"Kenapa kamu kemari?" tanya Prayogi dengan lemas kembali ke dalam. Orang yang dipikirnya datang, ternyata orang lain."Kamu sampai malam tidak pulang, apa aku tidak cemas?""Aku bukan anak kecil, Mita, yang harus kamu cemaskan."Sasmita masuk dan menelisik rumah kecil Prayogi."Kamu baru mengenang kemesraanmu dengan Gayatri, Mas?""Kenapa sih kamu selalu menyebut dia di setiap masalah yang kita hadapi?"Sasmita sudah sampai di kamar Prayogi."Di sini aku bisa bayangkan kamu bermesraan dengannya, Mas." ucap Sasmita yang sudah merebahkan badannya. "kamar yang lumayan., kasurnya saja yang seperti batu."Prayogi hanya mendengus, lalu mengambil makanannya. Di saat dia makan, Sasmita sudah mendekatinya."Banyak sekali kamu beli nasinya, Mas. Kamu sepertinya menyiapkan untuk keluargamuApa kamu berharap mereka ke sini? Makan bersama kamu?" Sasmita mulai emosi setelah menghitung jumlah nasi bungkus yang ada di meja.Prayogi menjadi gelagapan dibuatnya. Dia memang sama sekali tidak mengira Sas
"Sayang, kamu sudah baikan?" tanya Rendra begitu melihat Gayatri yang sebentar sebentar makan.'Iya, lihat aja aku makan terus begini."Rendra mendekatinya, rebahan di kaki Gayatri yang tengah asik menggulir handphone-nya."Seharusnya kamu ghak boleh pegang handphone kalau ghak terpaksa. Ghak baik untuk anak kita di kandungan."Gayatri reflek menaruh handphone-nya. "Kenapa kasih taunya ghak kemarin kemarin, Mas. Tau gitu aku ghak main handphone,: sesalnya. Dia memang protek banget jika hamil. Bahkan semua kata orang tua dia turut. Ghak boleh makan setelah maghrib, ghak boleh makan pedas, ghak boleh bersiin ikan,,.. pokoknya apapun yang ghak boleh untuk ibu hamil, dia ghak akan lakuin."La kamunya aja da punya dua anak, masak aku yang kasih tau?""Duluh aku kan ghak pernah pegang handphone, Mas. Ini aja baru seneng-senengnya pakai handphone.""Heem. Aku malah lihat kamu sekarang suka selfi. Ganjen banget, aku jadi gemas nih," ucap Rendra sambil mendaratkan ciumannya di bibir Gayatri.
"Bu, apa yang terjadi?" Gayatri mendekat dan membimbing Bu Ratna yang terjatuh dari tempat tidurnya."Dadaku tiba-tiba terasa nyeri, Tri. Aku mau ambil air, ternyata aku malah jatuh."Gayatri duduk di sisi tempat tidur Bu Ratna. "Mana yang sakit, Bu?" tanya Gayatri yang melihat Bu Ratna kesakitan."Entahlah, Tri. Badanku rasanya sakit sekali. Dadaku terasa ghak enak. Untuk dipakai bernafas, susah."" Aku panggilkan dokter, Bu.""Iya, Tri. Makasih.""Galing, Galuh,..!" teriak Gayatri mendekati tangga. Kedua anaknya berlarian ke bawa."Bund, ada apa?" tanya Galuh."Tolong jaga Yangti. Yangti habis terjatuh dari tempat tidur. Bunda mau ambil handphone ke kamar sebentar. Mau menghubungi dokter.""Iya, Bund. Cepatlah. Kasihan Yangti, kesakitan." Galing sudah bingung melihat Bu Ratna yan memegangi dadanya.Gayatri segera ke kamarnya. Ditelponnya dokter pribadi Bu Ratna.Berkali kali ditelpon, masih tidak ada jawaban. Gayatri segera berlari ke kamar atas. Terlihat Rendra di mejanya sedang
"Asalamualaikum, Bunda!"Gayatri melihat ke arah datangnya suara. Kedua bua hatinya bersama Tanti sudah dia ambang pintu kamar tempat Bu Ratna dirawat. Wajah mereka tampak berseri. Mungkin karena sudah mandi sore. Sedangkan Gayatri sendiri juga tapak segar. Kebiasaannya jika suaminya mau pulang, dia sudah terlihat cantik saat menyongsongnya."Ini kenapa rombongan ke sini? Yang jaga rumah, siapa?" tanya Gayatri basa basi. "Ghak ada maling, Mbak. Ghak usah dijaga," ucap Tanti. Perumahan itu memang terkenal aman dari dahulu. Hanya saja memang ada Satpam yang sering berjaga di depan gerbang perumahan, khususnya yang perumahan elit."Sekolah kamu besuk?""Bunda lupa, Kak. kiat ka sudah libur, Bund,. habis ujian," kata Galing ."Kenapa Bunda lupa?" Gayatri jadi malu sendiri dengan kelupaannya tentang jadwal anaknya. Mungkin persoalannya dengan Rendra yang membuatnya tak mengingat itu. Gayatri memang merasakan hatinya suntuk. Ini tadi dia bahkan malas mandi dan malas dandan bila mengingat s
"Baiklah, Bu. Saya pulang dulu kalau gitu," pamit Gayatri."Iya, biar hati kamu juga lumer kalau nanti di rumah." Bu Ratna terkekeh. Terlebih melihat reaksi Gayatri.Gayatri memandang Bu Ratna dengan segan. Dia memang tidak mengira kalau Bu Ratna tau dia marah sama Rendra.Sepanjang jalan yang mereka lalui Gayatri hanya terdiam. Jarak yang tidak begitu jauh dari rumah sakit, hanya sebentar mereka sudah sampai di rumah. Gayatri langsung ke kamar merebahkan tubuhnya."Aku kasih minyak kayu putih ya?" tanya Rendra..."Ghak usah. Ghak perlu repot-repot." Jawaban Gayatri masih sengol."Sayang,.. jangan lama-lama dong ngambeknya. Kasihan anakmu nanti kalau ketularan juteknya."Gayatri hanya mendengus menanggapi ucapan Rendra.Rendra yang lupa, segera mencium bibir Gayatri seperti kebiasaannya saat duduk di hadapan tempat tidur Gayatri. Rasa mual yang dari tadi mengaduk-aduk perutnya, seketika membuncah. Gayatri segera turun dari tempat tidurnya, berlari ke wastafel. Rendra yang baru ingat
"Rend, kamu mau balik saja. Sini duluh," teriak Artika."Aku agak telat ini, Ma." Rendra terburu-buru."Makanya jangan nglembur terus!" sindir Artika yang melihat rambut anaknya. Rendra menjadi malu. Dia memang sampai kesiangan gara-gara kecanduan Gayatri setelah seminggu lebih hanya ganggur. Apalagi setelah pertengkaran kemarin. Rasanya semalaman hanya menghabiskan malam bersama Gayatri masihlah kurang."Mama mau ngrunding acara selamatan kehamilan Gayatri.""Ma, ini sudah kesiangan. Rendra manut saja. Rundingan sama Gayatri bagaimana baiknya." Rendra langsung beranjak pergi. Apalagi melihat Bu Ratna sepertinya sudah sehat."Ok, Ok. Sana kamu pergi. Emang kamu pegawai negri, beda kayak papamu yang waktunya bisa lebih longgar semaunya. Karena kerja di perusahaan sendiri." Artika akhirnya menyerah. Lalu menatap Gayatri yang juga menampakkan sikap segannya setelah Artika mencandai putranya. Untungnya anak-anak Gayatri ada di luar, keliling-keliling kompleks rumah sakit."Aku tadi dian
"Ayu, nanti agak sore adikmu datang sama Nadin. Dia ingin membahas konsep pernikahannya dengan kamu." Pagi-pagi, Garnis sudah menelpon Gayatri yang masih di kamar. Rendra yang kebetulan libur karena hari Minggu, masih betah di belakang punggungnya yang menguping sambil tiduran.Gayatri kemudian menekan loos speaker. Walau begitu Rendra masih menempelkan tubuhnya di punggung Gayatri. Sampai Gayatri sering mengibasnya dengan sikunya."Jadi bener nih, Ma, ghak ada acara lamarannya?"Terdengar Garnis terkekeh, "Ya, ada dong, Yu. Cuma jaraknya ghak jauh sebelum nikahnya. Katanya keluarga kita juga sama saja, kok." Garnis terkekeh."Maksudnya?" Gayatri tak habis pikir dengan jalan pikiran Geisha.."Mama kurang paham apa maunya dua anak itu. Mungkin juga untuk lamarannya juga kali yang mereka ingin bahas sama kamu. Mereka sepertinya ribet banget maunya. Tapi mereka ghak ingin merepotkan kami, sekaligus tak ingin merepotkan diri, makanya pakai saja jasa kamu." Gayatri sekarang memang ber
Galuh sudah meletakkan handphone-nya dengan tangis yang tak lagi bisa dibendungnya. Gayatri mendekat dan memeluk anak gadisnya itu dengan sayang. Seolah dia melihat penderitaan yang sama yang pernah dia rasakan sebelumnya."Kenapa kamu tak memberi dai kesempatan untuk menjelaskannya?""Kalau yang namanya pria, di mana saja, sama, Bund. Kelihatannya baik, tapi di belakang kita, nertawain kita yang seolah-olah menjadi wanita bodoh. Bunda sendiri pernah mengalaminya, bukan?""Jangan kausamakan semua pria seperti ayahmu, Luh. Setiap orang berbeda.""Ujung-ujungnya juga sama, Bund.""Tenang, Luh. Tenangkan hatimu duluh. Jangan gegabah mengambil keputusan.""Aku bosan melihat penghianatan, Bund." Kembali Galuh terisak. Gayatri segera memeluknya. Dalam diam Gayatri merasakan kepedihan. Ternyata apa yang dialaminya telah membilurkan luka juga di hati putrinya. Ketakutan akan mengalami yang sama, kecurigaan yang sama.Gayatri tidak jadi mengatakan apa yangi ngin dia sampaikan untuk Galuh. Usa