"Kamu enak ya, Din! Suamimu hebat, anakmu pintar lagi."
"Iya. Kayanya, suamimu gak pernah ngecewain kamu, ya."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan mereka.
Ya, semua orang mengira kalau aku menjalani hidup yang sempurna.
Menikah dengan pria mapan yang baik hati dan bertanggung jawab; memiliki dua anak yang tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria; dan nampak seperti gadis dengan tubuh molek yang mempesona meski berusia 35 tahun.
Hanya saja, ada satu hal yang mereka tak tahu.Aku selalu berpura-pura menikmati semua sesi bercinta dengan Prasetyo–suamiku.
Tidak sekali pun dalam sepuluh tahun pernikahan kami.
Bahkan, seksolog pun tidak membantu.
Tok, tok, tok!
“Sayang, udahan belum? Kok lama banget? Aku boleh masuk ya?”
Suara Pras terdengar dari luar sana membuatku tersadar dari lamunan.
Cepat-cepat aku membasuh seluruh tubuhku hingga bersih.
“Sebentar, Mas!” balasku kemudian.
Setelahnya, kami menjalani rutinitas biasa.
Mas Pras bekerja dan anakku sekolah.
Selama "waktu tenang" itu, aku mengikuti kelas pilates.
Setelahnya, aku sengaja mampir ke toko buah langganan dan bergegas pulang untuk istirahat sebentar sebelum nanti aku lanjut les baking pukul dua siang.
Selesai kelas baking, aku harus menjemput kedua putraku, Evan, delapan tahun dan Rico, enam tahun, di sekolah.
Begitu terus.
Belanja, les sana-sini, ngopi cantik dengan teman-temanku, ke salon, antar jemput anak.
Sepertinya hampir semua kursus pernah aku ikuti, mulai dari memasak, merajut, yoga dan pilates, bahasa asing, sampai yang terakhir aku iseng ikut kursus coding sampai dapat sertifikat segala–tapi entah untuk apa sertifikat itu, toh aku dilarang kerja oleh suamiku?
Semua karena suami sempurnaku itu tidak mengizinkanku bekerja. Dia ingin aku mengabdi sepenuhnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak kami.
Awalnya, aku keberatan. Karena sebelum menikah dengan Pras, aku memiliki pekerjaan yang cukup stabil. Tapi Pras berjanji untuk memenuhi segala kebutuhanku–dan dia melakukannya–jadi, ya sudah, aku menjalani peran sebagai ibu rumah tangga saja selama ini.
Kadang, aku merasa kesepian apalagi kalau teman-temanku sibuk dengan bisnis mereka.
Tapi, Pras juga melarangku berbisnis. Katanya aku tidak berbakat.
Makanya, aku mendaftar berbagai macam kursus.
Aku menyeka keringat yang membasahi pelipis lalu menaruh keranjang belanjaan.
Tring!
Tiba-tiba telepon rumah berdering. Keningku mengernyit karena tumben-tumbenan ada yang menelepon ke rumah.
“Halo?”
“Selamat siang!” Suara seorang pria terdengar ceria dari seberang sana. “Ini benar dengan rumah Bapak Prasetyo Hendrawanto?”
Aku menghela napas pendek. Bisa kutebak, dia pasti sales yang hendak menawarkan kartu kredit, atau mungkin penipu yang bilang suamiku menang undian.
“Iya, benar,” jawabku acuh. Huh, seharusnya aku tidak usah mengangkat telepon ini. Buang-buang waktu saja, pikirku.
“Kami dari Showroom Mobil Permata Indah. Saya dengan Wawan sebagai sales executive yang menangani pembelian mobil dari Bapak Prasetyo Hendrawanto.”
“Mo-mobil?”
“Benar. Maaf, saya berbicara dengan siapa ya?”
“Saya istrinya.”
“Oh, Ibu! Apa kabar, Bu? Sehat? Kebetulan, mobil ini kan dibeli Pak Prasetyo untuk Ibu. Nah, kami lupa, Bu. Waktu itu Bapak pilih mobilnya warna abu metalik atau hitam ya?”
“A-apa? Suamiku beli mobil baru?” Kerutan di keningku semakin dalam.
Sales itu nampak terdiam sesaat di seberang sana. “Iya, Bu. Sebagai hadiah perayaan pernikahan Ibu dan Bapak yang ke…Aduh, maaf Bu, saya lupa.”
“Yang kesepuluh.”
