🏵️🏵️🏵️
Serba salah, itu yang Leo rasakan saat ini. Ia tidak bermaksud untuk menyembunyikan apa pun dari Rania. Ia sengaja tidak memberitahukan tentang dirinya yang tinggal di Tanjungpinang sejak kecil. Ia melakukan itu karena ingin memberikan kejutan.
Akan tetapi, rencana Leo yang ingin menceritakan langsung tentang masa-masa sekolahnya kepada Rania, akhirnya gagal karena penjelasan sang ibu. Ia menyesal karena tidak memberitahukan niatnya terlebih dahulu kepada wanita yang telah melahirkannya itu.
“Lagi lihat siapa, Bro?” tanya Damar—sahabat Leo, lima tahun yang lalu. Kala itu, Leo masih memakai seragam putih abu-abu dan duduk di bangku kelas dua belas. Saat itu, ia baru selesai menyelesaikan UN.
“Kok, aku baru lihat cewek cantik itu, Bro?” Leo terpana melihat seorang siswi yang baru keluar dari sekolahnya. Siswi tersebut merupakan pendamping hidupnya sekarang.
“Ke mana aja, Bro? Makanya jangan sibuk dengan fans, sampai nggak tahu ada cewek cantik di sebelah.”
“Kau kenal dia?” Leo menunjuk ke arah siswi yang tidak lain adalah Rania.
“Kenal, sih, nggak. Tapi tahu kalau dia idola banyak cowok.”
“Kok, nggak ngomong?”
“Gimana mau ngomong? Kau sibuk aja dengan hobimu. Main band terus.”
“Namanya juga hobi.”
“Tapi akhirnya kau nggak tahu info di luar. Terbukti sekarang, kau baru lihat cewek cantik itu.” Damar menunjuk Rania. “Kita udah mau lulus. Maksudku, harus yakin lulus. Kau nggak ketemu lagi dengan dia.”
“Kalau jodoh nggak ke mana.”
“Iya, deh. Terserah.”
Leo menimba ilmu di SMA Negeri 2 Tanjungpinang, sedangkan Rania kala itu bersekolah di SMP Negeri 4. Sekolah mereka bersebelahan. Leo tidak pernah menyangka bahwa ucapan yang keluar dari mulutnya saat masih mengenakan seragam putih abu-abu, kini menjadi kenyataan. Terbukti sekarang kalau dirinya berjodoh dengan Rania.
Kala itu, Leo hanya sekali melihat Rania memakai seragam karena setelah menerima ijazah SMA, ia pun langsung terbang ke Thailand untuk melanjutkan pendidikannya. Selama tinggal di negara sang ibu, Leo pernah menjalin hubungan dengan Laura—salah satu mahasiswi di kampusnya.
Hubungan yang mereka jalani menurut Leo hanya cinta monyet semata karena sejak dulu, ia tetap ingin memiliki pendamping hidup yang berasal dari Tanjungpinang, walaupun saat itu dirinya sudah tidak ingat lagi dengan siswi SMP yang pernah ia lihat di sebelah sekolahnya.
Setelah lulus kuliah, hubungan Leo dan Laura akhirnya berakhir. Leo pun memutuskan untuk tidak menjalin hubungan asmara lagi dengan gadis lain karena ingin fokus membantu sang kakek mengelola perusahaan. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk usaha keluarga ibunya.
“Hanya kamu harapan Kakek satu-satunya,” ucap sang kakek saat itu menggunakan bahasa Thai. Orang tua tersebut berbicara seperti itu karena dirinya sadar bahwa hanya Leo yang akan menjadi pewaris keluarga, sebab wanita yang melahirkan Leo merupakan anak tunggal.
“Iya, Kek, saya mengerti.” Leo sangat mengerti perasaan kakeknya.
Dua tahun membantu sang kakek mengelola perusahaan, Leo pun meminta izin untuk kembali ke Tanjungpinang. Walau dengan berat hati, kakek dan nenek Leo akhirnya melepas kepergian cucu mereka. Kedua orang tua itu pun menunjuk Siwat—seorang karyawan yang paling dipercaya, untuk menjalankan perusahaan sebelum diserahkan nantinya kepada Leo.
