Entahlah, pertemuan dengan Ratih membuatku tak nyaman.
Dan itu bertambah saat aku mendapati dapur yang masih berantakan begitu tiba di rumah.
Aku berdecak kesal karena biasanya Miyem selalu membereskan dapur setelah memasak.
“Miyem!” panggilku sambil mengarah ke balik pintu yang menghubungkan dapur bersih dengan dapur kotor. Namun, ART-ku itu tidak kunjung menyahut.
“Miyem?!” panggilku lagi. Kali ini dengan nada yang sedikit jengkel. Aku berdecak heran. Kuputuskan untuk mengecek keberadaannya. Ternyata dia tidak ada di dapur kotor.
Aku lalu mendapati kantung belanjaannya dari pasar yang masih tergeletak di lantai.
“Astaga…” desisku sambil geleng-geleng kepala. Sayuran-sayuran ini kalau tidak langsung dicuci dan dimasukkan ke kulkas pasti akan layu. Heran, tidak biasanya Miyem lalai seperti ini.
Aku berkacak pinggang dan memperhatikan keadaan sekitar.
Lalu, mataku tertuju ke arah kamar Miyem. Jangan-jangan dia sakit? Aku pun jadi cemas.
Namun saat aku hendak melangkah ke kamar Miyem, aku mendengar suara aneh dari arah gudang.
“Ah, Om…”
Dahiku mengerut dalam sambil melangkah perlahan ke gudang.
“Om, enak banget. Terus Om…”
Napasku tercekat. Aku yakin benar itu suara Miyem. Tapi kenapa dia mendesah seperti itu, di gudang pula?
Langkahku semakin dekat dan melalui celah pintu gudang yang sedikit terbuka, aku menyaksikan tubuh Miyem yang tanpa busana bergoyang-goyang seirama.
Jantungku berdegup-degup tidak karuan. Astaga, Miyem!
Sambil menahan napas, aku menyipitkan mata, berusaha menangkap sosok pria yang menghentak ART-ku dari belakang.
Dan kini jantungku terasa mau copot begitu tahu siapa pria yang bermain gila dengan Miyem.Kepalaku mendadak pusing sementara desahan Miyem semakin menggila dari dalam sana.
“Ssst! Jangan, keras-keras. Nanti ada yang denger. Gawat kan kalau sampai ketahuan.” Pria itu menghentikan gerakan pinggulnya. Rautnya nampak cemas.
Miyem lantas mengerang kesal. “Tenang, Om. Jam segini Nyonya belum pulang. Ayo, Om, lanjut.”
“Beneran? Baiklah, kalau gitu.”
Pria itu menampar bokong Miyem dan lenguhan mereka kembali bersahutan.
Aku bergidik jijik menyaksikan semua ini. Miyem, ART-ku yang baru berumur dua puluh tahun, bercinta dengan Rudi, tetangga depan rumahku yang notabene adalah pria setengah baya berkepala lima!
Yang aku tahu, Risa–istrinya Rudi–beberapa bulan lalu memang terkena serangan jantung ringan. Dan sejak saat itu kondisi kesehatannya menurun.
Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan bagi Rudi untuk berselingkuh, apalagi dengan Miyem, ART-ku!
Kedua tanganku mengepal erat dan napasku pun memburu. Rasanya kepalaku mengepul panas karena dipenuhi amarah. Aku punya trauma tersendiri dengan yang namanya perselingkuhan.
Perlahan, aku mengambil ponsel yang ada di saku celana.
Aku harus memberi pelajaran pada mereka berdua! Dari celah pintu, aku mulai membidik adegan perselingkuhan ini dengan ponselku.
“Om, Miyem mau sampe…” desahnya.
“Aku juga. Kita bareng ya, Om?”
Dengan napas berat, Rudi mempercepat goyangan pinggulnya.
Aku menelan ludah dalam-dalam. Entah kenapa bulu-bulu di tengkukku terasa meremang sementara jantungku jadi berdegup cepat menyaksikan semua ini.
Mata Miyem mulai terpejam. Sepertinya dia akan mencapai puncaknya.
