.“Cincin siapa yang melingkar di jari manismu, Tri?”Gayatri melengos. “Apa urusanmu denganku soal cincin ini? Urusanmu denganku hanya kembalikan anak-anakku.”“Anak itu yang akan membuatmu tetap kembali padaku, Tri. Jangan harap aku serahkan begitu saja.”Gayatri mendorong Prayogi dengan keras." Jangan mimpi kamu. Cinta untukmu telah mati sejak kamu menghianatiku."“Itu tandanya kamu cemburu padaku, Tri.”“Habus harapan itu dari pikiran kotormu. Kamu sama sekali tidak malu. Kamu telah menikahi orang lain tapi masih mengharapkanku.”Prayogi mendekat. Gayatri mundur satu langkah. “Kamu tidak tau, Tri, aku masih mencintaimu. Dan akan tetap mencintai kamu.”Gayatri kembali mundur, hinggah punggungnya menyentuh tembok di belakangnya. “Kamu telah begitu licik mengambil anakku dengan cara yang kotor. Setelah kamu menyuruh orang menyerempetnya, kamu lalu menculiknya. Setega-teganya seorang ayah tidak akan melakukan hal keji seperti itu. Bayangkan bagaimana nasib Galuh jika preman yang ka
“Mas, bagaimana kamu bisa melupakan kami?” tanya orang itu setelah mereka mengucap salam. “kami minta maaf, Mas, atas kesalahan kami. Tolong jangan putuskan hubungan keluarga kita,” kata Hariwijaya yang sudah memeluk kakaknya.Hadiwijaya pun luluh dan memeluk adiknya dengan haru.“Maafkan kami, Mbak. Kami khilaf. Sekarang kami sudah mengembalikan semua yang pernah kami ambil,” ucap Laras, “anak-anak telah menyadarkan kami kalau yang kami lakukan tidaklah benar.”Garnis memeluk adik iparnya dengan lapang dada. Lalu mempersilahkan rombongan mereka masuk. Nastiti bersama suaminya. Demikian juga Raditya dan Mustika. Hanya Nadin yang masih semdiri. Dia baru menyelesaikan kuliahnya.“Mbak Ayu, aku kangen sekali. Kapan-kapan kita janjian jalan-jalan ya,” rengek Nastiti. Gayatri memeluk balik pelukan Nastiti.“Kalau kalian jalan-jalan, kita lalu ke mana?” gurau Rendra dengan mengajak Satya, suami Nastiti, bercanda.Mereka lalu tergelak bersama.Setelah selesai makan makan. Mereka hanya berb
“Rend, belum jam 12 kamu kok sudah pulang?” tanya Bimantara yang sudah bersiap berangkat.“Jam duabelasnya sebentar lagi, Pa.” Rendra bergegas masuk.“Ghak sabar bener kamu, Dik. Sudah mau pulang terus," canda Resti yang senyum-senyum melihat adiknya.Rendra hanya melewati semua candaan dengan tergesa mencari Gayatri. Yang pertama ditujunya adalah kamar. Namun ternyata Gayatri tak ada di kamar.“Dia lagi di dapur," ucap Artika melihat kebingungan Rendra.Rendra segera ke dapur, dilihatnya dia membantu Tanti membereskan meja makan.“Mbak, sini,” panggil Rendra.Artika mengegeleng-gelengkan kepalanya. “Kapan mesranya kalau panggilnya aja, Mbak.”“Kebiasaan mas Rendra panggil mbak Gayatri begitu.” Tanti menyahut.“Rend!”“Iya, Ma.”“Bisa ghak panggil menantu mama dengan pangilan sayang begitu. Panggil kok 'Mbak.”“Iya, Ma.” jawab Rendra. “Say, sini!” canda Rendra.Gayatri hanya melotot. “Tuh, Ma,… di panggil Sayang malah melotot.”“Hah,.. Mama pulang aja deh, Rend, pusing lihat tingkah
“Mas!” Gayatri memejamkan matanya. Menikmati sentuhan Rendra di bibirnya. Hatinya seketika runtuh dengan kehangatan yang mengalir.“Pakai celana, biar ghak kelihatan betisnya!” ucap Rendra lalu keluar. Gayatri tersekad. Sialan! Aku jadi wudhu lagi karenamu, Mas!Gayatri yang wudlu kembali, tersenyum sendiri. Dia telah membayangkan yang bukan-bukan saat Rendra meraih pinggangnya dan memeluknya. Terlebih saat menciumnya. Digelengkannya kepalanya untuk mengusir kebodohannya.Sementara Rendra yang baru kali ini mencium seorang wanita, merasakan debaran yang tidak dapat dibendungnya. Hasrat yang tadi sudah dipudarnya kini datang kembali. Hinggah dia memutuskan pergi keluar, termangu di balkomnya. Betapapun cintanya dia ke Gayatri, dia tak ingin memaksa Gayatri untuk melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Biarlah waktu yang akan memberinya jawaban. Dia sudah cukup gembira dengan impiannya memiliki Gayatri secara sah terwujud. Siang hari.Rendra siang-siang datang bersama dengan Tirta.
Diurainya rambutnya yang berombak menggapai punggung. Semerbak baunya membuat Rendra terkesima. Dia makin terpana dengan kecantikan wanita yang kini di hadapannya dengan rambut yang tergerai. Bibirnya tak dapat lagi menahan hasrat untuk tak menciumnya. Dan menikmatinya dalam kehangatan malam yang dingin. Lamat, Rendra mengucapkan do'a yang telah dia hafal sejak hari pernikahannya dengan Gayatri dipastikan..“Aku mencintaimu."“Aku juga, Mas." *****Gayatri tertidur cukup lama. Mungkin karena berhari-hari dia tak dapat tidur dengan nyenyak sejak anaknya pergi. Atau mungkin juga karena setelah kebersamaannya dengan Rendra. Rendra tak sedikitpun melepas pelukannya. Dikecupnya kening wanita yang beberapa saat lalu telah memberinya kenikmatan surgawi itu. Dan dia kembali tertidur.Gayatri mengerjap. Dia baru ingat kalau dia belum sholat Isya' saat datang ke kamarnya dan berbicara dengan Rendra. Dia segera bangun dengan menyeret selimut yang menutup tubuhnya. Entah di mana kini
“Mbak, kamu ghak apa-apa, Mbak?” tanya seorang pengendara yang lewat.Gayatri meringis. Kakinya terasa perih. Dilihatnya kakinya lecet. Lelaki itu kemudian membantu sepeda Gayatri yang ban depannya masuk ke got. Ditariknya kuat hinggah sepeda itu normal kembali di jalan.“Terimakasih, Mas,” ucap Gayatri.“Sama-sama, Mbak,” katanya namun masih menunggui Gayatri. “Mbak, bener ghak kenapa- kenapa?” tanyanya lagi.Gayatri mendongak. “Bener, Mas.” Lalu kembali naik motornya saat melihat lelaki itu masih menunggunya. Gayatri malah takut dengan perhatiannya yang berlebih.Gayatri melajukan motornya hinggah sampai di gedung SMPN dimana anak-anaknya menimba ilmu. Gedung megah dengan lantai dua kini telah di hadapannya. Saat masuk, orang sudah disuguhkan dengan aneka bunga yang ditanam di depan tiap kelas, termasuk di depan ruang kepala sekolah. “Assalamualaikum, Pak!” Gayatri mengucapkan salam setelah menghadap ke kepala sekolah.“Waalaikumussalam. Silahkan duduk, Bu,” Pak Kepala Sekolah m
"Resepsi kita dipastikan."Gayatri menjadi lemas, " Kalau itu aku sudah tau, Mas. Tadi Mama menelpon.""Sepertinya kamu ghak suka." "Bukannya ghak suka, Mas. Aku malah sedih."Rendra meraih tangan Gayatri. Lalu mendudukkkan Gayatri di pangkuannnya. "Maksudnya?""Aku malu, Mas," ucapnya, "ghak salah Prayogi yang tidak membawa anak-anaknya di pernikahan mereka. Mungkin mereka juga malu menikah dengan diketahui punya anak sebesar itu." Gayatri beranjak turun, namun Rendra malah merengkuhnya dan menghujaninya dengan ciuman."Emang kamu ghak malu apa, resepsi di gedung dengan janda. Anaknya sudah besar-besar pula."Rendra terkekeh. "Kenapa juga pusingkan pendapat orang. Yang penting aku mendapatkan kamu. Dan mereka adalah bagian dari kebahagiaanku. Mereka akan mengiringi kita dengan menggandeng kita ke pelaminan," hayal Rendra tentang resepsinya."Bagaimana dengan teman-temanmu?"Rendra mencium kembali Gayatri. "Sayang,... buang pikiran tentang pendapat orang apa. Yang penting keluarga k
"Di sini aja ya?" Gayatri menunjuk stan makanan."Ya,.. padahal yang tadi kelihatannya yang enak, Bund. Itu makanan kesukaan Galing," sesal Galing."Yang penting kita makan, Ling," sahut Galuh."Di sini tahu campurnya yang enak." Rendra menata kursi untuk Gayatri."Wah, kalau itu sih aku juga suka, Kak." Wajah Galing berbinar. Dia memang penikmat makanan."Kalau aku sih sembarang, Kak. Yang penting makan. Makanan apapun itu," sahut Galuh."Memang kamu kalau makan ghak terlalu bingung, Luh. Paling juga sedikit. Kamu kan emang ghak penikmat kuliner, beda dengan Galing." Gayatri sudah menempati tempat duduk yang tadi disiapin Rendra."Kamu mau juga tahu campur, Say?"Gayatri mengangguk. Rendra memanggil pelayan dan memesan menu. Lalu menatap Gayatri lekad, "Bilang sama aku, kamu tadi kenapa?" Gayatri gelagapan. Wajahnya nampak tegang."Melihat hantu?" gurau Rendra."Siang begini mana ada hantu, Bund. Yang ada kuntilanak,"kelakar Galing."Yeah, nih tambah kuntilanak. Ghak serem, siang-s