“Ah, iya yang kesepuluh ya? Jadi, Ibu pilih warna yang abu metalik atau hitam?”
Apa ini hadiah kejutan dari Pras untukku? Tapi perayaan ulang tahun pernikahan kami yang kesepuluh sudah lewat tiga bulan yang lalu dan Pras memberiku hadiah sepasang anting berlapis berlian.
“Entahlah. Aku kurang tahu suamiku pilih warna apa. Tapi kalau mobil itu untukku, aku lebih suka warna hitam,” jawabku.
“Baiklah. Kalau begitu besok kami akan kirim mobilnya ke rumah.”
Sales itu lantas mengkonfirmasi alamat rumah kami.
Tapi, untuk apa Pras memberiku mobil baru? Garasi kami saja tidak muat untuk menampung mobil lagi.
Setelah menutup telepon, aku masih termenung.
Kurasa aku harus menanyakan hal ini langsung pada Pras.
Kulirik pergelangan tanganku. Hm, aku bisa datang ke kantornya sambil membawakannya makan siang.
Yah, hitung-hitung sebagai kejutan karena sudah membelikanku mobil baru.....
Gegas kusuru Miyem, ART-ku agar menyiapkan makan siang untuk Pras.
Tak butuh waktu lama, aku sampai ke sana.
Masih ada sepuluh menit lagi menuju jam makan siang. Kuharap Pras masih ada di ruangannya.
Kulangkahkan kaki santai di koridor menuju ruangan Pras.
Namun, aku tidak menemukan asisten Pras di mejanya. Maka, aku masuk begitu saja ke arah pintu ruangan Pras yang ada di ujung koridor.
Alisku langsung bertautan begitu pintu ruangan Pras terkunci. Apa dia sedang keluar? Namun, saat aku hendak balik badan, aku mendengar suara kaki meja yang berdecit dari dalam sana.
Tok, tok, tok!
“Mas Pras? Mas?” tanyaku dari luar. “Mas ada di dalam? Mas Pras?”
Aku lalu menempelkan kupingku di permukaan pintu untuk mengetahui apakah ada orang di dalam atau tidak.
Tiba-tiba saja aku mendengar suara slot pintu yang bergeser dan tubuhku hampir limbung ke depan karena pintu ruangan Pras membuka begitu saja.
“Andini?” Pras berdiri di hadapanku dengan sedikit terkejut. Tangannya membenarkan posisi kerah kemejanya yang miring. “Kenapa kamu datang enggak bilang-bilang?”
“Sorry, Mas. Aku mau kasih kejutan untuk kamu.”
“Kejutan?”
Aku mengangkat kantung bekal yang kutenteng sedari tadi. “Makan siang spesial untuk kita!”
“Tumben,” kini Pras mengancingkan salah satu mansetnya.
Aku tersenyum tipis, menatapnya. “Aku tahu, Mas.”
Pras nampak menelan ludahnya dalam-dalam. Astaga, kenapa dia jadi tegang begitu sih? Apa karena kejutan hadiah mobil untukku batal gara-gara sales itu menelepon ke rumah?
“Tahu soal apa?” Suara Pras terdengar sedikit parau kali ini.
Aku mendahuluinya, masuk ke dalam ruangannya. “Bahwa kamu…”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, langkahku seketika tertahan begitu melihat seorang wanita cantik yang berdiri di samping meja Pras.
Wanita itu tersenyum padaku.
Kepalaku sontak menoleh ke arah Pras yang berdiri di belakangku. “Siapa dia?” tanyaku dingin.