Aku marah melihat kelakuan bejat mereka! Tapi, di sisi lain, aku merasa iri.
Miyem bisa merasakan kenikmatan yang belum pernah aku rasakan bersama suamiku sendiri.
Tanganku gemetar menyaksikan mereka akan mencapai puncak. Lalu tanpa kuduga ponselku berdering kencang. Muncul nomor yang tidak dikenal di layar.
Sontak aku memekik dan ponselku meluncur ke lantai.
Sial! Aku kepergok mengintip mereka! Tapi tunggu, kenapa aku mesti panik? Seharusnya mereka berdualah yang panik!
Maka, secepat kilat aku mengayun kaki kananku dan mendobrak pintu gudang agar membuka lebar. Kami bertiga pun saling berteriak kencang.
Miyem dan Rudi panik akan kehadiranku sementara aku panik karena melihat milik Rudi yang menggantung.
Ya, akhirnya, terjadi perang dunia ketiga di rumahku. Aku memberi tahu Risa, wanita malang itu, soal perselingkuhan suaminya saat itu juga. Risa datang ke rumahku dan melabrak habis-habisan suaminya serta Miyem.
Terus terang, aku merasa bersalah karena bagaimana pun juga Miyem adalah tanggung jawabku. Aku minta maaf pada Risa dan memulangkan Miyem di hari itu ke kampung halaman dengan bis–tentu saja aku memberinya uang pesangon.
Malamnya, aku memberi tahu Pras soal kehebohan yang terjadi tadi siang, sampai-sampai aku telat menjemput kedua putraku.
“Gila kan? Siapa yang sangka Rudi bermain api dengan ART kita, Mas?!” Aku melempar kedua tangan ke atas dengan geram.
“Yah, namanya juga lelaki, Ndin,” jawab Pras sambil memperhatikan ponselnya.
“Maksud Mas, kalau laki-laki wajar selingkuh?” tanyaku sewot dari depan meja rias.
“Bu--bukan begitu. Laki-laki itu kan butuh menyalurkan nafsunya dan kalau enggak salah istrinya itu sedang sakit kan?”
“Astaga, Mas! Tapi bukan berarti si Rudi itu harus selingkuh!”
“Ya, ya, aku tahu tindakan Rudi itu salah. Tapi sudahlah, toh itu bukan urusan kita.”
Aku naik ke atas ranjang. “Iya, tapi Miyem bekas ART kita, Mas.”
“Miyem sudah kamu pecat. Beres.” Lantas, Pras tiba-tiba memiringkan posisi badannya, menatapku. “Ndin, apa yang bakal kamu lakukan kalau aku selingkuh?”
“Cerai,” jawabku cepat. “Dan apa yang akan Mas lakukan kalau aku selingkuh?” tanyaku penasaran.
Pras mengetuk-ngetukkan ujung ponselnya di dagu sambil berpikir. “Hm, kurasa aku akan membunuhmu.”
“A-apa?”
Seketika tawa Pras pecah. “Astaga, kamu nampak ketakutan, Ndin! Aku hanya bercanda.”
Aku mendengus kesal sambil mengerucutkan bibirku. “Bercandaanmu itu enggak lucu, Mas!”
Pras kemudian berbaring dan menatap langit-langit. “Yah, yang pasti aku enggak akan membiarkanmu mengkhianatiku. Aku enggak akan melepasmu, Ndin. Kamu akan jadi milikku selamanya. Apapun yang terjadi.”
Pram tersenyum.
Tapi, mengapa aku tak merasa ada ketulusan di sana?
*** Setelah kejadian itu, tiga minggu berlalu dengan cepat.
Rumah depan kami masih kosong dengan plang yang bertuliskan ‘rumah dijual’ masih menggantung di gerbang rumah.
Risa menjual rumah miliknya.
Ya, selama ini Rudi memang menumpang hidup dengan Risa.
Pria brengsek itu mendapatkan jabatan sebagai direktur di perusahaan tekstil juga karena perusahaan itu milik keluarganya Risa.
Pernikahan dua puluh lima tahun mereka pun kandas dan Risa memilih pergi ke Amerika menyusul kedua anak mereka.
Kupikir kehidupan Risa dan Rudi sempurna, tapi nyatanya tidak.
'Sama seperti hidupku.' Aku menghela napas pelan setelah memandangi rumah itu dan tragedinya.
Lalu aku menutup pagar rumahku dan bersiap untuk melanjutkan aktivitas setelah mengantar kedua putraku ke sekolah.
Hap!
Aku mengangkat keranjang kotor pakaian anggota rumah ini dan membawanya ke mesin cuci.
Sampai saat ini aku memang belum memiliki ART lagi. Pras sudah mendesakku untuk mencari pengganti Miyem. Dia tidak ingin aku kecapekan. Tapi aku masih trauma dengan kejadian itu.
Kali ini aku mau lebih selektif mencari ART baru. Tapi ya itu, sampai sekarang aku belum menemukan ART yang terpercaya.
Namun, tidak jadi masalah sih. Sebenarnya dari dulu aku terbiasa mandiri, mengerjakan tugas rumah sendiri. Jadi, menyapu, mengepel dan lain sebagainya bukan masalah besar bagiku. Tanganku juga tidak anti dengan deterjen. Tapi sejak menikah dengan Pras, dia memang tidak membiarkanku melakukannya.
Aku malah senang tidak ada ART karena aku bisa menenggelamkan diri dengan berbagai pekerjaan rumah tangga. Kadang capek sih, tapi kunikmati saja. Toh, nanti juga aku akan dapat pengganti Miyem.
Air di mesin cuci itu berputar, menggiling pakaian hingga bersih. Lantas, aku kembali ke dapur. Setelah menggelung rambutku yang panjang, aku menenteng kantong plastik hitam berisi sampah.
Udara di luar yang cukup terik membuatku menjatuhkan pilihan pada kaos coklat muda yang tipis yang melekat ketat di tubuhku, serta celana pendek hitam yang memamerkan kakiku yang jenjang.
Toh, tidak ada yang melihatku berpakaian minim seperti ini. Area komplek perumahanku memang sepi kalau siang-siang begini.
Aku menutup kembali bak sampah dan saat memutar tubuh, aku menyadari ada mobil SUV hitam yang terparkir di depan rumah kosong itu.
Hm, apa ada calon pembeli yang datang melihat?
Saat aku sedang berpikir, gerbang pintu rumah itu bergeser. Seorang yang berpakaian formal keluar sambil membawa semacam map, diikuti oleh seorang pria jangkung yang menawan.
Deg!
Entah bagaimana, pandangan kami beradu–aku dan pria menawan itu–yang seketika menyebabkan degup jantungku jadi bertalu cepat.
'Oh, sial! Mana pakaianku minim seperti ini lagi?!'
Dentuman di dadaku semakin menjadi saat pria tampan itu melempar senyumnya padaku. Perutku jadi bergejolak! Astaga, sudah lama aku tidak merasakan perasaan seperti ini.Kedua ujung bibirku gemetar saat membalas senyum pria itu. Lalu, aku menarik napas pelan, berusaha bersikap sewajar mungkin.Pria itu mendahului orang di depannya dan menghampiriku. Oke, Andini. Tenang. Ini bukan kali pertama aku menghadapi pria tampan seperti ini.Kini pria itu berdiri di depanku. Angin yang berembus menggerakkan rambut ikalnya yang memang berantakan. Sorot matanya langsung tertuju pada belahan kaosku yang rendah.Ha, dasar lelaki. Mereka seperti tidak bisa melewatkan hal seperti ini. Namun dengan cepat dia mengalihkan matanya, menatapku.Astaga, sorot mata abunya yang gelap itu terlihat tajam dan seksi. Tapi kalau dipikir-pikir, usianya pasti jauh lebih muda dariku. Kurasa dia masih berumur dua puluh tahunan awal.Lalu, dalam hati aku berdecak heran. Bisa-bisanya diriku terjebak pesona anak kemarin s
Malamnya, aku mengenakan gaun tidur satin yang menerawang. Bukannya aku mau menggoda suamiku, tapi karena AC di kamar tidur kami sepertinya rusak–hanya mengeluarkan angin panas dan sedikit bersuara.Aku menepuk-nepukkan kedua telapak tangan di area wajah supaya serum dan pelembab yang kupakai menyerap dengan sempurna. Aku harus ekstra merawat wajah agar tidak cepat keriput. Setelah selesai dengan urusan skincare, aku beranjak dan menuju ke ranjang.Pras sepertinya masih berkutat di ruang kerjanya. Dia memang suka membawa pekerjaan ke rumah–sebagai Head of Department perusahaan penyedia layanan televisi berlangganan, pekerjaannya memang menyita waktu.Sementara itu, kedua anakku sudah tertidur di kamarnya masing-masing.Saat aku hendak menghempaskan tubuhku, tiba-tiba saja pandanganku tertuju ke rumah seberang, yang kini jadi milik Andreas. Mengingat kembali wajah brondong tampan itu, membuatku jadi senyum-senyum sendiri.Astaga, kenapa sih dengan diriku? Lantas, aku menyibakkan tirai
Aku bagai tersihir pesonanya. Jantungku terus bertalu cepat sembari aku mengekor Andreas memasuki rumahnya yang lebih besar dari kediamanku.“Aaa!” Aku memekik pelan saat Andreas menarik tubuhku sehingga kepalaku bersandar di dadanya yang bidang.Tidak. Dadaku mulai berdebar lagi. Kalau begini terus, bisa-bisa aku kena serangan jantung mendadak.Di ruang tamu rumahnya yang temaram, Andreas meraih daguku hingga tatapan kami bersirobok dalam.Aku bisa melihat pancaran manik abu matanya yang bergairah, begitu juga aku. Percikan hasrat mengalir ke sekujur tubuhku saat kulit kami saling bersentuhan.Perlahan, ibu jari Andreas menyapu bibirku. Lalu dia menyeringai menggoda. Ciuman itu lantas terjadi begitu saja. Tubuhku tidak berdaya saat berada dalam dekapannya–dekapan hangat brondong tampan yang menggairahkan lebih tepatnya.Deru napasnya menerpa wajahku yang berkeringat, meningkatkan adrenalin dalam tubuhku. Jarang sekali aku merasakan hal seperti ini. Ternyata, rasanya begitu menyenangk
Akhirnya, aku bisa duduk berdampingan dengan brondong tampan ini di teras belakang rumahku. Segelas kopi panas dan keik coklat–hasil dari kursus baking tempo lalu–kuhidangkan di meja yang menjadi jarak di antara kami.Aku memperhatikan wajah Andreas lekat-lekat. Kulit coklatnya nampak eksotis tertimpa sinar matahari dari luar. Lesung pipinya yang timbul tenggelam saat dia berbicara yang semakin menambah ketampanan wajahnya.Helaian-helaian rambut ikalnya terkadang jatuh berantakan yang membuat Andreas berkali-kali menyugar rambutnya. Gerakan tangan saat menyusuri rambut tebalnya itu malah membuatnya terlihat begitu cool di mataku.“Kurasa banyak perempuan yang tergila-gila padamu,” ucapku tiba-tiba.Tawa Andreas berderai mendengarnya. “Begitu ya?”“Aku bisa tebak,” mataku menyipit. “Kamu pasti playboy. Pacarmu ada dimana-mana.”“Aku enggak menyangka kamu ternyata judgemental juga, Andini,” balas Andreas lalu melahap sepotong keik. Aku hanya mengedikkan bahu. Mata abu Andreas yang seks
