Tak kalah kagetnya dengan Galing, Galuh pun terperanjak."Ini bukannya Ayah, Ling? Coba kamu besarkan lagi.""Memang benar, Kak. Dia Ayah.""Sepertinya mereka telah kembali dari Amerika.""Iya, bener, Kak. Dan mereka makan di cafe mall itu.""Berarti,..." hampir bersamaan kedua anak yang selalu kompak itu mengucapkan kata-kata."Hantu itu benar ada, Kak.""Buset kamu, ngatain ayah kita dengan hantu.""Habisnya Bunda ketakutan banget.""Iya, kayak lihat hantu.""Wajar, Ling dia ketakutan. Kita aja diambil dari sana tanpa sepengetahuan Ayah. Bagaimana jika dia berusaha mengambil kita kembali? Bukankah istrinya itu berduit, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan."Galing mendekati kakaknya. "Aku ghak mau, Kak, kalau kita pisah lagi dari Bunda. Kita sudah bisa melihat Bunda bahagia dengan Kak Rendra. Dan Kak Rendra sudah menyayangi kita seperti dia meyayangi anaknya sendiri, bahkan kita sudah seperti saudara saja. Aku ghak mau kehilangan mereka. Toh di tempat Ayah, istri mere
Resepsi pernikahan Gayatri dan Rendra akhirnya digelar setelah menunggu sebulan lebih antrian gedung terbaik di kota mereka. Rendra yang duluh paling ghak suka dengan adat Jawa, kini justru dia yang mengajukan konsep adat tersebut. Biar ghak kehilangan Jawanya, katanya. Bahkan dia menginginkan gebyok Jawa model lama untuk pesta pernikahannya."Rend kamu yakin pakai gebyok, sekarang sudah ghak banyak digunakan lho," kata Bu Ratna suatu hari."Bude takut mencoreng citra sanggar?" tanya Rendra melihat raut muka budenya yang berkerut."Untuk kalian bude tak takut seperti itu.""Aku mau lain daripada yang lain, Bude, yang tidak sering dipakai orang. Bude kan tau kalau kerjaanku ada hubungannya dengan lihat pelaminan. Bosen lihat model yang sama dengan yang dipakai orang." Rendra beralasan. Sebagai seorang penghulu dia memang sudah sering melihat orang menikah. Terlebih di bulan-bulan seperti ini.Gayatri bahkan mendukung keinginan Rendra yang sama dengan dirinya. Akhirnya Bu Ratna mengelua
"Kamu bawa pulang Gayatri, Rend," saran Artika cemas."Apa tadi makannya sulit?" Kali ini Garnis yang bingung."Sudahlah, jangan cemas, nanti biar di bawa pulang dan diperiksa dokter kita," kata Hadiwijaya melihat kedua sahabat itu memepertanyakan penyebab kondisi Gayatri."Sebentar, Mas. Biar saya telpon dokter keluarga kita yang rumahnya dekat dengan sini," kata Hariwijaya. Lalu mengambil handphonen dari sakunya dan menghubungi dokter yang dimaksud. Tak lama kemudian, pria itu sudah berbincang dengan dokter pribadinya."Bunda!" Galuh yang mengenakan jarit berlari kecil mendekat. Diiringi dengan Galing yang matanya sudah memburam."Bunda kenapa?" Galing begitu cemas. Diingatnya, kebahagiaan baru saja datang, kenapa dengan bundanya sekarang?"Bunda ghak kenapa-napa, Sayang. Jangan menangis," hibur Garnis dengan memeluk kedua cucunya.Bu Ratna yang datang, melonggarkan jilbab Gayatri.Rendra yang tidak sabar melihat kondisi Gayatri segera membopongnya keluar gedung. Geisha yang mengik
"Apa yang kamu bicarakan, Mita? Setelah semua apa yang kulakukan untukmu, kamu meragukanku?" Prayogi menatap lekat wanita yang tengah histeris dengan rambut acak-acakan di depannya"Tapi aku melihat sendiri kamu begitu terpesona melhatnya."Prayogi mendekat, memeluk erat Sasmita, membelainya dengan penuh perasaan. Dia kini telah tau bagaimana harus memperlakukan Sasmita. Dia hanya butuh perhatian dengan menyertakan belaian, serta kemampuan Prayogi dalam memuaskannya yang menjadikan Sasmita takluk kepadanya."Aku telah meninggalkan semuanya demi kamu. Jangan pernah meragukanku dengan kecurigaanmu. Apalagi demgan memata-mataiku."Diperlakukan dengan sedemikian, Sasmita menjadi takluk di dekapan Prayogi. Terlebih setelah itu Prayogi sudah memberinya kepuasan yang diinginkan Sasamita."Kamu seharusnya memberikan seorang anak untuk Prayogi," ucap Saskia saat Sasmita keluar dari kamar."Aku belum siap diganggu, Ma. Ada anak Prayogi yang sudah besar di sini saja aku merasa terganggu, apalag
"Bagaimana kabarmu setelah menjadi orang kaya?" tanya Bima ke Prayogi yang datang ke mes mereka. Minggu dia memang mengambil trayek tambahan setelah perginya Prayogi belum ada pengganti supir yang masuk. Di mes inilah duluh mereka tinggal saat tidak pulang ke rumah karena ada kerjaan tambahan atau karena nunggu hari libur seperti Prayogi yang rumahnya jauh dari pekerjaan."Dibilang enak, sih aku sekarang memang ghak kekurangan apapun. Tertapi hidup aku hampa banget. Apalagi sekarang aku ghak ada kerjaan. Rasanya makin suntuk saja.""Kamu sih, main api."Prayohi terkekeh, "Memang sih, awal-awal bersama Sasmita sepertinya hidup begitu indah. Gairahnya yang meluap soal tempat tidur, membuatku mabuk. Apalagi dia memanjakanku dengan uangnya. Ternyata menjalani kehidupan yang hanya seperti itu bosan juga. Aku rindu dipanggil ayah. Aku rindu masakan sederhana Gayatri yang kadang cuma sayur asem dan ikan asin, atau sambal terasi dengan tempe penyet," cetus Prayogi sambil merebahkan tubuhnya
"Kenapa kamu kemari?" tanya Prayogi dengan lemas kembali ke dalam. Orang yang dipikirnya datang, ternyata orang lain."Kamu sampai malam tidak pulang, apa aku tidak cemas?""Aku bukan anak kecil, Mita, yang harus kamu cemaskan."Sasmita masuk dan menelisik rumah kecil Prayogi."Kamu baru mengenang kemesraanmu dengan Gayatri, Mas?""Kenapa sih kamu selalu menyebut dia di setiap masalah yang kita hadapi?"Sasmita sudah sampai di kamar Prayogi."Di sini aku bisa bayangkan kamu bermesraan dengannya, Mas." ucap Sasmita yang sudah merebahkan badannya. "kamar yang lumayan., kasurnya saja yang seperti batu."Prayogi hanya mendengus, lalu mengambil makanannya. Di saat dia makan, Sasmita sudah mendekatinya."Banyak sekali kamu beli nasinya, Mas. Kamu sepertinya menyiapkan untuk keluargamuApa kamu berharap mereka ke sini? Makan bersama kamu?" Sasmita mulai emosi setelah menghitung jumlah nasi bungkus yang ada di meja.Prayogi menjadi gelagapan dibuatnya. Dia memang sama sekali tidak mengira Sas
"Sayang, kamu sudah baikan?" tanya Rendra begitu melihat Gayatri yang sebentar sebentar makan.'Iya, lihat aja aku makan terus begini."Rendra mendekatinya, rebahan di kaki Gayatri yang tengah asik menggulir handphone-nya."Seharusnya kamu ghak boleh pegang handphone kalau ghak terpaksa. Ghak baik untuk anak kita di kandungan."Gayatri reflek menaruh handphone-nya. "Kenapa kasih taunya ghak kemarin kemarin, Mas. Tau gitu aku ghak main handphone,: sesalnya. Dia memang protek banget jika hamil. Bahkan semua kata orang tua dia turut. Ghak boleh makan setelah maghrib, ghak boleh makan pedas, ghak boleh bersiin ikan,,.. pokoknya apapun yang ghak boleh untuk ibu hamil, dia ghak akan lakuin."La kamunya aja da punya dua anak, masak aku yang kasih tau?""Duluh aku kan ghak pernah pegang handphone, Mas. Ini aja baru seneng-senengnya pakai handphone.""Heem. Aku malah lihat kamu sekarang suka selfi. Ganjen banget, aku jadi gemas nih," ucap Rendra sambil mendaratkan ciumannya di bibir Gayatri.
"Bu, apa yang terjadi?" Gayatri mendekat dan membimbing Bu Ratna yang terjatuh dari tempat tidurnya."Dadaku tiba-tiba terasa nyeri, Tri. Aku mau ambil air, ternyata aku malah jatuh."Gayatri duduk di sisi tempat tidur Bu Ratna. "Mana yang sakit, Bu?" tanya Gayatri yang melihat Bu Ratna kesakitan."Entahlah, Tri. Badanku rasanya sakit sekali. Dadaku terasa ghak enak. Untuk dipakai bernafas, susah."" Aku panggilkan dokter, Bu.""Iya, Tri. Makasih.""Galing, Galuh,..!" teriak Gayatri mendekati tangga. Kedua anaknya berlarian ke bawa."Bund, ada apa?" tanya Galuh."Tolong jaga Yangti. Yangti habis terjatuh dari tempat tidur. Bunda mau ambil handphone ke kamar sebentar. Mau menghubungi dokter.""Iya, Bund. Cepatlah. Kasihan Yangti, kesakitan." Galing sudah bingung melihat Bu Ratna yan memegangi dadanya.Gayatri segera ke kamarnya. Ditelponnya dokter pribadi Bu Ratna.Berkali kali ditelpon, masih tidak ada jawaban. Gayatri segera berlari ke kamar atas. Terlihat Rendra di mejanya sedang