“Siapa wanita itu, Mas?” desakku lagi. Mataku menyorot tajam ke arah Pras yang berusaha untuk tersenyum, walau aku tahu senyumannya begitu kaku.“Perkenalkan, saya Ratih,” sergah wanita itu, berjalan dengan anggun ke arahku. Kini kami saling berhadapan. Rambutnya panjang seperti rambutku, tinggi kami juga sama. Hanya saja wanita yang bernama Ratih ini jauh lebih muda dariku.Mataku menyipit, memperhatikan penampilan Ratih yang formal.“Iya, dia Ratih,” ucap Pras dari balik punggungku. “Dia–”“Saya salah satu klien di perusahaan ini. Kebetulan saya bekerja sebagai AE dari salah satu PH yang akan bekerja sama dengan jaringan TV langganan ini,” Ratih menjulurkan tangannya.Terpaksa aku menyambut uluran tangannya meski instingku mengatakan sesuatu yang aneh telah terjadi.“Benar, Ndin. Dia salah satu calon klien penting perusahaan,” ucap Pras lagi, melempar senyum ke arah Ratih.Aku manggut-manggut. “Saking pentingnya, sampai mengunci pintu ruangan segala?”“Yah, begitulah. Kami harus mem
Entahlah, pertemuan dengan Ratih membuatku tak nyaman.Dan itu bertambah saat aku mendapati dapur yang masih berantakan begitu tiba di rumah. Aku berdecak kesal karena biasanya Miyem selalu membereskan dapur setelah memasak.“Miyem!” panggilku sambil mengarah ke balik pintu yang menghubungkan dapur bersih dengan dapur kotor. Namun, ART-ku itu tidak kunjung menyahut.“Miyem?!” panggilku lagi. Kali ini dengan nada yang sedikit jengkel. Aku berdecak heran. Kuputuskan untuk mengecek keberadaannya. Ternyata dia tidak ada di dapur kotor.Aku lalu mendapati kantung belanjaannya dari pasar yang masih tergeletak di lantai.“Astaga…” desisku sambil geleng-geleng kepala. Sayuran-sayuran ini kalau tidak langsung dicuci dan dimasukkan ke kulkas pasti akan layu. Heran, tidak biasanya Miyem lalai seperti ini.Aku berkacak pinggang dan memperhatikan keadaan sekitar.Lalu, mataku tertuju ke arah kamar Miyem. Jangan-jangan dia sakit? Aku pun jadi cemas.Namun saat aku hendak melangkah ke kamar Miyem,
Dentuman di dadaku semakin menjadi saat pria tampan itu melempar senyumnya padaku. Perutku jadi bergejolak! Astaga, sudah lama aku tidak merasakan perasaan seperti ini.Kedua ujung bibirku gemetar saat membalas senyum pria itu. Lalu, aku menarik napas pelan, berusaha bersikap sewajar mungkin.Pria itu mendahului orang di depannya dan menghampiriku. Oke, Andini. Tenang. Ini bukan kali pertama aku menghadapi pria tampan seperti ini.Kini pria itu berdiri di depanku. Angin yang berembus menggerakkan rambut ikalnya yang memang berantakan. Sorot matanya langsung tertuju pada belahan kaosku yang rendah.Ha, dasar lelaki. Mereka seperti tidak bisa melewatkan hal seperti ini. Namun dengan cepat dia mengalihkan matanya, menatapku.Astaga, sorot mata abunya yang gelap itu terlihat tajam dan seksi. Tapi kalau dipikir-pikir, usianya pasti jauh lebih muda dariku. Kurasa dia masih berumur dua puluh tahunan awal.Lalu, dalam hati aku berdecak heran. Bisa-bisanya diriku terjebak pesona anak kemarin s
Malamnya, aku mengenakan gaun tidur satin yang menerawang. Bukannya aku mau menggoda suamiku, tapi karena AC di kamar tidur kami sepertinya rusak–hanya mengeluarkan angin panas dan sedikit bersuara.Aku menepuk-nepukkan kedua telapak tangan di area wajah supaya serum dan pelembab yang kupakai menyerap dengan sempurna. Aku harus ekstra merawat wajah agar tidak cepat keriput. Setelah selesai dengan urusan skincare, aku beranjak dan menuju ke ranjang.Pras sepertinya masih berkutat di ruang kerjanya. Dia memang suka membawa pekerjaan ke rumah–sebagai Head of Department perusahaan penyedia layanan televisi berlangganan, pekerjaannya memang menyita waktu.Sementara itu, kedua anakku sudah tertidur di kamarnya masing-masing.Saat aku hendak menghempaskan tubuhku, tiba-tiba saja pandanganku tertuju ke rumah seberang, yang kini jadi milik Andreas. Mengingat kembali wajah brondong tampan itu, membuatku jadi senyum-senyum sendiri.Astaga, kenapa sih dengan diriku? Lantas, aku menyibakkan tirai
Aku bagai tersihir pesonanya. Jantungku terus bertalu cepat sembari aku mengekor Andreas memasuki rumahnya yang lebih besar dari kediamanku.“Aaa!” Aku memekik pelan saat Andreas menarik tubuhku sehingga kepalaku bersandar di dadanya yang bidang.Tidak. Dadaku mulai berdebar lagi. Kalau begini terus, bisa-bisa aku kena serangan jantung mendadak.Di ruang tamu rumahnya yang temaram, Andreas meraih daguku hingga tatapan kami bersirobok dalam.Aku bisa melihat pancaran manik abu matanya yang bergairah, begitu juga aku. Percikan hasrat mengalir ke sekujur tubuhku saat kulit kami saling bersentuhan.Perlahan, ibu jari Andreas menyapu bibirku. Lalu dia menyeringai menggoda. Ciuman itu lantas terjadi begitu saja. Tubuhku tidak berdaya saat berada dalam dekapannya–dekapan hangat brondong tampan yang menggairahkan lebih tepatnya.Deru napasnya menerpa wajahku yang berkeringat, meningkatkan adrenalin dalam tubuhku. Jarang sekali aku merasakan hal seperti ini. Ternyata, rasanya begitu menyenangk
Akhirnya, aku bisa duduk berdampingan dengan brondong tampan ini di teras belakang rumahku. Segelas kopi panas dan keik coklat–hasil dari kursus baking tempo lalu–kuhidangkan di meja yang menjadi jarak di antara kami.Aku memperhatikan wajah Andreas lekat-lekat. Kulit coklatnya nampak eksotis tertimpa sinar matahari dari luar. Lesung pipinya yang timbul tenggelam saat dia berbicara yang semakin menambah ketampanan wajahnya.Helaian-helaian rambut ikalnya terkadang jatuh berantakan yang membuat Andreas berkali-kali menyugar rambutnya. Gerakan tangan saat menyusuri rambut tebalnya itu malah membuatnya terlihat begitu cool di mataku.“Kurasa banyak perempuan yang tergila-gila padamu,” ucapku tiba-tiba.Tawa Andreas berderai mendengarnya. “Begitu ya?”“Aku bisa tebak,” mataku menyipit. “Kamu pasti playboy. Pacarmu ada dimana-mana.”“Aku enggak menyangka kamu ternyata judgemental juga, Andini,” balas Andreas lalu melahap sepotong keik. Aku hanya mengedikkan bahu. Mata abu Andreas yang seks
Daguku menengadah ke atas, memperhatikan plang studio lukis milik Jonathan. Ruang Karya namanya.Dengan perasaan sedikit gugup, aku melangkah masuk. Lonceng bergemerincing pelan begitu aku mendorong pintunya. Tidak ada orang di sana. Hanya ada beberapa kursi kayu panjang dan lukisan-lukisan yang menggantung di dinding.Di sudut ruangan aku melihat meja antik yang di atasnya terdapat humidifier. Uapnya membumbung tinggi, mengeluarkan wangi yang menenangkan–semacam wangi sereh dicampur dengan lemon.Aku merasa seperti berada di sebuah galeri seni yang antik. Lalu aku bergegas naik ke lantai dua–Andreas bilang kelas melukisnya ada di lantai dua. Setelah mendapat izin dari Pras, tentu saja aku langsung menghubungi Andreas dan mendaftar kursusnya. Walau sebenarnya dia baru buka pendaftaran murid baru sebulan lagi, tapi khusus untukku, Andreas membiarkanku masuk ke kelas yang sedang berlangsung.Entah kenapa dadaku selalu berdebar kalau mau bertemu Andreas. Jadi, aku menghabiskan waktu cu
Andreas berdiri di tengah kelas tanpa sehelai benang yang menempel di tubuhnya.Hal ini sungguh membuatku syok!Aku menelan ludah dalam-dalam. Setengah mati, aku mencoba untuk bersikap biasa saja–seperti peserta lainnya. Tapi aku tidak bisa! Sebenarnya, aku selalu membayangkan sebesar apa milik Andreas, dan sekarang semuanya terjawab sudah.Yah…miliknya lebih besar dari pada punya suamiku sih. Astaga, Andini! Fokus!Lalu aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Semua orang terlihat sibuk di depan kanvas mereka. Oke, oke. Aku harus mengendalikan diriku.Aku memegang pensil erat-erat dan mulai menggambar. Namun semakin aku berusaha untuk berkonsentrasi, pikiranku malah semakin kacau.Bola mataku bolak-balik mengarah ke kanvas dan tubuh Andreas. Terkadang tanganku gemetar begitu menggambar bagian bawah tubuhnya.Fokus, Andini! Namun sialnya, aku mulai gelisah sambil merapatkan kedua kakiku.Kini ujung pensilku mulai mengarsir bagian pinggul Andreas. Hah, rasanya pasti menyenangkan kalau t
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa