“Mas!” Gayatri memejamkan matanya. Menikmati sentuhan Rendra di bibirnya. Hatinya seketika runtuh dengan kehangatan yang mengalir.“Pakai celana, biar ghak kelihatan betisnya!” ucap Rendra lalu keluar. Gayatri tersekad. Sialan! Aku jadi wudhu lagi karenamu, Mas!Gayatri yang wudlu kembali, tersenyum sendiri. Dia telah membayangkan yang bukan-bukan saat Rendra meraih pinggangnya dan memeluknya. Terlebih saat menciumnya. Digelengkannya kepalanya untuk mengusir kebodohannya.Sementara Rendra yang baru kali ini mencium seorang wanita, merasakan debaran yang tidak dapat dibendungnya. Hasrat yang tadi sudah dipudarnya kini datang kembali. Hinggah dia memutuskan pergi keluar, termangu di balkomnya. Betapapun cintanya dia ke Gayatri, dia tak ingin memaksa Gayatri untuk melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Biarlah waktu yang akan memberinya jawaban. Dia sudah cukup gembira dengan impiannya memiliki Gayatri secara sah terwujud. Siang hari.Rendra siang-siang datang bersama dengan Tirta.
Diurainya rambutnya yang berombak menggapai punggung. Semerbak baunya membuat Rendra terkesima. Dia makin terpana dengan kecantikan wanita yang kini di hadapannya dengan rambut yang tergerai. Bibirnya tak dapat lagi menahan hasrat untuk tak menciumnya. Dan menikmatinya dalam kehangatan malam yang dingin. Lamat, Rendra mengucapkan do'a yang telah dia hafal sejak hari pernikahannya dengan Gayatri dipastikan..“Aku mencintaimu."“Aku juga, Mas." *****Gayatri tertidur cukup lama. Mungkin karena berhari-hari dia tak dapat tidur dengan nyenyak sejak anaknya pergi. Atau mungkin juga karena setelah kebersamaannya dengan Rendra. Rendra tak sedikitpun melepas pelukannya. Dikecupnya kening wanita yang beberapa saat lalu telah memberinya kenikmatan surgawi itu. Dan dia kembali tertidur.Gayatri mengerjap. Dia baru ingat kalau dia belum sholat Isya' saat datang ke kamarnya dan berbicara dengan Rendra. Dia segera bangun dengan menyeret selimut yang menutup tubuhnya. Entah di mana kini
“Mbak, kamu ghak apa-apa, Mbak?” tanya seorang pengendara yang lewat.Gayatri meringis. Kakinya terasa perih. Dilihatnya kakinya lecet. Lelaki itu kemudian membantu sepeda Gayatri yang ban depannya masuk ke got. Ditariknya kuat hinggah sepeda itu normal kembali di jalan.“Terimakasih, Mas,” ucap Gayatri.“Sama-sama, Mbak,” katanya namun masih menunggui Gayatri. “Mbak, bener ghak kenapa- kenapa?” tanyanya lagi.Gayatri mendongak. “Bener, Mas.” Lalu kembali naik motornya saat melihat lelaki itu masih menunggunya. Gayatri malah takut dengan perhatiannya yang berlebih.Gayatri melajukan motornya hinggah sampai di gedung SMPN dimana anak-anaknya menimba ilmu. Gedung megah dengan lantai dua kini telah di hadapannya. Saat masuk, orang sudah disuguhkan dengan aneka bunga yang ditanam di depan tiap kelas, termasuk di depan ruang kepala sekolah. “Assalamualaikum, Pak!” Gayatri mengucapkan salam setelah menghadap ke kepala sekolah.“Waalaikumussalam. Silahkan duduk, Bu,” Pak Kepala Sekolah m
"Resepsi kita dipastikan."Gayatri menjadi lemas, " Kalau itu aku sudah tau, Mas. Tadi Mama menelpon.""Sepertinya kamu ghak suka." "Bukannya ghak suka, Mas. Aku malah sedih."Rendra meraih tangan Gayatri. Lalu mendudukkkan Gayatri di pangkuannnya. "Maksudnya?""Aku malu, Mas," ucapnya, "ghak salah Prayogi yang tidak membawa anak-anaknya di pernikahan mereka. Mungkin mereka juga malu menikah dengan diketahui punya anak sebesar itu." Gayatri beranjak turun, namun Rendra malah merengkuhnya dan menghujaninya dengan ciuman."Emang kamu ghak malu apa, resepsi di gedung dengan janda. Anaknya sudah besar-besar pula."Rendra terkekeh. "Kenapa juga pusingkan pendapat orang. Yang penting aku mendapatkan kamu. Dan mereka adalah bagian dari kebahagiaanku. Mereka akan mengiringi kita dengan menggandeng kita ke pelaminan," hayal Rendra tentang resepsinya."Bagaimana dengan teman-temanmu?"Rendra mencium kembali Gayatri. "Sayang,... buang pikiran tentang pendapat orang apa. Yang penting keluarga k
"Di sini aja ya?" Gayatri menunjuk stan makanan."Ya,.. padahal yang tadi kelihatannya yang enak, Bund. Itu makanan kesukaan Galing," sesal Galing."Yang penting kita makan, Ling," sahut Galuh."Di sini tahu campurnya yang enak." Rendra menata kursi untuk Gayatri."Wah, kalau itu sih aku juga suka, Kak." Wajah Galing berbinar. Dia memang penikmat makanan."Kalau aku sih sembarang, Kak. Yang penting makan. Makanan apapun itu," sahut Galuh."Memang kamu kalau makan ghak terlalu bingung, Luh. Paling juga sedikit. Kamu kan emang ghak penikmat kuliner, beda dengan Galing." Gayatri sudah menempati tempat duduk yang tadi disiapin Rendra."Kamu mau juga tahu campur, Say?"Gayatri mengangguk. Rendra memanggil pelayan dan memesan menu. Lalu menatap Gayatri lekad, "Bilang sama aku, kamu tadi kenapa?" Gayatri gelagapan. Wajahnya nampak tegang."Melihat hantu?" gurau Rendra."Siang begini mana ada hantu, Bund. Yang ada kuntilanak,"kelakar Galing."Yeah, nih tambah kuntilanak. Ghak serem, siang-s
Namun saat wanita berjilbab itu berbalik. Prayogi menelan kekecewaannya."Kok tumben datang ke sini, Mas? Bukannya di sana lebih enak?" tanya wanita itu, yang tak lain adalah Bu Rangga, tetangga sebelahnya.Prayogi hanya memandang sekilas ke arah wanita yang postur tubuhnya mirip dengan Gayatri itu. Dia dapat merasakan wanita itu telah menyindirnya." Sekarang saja kamu naik mobil terus," tambah Bu Rangga lagi. "sudah enak jadi orang kaya dadakan."Prayogi tersenyum datar. Kata-kata itu amat menyakitinya. Tapi memang tak salah jika wanita itu menilainya seperti itu. Prayogi kini memang merasakan enaknya menjadi orang kaya. Mau makan apa, mau jalan-jalan ke mana, melihat seisi dunia pun, kini dia bisa menikmatinya. Tidak hanya bergulat dengan debu jalanan seperti yang selama ini dia alami. Terlebih jika mau makan, dia harus mengintip isi dompetnya terlebih dahulu."Saya ghak tega melihat bunga mbak Gayatri layu, makanya saya menyiramnya. Kalau yang di belakang rumah, saya ghak mungkin
Tak kalah kagetnya dengan Galing, Galuh pun terperanjak."Ini bukannya Ayah, Ling? Coba kamu besarkan lagi.""Memang benar, Kak. Dia Ayah.""Sepertinya mereka telah kembali dari Amerika.""Iya, bener, Kak. Dan mereka makan di cafe mall itu.""Berarti,..." hampir bersamaan kedua anak yang selalu kompak itu mengucapkan kata-kata."Hantu itu benar ada, Kak.""Buset kamu, ngatain ayah kita dengan hantu.""Habisnya Bunda ketakutan banget.""Iya, kayak lihat hantu.""Wajar, Ling dia ketakutan. Kita aja diambil dari sana tanpa sepengetahuan Ayah. Bagaimana jika dia berusaha mengambil kita kembali? Bukankah istrinya itu berduit, mereka bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan."Galing mendekati kakaknya. "Aku ghak mau, Kak, kalau kita pisah lagi dari Bunda. Kita sudah bisa melihat Bunda bahagia dengan Kak Rendra. Dan Kak Rendra sudah menyayangi kita seperti dia meyayangi anaknya sendiri, bahkan kita sudah seperti saudara saja. Aku ghak mau kehilangan mereka. Toh di tempat Ayah, istri mere
Resepsi pernikahan Gayatri dan Rendra akhirnya digelar setelah menunggu sebulan lebih antrian gedung terbaik di kota mereka. Rendra yang duluh paling ghak suka dengan adat Jawa, kini justru dia yang mengajukan konsep adat tersebut. Biar ghak kehilangan Jawanya, katanya. Bahkan dia menginginkan gebyok Jawa model lama untuk pesta pernikahannya."Rend kamu yakin pakai gebyok, sekarang sudah ghak banyak digunakan lho," kata Bu Ratna suatu hari."Bude takut mencoreng citra sanggar?" tanya Rendra melihat raut muka budenya yang berkerut."Untuk kalian bude tak takut seperti itu.""Aku mau lain daripada yang lain, Bude, yang tidak sering dipakai orang. Bude kan tau kalau kerjaanku ada hubungannya dengan lihat pelaminan. Bosen lihat model yang sama dengan yang dipakai orang." Rendra beralasan. Sebagai seorang penghulu dia memang sudah sering melihat orang menikah. Terlebih di bulan-bulan seperti ini.Gayatri bahkan mendukung keinginan Rendra yang sama dengan dirinya. Akhirnya Bu Ratna mengelua