Setelah di Tanjungpinang, Leo langsung ditunjuk sang ayah untuk membantu mengembangkan usaha keluarga. Pak Zainal memercayai Leo sebagai CEO. Laki-laki itu pun menerapkan ilmu yang ia peroleh saat kuliah untuk mengelola perusahaan yang dirintis ayahnya.
Leo ingin membuktikan kalau dirinya mampu memberikan yang terbaik untuk perusahaan. Namun, baru beberapa bulan bergabung di perusahaan, Pak Zainal terkejut ketika Leo mengutarakan niatnya untuk menikah. Lelaki paruh baya itu sedikit ragu karena perhatian sang anak akan terbagi.
Leo berusaha meyakinkan ayahnya kalau ia mampu dan tetap akan fokus membantu kemajuan usaha mereka. Pak Zainal pun percaya dan menyetujui niat Leo. Laki-laki paruh baya itu makin yakin karena wanita yang dinikahi putranya merupakan anak dari sahabat lamanya.
🏵️🏵️🏵️
Saat ini, Leo masih tetap berusaha membujuk Rania. Ia ingin menceritakan kenyataan yang sebenarnya kepada wanita itu. Namun, ia belum berhasil meluluhkan hatinya. Pendamping hidupnya tersebut masih sedih karena menganggap suaminya tidak jujur.
“Sayang, jangan ngambek, dong.” Leo memilih duduk di tepi ranjang, walaupun Rania berbaring membelakangi dirinya. “Aku nggak pernah berniat sedikit pun untuk membohongimu. Aku sengaja ingin menceritakan semuanya setelah kita nikah.” Laki-laki itu memegang lengan wanitanya tersebut.
Rania tidak memberikan respons sama sekali. Ia merasa telah dipermainkan oleh lelaki yang menikahinya. Padahal selama sebulan ini, ia sudah mulai belajar membuka diri agar yakin kalau Leo merupakan suami terbaik untuknya, meskipun perkenalan mereka sangat singkat.
“Cie, cewek yang banyak fans-nya lagi ngambek, nih. Ngambeknya juga sama suami sendiri.” Leo berharap agar Rania kembali luluh.
“Aku nggak lagi ngambek, aku marah.”
“Akhirnya aku dengar lagi suara indah istriku.”
Rania pun membalikkan badan lalu mendorong pelan tubuh Leo. “Sana tidur! Ngapain di sini? Aku mau istirahat.”
“Kamu lupa kalau kita itu masih pengantin baru? Ingat, nggak, tadi kata Atok?” Leo tetap bertahan duduk di tepi ranjang.
“Aku kesal sama kamu. Kamu nggak jujur.”
“Aku nggak bermaksud seperti itu, Sayang. Aku ingin cerita saat kita sudah sah menjadi suami istri. Sebenarnya, semalam aku berniat untuk mengatakan yang sebenarnya, tapi kamu tahu sendiri kalau semalam aku lagi khilaf. Lupa, deh, semuanya.” Leo mengembangkan senyumnya.
Rania tidak mampu menahan diri untuk tidak tersenyum setelah mendengar penuturan Leo. Ia pun kembali membalikkan badan karena merasa malu jika suaminya itu melihat pipinya yang kini merah merona. Leo tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, ia pun langsung berbaring di samping istrinya tersebut.
“Hadap sini, dong. Aku mau cerita,” pinta Leo. Ia memeluk Rania, tidak ada penolakan sama sekali dari wanita itu. Ia sangat senang karena telah berhasil meluluhkan hatinya.
“Nggak mau.”
“Kenapa? Malu?”
“Nggak.”
“Terus, apa alasannya?”
“Nggak mau aja.”
“Dosa, nggak, kalau seorang istri membelakangi suami, padahal suaminya udah meminta untuk melihat ke arahnya?”
Rania langsung membalikkan badan kembali menghadap ke arah Leo. “Terus, kamu nggak merasa berdosa bohongin istri?”
“Suka, deh. Ternyata gadis, eh, masih pantas dibilang gadis, nggak, sih? Maksudku, wanita cantik ini sekarang mengakui dirinya sebagai istriku.”
“Sana! Aku mau tidur.” Rania kembali kesal karena ucapan Leo mengingatkannya tentang kejadian di mana ia tidak dapat mengontrol diri tadi malam.
“Aku mau cerita. Ini tentang kamu, loh.”
“Aku lagi nggak pengen dengar cerita kamu. Aku mau istirahat. Ini udah jam sebelas.” Rania melihat ke arah jam dinding.
“Sayang, tolong dengar ceritaku, dong. Sama suami juga sombong? Nggak cukup hanya sama mereka yang mengidolakanmu?”
“Nggak ada yang ngidolain aku.”
“Siswa SMA 2 dan SMP 4.”
“Sok tahu.”
“Tahu, dong, Sayang.”
“Nggak perlu sok kenal aku dari dulu. Kita itu kenal baru sebulan lebih.”
“Tapi aku udah kenal kamu dari lima tahun yang lalu.”
“Nggak mungkin. Kamu mau bohong lagi? Cukup, Bang!” Rania menepiskan tangan Leo dari perutnya, ia pun menggeser posisi baringnya, menjaga jarak dengan laki-laki itu.
Rania tidak tertarik untuk mendengar cerita Leo. Ia tidak percaya kalau laki-laki itu telah lama mengenal dirinya. Ia tidak tahu kalau Leo mengatakan kebenaran walaupun saat itu, baru melihat Rania sekali saja. Leo berusaha untuk mengerti dengan sikap wanita yang ia cintai tersebut karena dirinya tahu kalau sang istri sangat manja.
Leo tidak peduli walaupun Rania berusaha menjaga jarak darinya. Ia kembali mendekat lalu mendekapnya. “Peluk lagi, ah.”
Rania tidak kuasa menolak tingkah lucu Leo. Ia pun tersenyum, tetapi suaminya itu tidak tahu. Sebenarnya, ia tetap mengagumi Leo, walaupun menganggap laki-laki itu tidak terbuka terhadapnya. Sikap menyebalkan Leo kadang mampu membuat dirinya tersenyum.
Bagi Rania, cinta pada pandangan pertama yang selalu Leo jelaskan kepadanya belum mampu membuat ia untuk percaya penuh. Ia merasa bahwa Leo terlalu cepat dan mudah mengungkapkan cinta. Ia tidak tahu kalau suaminya itu tulus mencintainya.
Ia juga tidak tahu kalau sejak pertemuan awal mereka kala itu, Leo langsung menghubungi Damar—teman yang masih mengetahui tentang kegiatan Rania. Damar melakukan itu karena Bayu—sepupunya, tertarik dengan kecantikan wanita itu.
“HP kamu ada pesan, tuh.” Rania kembali membuka suara karena mendengar nada pesan masuk dari ponsel Leo.
“Biarin aja.” Leo tetap mendekapnya.
“Buka aja, siapa tahu penting.”
“Iya, deh.” Leo pun melepas pelukan lalu meraih ponsel dari nakas yang tidak jauh dari jangkauannya. Ia mengusap layar, kemudian membuka pesan masuk tersebut.
[Selamat menempuh hidup baru]. Isi pesan menggunakan bahasa Thai.
==========
Siapa yang mengirim pesan ke ponsel Leo?
🏵️🏵️🏵️“Help me, please.” Rania menyusun sepuluh jari kepada pemuda yang saat ini berada di sampingnya.“Who are you?” Pemuda itu bertanya heran.“You don’t know me, but you must help me now.”Rania langsung menggunakan bahasa asing karena ia sangat yakin kalau orang pemuda tidak tahu bahasa Indonesia. Wajah orang itu sangat mirip dengan aktor Thailand favoritnya, James Jirayu.“Please, help me.” Rania kembali membuka suara. Kali ini, ia tidak dapat menahan air matanya agar tidak jatuh hingga membuat pemuda tersebut makin bingung.“Kamu ada masalah apa?” Kini, justru Rania yang terkejut mendengar pertanyaan pemuda itu.“What? Abang bisa bahasa Indonesia? Abang bukan bule?” Rania masih belum percaya dengan apa yang ia dengar tadi.“Yes. Papi saya asli Indonesia. Jadi, saya bisa ngomong bahasa Indonesia.”“Bagus, deh. Saya pun bisa ngomong dengan leluasa.”“Kenapa kamu masuk mobil saya? Saya buru-buru mau ngantor.” Pemuda itu kembali bertanya. Ia sangat terkejut karena Rania memasuki
🏵️🏵️🏵️Leo Archen Wirawan sangat heran melihat sikap Rania—gadis yang baru ia kenal. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan seseorang yang menurutnya sangat langka. Ia menganggap Rania terlalu berlebihan karena mereka sebelumnya tidak saling kenal.Ia kembali mengingat kenapa dirinya harus berada di depan kampus Rania tadi. Semua itu terjadi karena ia harus mengantarkan berkas Bu May Sanoh Wirawan—ibunya, yang tertinggal di rumah.Telah lima tahun lamanya, Bu May menjadi donatur di STIE Pembangunan—kampus Rania. Ia memiliki impian untuk mengembangkan kampus tersebut karena telah melahirkan banyak sarjana berprestasi. Salah satunya, adik Pak Zainal Wirawan—ayah Leo.“Bisa diam, nggak, sih? Nggak usah cerewet, deh. Saya harus fokus nyetir.” Leo mengingatkan Rania.“Saya hanya ingin agar tas dan buku-buku saya kembali. Itu aja.” “Ini saya udah berusaha bantu. Jadi, jangan bawel.”“Bilang aja kalau Abang nggak ikhlas bantuin saya.” Rania meruncingkan bibirnya. “Kalau saya n
🏵️🏵️🏵️Rania tidak pernah menyangka kalau pemuda yang baru ia kenal seminggu yang lalu, kini sedang berbincang dengan kedua orang tuanya. Baginya, ini merupakan hal yang sangat langka. Padahal selama ini, tidak sedikit laki-laki yang berkenalan dengannya, tetapi tidak senekat Leo.Pak Bagas Wardana—ayah Rania, melemparkan senyuman kepada putri bungsunya lalu meminta gadis itu duduk. Sementara Bu Farida—ibu Rania, masih tertegun melihat ketampanan Leo. Ternyata Pak Bagas memperhatikan sikap istrinya tersebut.“Kita ke ruang TV, yuk, Mah.” Laki-laki itu berdiri lalu meraih tangan Bu Farida.“Papa duluan aja. Mama mau ikutan ngobrol.” “Mama ada-ada aja. Biarkan mereka ngomong berdua. Masa mau ikut campur urusan anak muda.” Pak Bagas tetap masih bersikeras menghentikan keinginan istrinya.“Iya, deh.” Bu Farida pun, berdiri. “Om dan Tante ke dalam dulu, ya, Nak Leo.” Wanita itu menunjukkan deretan gigi putihnya di depan Leo lalu ia dan sang suami beranjak dari ruangan itu.“Abang kenap
🏵️🏵️🏵️Cuaca tampak cerah walaupun hari sudah sore. Leo sangat menikmati suasana saat ini, tetapi tidak dengan Rania. Gadis itu masih bingung harus menentukan keputusan. Ia tidak mengerti kenapa pertemuannya dengan laki-laki yang baru ia kenal itu, akhirnya membawa perasaan yang membingungkan.Saat ini, posisi Leo dan Rania sedang duduk berhadapan. Mereka masih terdiam dengan pikiran masing-masing. Leo ingin memulai pembicaraan, tetapi merasa sungkan karena melihat wajah Rania yang murung.Sementara itu, Rania tidak tahu harus memulai dari mana untuk memberikan jawaban kepada Leo. Ia mengaku mengagumi pemuda itu, tetapi pernikahan belum tebersit dalam benaknya karena belum siap menjadi seorang istri.“Apa jawaban kamu, Nia?” Leo pun akhirnya membuka suara.“Aku harus jawab apa? Kenapa kamu senekat ini?” Rania mulai menunjukkan wajah kesalnya.“Apa salah jika aku ingin menghalalkan gadis yang kudambakan?”“Dambakan? Apa kamu nggak ingat kalau pertemuan kita hanya dua jam? Itu sama d
🏵️🏵️🏵️Leo sangat terkejut mendengar teriakan Rania. Pemuda itu segera berlari menuju pintu kamar mandi. Ia panik karena takut terjadi sesuatu terhadap istrinya. Ia pun mengetuk pintu sambil memanggil gadis yang ia cintai tersebut. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa Rania baik-baik saja.“Sayang, ada apa? Buka pintunya!” Rania tidak memberikan respons, tetapi justru makin takut karena lampu yang berada tidak jauh darinya, berkelip tidak hanya sekali. Ia pun memilih keluar dari bathtub lalu meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. Ia berniat akan mengenakan pakaian, tetapi dirinya lupa kalau tadi tidak membawa baju ganti.Kini, ia tidak memiliki pilihan lain. Ia berpikir akan meminta Leo mengambil pakaiannya di tas yang ia bawa dari rumah orang tuanya. Namun, ia bingung karena merasa canggung jika Leo harus melihat isi tasnya. Ia benar-benar dihadapkan pada situasi yang serba salah.“Sayang, kenapa diam aja? Buka pintunya. Kamu baik-baik aja, ‘kan?” Leo kembali mengetuk pintu.Mendeng
🏵️🏵️🏵️Malam ini merupakan malam kedua untuk Rania tinggal di rumah Leo. Saat ini, anggota keluarga yang masih berada di rumah sang mertua adalah kakek dan nenek Leo dari pihak ayahnya. Mereka bersemangat berbincang bersama. Sementara Rania dan Leo lebih memilih menjadi pendengar.Kakek dan nenek Leo menceritakan masa lalu anak sulung mereka—Pak Zainal. Saat masih sekolah, laki-laki itu termasuk siswa nakal dan keras kepala. Oleh karena kenakalannya, ia beberapa kali mendapat surat panggilan dari kepala sekolah.“Dulu, papi mertuamu, nih ... nakal, Nia. Beda dengan pakcik dan makcikmu.” Bu Julia—nenek Leo, melihat ke arah Rania. Mahasiswi itu memberikan respons dengan tersenyum.“Tapi kenakalan saya nggak turun ke Leo, Mak.” Pak Zainal memberikan respons. Sementara Rania melirik ke arah Leo. Wanita itu tiba-tiba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Baginya, suaminya itu usil.“Leo, kan, anak baik.” Pak Thamrin—kakek Leo, langsung mem
🏵️🏵️🏵️Serba salah, itu yang Leo rasakan saat ini. Ia tidak bermaksud untuk menyembunyikan apa pun dari Rania. Ia sengaja tidak memberitahukan tentang dirinya yang tinggal di Tanjungpinang sejak kecil. Ia melakukan itu karena ingin memberikan kejutan.Akan tetapi, rencana Leo yang ingin menceritakan langsung tentang masa-masa sekolahnya kepada Rania, akhirnya gagal karena penjelasan sang ibu. Ia menyesal karena tidak memberitahukan niatnya terlebih dahulu kepada wanita yang telah melahirkannya itu.“Lagi lihat siapa, Bro?” tanya Damar—sahabat Leo, lima tahun yang lalu. Kala itu, Leo masih memakai seragam putih abu-abu dan duduk di bangku kelas dua belas. Saat itu, ia baru selesai menyelesaikan UN.“Kok, aku baru lihat cewek cantik itu, Bro?” Leo terpana melihat seorang siswi yang baru keluar dari sekolahnya. Siswi tersebut merupakan pendamping hidupnya sekarang.“Ke mana aja, Bro? Makanya jangan sibuk dengan fans, sampai nggak tahu ada cewek cantik di sebelah.” “Kau kenal dia?” Le
🏵️🏵️🏵️Malam ini merupakan malam kedua untuk Rania tinggal di rumah Leo. Saat ini, anggota keluarga yang masih berada di rumah sang mertua adalah kakek dan nenek Leo dari pihak ayahnya. Mereka bersemangat berbincang bersama. Sementara Rania dan Leo lebih memilih menjadi pendengar.Kakek dan nenek Leo menceritakan masa lalu anak sulung mereka—Pak Zainal. Saat masih sekolah, laki-laki itu termasuk siswa nakal dan keras kepala. Oleh karena kenakalannya, ia beberapa kali mendapat surat panggilan dari kepala sekolah.“Dulu, papi mertuamu, nih ... nakal, Nia. Beda dengan pakcik dan makcikmu.” Bu Julia—nenek Leo, melihat ke arah Rania. Mahasiswi itu memberikan respons dengan tersenyum.“Tapi kenakalan saya nggak turun ke Leo, Mak.” Pak Zainal memberikan respons. Sementara Rania melirik ke arah Leo. Wanita itu tiba-tiba mengingat apa yang terjadi tadi malam. Baginya, suaminya itu usil.“Leo, kan, anak baik.” Pak Thamrin—kakek Leo, langsung mem
🏵️🏵️🏵️Leo sangat terkejut mendengar teriakan Rania. Pemuda itu segera berlari menuju pintu kamar mandi. Ia panik karena takut terjadi sesuatu terhadap istrinya. Ia pun mengetuk pintu sambil memanggil gadis yang ia cintai tersebut. Ia berusaha meyakinkan diri bahwa Rania baik-baik saja.“Sayang, ada apa? Buka pintunya!” Rania tidak memberikan respons, tetapi justru makin takut karena lampu yang berada tidak jauh darinya, berkelip tidak hanya sekali. Ia pun memilih keluar dari bathtub lalu meraih handuk untuk menutupi tubuhnya. Ia berniat akan mengenakan pakaian, tetapi dirinya lupa kalau tadi tidak membawa baju ganti.Kini, ia tidak memiliki pilihan lain. Ia berpikir akan meminta Leo mengambil pakaiannya di tas yang ia bawa dari rumah orang tuanya. Namun, ia bingung karena merasa canggung jika Leo harus melihat isi tasnya. Ia benar-benar dihadapkan pada situasi yang serba salah.“Sayang, kenapa diam aja? Buka pintunya. Kamu baik-baik aja, ‘kan?” Leo kembali mengetuk pintu.Mendeng
🏵️🏵️🏵️Cuaca tampak cerah walaupun hari sudah sore. Leo sangat menikmati suasana saat ini, tetapi tidak dengan Rania. Gadis itu masih bingung harus menentukan keputusan. Ia tidak mengerti kenapa pertemuannya dengan laki-laki yang baru ia kenal itu, akhirnya membawa perasaan yang membingungkan.Saat ini, posisi Leo dan Rania sedang duduk berhadapan. Mereka masih terdiam dengan pikiran masing-masing. Leo ingin memulai pembicaraan, tetapi merasa sungkan karena melihat wajah Rania yang murung.Sementara itu, Rania tidak tahu harus memulai dari mana untuk memberikan jawaban kepada Leo. Ia mengaku mengagumi pemuda itu, tetapi pernikahan belum tebersit dalam benaknya karena belum siap menjadi seorang istri.“Apa jawaban kamu, Nia?” Leo pun akhirnya membuka suara.“Aku harus jawab apa? Kenapa kamu senekat ini?” Rania mulai menunjukkan wajah kesalnya.“Apa salah jika aku ingin menghalalkan gadis yang kudambakan?”“Dambakan? Apa kamu nggak ingat kalau pertemuan kita hanya dua jam? Itu sama d
🏵️🏵️🏵️Rania tidak pernah menyangka kalau pemuda yang baru ia kenal seminggu yang lalu, kini sedang berbincang dengan kedua orang tuanya. Baginya, ini merupakan hal yang sangat langka. Padahal selama ini, tidak sedikit laki-laki yang berkenalan dengannya, tetapi tidak senekat Leo.Pak Bagas Wardana—ayah Rania, melemparkan senyuman kepada putri bungsunya lalu meminta gadis itu duduk. Sementara Bu Farida—ibu Rania, masih tertegun melihat ketampanan Leo. Ternyata Pak Bagas memperhatikan sikap istrinya tersebut.“Kita ke ruang TV, yuk, Mah.” Laki-laki itu berdiri lalu meraih tangan Bu Farida.“Papa duluan aja. Mama mau ikutan ngobrol.” “Mama ada-ada aja. Biarkan mereka ngomong berdua. Masa mau ikut campur urusan anak muda.” Pak Bagas tetap masih bersikeras menghentikan keinginan istrinya.“Iya, deh.” Bu Farida pun, berdiri. “Om dan Tante ke dalam dulu, ya, Nak Leo.” Wanita itu menunjukkan deretan gigi putihnya di depan Leo lalu ia dan sang suami beranjak dari ruangan itu.“Abang kenap
🏵️🏵️🏵️Leo Archen Wirawan sangat heran melihat sikap Rania—gadis yang baru ia kenal. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu dengan seseorang yang menurutnya sangat langka. Ia menganggap Rania terlalu berlebihan karena mereka sebelumnya tidak saling kenal.Ia kembali mengingat kenapa dirinya harus berada di depan kampus Rania tadi. Semua itu terjadi karena ia harus mengantarkan berkas Bu May Sanoh Wirawan—ibunya, yang tertinggal di rumah.Telah lima tahun lamanya, Bu May menjadi donatur di STIE Pembangunan—kampus Rania. Ia memiliki impian untuk mengembangkan kampus tersebut karena telah melahirkan banyak sarjana berprestasi. Salah satunya, adik Pak Zainal Wirawan—ayah Leo.“Bisa diam, nggak, sih? Nggak usah cerewet, deh. Saya harus fokus nyetir.” Leo mengingatkan Rania.“Saya hanya ingin agar tas dan buku-buku saya kembali. Itu aja.” “Ini saya udah berusaha bantu. Jadi, jangan bawel.”“Bilang aja kalau Abang nggak ikhlas bantuin saya.” Rania meruncingkan bibirnya. “Kalau saya n
🏵️🏵️🏵️“Help me, please.” Rania menyusun sepuluh jari kepada pemuda yang saat ini berada di sampingnya.“Who are you?” Pemuda itu bertanya heran.“You don’t know me, but you must help me now.”Rania langsung menggunakan bahasa asing karena ia sangat yakin kalau orang pemuda tidak tahu bahasa Indonesia. Wajah orang itu sangat mirip dengan aktor Thailand favoritnya, James Jirayu.“Please, help me.” Rania kembali membuka suara. Kali ini, ia tidak dapat menahan air matanya agar tidak jatuh hingga membuat pemuda tersebut makin bingung.“Kamu ada masalah apa?” Kini, justru Rania yang terkejut mendengar pertanyaan pemuda itu.“What? Abang bisa bahasa Indonesia? Abang bukan bule?” Rania masih belum percaya dengan apa yang ia dengar tadi.“Yes. Papi saya asli Indonesia. Jadi, saya bisa ngomong bahasa Indonesia.”“Bagus, deh. Saya pun bisa ngomong dengan leluasa.”“Kenapa kamu masuk mobil saya? Saya buru-buru mau ngantor.” Pemuda itu kembali bertanya. Ia sangat terkejut karena Rania memasuki