Daguku menengadah ke atas, memperhatikan plang studio lukis milik Jonathan. Ruang Karya namanya.Dengan perasaan sedikit gugup, aku melangkah masuk. Lonceng bergemerincing pelan begitu aku mendorong pintunya. Tidak ada orang di sana. Hanya ada beberapa kursi kayu panjang dan lukisan-lukisan yang menggantung di dinding.Di sudut ruangan aku melihat meja antik yang di atasnya terdapat humidifier. Uapnya membumbung tinggi, mengeluarkan wangi yang menenangkan–semacam wangi sereh dicampur dengan lemon.Aku merasa seperti berada di sebuah galeri seni yang antik. Lalu aku bergegas naik ke lantai dua–Andreas bilang kelas melukisnya ada di lantai dua. Setelah mendapat izin dari Pras, tentu saja aku langsung menghubungi Andreas dan mendaftar kursusnya. Walau sebenarnya dia baru buka pendaftaran murid baru sebulan lagi, tapi khusus untukku, Andreas membiarkanku masuk ke kelas yang sedang berlangsung.Entah kenapa dadaku selalu berdebar kalau mau bertemu Andreas. Jadi, aku menghabiskan waktu cu
Andreas berdiri di tengah kelas tanpa sehelai benang yang menempel di tubuhnya.Hal ini sungguh membuatku syok!Aku menelan ludah dalam-dalam. Setengah mati, aku mencoba untuk bersikap biasa saja–seperti peserta lainnya. Tapi aku tidak bisa! Sebenarnya, aku selalu membayangkan sebesar apa milik Andreas, dan sekarang semuanya terjawab sudah.Yah…miliknya lebih besar dari pada punya suamiku sih. Astaga, Andini! Fokus!Lalu aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Semua orang terlihat sibuk di depan kanvas mereka. Oke, oke. Aku harus mengendalikan diriku.Aku memegang pensil erat-erat dan mulai menggambar. Namun semakin aku berusaha untuk berkonsentrasi, pikiranku malah semakin kacau.Bola mataku bolak-balik mengarah ke kanvas dan tubuh Andreas. Terkadang tanganku gemetar begitu menggambar bagian bawah tubuhnya.Fokus, Andini! Namun sialnya, aku mulai gelisah sambil merapatkan kedua kakiku.Kini ujung pensilku mulai mengarsir bagian pinggul Andreas. Hah, rasanya pasti menyenangkan kalau t
Udara pagi yang segar menyapu dahiku yang berkeringat. Suasana komplek perumahan ini memang sepi kalau pagi-pagi begini. Lampu-lampu jalan bahkan masih menyala karena hari masih gelap.Suara cicitan burung mengiringi setiap langkahku yang stabil. Aku terus mengatur ritme napasku seraya mengayunkan kedua kaki. Sudah lima kilometer aku berlari dari target sepuluh kilometer yang kutentukan.Saat aku berbelok, tiba-tiba aku mendengar derap kaki dari belakang punggungku. Kupikir hanya orang asing yang lewat. Namun saat langkah kami sejajar, aku bisa mencium aroma yang familiar.“Pagi, Andini.”Sontak, aku terkesiap. Mendengar sapaan itu membuat hatiku membuncah riang.“Andreas?!”“Hai,” balasnya.Aku pun memperlambat langkahku. “Well, aku enggak tahu kalau kamu ternyata suka lari. Tahu begitu kita bisa janjian lari bareng.”“Kadang aku suka bangun kesiangan,” Andreas terkekeh pelan.Aku memperhatikan otot tangan Andreas yang nampak jelas karena dia hanya mengenakan kaos tanpa lengan.“Send
Sudah sebulan berlalu sejak kepindahan Andreas dan hubungan kami pun semakin dekat.Jujur, sejak kehadirannya, aku merasa seperti remaja yang kembali jatuh cinta. Di setiap detik dalam hidupku, wajah brondong itu selalu memenuhi otakku.Aku tahu ini salah, tapi toh tindakanku tidak kelewat batas. Semua khayalan liarku hanya tersimpan rapi di benakku. Aku tetap menjaga kesetiaanku pada keluarga kecilku. Jadi, kunikmati saja semua ini karena hal itu malah membuatku bahagia.Malam ini, Andreas mengundangku hadir di pameran lukisan tunggalnya. Tadinya, aku hendak datang bersama Pras–sekalian mengenalkan suamiku padanya–tapi seperti biasa Pras selalu sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, aku datang dengan Jihan.Evan dan Rico juga sudah kutitipkan di rumah orangtuaku s
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa