau tadi tidak membawa baju ganti.Kini, ia tidak memiliki pilihan lain. Ia berpikir akan meminta Leo mengambil pakaiannya di tas yang ia bawa dari rumah orang tuanya. Namun, ia bingung karena merasa canggung jika Leo harus melihat isi tasnya. Ia benar-benar dihadapkan pada situasi yang serba salah.“Sayang, kenapa diam aja? Buka pintunya. Kamu baik-baik aja, ‘kan?” Leo kembali mengetuk pintu.Mendeng
🏵️🏵️🏵️Malam ini merupakan malam kedua untuk Rania tinggal di rumah Leo. Saat ini, anggota keluarga yang masih berada di rumah sang mertua adalah kakek dan nenek Leo dari pihak ayahnya. Mereka bersemangat berbincang bersama. Sementara Rania dan Leo lebih memilih menjadi pendengar.Kakek dan nenek Leo menceritakan masa lalu anak sulung mereka—Pak Zainal. Saat masih sekolah, laki-laki itu termasuk siswa nakal dan keras kepala. Oleh karena kenakalannya, ia beberapa kali mendapat surat panggilan dari kepala sekolah.“Dulu, papi mertuamu, nih ... nakal, Nia. Beda dengan pakcik dan makcikmu.” Bu Julia—nenek Leo, melihat ke arah Rania. Mahasiswi itu memberikan respons dengan tersenyum.“Tapi kenakalan saya nggak turun ke Leo, Mak.” Pak Zainal memberikan respons. Sementara Rania melirik ke arah Leo. Wanita itu tiba-tiba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Baginya, suaminya itu usil.“Leo, kan, anak baik.” Pak Thamrin—kakek Leo, langsung mem
🏵️🏵️🏵️Serba salah, itu yang Leo rasakan saat ini. Ia tidak bermaksud untuk menyembunyikan apa pun dari Rania. Ia sengaja tidak memberitahukan tentang dirinya yang tinggal di Tanjungpinang sejak kecil. Ia melakukan itu karena ingin memberikan kejutan.Akan tetapi, rencana Leo yang ingin menceritakan langsung tentang masa-masa sekolahnya kepada Rania, akhirnya gagal karena penjelasan sang ibu. Ia menyesal karena tidak memberitahukan niatnya terlebih dahulu kepada wanita yang telah melahirkannya itu.“Lagi lihat siapa, Bro?” tanya Damar—sahabat Leo, lima tahun yang lalu. Kala itu, Leo masih memakai seragam putih abu-abu dan duduk di bangku kelas dua belas. Saat itu, ia baru selesai menyelesaikan UN.“Kok, aku baru lihat cewek cantik itu, Bro?” Leo terpana melihat seorang siswi yang baru keluar dari sekolahnya. Siswi tersebut merupakan pendamping hidupnya sekarang.“Ke mana aja, Bro? Makanya jangan sibuk dengan fans, sampai nggak tahu ada cewek cantik di sebelah.” “Kau kenal dia?” Le
🏵️🏵️🏵️Serba salah, itu yang Leo rasakan saat ini. Ia tidak bermaksud untuk menyembunyikan apa pun dari Rania. Ia sengaja tidak memberitahukan tentang dirinya yang tinggal di Tanjungpinang sejak kecil. Ia melakukan itu karena ingin memberikan kejutan.Akan tetapi, rencana Leo yang ingin menceritakan langsung tentang masa-masa sekolahnya kepada Rania, akhirnya gagal karena penjelasan sang ibu. Ia menyesal karena tidak memberitahukan niatnya terlebih dahulu kepada wanita yang telah melahirkannya itu.“Lagi lihat siapa, Bro?” tanya Damar—sahabat Leo, lima tahun yang lalu. Kala itu, Leo masih memakai seragam putih abu-abu dan duduk di bangku kelas dua belas. Saat itu, ia baru selesai menyelesaikan UN.“Kok, aku baru lihat cewek cantik itu, Bro?” Leo terpana melihat seorang siswi yang baru keluar dari sekolahnya. Siswi tersebut merupakan pendamping hidupnya sekarang.“Ke mana aja, Bro? Makanya jangan sibuk dengan fans, sampai nggak tahu ada cewek cantik di sebelah.” “Kau kenal dia?” Le
🏵️🏵️🏵️Malam ini merupakan malam kedua untuk Rania tinggal di rumah Leo. Saat ini, anggota keluarga yang masih berada di rumah sang mertua adalah kakek dan nenek Leo dari pihak ayahnya. Mereka bersemangat berbincang bersama. Sementara Rania dan Leo lebih memilih menjadi pendengar.Kakek dan nenek Leo menceritakan masa lalu anak sulung mereka—Pak Zainal. Saat masih sekolah, laki-laki itu termasuk siswa nakal dan keras kepala. Oleh karena kenakalannya, ia beberapa kali mendapat surat panggilan dari kepala sekolah.“Dulu, papi mertuamu, nih ... nakal, Nia. Beda dengan pakcik dan makcikmu.” Bu Julia—nenek Leo, melihat ke arah Rania. Mahasiswi itu memberikan respons dengan tersenyum.“Tapi kenakalan saya nggak turun ke Leo, Mak.” Pak Zainal memberikan respons. Sementara Rania melirik ke arah Leo. Wanita itu tiba-tiba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Baginya, suaminya itu usil.“Leo, kan, anak baik.” Pak Thamrin—kakek Leo, langsung mem
🏵️🏵️🏵️Leo sangat terkejut mendengar teriakan Rania. Pemuda itu segera berlari menuju pintu kamar mandi. Ia panik karena takut terjadi sesuatu terhadap istrinya. Ia pun mengetuk pintu sambil memanggil gadis yang ia cintai tersebut. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa Rania baik-baik saja.“Sayang, ada apa? Buka pintunya!” Rania tidak memberikan respons, tetapi justru makin takut karena lampu yang berada tidak jauh darinya, berkelip tidak hanya sekali. Ia pun memilih keluar dari bathtub lalu meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. Ia berniat akan mengenakan pakaian, tetapi dirinya lupa kalau tadi tidak membawa baju ganti.Kini, ia tidak memiliki pilihan lain. Ia berpikir akan meminta Leo mengambil pakaiannya di tas yang ia bawa dari rumah orang tuanya. Namun, ia bingung karena merasa canggung jika Leo harus melihat isi tasnya. Ia benar-benar dihadapkan pada situasi yang serba salah.“Sayang, kenapa diam aja? Buka pintunya. Kamu baik-baik aja, ‘kan?” Leo kembali mengetuk pintu.Mendeng
🏵️🏵️🏵️Cuaca tampak cerah walaupun hari sudah sore. Leo sangat menikmati suasana saat ini, tetapi tidak dengan Rania. Gadis itu masih bingung harus menentukan keputusan. Ia tidak mengerti kenapa pertemuannya dengan laki-laki yang baru ia kenal itu, akhirnya membawa perasaan yang membingungkan.Saat ini, posisi Leo dan Rania sedang duduk berhadapan. Mereka masih terdiam dengan pikiran masing-masing. Leo ingin memulai pembicaraan, tetapi merasa sungkan karena melihat wajah Rania yang murung.Sementara itu, Rania tidak tahu harus memulai dari mana untuk memberikan jawaban kepada Leo. Ia mengaku mengagumi pemuda itu, tetapi pernikahan belum tebersit dalam benaknya karena belum siap menjadi seorang istri.“Apa jawaban kamu, Nia?” Leo pun akhirnya membuka suara.“Aku harus jawab apa? Kenapa kamu senekat ini?” Rania mulai menunjukkan wajah kesalnya.“Apa salah jika aku ingin menghalalkan gadis yang kudambakan?”“Dambakan? Apa kamu nggak ingat kalau pertemuan kita hanya dua jam? Itu sama d
🏵️🏵️🏵️Rania tidak pernah menyangka kalau pemuda yang baru ia kenal seminggu yang lalu, kini sedang berbincang dengan kedua orang tuanya. Baginya, ini merupakan hal yang sangat langka. Padahal selama ini, tidak sedikit laki-laki yang berkenalan dengannya, tetapi tidak senekat Leo.Pak Bagas Wardana—ayah Rania, melemparkan senyuman kepada putri bungsunya lalu meminta gadis itu duduk. Sementara Bu Farida—ibu Rania, masih tertegun melihat ketampanan Leo. Ternyata Pak Bagas memperhatikan sikap istrinya tersebut.“Kita ke ruang TV, yuk, Mah.” Laki-laki itu berdiri lalu meraih tangan Bu Farida.“Papa duluan aja. Mama mau ikutan ngobrol.” “Mama ada-ada aja. Biarkan mereka ngomong berdua. Masa mau ikut campur urusan anak muda.” Pak Bagas tetap masih bersikeras menghentikan keinginan istrinya.“Iya, deh.” Bu Farida pun, berdiri. “Om dan Tante ke dalam dulu, ya, Nak Leo.” Wanita itu menunjukkan deretan gigi putihnya di depan Leo lalu ia dan sang suami beranjak dari ruangan itu.“Abang kenap
🏵️🏵️🏵️Leo Archen Wirawan sangat heran melihat sikap Rania—gadis yang baru ia kenal. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan seseorang yang menurutnya sangat langka. Ia menganggap Rania terlalu berlebihan karena mereka sebelumnya tidak saling kenal.Ia kembali mengingat kenapa dirinya harus berada di depan kampus Rania tadi. Semua itu terjadi karena ia harus mengantarkan berkas Bu May Sanoh Wirawan—ibunya, yang tertinggal di rumah.Telah lima tahun lamanya, Bu May menjadi donatur di STIE Pembangunan—kampus Rania. Ia memiliki impian untuk mengembangkan kampus tersebut karena telah melahirkan banyak sarjana berprestasi. Salah satunya, adik Pak Zainal Wirawan—ayah Leo.“Bisa diam, nggak, sih? Nggak usah cerewet, deh. Saya harus fokus nyetir.” Leo mengingatkan Rania.“Saya hanya ingin agar tas dan buku-buku saya kembali. Itu aja.” “Ini saya udah berusaha bantu. Jadi, jangan bawel.”“Bilang aja kalau Abang nggak ikhlas bantuin saya.” Rania meruncingkan bibirnya. “Kalau saya n
🏵️🏵️🏵️“Help me, please.” Rania menyusun sepuluh jari kepada pemuda yang saat ini berada di sampingnya.“Who are you?” Pemuda itu bertanya heran.“You don’t know me, but you must help me now.”Rania langsung menggunakan bahasa asing karena ia sangat yakin kalau orang pemuda tidak tahu bahasa Indonesia. Wajah orang itu sangat mirip dengan aktor Thailand favoritnya, James Jirayu.“Please, help me.” Rania kembali membuka suara. Kali ini, ia tidak dapat menahan air matanya agar tidak jatuh hingga membuat pemuda tersebut makin bingung.“Kamu ada masalah apa?” Kini, justru Rania yang terkejut mendengar pertanyaan pemuda itu.“What? Abang bisa bahasa Indonesia? Abang bukan bule?” Rania masih belum percaya dengan apa yang ia dengar tadi.“Yes. Papi saya asli Indonesia. Jadi, saya bisa ngomong bahasa Indonesia.”“Bagus, deh. Saya pun bisa ngomong dengan leluasa.”“Kenapa kamu masuk mobil saya? Saya buru-buru mau ngantor.” Pemuda itu kembali bertanya. Ia sangat terkejut karena Rania memasuki