🏵️🏵️🏵️
Malam ini merupakan malam kedua untuk Rania tinggal di rumah Leo. Saat ini, anggota keluarga yang masih berada di rumah sang mertua adalah kakek dan nenek Leo dari pihak ayahnya. Mereka bersemangat berbincang bersama. Sementara Rania dan Leo lebih memilih menjadi pendengar. Kakek dan nenek Leo menceritakan masa lalu anak sulung mereka—Pak Zainal. Saat masih sekolah, laki-laki itu termasuk siswa nakal dan keras kepala. Oleh karena kenakalannya, ia beberapa kali mendapat surat panggilan dari kepala sekolah. “Dulu, papi mertuamu, nih ... nakal, Nia. Beda dengan pakcik dan makcikmu.” Bu Julia—nenek Leo, melihat ke arah Rania. Mahasiswi itu memberikan respons dengan tersenyum. “Tapi kenakalan saya nggak turun ke Leo, Mak.” Pak Zainal memberikan respons. Sementara Rania melirik ke arah Leo. Wanita itu tiba-tiba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Baginya, suaminya itu usil. “Leo, kan, anak baik.” Pak Thamrin—kakek Leo, langsung memuji cucunya. Rania tidak percaya kalau suaminya baik karena ia menganggap laki-laki itu telah melanggar kesepakatan mereka. “Iya, Pak. Leo benar-benar ikut sifat maminya. Kalau ikut saya, pasti maminya pusing.” Pak Zainal setuju dengan penilaian ayahnya. Lagi dan lagi, Rania tidak ingin percaya, walaupun ia telah merasakan perhatian Leo dalam sebulan ini. “Leo itu paling pengertian. Hampir tak pernah nyusahin orang tua dan keluarga.” Neneknya Leo kembali bersuara. “Iya, Mak. Bagi saya, Leo anak kebanggan. Walaupun dari SD sampai SMA nggak pernah berpisah dengan papi dan maminya, dia tetap bersedia kuliah di Thailand untuk menemani Kakek dan neneknya.” Bu May juga turut membanggakan Leo. “Iya, Mih.” Pak Zainal mengiakan perkataan istrinya. “Papi beruntung punya istri seperti Mami. Mami berhasil memberikan didikan terbaik untuk anak kita. Dulu Emak sering nasihatin Papi, tapi Papi tetap nakal.” “Istrimu itu tak hanya cantik, tapi juga baik. Emak yakin kalau istri Leo juga memiliki sifat yang sama dengan May.” Leo melirik Rania. Ia tahu kalau istrinya itu memiliki sifat dermawan, tetapi ia kadang sedikit kesal mendengar cerewetnya. “Saya yakin kalau Nia persis seperti papanya, baik dan selalu menjadi kebanggan.” Pak Zainal memuji ayahnya Rania. “Oh, ya ... dulu Papi sering nyontek PR papa Nia. Terus, ada satu kenakalan Papi yang paling merugikan, itu saat berbuat curang di kantin. Papi makan empat bakwan, tapi bayarnya hanya satu. Kalau ingat kejadian itu, Papi benar-benar merasa malu dan bersalah.” Pak Zainal menepuk pelan dahinya. Kakek, nenek, dan ibunya Leo beserta Rania tertawa mendengar cerita Pak Zainal. Keluarga bahagia itu bersemangat menceritakan masa lalu masing-masing, kecuali Leo dan Rania. Mereka tetap memilih menjadi pendengar yang baik. “Ternyata udah jam sepuluh. Kami ke kamar dulu, ya, Tok, Nek.” Leo akhirnya membuka suara. “Sama Papi dan Mami nggak pamitan?” Pak Zainal menaikkan alisnya ke arah Leo. “Harap maklum, Nal, pengantin baru. Banyak yang dilupakan karena dunia serasa milik berdua.” Pak Thamrin menggoda Leo. Ia tersenyum kepada cucunya itu. “Atokmu bercanda aja, Leo. Jangan bawa ke hati, ya.” Bu Julia memberikan pengertian kepada Leo. “Iya, Nek.” Tanpa menunggu lama, Leo pun meraih tangan Rania lalu mereka berjalan menuju kamar. Rania sangat malu saat kakek Leo mengucapkan kata pengantin baru. Ia tidak pernah memikirkan kalau laki-laki tua tersebut akan berbicara tentang sesuatu yang membuatnya mengingat kesalahannya yang tidak mampu mengontrol diri saat bersama Leo tadi malam. “Ternyata Abang sekolah di kota ini? Kok, ngakunya baru beberapa bulan tinggal di Tanjungpinang?” Rania langsung melontarkan pertanyaan kepada Leo setelah mereka di kamar. Pasangan itu kini duduk di sofa dekat jendela. “Kan, enak didengar kalau sapaannya romantis.” Leo menaikkan alisnya. “Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku lagi serius.” “Iya, aku sekolah di sini, tapi kuliah di Thailand.” “Tapi kamu nggak mungkin lupa jalan di sini. Ternyata kamu bohong waktu bantu aku saat itu.” Rania mengingat kembali awal pertemuannya dengan Leo. “Perkembangan kota ini termasuk pesat dalam waktu beberapa tahun. Bangunan aja banyak yang baru. Jadi, aku melihat banyak perubahan.” Leo memberikan penjelasan. “Tetap aja kamu bohong.” “Aku nggak bohong. Aku menetap di Thailand lima tahun setelah lulus SMA. Aku pulang ke sini pas liburan aja. Tiga tahun menyelesaikan kuliah, dua tahun bantu Kakek di perusahaan. Sampai akhirnya aku kembali ke sini dan ingin menetap di sini.” Leo bercerita panjang lebar. “Sebelumnya kamu nggak pernah cerita. Kalau Mami nggak cerita, aku nggak akan tahu. Kenapa kamu merahasiakan ini dariku, Bang? Atau jangan-jangan masih banyak yang kamu sembunyikan dariku tentang dirimu.” “Suka, deh, diperhatiin. Apakah istriku ini udah jatuh cinta?” Leo justru mengalihkan pembicaraan. “Kamu pembohong. Apa tujuanmu sebenarnya menikahiku?” Rania menunjukkan wajah serius. “Sayang, kamu kenapa? Aku nggak pernah memiliki niat untuk membohongimu. Tujuanku menikahimu karena aku ingin kamu menjadi ibu dari anak-anakku.” “Terserah. Aku mau tidur. Kamu tetap tidur di sofa.” Rania pun berdiri, tetapi Leo meraih tangannya. “Kenapa, Sayang? Kamu takut aku khilaf lagi? Kan, nggak apa-apa.” “Aku kecewa karena kamu nggak jujur.” Rania sedih karena menganggap Leo belum jujur sepenuhnya, padahal ia telah menceritakan semua tentang dirinya kepada laki-laki itu sebelum acara pernikahan mereka. Ia sedih karena mengetahui kenyataan itu setelah menyerahkan segalanya kepada suaminya tersebut. ============🏵️🏵️🏵️Serba salah, itu yang Leo rasakan saat ini. Ia tidak bermaksud untuk menyembunyikan apa pun dari Rania. Ia sengaja tidak memberitahukan tentang dirinya yang tinggal di Tanjungpinang sejak kecil. Ia melakukan itu karena ingin memberikan kejutan.Akan tetapi, rencana Leo yang ingin menceritakan langsung tentang masa-masa sekolahnya kepada Rania, akhirnya gagal karena penjelasan sang ibu. Ia menyesal karena tidak memberitahukan niatnya terlebih dahulu kepada wanita yang telah melahirkannya itu.“Lagi lihat siapa, Bro?” tanya Damar—sahabat Leo, lima tahun yang lalu. Kala itu, Leo masih memakai seragam putih abu-abu dan duduk di bangku kelas dua belas. Saat itu, ia baru selesai menyelesaikan UN.“Kok, aku baru lihat cewek cantik itu, Bro?” Leo terpana melihat seorang siswi yang baru keluar dari sekolahnya. Siswi tersebut merupakan pendamping hidupnya sekarang.“Ke mana aja, Bro? Makanya jangan sibuk dengan fans, sampai nggak tahu ada cewek cantik di sebelah.” “Kau kenal dia?” Leo
🏵️🏵️🏵️Rania mengerutkan dahi karena Leo kembali melingkarkan tangan di pinggangnya. Dia melihat jelas kalau suaminya itu tidak memberikan respons setelah membaca pesan yang masuk. Ia penasaran dan ingin tahu apa alasannya yang menunjukkan wajah santai.“Pesan dari siapa? Kok, nggak dibalas?” tanya Rania.“Nggak tahu dari siapa. Nomornya nggak tersimpan.”“Kan, kamu bisa nanya. Apa isi pesannya?” Rania makin ingin tahu.“Cie, ternyata kamu peduli, Sayang.” Leo memegang pipi Rania.“Aku hanya ingin tahu aja. Tapi kalau kamu nggak mau kasih tahu, nggak apa-apa.”“Jangan ngambek lagi, dong. Itu tadi ucapan selamat untuk pernikahan kita.” Leo pun memberitahukan isi pesan masuk di ponselnya.“Kamu cuek aja? Nggak ngucapin terima kasih? Kok, kamu tega?” Rania menjauhkan tangan Leo dari pipinya.“Udah, Sayang. Nggak perlu diperpanjang. Nanti aku pasti balas. Tapi sekarang aku lagi nggak ingin diganggu. Aku mau bermesraan dengan istriku.” Leo memainkan rambut panjang Rania.“Terserah kamu,
🏵️🏵️🏵️Saat ini, hati Leo sangat panas menyaksikan pemandangan yang tidak diharapkan. Ia tidak tahu apa tujuan Bayu menemui Rania. Ia tidak bermaksud untuk mengekang kebebasan istrinya dalam berteman dengan siapa pun. Ia hanya berharap agar wanita yang ia cintai tersebut mampu menjaga jarak dengan lelaki lain.Di samping itu, ia tidak terima jika pria yang pernah memiliki perasaan lebih terhadap Rania, kini kembali muncul. Namun, ia berusaha untuk tetap berpikiran positif karena mengingat Bayu adalah sepupu Damar, sahabatnya. Ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman.Ia pun akhirnya melangkah menghampiri Rania. Hatinya sudah yakin untuk tidak menunjukkan rasa cemburunya di depan wanita itu. Di samping itu, ia juga berpikir bahwa istrinya adalah miliknya.“Kuliahnya udah kelar, Sayang?” Ia langsung melingkarkan tangan kirinya ke pinggang Rania. Sementara Bayu segera melepaskan jabatan tangannya dari wanita yang masih ia cintai tersebut.“Udah, Bang.” Rania menyunggingkan senyuman.“Eh,
🏵️🏵️🏵️“Help me, please.” Rania menyusun sepuluh jari kepada pemuda yang saat ini berada di sampingnya.“Who are you?” Pemuda itu bertanya heran.“You don’t know me, but you must help me now.”Rania langsung menggunakan bahasa asing karena ia sangat yakin kalau orang pemuda tidak tahu bahasa Indonesia. Wajah orang itu sangat mirip dengan aktor Thailand favoritnya, James Jirayu.“Please, help me.” Rania kembali membuka suara. Kali ini, ia tidak dapat menahan air matanya agar tidak jatuh hingga membuat pemuda tersebut makin bingung.“Kamu ada masalah apa?” Kini, justru Rania yang terkejut mendengar pertanyaan pemuda itu.“What? Abang bisa bahasa Indonesia? Abang bukan bule?” Rania masih belum percaya dengan apa yang ia dengar tadi.“Yes. Papi saya asli Indonesia. Jadi, saya bisa ngomong bahasa Indonesia.”“Bagus, deh. Saya pun bisa ngomong dengan leluasa.”“Kenapa kamu masuk mobil saya? Saya buru-buru mau ngantor.” Pemuda itu kembali bertanya. Ia sangat terkejut karena Rania memasuki
🏵️🏵️🏵️Leo Archen Wirawan sangat heran melihat sikap Rania—gadis yang baru ia kenal. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan seseorang yang menurutnya sangat langka. Ia menganggap Rania terlalu berlebihan karena mereka sebelumnya tidak saling kenal.Ia kembali mengingat kenapa dirinya harus berada di depan kampus Rania tadi. Semua itu terjadi karena ia harus mengantarkan berkas Bu May Sanoh Wirawan—ibunya, yang tertinggal di rumah.Telah lima tahun lamanya, Bu May menjadi donatur di STIE Pembangunan—kampus Rania. Ia memiliki impian untuk mengembangkan kampus tersebut karena telah melahirkan banyak sarjana berprestasi. Salah satunya, adik Pak Zainal Wirawan—ayah Leo.“Bisa diam, nggak, sih? Nggak usah cerewet, deh. Saya harus fokus nyetir.” Leo mengingatkan Rania.“Saya hanya ingin agar tas dan buku-buku saya kembali. Itu aja.” “Ini saya udah berusaha bantu. Jadi, jangan bawel.”“Bilang aja kalau Abang nggak ikhlas bantuin saya.” Rania meruncingkan bibirnya. “Kalau saya n
🏵️🏵️🏵️Rania tidak pernah menyangka kalau pemuda yang baru ia kenal seminggu yang lalu, kini sedang berbincang dengan kedua orang tuanya. Baginya, ini merupakan hal yang sangat langka. Padahal selama ini, tidak sedikit laki-laki yang berkenalan dengannya, tetapi tidak senekat Leo.Pak Bagas Wardana—ayah Rania, melemparkan senyuman kepada putri bungsunya lalu meminta gadis itu duduk. Sementara Bu Farida—ibu Rania, masih tertegun melihat ketampanan Leo. Ternyata Pak Bagas memperhatikan sikap istrinya tersebut.“Kita ke ruang TV, yuk, Mah.” Laki-laki itu berdiri lalu meraih tangan Bu Farida.“Papa duluan aja. Mama mau ikutan ngobrol.” “Mama ada-ada aja. Biarkan mereka ngomong berdua. Masa mau ikut campur urusan anak muda.” Pak Bagas tetap masih bersikeras menghentikan keinginan istrinya.“Iya, deh.” Bu Farida pun, berdiri. “Om dan Tante ke dalam dulu, ya, Nak Leo.” Wanita itu menunjukkan deretan gigi putihnya di depan Leo lalu ia dan sang suami beranjak dari ruangan itu.“Abang kenap
🏵️🏵️🏵️Cuaca tampak cerah walaupun hari sudah sore. Leo sangat menikmati suasana saat ini, tetapi tidak dengan Rania. Gadis itu masih bingung harus menentukan keputusan. Ia tidak mengerti kenapa pertemuannya dengan laki-laki yang baru ia kenal itu, akhirnya membawa perasaan yang membingungkan.Saat ini, posisi Leo dan Rania sedang duduk berhadapan. Mereka masih terdiam dengan pikiran masing-masing. Leo ingin memulai pembicaraan, tetapi merasa sungkan karena melihat wajah Rania yang murung.Sementara itu, Rania tidak tahu harus memulai dari mana untuk memberikan jawaban kepada Leo. Ia mengaku mengagumi pemuda itu, tetapi pernikahan belum tebersit dalam benaknya karena belum siap menjadi seorang istri.“Apa jawaban kamu, Nia?” Leo pun akhirnya membuka suara.“Aku harus jawab apa? Kenapa kamu senekat ini?” Rania mulai menunjukkan wajah kesalnya.“Apa salah jika aku ingin menghalalkan gadis yang kudambakan?”“Dambakan? Apa kamu nggak ingat kalau pertemuan kita hanya dua jam? Itu sama d
🏵️🏵️🏵️Leo sangat terkejut mendengar teriakan Rania. Pemuda itu segera berlari menuju pintu kamar mandi. Ia panik karena takut terjadi sesuatu terhadap istrinya. Ia pun mengetuk pintu sambil memanggil gadis yang ia cintai tersebut. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa Rania baik-baik saja.“Sayang, ada apa? Buka pintunya!” Rania tidak memberikan respons, tetapi justru makin takut karena lampu yang berada tidak jauh darinya, berkelip tidak hanya sekali. Ia pun memilih keluar dari bathtub lalu meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. Ia berniat akan mengenakan pakaian, tetapi dirinya lupa kalau tadi tidak membawa baju ganti.Kini, ia tidak memiliki pilihan lain. Ia berpikir akan meminta Leo mengambil pakaiannya di tas yang ia bawa dari rumah orang tuanya. Namun, ia bingung karena merasa canggung jika Leo harus melihat isi tasnya. Ia benar-benar dihadapkan pada situasi yang serba salah.“Sayang, kenapa diam aja? Buka pintunya. Kamu baik-baik aja, ‘kan?” Leo kembali mengetuk pintu.Mendeng
🏵️🏵️🏵️Saat ini, hati Leo sangat panas menyaksikan pemandangan yang tidak diharapkan. Ia tidak tahu apa tujuan Bayu menemui Rania. Ia tidak bermaksud untuk mengekang kebebasan istrinya dalam berteman dengan siapa pun. Ia hanya berharap agar wanita yang ia cintai tersebut mampu menjaga jarak dengan lelaki lain.Di samping itu, ia tidak terima jika pria yang pernah memiliki perasaan lebih terhadap Rania, kini kembali muncul. Namun, ia berusaha untuk tetap berpikiran positif karena mengingat Bayu adalah sepupu Damar, sahabatnya. Ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman.Ia pun akhirnya melangkah menghampiri Rania. Hatinya sudah yakin untuk tidak menunjukkan rasa cemburunya di depan wanita itu. Di samping itu, ia juga berpikir bahwa istrinya adalah miliknya.“Kuliahnya udah kelar, Sayang?” Ia langsung melingkarkan tangan kirinya ke pinggang Rania. Sementara Bayu segera melepaskan jabatan tangannya dari wanita yang masih ia cintai tersebut.“Udah, Bang.” Rania menyunggingkan senyuman.“Eh,
🏵️🏵️🏵️Rania mengerutkan dahi karena Leo kembali melingkarkan tangan di pinggangnya. Dia melihat jelas kalau suaminya itu tidak memberikan respons setelah membaca pesan yang masuk. Ia penasaran dan ingin tahu apa alasannya yang menunjukkan wajah santai.“Pesan dari siapa? Kok, nggak dibalas?” tanya Rania.“Nggak tahu dari siapa. Nomornya nggak tersimpan.”“Kan, kamu bisa nanya. Apa isi pesannya?” Rania makin ingin tahu.“Cie, ternyata kamu peduli, Sayang.” Leo memegang pipi Rania.“Aku hanya ingin tahu aja. Tapi kalau kamu nggak mau kasih tahu, nggak apa-apa.”“Jangan ngambek lagi, dong. Itu tadi ucapan selamat untuk pernikahan kita.” Leo pun memberitahukan isi pesan masuk di ponselnya.“Kamu cuek aja? Nggak ngucapin terima kasih? Kok, kamu tega?” Rania menjauhkan tangan Leo dari pipinya.“Udah, Sayang. Nggak perlu diperpanjang. Nanti aku pasti balas. Tapi sekarang aku lagi nggak ingin diganggu. Aku mau bermesraan dengan istriku.” Leo memainkan rambut panjang Rania.“Terserah kamu,
🏵️🏵️🏵️Serba salah, itu yang Leo rasakan saat ini. Ia tidak bermaksud untuk menyembunyikan apa pun dari Rania. Ia sengaja tidak memberitahukan tentang dirinya yang tinggal di Tanjungpinang sejak kecil. Ia melakukan itu karena ingin memberikan kejutan.Akan tetapi, rencana Leo yang ingin menceritakan langsung tentang masa-masa sekolahnya kepada Rania, akhirnya gagal karena penjelasan sang ibu. Ia menyesal karena tidak memberitahukan niatnya terlebih dahulu kepada wanita yang telah melahirkannya itu.“Lagi lihat siapa, Bro?” tanya Damar—sahabat Leo, lima tahun yang lalu. Kala itu, Leo masih memakai seragam putih abu-abu dan duduk di bangku kelas dua belas. Saat itu, ia baru selesai menyelesaikan UN.“Kok, aku baru lihat cewek cantik itu, Bro?” Leo terpana melihat seorang siswi yang baru keluar dari sekolahnya. Siswi tersebut merupakan pendamping hidupnya sekarang.“Ke mana aja, Bro? Makanya jangan sibuk dengan fans, sampai nggak tahu ada cewek cantik di sebelah.” “Kau kenal dia?” Leo
🏵️🏵️🏵️Malam ini merupakan malam kedua untuk Rania tinggal di rumah Leo. Saat ini, anggota keluarga yang masih berada di rumah sang mertua adalah kakek dan nenek Leo dari pihak ayahnya. Mereka bersemangat berbincang bersama. Sementara Rania dan Leo lebih memilih menjadi pendengar.Kakek dan nenek Leo menceritakan masa lalu anak sulung mereka—Pak Zainal. Saat masih sekolah, laki-laki itu termasuk siswa nakal dan keras kepala. Oleh karena kenakalannya, ia beberapa kali mendapat surat panggilan dari kepala sekolah.“Dulu, papi mertuamu, nih ... nakal, Nia. Beda dengan pakcik dan makcikmu.” Bu Julia—nenek Leo, melihat ke arah Rania. Mahasiswi itu memberikan respons dengan tersenyum.“Tapi kenakalan saya nggak turun ke Leo, Mak.” Pak Zainal memberikan respons. Sementara Rania melirik ke arah Leo. Wanita itu tiba-tiba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Baginya, suaminya itu usil.“Leo, kan, anak baik.” Pak Thamrin—kakek Leo, langsung mem
🏵️🏵️🏵️Leo sangat terkejut mendengar teriakan Rania. Pemuda itu segera berlari menuju pintu kamar mandi. Ia panik karena takut terjadi sesuatu terhadap istrinya. Ia pun mengetuk pintu sambil memanggil gadis yang ia cintai tersebut. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa Rania baik-baik saja.“Sayang, ada apa? Buka pintunya!” Rania tidak memberikan respons, tetapi justru makin takut karena lampu yang berada tidak jauh darinya, berkelip tidak hanya sekali. Ia pun memilih keluar dari bathtub lalu meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. Ia berniat akan mengenakan pakaian, tetapi dirinya lupa kalau tadi tidak membawa baju ganti.Kini, ia tidak memiliki pilihan lain. Ia berpikir akan meminta Leo mengambil pakaiannya di tas yang ia bawa dari rumah orang tuanya. Namun, ia bingung karena merasa canggung jika Leo harus melihat isi tasnya. Ia benar-benar dihadapkan pada situasi yang serba salah.“Sayang, kenapa diam aja? Buka pintunya. Kamu baik-baik aja, ‘kan?” Leo kembali mengetuk pintu.Mendeng
🏵️🏵️🏵️Cuaca tampak cerah walaupun hari sudah sore. Leo sangat menikmati suasana saat ini, tetapi tidak dengan Rania. Gadis itu masih bingung harus menentukan keputusan. Ia tidak mengerti kenapa pertemuannya dengan laki-laki yang baru ia kenal itu, akhirnya membawa perasaan yang membingungkan.Saat ini, posisi Leo dan Rania sedang duduk berhadapan. Mereka masih terdiam dengan pikiran masing-masing. Leo ingin memulai pembicaraan, tetapi merasa sungkan karena melihat wajah Rania yang murung.Sementara itu, Rania tidak tahu harus memulai dari mana untuk memberikan jawaban kepada Leo. Ia mengaku mengagumi pemuda itu, tetapi pernikahan belum tebersit dalam benaknya karena belum siap menjadi seorang istri.“Apa jawaban kamu, Nia?” Leo pun akhirnya membuka suara.“Aku harus jawab apa? Kenapa kamu senekat ini?” Rania mulai menunjukkan wajah kesalnya.“Apa salah jika aku ingin menghalalkan gadis yang kudambakan?”“Dambakan? Apa kamu nggak ingat kalau pertemuan kita hanya dua jam? Itu sama d
🏵️🏵️🏵️Rania tidak pernah menyangka kalau pemuda yang baru ia kenal seminggu yang lalu, kini sedang berbincang dengan kedua orang tuanya. Baginya, ini merupakan hal yang sangat langka. Padahal selama ini, tidak sedikit laki-laki yang berkenalan dengannya, tetapi tidak senekat Leo.Pak Bagas Wardana—ayah Rania, melemparkan senyuman kepada putri bungsunya lalu meminta gadis itu duduk. Sementara Bu Farida—ibu Rania, masih tertegun melihat ketampanan Leo. Ternyata Pak Bagas memperhatikan sikap istrinya tersebut.“Kita ke ruang TV, yuk, Mah.” Laki-laki itu berdiri lalu meraih tangan Bu Farida.“Papa duluan aja. Mama mau ikutan ngobrol.” “Mama ada-ada aja. Biarkan mereka ngomong berdua. Masa mau ikut campur urusan anak muda.” Pak Bagas tetap masih bersikeras menghentikan keinginan istrinya.“Iya, deh.” Bu Farida pun, berdiri. “Om dan Tante ke dalam dulu, ya, Nak Leo.” Wanita itu menunjukkan deretan gigi putihnya di depan Leo lalu ia dan sang suami beranjak dari ruangan itu.“Abang kenap
🏵️🏵️🏵️Leo Archen Wirawan sangat heran melihat sikap Rania—gadis yang baru ia kenal. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan seseorang yang menurutnya sangat langka. Ia menganggap Rania terlalu berlebihan karena mereka sebelumnya tidak saling kenal.Ia kembali mengingat kenapa dirinya harus berada di depan kampus Rania tadi. Semua itu terjadi karena ia harus mengantarkan berkas Bu May Sanoh Wirawan—ibunya, yang tertinggal di rumah.Telah lima tahun lamanya, Bu May menjadi donatur di STIE Pembangunan—kampus Rania. Ia memiliki impian untuk mengembangkan kampus tersebut karena telah melahirkan banyak sarjana berprestasi. Salah satunya, adik Pak Zainal Wirawan—ayah Leo.“Bisa diam, nggak, sih? Nggak usah cerewet, deh. Saya harus fokus nyetir.” Leo mengingatkan Rania.“Saya hanya ingin agar tas dan buku-buku saya kembali. Itu aja.” “Ini saya udah berusaha bantu. Jadi, jangan bawel.”“Bilang aja kalau Abang nggak ikhlas bantuin saya.” Rania meruncingkan bibirnya. “Kalau saya n
🏵️🏵️🏵️“Help me, please.” Rania menyusun sepuluh jari kepada pemuda yang saat ini berada di sampingnya.“Who are you?” Pemuda itu bertanya heran.“You don’t know me, but you must help me now.”Rania langsung menggunakan bahasa asing karena ia sangat yakin kalau orang pemuda tidak tahu bahasa Indonesia. Wajah orang itu sangat mirip dengan aktor Thailand favoritnya, James Jirayu.“Please, help me.” Rania kembali membuka suara. Kali ini, ia tidak dapat menahan air matanya agar tidak jatuh hingga membuat pemuda tersebut makin bingung.“Kamu ada masalah apa?” Kini, justru Rania yang terkejut mendengar pertanyaan pemuda itu.“What? Abang bisa bahasa Indonesia? Abang bukan bule?” Rania masih belum percaya dengan apa yang ia dengar tadi.“Yes. Papi saya asli Indonesia. Jadi, saya bisa ngomong bahasa Indonesia.”“Bagus, deh. Saya pun bisa ngomong dengan leluasa.”“Kenapa kamu masuk mobil saya? Saya buru-buru mau ngantor.” Pemuda itu kembali bertanya. Ia sangat terkejut karena Rania memasuki